Mungkin kau
pernah belajar kitab Silsilah Ta’lim al-Lughah al-Arabiyah, tapi saya
kurang ingat dengan pastinya, entah itu di kitab Ta’bir, atau Qira’ah, atau
Nahwu Sharaf dan untuk mustawa [ tingkat ] berapa ? seingat saya di sana ada
satu cerita menarik sarat makna.
Bagi anda yang
telah belajarnya, mungkin cerita itu hanya sekedar sebuah nostalgia belaka
tentang awal-awal belajar akan dasar-dasar bahasa arab. Dan bagi anda yang
belum pernah membaca atau mungkin mendengarnya, mudah-mudahan cerita itu
menjadi satu dari sekian banyak cerita yang akan terdulang darinya banyak
faidah.
Tapi, saya
berharap bahwa dari cerita itu banyak faidah terserap darinya bagi siapa saja
yang mau membacanya atau menggali nilai-nilai dan faidah yang tersimpan di
baliknya, termasuk diri saya sendiri.
Cerita itu
adalah sebuah cerita tentang seorang ayah bersama anak kecilnya dan seekor
keledai hewan tunggangannya. Redaksi cerita itu kurang lebih seperti berikut
ini ;
Suatu hari ada
seorang ayah beserta anak kecilnya melakukan perjalanan dengan menggunakan
keledainya sebagai hewan tunggangannya. Pada awalnya, ayah tersebut menyuruh
anaknya untuk menaiki dan menunggang keledainya, sementara dirinya cukup
berjalan kaki, karena sang ayah merasa anaknya masih kecil dan tak layak
berjalan kaki karena belum kuasa untuk melakukan perjalanan jauhnya.
Kemudian
keduanya melewati sekelompok manusia, lantas mereka pun mencela perbuatan yang
dilakukan sang anak tersebut, menurut mereka anak itu adalah anak yang tiada
rasa bakti terhadap orang tuanya. Bagaimana ia berbakti, dirinya menaiki hewan
tunggangannya, sementara ayahnya dibiarkan untuk berjalan kaki ?
Karena merasa
benar adanya apa yang dikatakan sekelompok manusia itu, akhirnya sang ayah pun
menyuruh anaknya berjalan kaki, sementara dirinya menaiki keledai sebagai
tunggangannya.
Tak lama
kemudian, keduanya pun melewati sekelompok manusia yang lain. Lantas mereka pun
mencela perbuatan sang ayah tersebut. Menurut mereka bahwa sang ayah itu adalah
manusia yang tak tau diri dan tiada ada dalam diriya rasa iba atau kasihan.
Bagaimana tidak, dirinya enak-enak menaiki dan menunggang keledainya, sementara
anaknya dibiarkan kelelahan berjalan kaki di sampingnya.
Mendengar ocehan
sekelompok manusia itu, akhirnya sang ayah pun turun dari keledainya. Kemudian
melanjutkan perjalanannya kembali dengan berjalan kaki, begitu pula dengan
anaknya, sementara keledainya terbiarkan kosong dari tunggangan.
selang beberapa
saat, keduanya pun melewati sekelompok manusia yang lain. Mereka pun tak lepas
untuk mencela apa yang dilakukan oleh keduanya. menurutnya, keduanya adalah
manusia yang sangat bodoh, apa guna memiliki dan membawa keledai sebagai hewan
tunggangannya, sementara ia dibiarkan kosong dan lebih memilih untuk berjalan
kaki.
Keduanya pun
mendengar apa yang dikata oleh sekelompok manusia itu, akhirnya keduanya pun
berinsiatif lain untuk bersama-sama menaiki keledainya, kemudian keduanya pun
melanjutkan perjalanannya. Keduanya pun merasa terbantukan oleh keledainya dan
tiada rasa lelah menghampirinya, karena keduanya hanya sekedar menunggang,
sementara keledai itu akan membawanya ke tampat yang hendak ditujunya.
Tak lama
kemudian, keduanya pun kembali melewati sekelompok manusia yang lain. Mereka
pun tak lepas untuk mencela akan apa yang dilakukannya. Menurutnya, keduanya
adalah manusia yang tiada memiliki rasa belas kasihan sama sekali terhadap
makhluk ciptaan Allah yang lain. Betapa tidak, karena keduanya begitu tega
memaksakan keledainya untuk mengangkut beban berat dari keduanya. Sementara
keduanya hanya merasa nyaman duduk di atas tunggangannya.
Mendengar
celetukan sekelompok manusia itu, keduanya pun merasa bingung. Melakukan ini,
dicela. Berbuat itu, dicerca. Semua yang dilakukannya tak lepas dari kritikan
dan celaan. Dan kedaunya pun berfikir apa yang harus dilakukannya agar terlepas
dari celaan atau kritikan manusia.
Akhirnya
keduanya memutuskan agar keledai itu digendong saja, dan sang ayah pun
menggendong keledai yang sebelumnya menjadi hewan tunggangannya. Kemudian
perjalanan pun dilanjutkan.
Dan selang tak
lama kemudian, keduanya pun melewati sekelompok manusia yang lain. Melihat apa
yang dilakukan oleh keduanya, sekelompok manusia itu pun tertawa ngakak. Betapa
tidak, karena menurut mereka betapa bodohnya keduanya. Keledai yang seharusnya
dijadikan sebagai hewan tunggangannya, malah yang mereka lihat sekarang ini
adalah yang sebaliknya, manusia menjadi tunggangan untuk keledainya.
Demikianlah
kurang lebih cerita seorang ayah bersama
anak dan keledainya yang tiada berpendirian sama sekali akan dirinya.
Keduanya terus mengikuti apa yang dikatakan oleh manusia, merasa selalu salah
atas apa yang dilakukannya, dan menganggap benar adanya setiap apa yang
dikritikan terhadap dirinya.
Kemudian
muncullah sebuah matsal [ peribahasa arab ] ;
كلام الناس لا ينتهي
[ Perkataan manusia
itu tiada habisnya ]
Jika kau ikuti
apa kata manusia, maka sesungguhnya ia tiada berujung adanya, membentang tiada
bertepi darinya. Di saat kau menuruti apa kata mereka, maka kau akan terpusing
keliling sendiri jadinya.
Jadilah kau
dirimu sendiri apa adanya, percaya dirilah pada kemampuanmu yang terpunya dan
apa yang teranugerahkan Allah kepadamu.
Bisa jadi kau
sangat berhasrat untuk menjadi seorang Fulan karena kelebihannya, entah dalam
ilmu atau kemampuannya yang tiada ada padamu. Tapi, tentu adanya kelebihan pada
dirimu yang takkan terpunya pula oleh orang yang selama ini kau kagumi.
Allah telah
memuliakan manusia dengan kemuliaan masing-masing yang sesuai untuknya, Allah
telah memberikan manusia kelebihan yang tiada terpunya oleh orang lain. Jikalau
ternyata adanya manusia yang memiliki banyak kelebihan dan kemuliaan di sana
sini, maka itu adalah keutamaan yang diberikan Allah bagi siapa saja yang
dikehendakinya. Maka, pujilah Allah atas apa yang dikehendakinya, karena Dia
adalah Dzat yang Maha Tahu atas segala yang baik dan buruk bagi semua
hamba-Nya.
Terimalah apa
yang ada padamu, percayalah pada
kemampuan yang ada padamu. Karena semua itu adalah warna dan dinamika sebuah
kehidupan. Tanpanya, takkan terlihat corak warna indahnya kehidupan. Tanpanya,
tiada terasa adanya seni kehidupan.
Apa yang akan
terbuat, jika kayu-kayu balok hendak kau jadikan sebagai kaki-kaki meja semuanya,
mungkinkah akan terbentuk darinya sebuah meja ? sama sekali tak terhasilkan
darinya sebuah meja. Meski banyaknya kayu balok tertumpukan, namun ia tercetak
sama, maka tiada akan terbentuk darinya sebuah meja, terlebih menghasilkan
sebuah meja yang antik lagi menarik.
Pula demikian
dengan manusia ! setiap keragamaan itu tercipta agar semuanya saling mengenal
satu sama lain dan saling melengkapi. Oleh karena itu, percayalah pada dirimu
sendiri terhadap anugerah yang Allah titipkan pada ragamu !
Wallohu a’lam
bishowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar