Bersama Bahagia Dalam Naungan Islam

JIKA MEMANG ITU BUKU TEMANMU


Bermula dari beberapa komen pada status teman sekelas di Kampus yang mengkritisi maksud dari kalimat yang menjadi sebuah judul status ini. Saya tergugah untuk menulis beberapa point yang saya anggap penting untuk diketahui bersama, terutama manusia-manusia yang haus akan pencerahan ilmu syar'i.

Sebelumnya kita lihat dulu kalimat di atas, kenapa beberapa pembaca harus mengkritisinya. 

[ Jika Memang Itu Buku Temanmu ]

Selintas, kalau kita baca cepat, kalimat di atas bermaksud :

- Jika memang, itu buku temanmu
- Jika memang itu, buku temanmu

Keduanya bermakna sama, bahwa buku itu adalah milik temanmu. Tapi menurut para pembaca bahwa kalimat itu tidak sesuai dengan tema pada kalimat-kalimat sebelumnya alias tidak nyambung.

Ada yang bersaran agar kalimat itu diganti supaya nyambung dengan tema kalimat sebelumnya. Ada pula yang berkata bahwa kalimat itu tak perlu diganti meski gak nyambung dengan kalimat sebelumnya, mungkin saja maksud penulis adalah kelakar saja biar suasananya lebih cair.

Ada pula yang berkomen bahwa kalimat itu sudah benar adanya dan tak perlu diganti. Bahkan kalimat itu jelas-jelas nyambung dengan yang sebelumnya, masalahnya hanya terletak pada cara membacanya, karena kalimat itu terkesan ambigu, dan pembaca pun tak tahu apa yang dimau oleh si penulis itu sendiri.

Coba perhatikan,

[ 1 ] Jika memang, itu buku temanmu.
[ 2 ] Jika memang itu buku, temanmu.

Setelah ada fashl [ tanda pemisah ], jelas bedanya, bukan ! 
- Yang pertama bermaksud bahwa buku itu adalah milik temanmu.
- Sementara yang kedua bermaksud bahwa buku itu adalah temanmu, teman dikala kau sendiri, atau teman yang setia memberimu beragam ilmu tanpa pamrih darimu. 

Dan yang kedua inilah yang sebenarnya dimaksud oleh si penulis. Terlebih setelah penulis meralat kalimat itu dengan kalimat yang lebih jelas lagi tanpa membawa kesan ambigu. Meski penulisnya sendiri menganggap kalimat itu tak ada salahnya dan sesuai dengan maksud yang ia kehendaki.

Tapi untuk menghilangkan keraguan para pembaca, kalimat di atas diralatnya dengan kalimat,[ jika memang buku adalah temanmu ]. Dalam kalimat ini jelas maksud dan tak ada kesan ambigunya [ bermakna samar lebih dari satu ]. 

Dari kasus di atas ada beberapa ibrah yang dapat kita ambil, terutama para penghaus ilmu syar'i dalam menimba ilmu-ilmunya.

Syaikh Bakr Abu Zaid berkata, “ Prinsipnya dalam menuntut ilmu harus dengan jalan talqin [ pendiktean ilmu oleh guru ], talaqi [ bertatap muka ] dengan guru dan duduk bersama syaikh. Pula mengambilnya dari lisan para tokohnya, bukan dari surat kabar atau kitab.” [ Syarh Kitab Hilyah Tholib al-Ilmi, Bakr Abu Zaid, Darul Aqidah, 70 ]

Inilah prinsip dalam menuntut ilmu, terlebih ilmu syar'i. Karena jalan talaqi banyak memberikan faidah yang lebih besar terhadap para penuntut ilmu, terutama terjaganya dari pemahaman yang salah atau keliru dalam memahami suatu masalah ilmu. Dan di sinilah posisi seorang guru untuk meluruskan pemahaman yang keliru dari seorang murid.

Kelebihan metode talaqi dengan guru yang satu ini tidak akan didapatkan dalam metode talaqi dengan kitab, karena manusia itu tidak terlepas dari syahwat, syubhat, dan nafsu lain. Sehingga tatkala seorang murid bercukup diri dalam belajarnya tanpa membutuhkan pengarahan seorang guru, besar kemungkinan ia akan terpeleset dalam pemahaman yang salah akan suatu masalah tertentu. 

Akhirnya ia menyimpulkan sesuatu yang benar adalah salah, atau yang salah adalah sebuah kebenaran. Hal ini karena pengaruh nafsu dalam dirinya, atau syubhat yang menimpanya, atau pula tersebab kapasitas ilmunya yang belum sampai, sehingga ia memaksakan diri menafsirkan masalah itu menurut hawa nafsu dan akal cekaknya. 

Inilah kekurangan penuntut ilmu yang mencukupkan diri belajar dari kitab-kitab saja tanpa bimbingan seorang guru.

Sehingga dikatakan, [ Barangsiapa masuk ke dalam ilmu sendirian, ia pula akan keluar sendirian ], maksudnya siapa saja yang menimba ilmu tanpa adanya guru, maka ia akan keluar tanpa membawa ilmu, karena ilmu adalah sebuah produk, dan setiap produk pasti ada yang memproduksinya. Maka, sebuah keharusan untuk mengetahui [ produk itu ] dari seorang pengajar yang mahir akannya. Dikatakan pula, [ Siapa yang menjadikan kitab sebagai dalilnya [ petunjuknya ], maka kesalahannya akan lebih banyak [ terjadi ] daripada benarnya ] [ Syarh Kitab Hilyah Tholib al-Ilmi, 7 ]

Tapi kaidah ini hanya bersifat umum adanya, karena tidak semua manusia yang belajar dari buku atau kitab, ia dihakimi mutlak akan selalu terjatuh dalam kesalahan. Jelas ini tidak benar, karena banyak manusia yang terinfluance dan terhidayah lewat membaca atau mempelajarinya.

Yang tercela menurut kaidah itu adalah mereka yang bercukup diri dengan belajar dari kitab, dan tanpa mau bertanya kepada guru saat menemui sebuah kesulitan. Karena manusia tak lepas dari hawa nafsu, syubhat atau kepentingan lainnya.
Dan MENGGABUNGKAN KEDUANYA adalah yang terbaik dan lebih utama.

Wallohu a'lam bishowab
Share:

Tidak ada komentar:

PALING BANYAK DIBACA

ARSIP

Followers

Arsip Blog