Bersama Bahagia Dalam Naungan Islam

  • RAHASIA DI AKHIR TASYAHUD

    Sukses, ternyata tidak lepas dari kecerdikan dalam memilah dan memanfaatkan kesempatan, apapun bentuk kesuksesan itu. Sehingga memerankan strategi yang baik sangatlah penting dalam kehidupan seorang muslim.

  • SAATNYA AKU TIADA LAGI BERMIMPI

    Hunian super mewah di dunia belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan hunian yang Allah sediakan di surga. Untuk memilikinya pun bukanlah mimpi, bahkan seorang mukmin yang paling miskin pun bisa meraihnya, dan hal itu bukanlah perkara yang mustahil.

  • HAK-HAK ANAK TERHADAP ORANG TUA

    Hak-hak anak bagi orang tua ibarat biji-bijian yang hendak ditanamnya. Apabila biji-bijian ini ketika sebelum maupun setelah ditanamnya diperhatikan dan dirawat dengan baik, niscaya ia akan menjadi tanaman yang subur dan menghasilkan buah yang baik lagi banyak.

  • DOSA-DOSA PACARAN

    Cukuplah bagi kita, khususnya orang tua atau mereka yang di bawah tangannya tergenggam amanah akan pendidikan maupun perkembangan anak-anaknya, bahwa fakta maupun realita yang kerap terdengar dan menjadi santapan sehari-hari kita menunjukkan akan buruknya akibat dari sebuah pacaran.

Menikah Tanpa Izin Wali

Masalah perwalian dalam nikah memang menjadi perbedaan pendapat di antara ulama-ulama ahli fikih. Jumhur mengatakan bahwa wali dalam nikah merupakan rukun dalam akad nikah, sehingga menikah tanpa adanya wali/izin wali maka nikahnya tidak sah.

Sementara Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa wali bukanlah termasuk rukun dalam nikah melainkan hanya sebatas syarat kesempurnaan nikah. Jika seorang perempuan sudah masuk usia baligh atau dia seorang janda, maka ia berhak untuk menikahkan dirinya sendiri tanpa harus meminta izin walinya dan tanpa keberadaan seorang wali. Menurut pendapat Imam Abu Hanifah tersebut, pernikahan semacam itu hukumnya sah.

Akan tetapi, jika kita melihat beberapa hujjah yang disampaikan oleh Imam Abu Hanifah, pendapat beliau tersebut adalah pendapat yang lemah. Di antara hujjahnya ialah dalil qiyas (analogi), yaitu jika seorang wanita boleh dan berhak atas dirinya untuk melakukan akad jual beli, maka ia pun berhak untuk melakukan sendiri akad nikahnya tanpa adanya wali.

Qiyas beliau di atas adalah qiyas yang lemah karena adanya nash-nash shahih yang menyelisihi makna qiyas tersebut. Di antaranya ialah sabda Rasulullah:

لَا نِكَاحَ إلَّا بِوَلِيٍّ

"Tidaklah sah pernikahan tanpa adanya wali dan dua orang saksi." (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad: 2260, Al-Arba'ah (Abu Dawud: 2085, At-Timidzi: 1101, An-Nasa'I, dan Ibnu Majah: 1880), dan dishaihkan oleh Ibnu Al-Madini, At-Tirmidzi dan Ibnu Hibban)
Dalam sebuah riwayat lain, Aisyah mengatakan bahwa Rasulullah telah bersabda:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ ، فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا ، فَإِنْ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ

"Siapa saja dari seorang wanita yang menikah tanpa izin dari walinya, maka nikahnya batal. Jika (sang laki-lak tersebuti) sampai menggaulinya, maka wanita tersebut berhak mendapatkan mahar sebagai imbalan atas dihalalkannya farjinya. Dan jika terjadi perselisihan, maka hakim adalah wali bagi mereka yang tidak memiliki wali." (Diriwayatkan oleh Imam yang empat (At-Tirmidzi: 1102, Ibnu Majah: 1880) kecuali An-Nasa'i, dan dishahihkan oleh Abu 'Awanah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim)

Adapun kritikan Imam Abu Hanifah terhadap beberapa hadits yang berkaitan dengan wali yang dianggapnya lemah, para ulama telah meluruskan pendapat beliau dan membantah pendapat-pendapat beliau tersebut. Lihat selengkapnya dalam kitab Subulussalam, 4/454-455.

Ada pula sebuah hadits riwayat Abu Hurairah yang mengatakan:

لَا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ، وَلَا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا فإن الزانية هي التي تزوج نفسها

"Tidak boleh seorang wanita menikahkan wanita yang lain, dan tidak boleh seorang wanita menikahkan dirinya sendiri. Sesungguhnya wanita pezina ialah orang yang menikahkan dirinya sendiri" (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah :1882, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani tanpa redaksi, "Sesungguhnya wanita pezina ialah ….." )

Rasulullah juga pernah bersabda:

الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ تُسْتَأْمَرُ وَإِذْنُهَا سُكُوتُهَا

"Perempuan janda lebih berhak atas (perkawinan) dirinya daripada walinya, sementara wanita perawan harus dimintai (persetujuannya untuk dinikahkan) dan izinnya ialah diamnya." (Diriwayatkan oleh Muslim: 1421, Abu Dawud: 2099, dan Ahmad: 1897)
Dalam kitab Subulussalam disebutkan tentang makna hadits tersebut, "(Seorang wali) harus meminta perintah dari wanita janda (saat hendak menikahkannya). Dan perintahnya itu ialah wali tidak boleh menikahkan wanita janda tersebut sampai wali itu mendapatkan izin untuk melaksanakan akad bagi dirinya. Yang dimaksud dari semua itu ialah keridhaannya. Inilah makna hadits (seorang wanita janda) lebih berhak (atas perkawinan dirinya) daripada walinya. Ungkapan wanita perawan harus dengan meminta persetujuannya, sementara wanita janda dengan meminta perintahnya menunjukkan adanya perbedaan di antara keduanya. Ia juga menjadi penguat akan pentingnya bermusyawarah dengan wanita yang sudah menjanda. Dimana seorang wali membutuhkan kejelasan perkataan (wanita janda tersebut) sebagai bentuk izin untuk menikahkannya. Adapun izin dari seorang wanita perawan hanya berkutit antara perkataan dan diamnya. Ini sangat berbeda dengan sebuah perintah yang membutuhkan kejelasan sebuah kata-kata. Kalau seorang wanita perawan cukup diketahui dari diamnya, karena biasanya mereka lebih malu untuk mengungkapkan sesuatu secara terang-terangan. " (Subulus Salam: 4/458)

Dengan demikian, hak seorang wali untuk menikahkan seorang wanita janda tergantung dari perintah wanita janda tersebut sebagai bentuk keridhaannya. Jika dirinya tidak ridho dengan laki-laki yang baru meminangnya, maka wali tidak boleh memaksakan wanita janda tersebut untuk menikah dengannya. Sebaliknya, seorang wali harus segera menikahkan wanita janda tersebut jika ia sudah mengetahui keridhaannya. Karena biasanya seorang wanita janda itu sudah sedikit banyak tahu tentang seluk beluk kehidupan rumah tangga bersama suaminya yang pertama, sehingga ketika ia hendak menikah dengan laki-laki yang lain, dirinya lebih mengetahui akan kecocokannya atau tidak daripada walinya.

Inilah hikmah bahwa seorang wali hanya boleh menikahkan wanita janda tatkala sudah mengetahui keridhaannya bahwa ia sudah merasa cocok dengan laki-laki yang datang meminangnya.

Kesimpulannya, seorang wanita tidak boleh menikah kecuali atas izin dari walinya, meskipun ia seorang wanita janda yang sudah mengenal dan merasakan manis pahitnya sebuah rumah tangga bersama suaminya yang pertama. Wallohu a'lam bishowab

Oleh : Saed As-Saedy


---------------------------
Referensi :

1. Subulus salam, Ash-Shon'ani
Share:

Air Wudhu Tercampur Kotoran Cicak

Tidak diragukan bahwa kotoran cicak termasuk sesuatu yang najis. Meskipun bentuknya kecil, kotoran cicak tetaplah najis. Yang menjadi masalah, apakah sesuatu yang sedikit dari najis itu tatkala tercampur dengan air secara mutlak akan membuat air suci tersebut menjadi najis pula?

Yang disepakati

Yang menjadi kesepakatan para ulama ahli fikih ialah apabila sebuah najis bercampur dengan air yang menyebabkan terjadinya perubahan pada warna air, bau dan rasanya, maka ketika itu air tersebut menjadi najis secara ijma' dan tidak boleh digunakan untuk bersuci (berwudhu atau mandi junub).

Yang diperselisihkan

Yang menjadi silang pendapat di antara ulama fikih, ialah ketika najis tersebut bercampur dengan air yang tidak meninggalkan perubahan pada warna air, bau dan rasanya. Di mana sifat air tersebut tidak berubah dan tetap pada sifat awalnya sebelum tercampur dengan najis.

Pendapat pertama, Adapun jika keberadaan najis tersebut tidak menyebabkan perubahan pada warna, bau, maupun rasanya, maka hukum air tersebut dilihat dari banyak tidaknya air itu. Apabila airnya banyak yang melebihi dua kulah, maka air tersebut tetap suci dan bisa digunakan untuk bersuci, namun jika airnya hanya sedikit, misalkan cuma satu qayung, maka air tersebut dihukumi najis dan tidak boleh digunakan untuk bersuci.

Dan yang menjadi barometer untuk menghukumi status air yang tercampur dengan najis ialah jumlah volume air, jika lebih dari dua kulah maka ia dihukumi suci, dan jika kurang dari dua kulah maka air tersebut menjadi najis.

Ini adalah pendapat Imam Asy-Syafi'i.

Yang menjadi dasar pendapat tersebut ialah sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Sa'id Al-Khudri,

إن الماء طهور لا ينجسه شيء 

"Sesungguhnya air itu suci yang tidak ada sesuatu pun yang membuatnya najis." (HR. Abu Dawud: 61, At-Tirmidzi: 66, An-Nasa'i: 277, Ahmad: 3/15 dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa: 1/45)

Demikian juga hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda,

إذا بلغ الماء قلتين لم يحمل الخبث

"Apabila air itu mencapai dua kulah, maka ia tidak najis (jika tercampur dengan benda yang najis)." (HR. Abu Dawud: 63, At-Tirmidzi:67, An-Nasa'i: 52, Ibnu Majah: 517, dan Ahmad: 2/27 serta dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa: 1/45)

Satu kulah itu sekitar 160 liter air, jadi dua kulah sekitar 320 liter air.

Kesimpulan pendapat ini adalah sebuah bentuk kompromi dari dua hadits di atas, di mana makna hadits Abu Sa'id Al-Khudri dibatasi oleh hadits Ibnu Umar. Yaitu sebuah air tetap suci dan tidak ada sesuatu pun yang membuatnya najis jika air tersebut mencapai dua kulah, namun apabila air tersebut tidak mencapai dua kulah, kemudian tercampur dengan najis, maka air tersebut dihukumi najis.

Dengan demikian, berdasarkan pendapat yang pertama, apabila kotoran cicak itu jatuh dan tercampur dalam air bak mandi yang berukuran besar yang menampung air sampai dua kulah, maka air tersebut tetap suci dan bisa digunakan untuk bersuci. Namun jika ia jatuh dalam ember kecil yang berisikan air untuk berwudhu, maka air tersebut menjadi najis berdasarkan mafhum hadits Ibnu Umar.

Pendapat kedua, Air yang tercampur najis akan tetap suci dan bisa digunakan untuk bersuci selama air tersebut tidak mengalami perubahan pada warna, bau maupun rasanya yang disebabkan oleh keberadaan najis tersebut. Baik air tersebut dalam jumlah yang banyak maupun sedikit.

Ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Al-Hasan Al-Bashri, Ats-Tsauri, Imam Malik dan yang lainnya.

Pendapat tersebut didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:

قام أعرابي فبال في المسجد، فقام إليه الناس ليقعوا به. فقال النبي صلى الله عليه وسلم: دعوه وأريقوا على بوله سجلا من ماء، أو ذنوبا من ماء، فإنما بعثتم ميسرين ولم تبعثوا معسرين

"Datang seorang badui arab dan tiba-tiba buang air kecil di dalam Masjid. Para sahabat lantas berdiri untuk menghardiknya. Akan tetapi Rasulullah bersabda, "Biarkan saja ia, siramlah bekas air kencingnya dengan segayung air, sesungguhnya kalian diutus untuk memberikan kemudahan (bagi manusia) dan bukan untuk mempersulit (mereka)."

Demikian juga hadits Abu Sa'id Al-Khudri yang dijadikan dalil oleh pendapat pertama, dimana Rasulullah pernah ditanya oleh para sahabatnya, "Wahai Rasulullah, apakah kita boleh berwudhu dengan air sumur bidho'ah?" Lantas Rasulullah menjawab, "Sesungguhnya air itu suci yang tidak ada sesuatu pun yang membuatnya najis."

Sumur bidho'ah adalah sumur yang ada di Madinah yang menjadi tempat dibuangnya beberapa najis dan kotoran, seperti darah haidh dan daging anjing.

Berdasarkan dua hadits di atas, sebuah air tetap dihukumi suci dan bisa untuk bersuci selama air tersebut tidak mengalami perubahan pada sifat dasarnya, baik dalam warna, bau, maupun rasanya tatkala tercampur dengan najis. Baik air tersebut dalam jumlah banyak maupun sedikit.

Dengan demikian, berdasarkan pendapat kedua, apabila kotoran cicak tersebut jatuh dan tercampur dengan air yang suci yang hendak digunakan untuk bersuci, baik dalam gayung, bejana, atau ember yang tidak mencapai volume dua kulah, air tersebut tetap dihukumi suci dan bisa untuk bersuci selama tidak terjadi perubahan pada warna, bau maupun rasanya. Karena sifat air tersebut tidak berubah dan tetap pada sifat dasarnya yang tidak terpengaruhi oleh keberadaan najis tersebut.

Jika volume airnya besar, kemudian tercampur dengan kotoran cicak, tentu air tersebut dihukumi suci dan bisa untuk bersuci, karena dipastikan kotoran tersebut tidak akan mempengaruhi pada perubahan sifat dasar airnya, baik dalam warna, rasa dan bau.

Intinya, yang menjadi tolak ukur dalam pendapat kedua ini adalah perubahan tiga sifat dasar air tatakala tercampur dengan najis, dan bukan pada jumlah volume airnya. Meskipun airnya banyak, namun terjadi perubahan pada salah satu sifat airnya, maka air tersebut dihukumi najis tatkala bercampur dengan sesuatu yang najis.

Pendapat yang terpilih


Setelah memperhatikan dua pendapat di atas, demikian juga hasil pengkajian yang dilakukan oleh para ulama ahli fikih, pendapat yang kedua adalah pendapat yang terpilih karena dalil-dalilnya lebih kuat jika dibandingkan dengan pendapat pertama.

As-Sayyid As-Sabiq mengatakan dalam fikih sunnah, "Adapun hadits Abdullah Ibnu Umar, adalah hadits yang mudhthorib (goncang/tidak kuat) baik dari sisi sanad maupun matannya."
(Fikih Sunnah, 1/20)
Ia juga menukil perkataan Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid, "Pendapat Imam Asy-Syafi'i mengenai hadits kulatain, adalah pendapat yang lemah dari sisi pengkajiannya, maupun dari sisi keshahihan haditsnya." (Fikih Sunnah, 1/20)

Dengan demikian, apabila kotoran cicak tersebut jatuh dan bercampur dengan air suci yang hendak digunakan untuk bersuci, entah jumlah volume air tersebut banyak atau sedikit. Apabila tidak terjadi perubahan pada salah satu sifat dasar air, baik warna, bau maupun rasanya, maka air tersebut tetap suci dan mensucikan.

Namun sebaliknya, jika memang keberadaan kotoran cicak tersebut mempengaruhi pada perubahan salah satu dari tiga sifat dasar airnya, baik warna, bau maupun rasanya, maka air tersebut baru dihukumi najis. Wallohu a'lam bishowab

Oleh: Saed As-Saedy


------------------------------
Referensi:

1. Subulussalam, Ash-Shon'ani.
2. Fikh As-Sunnah, As-Sayyid Sabiq, Cetakan Dar Al-Kitab Al-Arabi. Beirut, Libanon
3. Al-Fikh Al-Muyassar Fi Dhaui Al-Kitab Wa As-Sunnah, Ditulis oleh beberapa penulis, Cetakan Majma' Malik Fahd, tahun 1424 H.
Share:

Antara Golput dan Tidak Dalam Pemilu

Antara Mashlahat dan Mudharat

Perlu diketahui bersama bahwa pemilu dewasa ini merupakan perkara besar bagi umat islam yang harus disikapi dengan jiwa yang besar pula. Terlebih hampir semua Negara yang ada telah menggunakan sistem demokrasi semacam ini untuk memilih pemimpin mereka atau wakil-wakil mereka yang hendak duduk di kursi kepemerintahan.

Masalah ini memang menjadi pembahasan yang menimbulkan pro dan kontra di kalangan para ulama. Ada yang membolehkan dan ada juga yang melarangnya. Pada prinsipnya, pemilu atau sistem demokrasi memang bukan sistem syar'i yang digunakan untuk memilih seorang pemimpin. Namun demikian, sistem ini sudah menjadi bagian dari Negara kita yang memiliki otoritas hukum yang mengikat dimana setiap warga negaranya pasti akan terlibat dalam sistem ini.

Ini adalah sebuah kenyataan yang menunjukkan masalah pemilu merupakan masalah besar dan penting, dan jawaban dari setiap pertanyaan yang terkait dengannya juga sangat penting dan dibutuhkan oleh masyarakat muslim secara luas.

Sebenarnya masalah ini sudah dibahas oleh banyak ulama ahlussunnah, maka hendaklah kita merujuk kepada fatwa-fatwa mereka sebagai pengamalan firman Allah:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ 

"Bertanyalah kepada ahli ilmu bila kalian tidak mengetahui." (QS. An-Nahl: 43)

Pendapat yang hendak dicantumkan dalam tulisan ini merupakan pendapat ulama yang menurut penulis lebih layak dan bijak untuk kita ikuti dalam mensikapi pemilu yang ada. Terlebih dalam pendapat tersebut, para ulama telah menimbang sisi-sisi manfaat maupun mudharatnya serta pertimbangan-pertimbangan lain yang sangat bijak untuk menentukan sikap kita terhadap perhelatan pemilu yang akan berulang dalam kurun waktu tertentu.

Fatwa-Fatwa Ulama

Berikut ini saya nukilkan beberapa fatwa ulama tentang masalah tersebut.

1. Fatwa "Komite tetap untuk fatwa dan karya ilmiah" Negara Saudi Arabia, no. 14676 yang diketuai oleh Syakih Bin Baz.

Pertanyaan:

Sebagaimana yang kalian ketahui, di Negara kami, Al-Jazair, ada acara nasional yang dikenal dengan nama pemilu. Di sana ada partai-partai yang mengajak kepada hukum islam, ada pula beberapa partai yang tidak menghendaki hukum islam. Bagaimana hukum orang yang mencalonkan diri untuk dipilih namun ia tidak menghendaki hukum islam, akan tetapi mereka masih tetap sholat?

Jawaban:

"Wajib bagi kaum muslimin di Negara yang tidak berhukum dengan syari'at islam untuk mengerahkan usahanya dan apa pun yang mereka mampui dalam berhukum dengan syariat islam. Dan (wajib pula bagi mereka) untuk bersama satu tangan dalam membantu partai yang dikenal akan berhukum dengan syari'at islam.

Adapun membantu orang yang mengajak untuk tidak berhukum menerapkan syariat islam, maka ini tidak boleh, bahkan bisa menyeret pelakunya kepada kekufuruan, sebagaimana firman Allah:

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ 

"Hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut hukum yang diturunkan Allah, janganlah engkau mengikuti keinginan mereka, dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memperdaya engkau dalam sebagian hukum yang telah diturunkan Allah kepadamu. Lalu jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berkehendak menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sungguh kebanyakan manusia adalah orang-orang fasik. Apakah hukum jahiliyah yang mereka inginkan? Tidak ada hukum yang lebih baik dari hukum Allah bagi orang-orang yang menyakini." (QS. Al-Ma'idah: 49-50)

Oleh karena itu, ketika Allah menjelaskan kufurnya orang yang tidak berhukum dengan syariat islam. Dia memperingatkan agar tidak membantu mereka atau menjadikan mereka pemimpin, dan memerintahkan kaum mukminin agar bertakwa bila mereka benar-benar beriman, Allah telah berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ 

"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian jadikan sebagai pemimpin; orang-orang yang diberi kitab sebelum kalian dan orang-orang kafir yang menjadikan agama kalian sebagai bahan ejekan dan permainan, dan bertakwalah kepada Allah bila kalian orang-orang yang beriman." (QS. Al-Ma'idah: 57) (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Buhuts Al-'Ilmiyah Wa Al-Ifta', Ahmad bin Abdurrozzaq Ad-Duwaisy, 27/372)

2. Perkataan Syaikh As-Sa'di

"Sungguh Allah itu melindungi kaum mukminin dengan jalan yang banyak, mereka kadang mengetahui sebagian jalan itu, dan kadang mereka tidak mengetahuinya sama sekali. Kadang Alla membela mereka melalui kabilah dan penduduk negeri mereka yang kafir, sebagaimana Allah melindungi Nabi Syu'aib dari hukuman rajam kaumnya melalui keberadaan kabilahnya. Dan sungguh hubungan-hubungan pertalian ini bila dengannya agama islam dan kaum muslimini bisa terlindungi, maka tidak mengapa berusaha memwujudkannya, bahkan bisa saja hal itu diharuskan, karena perbaikan itu dituntut sesuai dengan kemampuan dan kesempatan.

Oleh karena itu, jika kaum muslimin yang berada di bawah kekuasaan kaum kafirin berusaha dan bekerja untuk menjadikan negaranya bersistem demokrasi, sehingga penduduk dan masyarakatnya bisa mendapatkan hak agama dan dunianya, tentunya ini lebih baik dari pada mereka tunduk kepada Negara yang merampas hak agama dan dunia mereka, berusaha menindas mereka, dan menjadikan mereka sebagai pekerja dan budaknya.

Memang benar, bila dimungkinkan Negara itu menjadi Negara kaum muslimin dan mereka menjadi penguasanya, tentunya itu yang diharuskan. Tapi karena tingkatan itu tidak dimungkinkan, maka tingkatan yang di dalamnya agama dan dunia mereka menjadi kuat dan terlindungi, tentunya harus dikedepankan. Wallohu a'lam." (Tafsir As-sa'di, Syaikh As-Sa'di, hal 388, tafsir Surat Hud ayat 91)

3. Fatwa Majma' Fikih Islami

"Seteleh mendengarkan baths-bahts yang diajukan, beserta perdebatan dan diskusi yang mengiringinya, maka majelis (Majma' Fikih Islam) menetepkan keputusan sebagai berikut:

1. Keikutsertaan seorang muslim dengan non muslim dalam pemilu di Negara-negara non muslim; termasuk siyasah syar'iyah, yang hukumnya diputuskan berdasarkan timbangan mashlahat dan mafsadat, dan fatwa tentang hal itu bisa berbeda karena perbedaan waktu, tempat, dan keadaan. 

Seorang muslim yang dapat menikmati hak kewarganegaraan di Negara non muslim boleh mengikuti pemilihan parlemen atau yang semisalnya. Karena besarnya kemungkinan adanya mashlahat kuat yang akan dihasilkan dari keikutsertaannya itu, seperti menampakkan gambaran yang benar tentang islam, pembelaan terhadap masalah-masalah kaum muslimin di negaranya, mengadakan lapangan kerja bagi kaum minoritas baik dari sisi agama maupun dunia, menguatkan usaha mereka di posisi-posisi yang berpengaruh, dan bekerja sama dengan orang-orang yang moderat dan obyektif untuk mewujudkan kerja sama yang tegak di atas kebenaran dan keadilan. Dan hal itu ditetapkan berdasarkan batasan-batasan berikut ini:

Pertama: Seorang muslim yang mengikuti pemilihan tersebut meniatkan keikutsertaannya itu untuk memberikan sumbangsih dalam mewujudkan mashlahat-mashlahat bagi kaum muslimin dan menolak mafsadat dan bahaya-bahaya mereka.

Kedua: Dia melihat keikutsertaannya itu memiliki kemungkinan besar akan mendatangkan pengaruh-pengaruh yang baik bagi kaum muslimin di Negara tersebut, seperti menguatkan posisi mereka, menyampaikan tuntutan mereka kepada para pembuta keputusan dan para pembuat undang-undang, dan menjaga kepentingan-kepentingan kaum muslimin baik dari sisi agama maupun dunia.

Ketiga: Keikutsertaan dalam pemilu tersebut tidak menyebabkan kemerosotan dalam hal agama pada dirinya." (Fatwa Majma' Fikih Islami, Agenda rapat ke-19, Makkah, 27 Syawal 1422 H/ 8 Nopember 2007)

Kesimpulan

Dari penjelasan fatwa-fatwa di atas bisa disimpulkan sebagai berikut:

1. Sistem demokrasi atau pemilu memang bukanlah sistem yang islami dalam memilih seorang pemimpin. Dan para ulama telah sepakat tentang masalah ini.
2. Fatwa-fatwa ulama dalam masalah ini tidaklah bersifat mengikat, karena isi sebuah fatwa akan berbeda sesuai dengan kasus yang disampaikannya, dan ia akan mengikuti sesuai kondisi tempat, waktu dan keadaan yang ada.
3. Dengan melihat dan menimbang mashlahat dan mafsadah yang akan ditimbulkan, hendaknya seseorang ikut serta dalam pemilu jika kasusnya seperti yang disampaikan oleh penanya yaitu dengan memberikan hak suaranya untuk memilih wakil rakyat atau seorang pemimpin Negara, pilihlah yang terbaik dari sisi agama, sikap dan akhlaknya dari pilihan-pilihan yang ada.
4. Ikut serta dalam pemilu memiliki mashlahat jauh lebih besar dari pada golput (tidak memberikan hak suaranya sama sekali dalam pemilu). Karena hal itu akan memberikan peluang yang lebih besar bagi terpilihnya orang-orang kafir atau orang-orang fasik. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah kaidah fikih, "Jika ada dua kemudaratan yang tergabung, maka ambillah kemudaratan yang jauh lebih kecil/ringan dari keduanya." Oleh karena itu, seorang muslim harus ikut serta dalam pemilu yang ada.
5. Mengikuti pemilu seperti dalam kasus di atas merupakan suatu kebaikan, karena memilih salah satu kemudaratan yang jauh lebih ringan adalah lebih baik daripada meninggalkannya sama sekali yang akan berakibat munculnya mudarat yang jauh lebih besar.
Hendaknya seorang muslim meniatkan keikutsertaaannya dalam pemilu sebagai bentuk untuk mewujudkan mashlahat yang lebih besar bagi kaum muslimin, baik dalam sisi agama maupun dunianya, serta menjadi jalan untuk menolak mudarat (kerusakan/bahaya) yang jauh lebih besar di saat dirinya memilih golput.

Demikianlah ulasan tentang bagaimana sebaiknya sikap kita sebagai seorang muslim dalam menghadapi adanya pemilu yang sejatinya bukan bagian dari syariat islam. Semoga yang singkat ini bermanfaat dan bisa menjadi pencerahan bagi penanya pada khususnya dan pembaca yang lain pada umumnya. Wallohu a'lamb bishowab.

Oleh: Saed As-Saedy


----------------------------
Referensi:
1. Tafsir As-Sa'di (Taisir Al-Karim Ar-Rahman Fi Tafsir Kalam Al-manan), Syaikh Abdurrahman As-Sa'di, Mu'assasah Ar-Risalah.
2. Fatawa Lajnah Da'imah Lil Buhuts Wal Fatawa, Ahmad bin Abdurrozzaq Ad-Duwaisy.
3. Fatawa Majam' Al-Fikh Al-Islami (www.themwl.org), dan lain-lain.
Share:

Syaikh Abdurrozzaq bin Abdul Muhsin Al-'Abad Al-Badr

Nama beliau

Nama lengkap beliau adalah Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-'Abad Al-Badr, putra dari seorang muhadits kontemporer terkenal di kota Madinah yang masih hidup sampai sekarang ini dan sebelumnya telah dibahas mengenai biografinya, yaitu Syaikh Abdul Muhsin Al-'Abad Al-Badr.

Kelahiran dan pertumbuhan beliau

Beliau dilahirkan di tempat kelahiran bapaknya, yaitu kota Az-Zulfi, Arab Saudi, pada tanggal 22/11/1382 H. Beliau meraih gelar sarjana dari Universitas Islam Madinah, dalam program Magister beliau mengambil fakultas aqidah dari Unversitas yang sama, demikian juga dalam program doktoral beliau masih berkonsentrasi dalam fakultas aqidah dari Universitas yang sama. Adapun aktivitasnya sekarang ini, beliau adalah seorang profesor dan guru besar yang masih aktif sebagai staff pengajar di program pasca sarjana fakultas aqidah di Universitas Islam Madinah.

Guru-guru beliau

Di antara guru-buru beliau yang sudah masyhur di kalangan kaum muslimin dimana beliau banyakl menimba ilmu darinya ialah:

1. Al-'Alamah Syaikh Abdul Muhsin Al-Abad Al-Badr (Bapaknya sendiri)
2. Al-'Alamah Syaikh Abdul Aziz bin Baz
3. Al-'Alamah Syaikh Shalih Ibnu Al-Utsaimin
4. Al-'Alamah Syaikh Nashirudin Al-Albani
5. Syaikh Ali Nashir Faqihi
6. Syaikh Abdullah al-Ghunaiman
7. Syaikh al-Muhaddits Hammad al-Anshari

Murid-murid beliau

Murid-murid beliau jelas banyak sekali, terlebih beliau adalah seorang staff dosen di Universitas Islam Madinah, dimana banyak sekali mahasiswa yang berasal dari berbagai Negara di seluruh penjuru dunia yang menimba ilmu di kampus tersebut. Di samping itu, beliau juga aktif mengisi kajian-kajian di Masjid kampus dan Masjid Madinah, dan tidak sampai di situ, beliau juga beberapa kali pernah ke Indonesia untuk mengisi kajian umum yang dihadiri oleh ribuan umat islam untuk menimba langsung ilmu dari beliau. Sehingga tidak bisa dibayangkan, berapa jumlah murid beliau yang telah banyak mengambil faidah dari kajian-kajian yang telah beliau sampaikan.

Hal ini dipertegas lagi oleh perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang mengatakan, “Setiap orang yang memberikan faedah agama kepada orang lain maka dia adalah gurunya.” (Majmu’ Fatawa: 21/512)

Pujian ulama kepada beliau

Beliau memiliki kedudukan yang mulia dan terhormat di kalangan para ulama, semua itu karena ilmu dan akhlak yang beliau miliki sebagai karunia dari Allah, dimana Allah benar-benar buktikan bahwa orang-orang yang berilmu itu akan dimuliakan kedudukan dan derajatnya di mata manusia di dunia ini, terlebih kelak di akhirat nanti. Di antara pujian para ulama kepada beliau ialah:

1. Syaikh Abdul Aziz bin Baz yang mengatakan dalam kata pengantar kitab Fiqhul Ad’iyah wal Adzkar, “Dari Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz kepada ananda yang mulia dan terhormat Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin bin Hamd al-Abbad al-Badr -semoga Allah memberitakan taufik kepadanya dalam kebaikan dan menambahkan kepadanya ilmu dan iman- … Saya sangat senang dengan buku ini yang menjelaskan tentang do’a dan dzikir, faedah dan maknanya. Saya wasiatkan untuk mencetaknya agar manfaatnya menyebar kepada manusia dan terus bersemangat untuk melanjutkan acara yang bermanfaat ini.”."

2. Syaikh Shalih al-Fauzan memberi kata pengantar buku Durus Aqadiyyah al-Mustafadah minal Hajj, kata beliau, “Saya telah membaca buku risalah kecil Durusun Aqadiyyah Mustafadah minal Hajj karya Dr. Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr, dan saya mendapatinya risalah yang berfaedah, mengandung pelajaran-pelajaran berharga dari ibadah haji.”

3. Abdullah bin Shalih al-Muhsin, beliau berkata, “Saya berteman dengan Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad dan dia adalah sebaik-baik teman. Dan anak beliau Abdurrazzaq adalah seorang penuntut ilmu yang bagus.”

4. Syaikh Abdul Awwal bin Hammad al-Anshari berkata, “Adalah Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad setiap kali menulis buku baru, dia menghadiahkannya kepada ayahku. Dan dia sering bertanya kepada ayahku tentang masalah-masalah ilmu yang rumit.”
Dan masih banyak lagi tentang sanjungan dan pujian para ulama tentang kemuliaan dan kedudukan beliau dikarenakan ilmu yang dimilikinya.

Karya-karya beliau

Sebagaimana bapaknya, beliau juga telah menelurkan banyak karya-karya ilmiah yang sangat bermanfaat bagi kaum muslimin di seluruh penjuru dunia, baik dalam bentuk tulisan maupun audio, di antaranya ialah:

Berikut ini adalah karya-karya beliau yang sudah tercetak dalam bentuk tulisan:

1. Fiqhu Ad-Da'iyah Wa Al-Adzkar
2. Al-Hajj Wa Tahdzib An-Nufus
3. Tadzkirah Al-Mu'tasi Syarh Aqidah Abdul Ghani Al-Maqdisi
4. Syarh Hasyiyah Abi Dawud
5. Dirosat Li Atsar Malik Fii Al-Istiwa'
6. Al-Hauqalah
7. Adz-Dzikr Wa Ad-Du'aa
8. Al-Quthuf Al-Jiyad Min Hukmi Wa Ahkam Al-Jihad
9. At-Tuhfah As-Sunniyah Syarh Mandzumah Ibn Abi Dawud Al-Haiyah
10. At-Tabyin Lida'wati Al-Mardho Wa Al-Mushobin
11. Atsaru Al-Fitan
12. Al-Mukhtasar Al-Mufid Fi Bayan Dalail Aqsam At-Tauhid
13. Al-Qaul As-Sadid Fi Ar-Radd 'Ala Man Ankaro Taqsim At-Tauhid
14. Adzkar Ath-Thoharah Wa Ash-Sholat
15. Ayat Al-Kursi Wa Barohin At-Tauhid
16. Atsar Al-Adzkar Asy-Syar'iyah Fi Thardi Al-Hamm Wa Al-Ghamm
17. Ta'ammulat Fi Mumatsalati Al-Mu'min Lin Nakhlah
18. Takrim Al-Islam Lil Mar'ah
19. Tsamratul Al-Ilmi Al-'Amal
20. Sifat Az-Zaujah Ash-Shalihah

Dan masih banyak lagi karya-karya beliau yang lain yang sudah dicetak dalam bentuk tulisan, semoga Allah memberikan balasan kebaikan yang banyak kepada beliau dalam usahanya untuk menyebarkan sunnah dan ilmu kepada umat islam di seluruh dunia.

Adapun karya-karya beliau dalam bentuk audio di antaranya adalah:

1. Syarh Al-Qowa'id Al-Mutsla
2. Syarh Al-Kalim Ath-Thoyyib
3. Syarh Qowa'id Al-Asma' Al-Husna Li Ibnu Al-Qayyim
4. Syarh Al-Hasyiyah Li Ibni Abi Dawud
5. Syarh Aqidah Abdul Ghani Al-Maqdisi
6. Syarh Al-Wasithiyah Li Ibni Taimiyyah
7. Syarh Aqidah Ath-Thohawiyah

Demikianlah ulasan singkat tentang biografi Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-'Abad Al-Badr. Beliau telah banyak sekali memberikan faidah ilmu kepada umat islam di seluruh penjuru dunia, baik lewat karya-karya ilmiah yang beliau tulis atau lewat kajian-kajian yang telah beliau sampaikan lewat lisannya. Semoga Allah mengganjar kerja keras beliau dalam menyebarkan sunnah dan ilmu dengan balasan yang lebih baik lagi yang berlipat-lipat.

Oleh : Saed As-Saedy


------------------------------
Referensi:

1. www.ajurry.com
2. www.al-badr.net
3. www.maktaiba.net
4. www.abiubaidah.com
Share:

Syaikh Abdul Muhsin Al-'Abad Al-Badr


Nama beliau

Beliau adalah seorang muhadits, faqih, dan wara' yang bernama Abdul Muhsin bin Hamd bin Abdul Muhsin bin Abdillah bin Hamd bin Utsman Ali Badr. Keluarga Ali Badr berasal dari Ali Jalas dari suku 'Anzah yang merupakan salah satu suku Al-'Adnaniyah. Kakeknya yang kedua (yaitu buyutnya) bernama Abdullah yang dijuluki dengan 'Abad. Sebagian anak keturunannya dikenal dengan penisbatan kepada laqob ini, di antaranya ialah beliau sendiri yang sedang kita bicarakan tentang biografinya. Adapun ibunya ialah puteri dari Sulaiman bin Abdullah Ali Badr.

Kelahiran beliau

Beliau dilahirkan sesaat setelah shalat isya, malam selasa (ada yang mengatakan hari minggu) bertepatan dengan bulan ramadhan hari ketiga tahun 1353 H di kota Az-Zulfi yang terletak di sebelah utara kota Riyadh.

Guru-guru beliau

Beliau tumbuh dan dewasa di kota tersebut, kemudian belajar dasar-dasar membaca maupun menulis kepada beberapa guru di Az-Zulfi, di antaranya ialah:

1. Syaikh Abdullah bin Ahmad Al-Mani'
2. Syaikh Zaid bin Muhammad Al-Munaifi
3. Syaikh Abdullah bin Abdurrohman Al-Ghoits, bahkan ia mengkhatamkan hafalan al-Qur'an lewat bantuan beliau.
4. Syaikh Falih bin Muhammad Ar-Rumi

Setelah itu beliau juga berguru ke beberapa Syaikh, seperti:

1. Syaikh Al-Mufti Muhammad bin Ibrahim
2. Syaikh Al-'Alamah Abdul Aziz bin Baz
3. Syaikh Al-'Alamah Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi
4. Syaikh Al-'Alamah Abdurrahman Al-Afriqi
5. Syaikh Al-'Alamah Abdurrozaq 'Afifi

Masuk sekolah dasar

Pada tahun 1368 H berdirilah sekolah dasar di kota Az-Zulfi yang pertama kalinya. Saat itu beliau langsung masuk ke kelas tiga dan lulus pada tahun 1371 H.

Kemudian beliau pindah ke kota Riyadh untuk menempuh pendidikan di Ma'had Ar-Riyadh Al-'Ilmi. Tahun tersebut juga merupakan tahun dimana Al-'Alamah Al-Imam Abdul Aziz bin Baz datang ke Riyadh dan mulai mengajar di Ma'had tersebut.

Setelah lulus dari Ma'had tersebut beliau melanjutkan kuliah di fakultas syariah di Riyadh. Pada tahun terakhir dari masa kuliahnya beliau diangkat untuk menjadi guru di Ma'had Buraidah Al-Ilmi pada tanggal 13/5/1379 H. Kemudian kembali ke Riyadh di penghujung tahun ajaran tersebut untuk mengikuti ujian semester yang terakhir. Beliau sungguh telah dimuliakan oleh Allah dengan ilmunya, di mana beliau menjadi lulusan terbaik secara paralel dari delapan puluh mahasiswa lulusan yang seangkatan bersama beliau. Mereka merupakan lulusan angkatan ke-4 dari fakultas syariah yang ada di Riyadh. Beliau juga menjadi lulusan terbaik dari tiga angkatan yang sebelumnya.

Setelah beliau memperoleh ijazah setingkat SMA dari Ma'had Ar-Riyadh Al-'Ilmi, beliau terus menimba ilmu dari banyak guru sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, baik itu di Kampus maupun di Masjid-Masjid yang ada. Beliau juga belajar kepada Syaikh Abdurrahman Al-Afriqi di Riyadh pada tahun 1372 H tentang hadits dan mustholahnya, bahkan dirinya menceritakan tentang kebaikan gurunya tersebut dengan mengatakan, "Beliau adalah seorang guru, pemberi nasihat, alim yang besar, pemberi petunjuk dan menjadi suri tauladan dalam kebaikan, semoga Allah merahmati beliau."

Tahun 1380 H, beliau mulai mengajar di Ma'had Ar-Riyadh Al-Ilmi. Ketika Unversitas islam didirikan di kota Madinah Al-Munawarah yang pertama kalinya dengan membuka fakultas syariah, Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh menunjuk beliau untuk menjadi seorang dosen di fakultas tersebut. Tanpa ragu-ragu beliau pun mengiyakan. Kemudian proses belajar mengajar di kampus tersebut dimulai pada tanggal 3/6/1381 H. Dan ketika itulah beliau menjadi pembicara pertama untuk menyampaikan mata kuliah perdananya di Kampus tersebut. Adapun gelar magister (S2), beliau dapatkan dari Mesir.

Sampai sekarang beliau masih menjadi seorang dosen di kampus tersebut. Aktivitas itu hanyalah tambahan saja di luar kesibukannya dari mengisi kajian-kajian di Masjidil haram dan Masjid Nabawi.

Menjadi wakil rektor dan rektor

Tanggal 30/7/1393, beliau diangkat menjadi wakil rektor. Beliau diangkat langsung oleh Raja Faishol -semoga Allah merahmatinya-. Ketika itu beliau merupakan satu dari tiga nominasi yang dipilih oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz yang merupakan rektor Unversitas tersebut. Jabatan itu dipegang oleh beliau sampai pada tanggal 26/10/1399 H. Pada dua tahun pertama dari mengemban jabatan tersebut selama enam tahun, beliau hanya menjadi wakil rektor. Kemudian menjadi rektor pengganti setelah Syaikh Abdul Aziz bin Baz diangkat sebagai ketua Majelis pengkajian ilmu dan fatwa. Dalam rentang waktu enam tahun ini, yaitu pada tahun keempatnya, beliau tidak pernah absen untuk mengisi dua jam mata kuliah dalam setiap minggunya di fakultas syariah.

Inilah sepenggalan kisah yang beliau ceritakan sendiri sebelum memegang jabatan rektor, beliau berkisah, "Aku pernah datang kepada beliau (Syaikh Abdul Aziz bin Baz) sebelum aku berangkat ke kampus dan bermajelis bersamanya. Waktu itu ada Syaikh Ibrahim Al-Hushoin duduk di sampingnya untuk membacakan bab tentang muamalat kepada beliau, aktivitas itu beliau lakukan mulai setelah sholat subuh sampai setelah terbitnya matahari."

Pada suatu hari, beliau berkata kepadaku, "Semalam aku bermimpi melihat unta yang indah sekali, aku yang mengikatnya sementara kamu yang mengendarainya." Lantas ia berkata, "Aku tafsirkan apa yang dalam mimpi itu dengan Universitas islam ini." Beliau pun mengatakan, "Dengan memuji Allah, apa yang beliau katakan tersebut memang terbukti. Aku menjadi wakil rektor selama dua tahun, kemudian setelah itu memegang jabatan rektor untuk menggantikan posisi beliau selama empat tahun."

Pada saat menjadi rektor, literatul perpustakaan kampus terus ditambah dengan manuskrip-manuskrip yang banyak sekali, yaitu mencapai lima ribu manuskrip. Bahkan beliau menugaskan Syaikh Al-'Alamah Hamad Al-Anshari untuk mengambil banyak manuskrip dari berbagai perpustakaan internasional. Sampai Syaikh Hamad mengatakan, "Waktu di mana peninggalan karya para salaf yang paling banyak dikumpulkan dan didokumentasikan untuk perpustakaan Universitas Islam terjadi tatkala Syaikh Abdul Muhsin Al-'Abad menjabat rektor di Universitas tersebut."

Beliau juga mengatakan, "Selama perjalananku dalam mengumpulkan manuskrip-manuskrip untuk Universitas Islam, jumlah yang aku hitung telah mencapai lima ribu manuskrip. Dan aktivitas yang paling banyak untuk mengambil dan mendokumentasikan manuskrip yang ada terjadi pada saat Syaikh Abdul Muhsin Al-'Abad menjabat sebagai rektornya."

Mayoritas dari manuskrip tersebut berkaitan tentang kitab-kitab hadits yang bersanad dan kitab tentang aqidah para salaf.

Keberadaan beliau juga menjadi faktor terbesar ditulisnya kitab tentang masalah tawasul yang dikarang oleh Al-'Alamah Hamad Al-Anshari sebagai bantahan atas kitab yang ditulis oleh Abdullah Al-Ghimari, yaitu Ithaf Al-Adzkiya Fi At-Tawasul Bil Ambiya Wash-Sholihin Wal Auliya.

Kata-kata lembut beliau

Beliau pernah berkata, "Buku-buku catatan yang ada di setiap jenjang pendidikan masih aku miliki, yang dimulai dari kelas tiga sekolah dasar. Semua itu adalah barang yang paling berharga dan mulia yang aku simpan."

Beliau juga berkata, "Di antara amalan-amalan yang paling aku cintai dan sangat terharap olehku agar Allah berikan ia padaku ialah kecintaanku yang sangat besar kepada para sahabat Rasulullah dan kebencianku yang sangat besar pula kepada siapa saja yang membencinya. Allah telah karuniakan kepadaku beberapa putera dan puteri, empat dari anakku yang laki-laki telah aku namai mereka dengan nama Khalifah yang empat setelah tersemat baginya nama penghulu para Rasul, yaitu Muhammad. Dan aku namai beberapa puteriku dengan nama ibunya orang-orang mukmin setelah aku sematkan nama bagi mereka nama penghulunya kaum wanita mukmin, yaitu Aisyah. Aku memohon kepada Allah dan bertawasul dengan kecintaanku kepada mereka dan kebencianku kepada siapa saja yang membencinya agar Allah kumpulkan aku bersama mereka, dan agar Allah tambahkan kepada mereka keutamaan dan pahala."

Bahkan penulis kitab Ulama Wa A'lam Wa A'yan Az-Zulfi mengatakan, "Beliau adalah seorang yang termasuk sosok teladan dalam ilmu, amal, dan istiqamah dalam beragama. Seorang yang rendah hati, lembah lembut dan sosok yang penyabar."

Murid-murid beliau

Di antara para ulama dan para penuntut ilmu yang telah belajar kepada beliau ialah:

1. Syaikh Ihsan Ilahi Zahir
2. DR. Ali Nashir Faqihi
3. Syaikh Yusuf bin Abdurrohman Al-Barqani
4. DR. Shalih AS-Suhaimi
5. DR. Wasiyullah Abbas
6. DR. Abdurrohman Al-Furaiwa'i
7. Syaikh Al-Hafiz Tsanaullah Al-Madani
8. DR. Bismi Al-Jawabirah
9. DR. Nashir Asy-Syaikh
10. DR. Shalih Ar-Rifa'i
11. DR. 'Ashim bin Abdullah Al-Qurawati
12. DR. Abdurrahman Ar-Rasyidan
13. DR. Ibrahim Ar-Ruhaili
14. DR. Mas'ad Al-Husaini
15. DR. Abdurrazaq (beliau adalah anaknya sendiri)

Karya-karya beliau

Beliau memiliki banyak sekali karya yang telah ditelurkannya dalam bentuk tulisan, dan lewat karya inilah ilmu yang dimiliki oleh beliau menjadi jauh lebih terfaidahkan oleh banyak manusia di seluruh penjuru negeri. Di antara karya-karya beliau ialah:

Al-Qur'an Al-Karim

1. Ayat Mutasyabihatul Alfadz Fi Al-Qur'an Al-Karim Wa Kaifa At-Tamyiz Bainaha
2. Min Kunuz Al-Qur'an Al-Karim

Hadits

1. 'Isrun Haditsan Min Shahih Al-Imam Al-Bukhari
2. 'Isrun Haditsan Min Shahih Al-Muslim
3. Syarh Hadits Jibril Fi Ta'limi Ad-Din
4. Fathu Al-Qowi Al-Matin Fi Syarh Al-Arba'in
5. Kaifa Nastafidu Min Al-Kutub Al-Haditsiyah As-Sittah
6. Dirosat Hadits "Nadhorollohu Imro'an Sami'a Maqolati" Riwayatan Wa Diroyatan

Aqidah

1. Aqidah Ahlis Sunnah Wal Jama'ah Fi Ash-Shohabah Al-Kiram
2. Aqidah Ahlisssunnah Wal Atsar Fi Al-Mahdi Al-Muntadzar
3. Tahdzir Min Ta'dim Al-Atsar Ghair Al-Masyru'ah
4. Al-Hatsu 'Ala Itba'i As-Sunnah Watahdzir Minal Bida' Wabayanu Khatauha
5. Muqaddimah Wa Ta'liqat 'Ala Tathhir Al-I'tiqad
6. Syarh Aqidah Abi Zaid Al-Qairawani

Fikih

1. Manhaj Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab Fi At-Ta'lif
2. Syarh Syuruthus Sholat Wa Arkaniha Wa Wajibatiha
3. Syarh Kitab Adab Al-Masyi Ila Ash-Sholat

Akhlak dan Adab

1. Syaikh Abdul Aziz bin Baz Namudzajun Min Ar-Ra'il Al-Awal
2. Syaikh Umar bin Abdurrahman Falatuhu Wa Kaifa 'Araftuhu
3. Al-Ikhlas Wa Al-Ihsan Waliltizam Bi Asy-Syari'ah
4. Fadhlu Al-Madinah Wa Adabu Sukanuha Wa Ziarotuha
5. Min Aqwali Al-Munshifin Fi Ash-Shohabi Al-Khalifah Muawiyah
6. Rifqon Ahlus Sunnah Bi Ahlis Sunnah
7. Min Akhlak Ar-Rasul Al-Karim
8. Tsalatsu Kalimat Fi Al-Ikhlas Wa Al-Ihsan Wa Al-Iltizam Bi Asy-Syariah
9. Fadhlu Ahli Baiti Wa 'Uluwi Makanatihim 'Inda Ahlis Sunnah Wal Jama'ah

Bantahan

1. Al-Intishar Lisshohabah Al-Akhyar Fi Radd Abathil Hasan Al-Maliki
2. Ar-Raddu 'Ala Ar-Rifa'i Wa Al-Buthi
3. Ar-Raddu 'Ala Man Kadzaba Bi Al-Ahadits Ash-Shohihah Al-Waridah Fi Al-Mahdi
4. Ad-Difa' 'An Ash-Shohabi Abi Bakroh Wa Marwiyatihi

Dan masih banyak lagi karya-karya beliau yang tersebar dalam bentuk tulisan. Semoga Allah balas beliau dengan balasan yang berlipat atas jerih payahnya menebarkan islam ke seantero jagad ini.

Akhlak dan pujian terhadap beliau

Semua pujian itu tidak lain bersumber dari kemuliaan akhlak dan ilmu yang beliau miliki, inilah janji Allah terhadap orang-orang yang berilmu, dimana mereka pasti akan dimuliakan dan diangkat derajatnya oleh Allah di antara manusia itu sendiri maupun di hadapan Allah kelak.

Di antara tingginya kemuliaan akhlak beliau ialah kedudukan beliau sebagai seorang rektor tidaklah menjadikan para pegawainya yang bekerja bersama beliau merasa berat dan canggung dengan beliau, bahkan beliau dengan sengaja bersikap agar mereka tetap merasa senang bersamanya.

Belum ditemukan seseorang yang menggambarkan akan besarnya pengabdian beliau untuk ilmu dan pengajaran selama beliau menjadi rektor melainkan apa yang dikatakan oleh Al-'Alamah Hamad Al-Anshari, "Sungguh, Syaikh Abdul Muhsin Al-Abad harus terabadikan dalam sejarah yang tertulis, karena beliau telah berbuat sesuatu di Universitas ini yang membuatku berhasrat sekali untuk menulis dan merekam jejaknya. Di mana beliau selalu menyempatkan diri berada di Universitas dalam dua kesempatan, pagi hari dan sore hari setelah sholat ashar. Suatu ketika aku pernah datang menemui beliau di kantornya setelah sholat ashar, kala itu beliau adalah seorang rektor, aku duduk bersama beliau dan lantas aku katakan, "Wahai Syaikh, mana kopinya?" Beliau menjawab, "Sekarang sudah sholat ashar, sudah tidak ada pegawai yang bekerja."
"Suatu ketika aku juga pernah berhasrat sekali untuk mendahului beliau datang ke Universitas lebih awal, lantas aku pergi dan bergegas dengan mengendari mobil. Sesampaiku di Universitas, aku terkejut sekali karena Syaikh Abdul Muhsin yang membukakan pintunya sebelum orang lain."

Al-'Alamah Hamad Al-Anshari juga mengatakan, "Suatu ketika aku pergi ke Universitas di waktu ashar di saat beliau masih menjabat sebagi rektor. Kala itu tidak ada orang lain melainkan aku dan beliau. Lantas aku katakan kepadanya, "Mengapa anda tidak datang bersama pegawai yang bertugas untuk membukakan pintu Universitas sebelum anda datang?" Beliau menjawab, "Aku tidaklah memanfaatkan seseorang dari pegawainya untuk bekerja di waktu ini, karena waktu ini masih termasuk jam istirahat (yaitu waktu ashar)."
Syaikh Hamad juga berkata, "Syaikh Abdul Muhsin adalah seorang yang bersemangat sekali dalam beramal dan tidak pernah mengeluh."

Beliau juga berkata, "Kampus Universitas ini adalah kampusnya Al-'Abad, Az-Zayid, dan Syaikh Bin Baz."
Al-'Alamah Al-Muhadits Asy-Syaikh juga berkata, "Sungguh, aku tidaklah pernah melihat kewaraan seseorang yang sepandan dengan Syaikh Abdul Muhsin Al-'Abad."

Demikianlah ulasan singkat mengenai biografi salah satu ulama Rabbani kontemporer, semoga dengan mengetahui rekam jejak beliau dalam perjalanannya menuntut ilmu, mengamalkan maupun mengajarkannya kepada banyak manusia akan menjadikan kita lebih semangat lagi untuk terus menimba ilmu syar'i dan semakin membuat kita lebih mencintai para ulama dan menghargai ilmu-ilmu yang telah menjadikan mereka diangkat dan dimuliakan derajat maupun kedudukannya dalam pandangan manusia. Wallohu 'alam bishowab


Oleh : Saed As-Saedy

------------------------

Referensi
1. www.al-sunna.net
2. www.alnasiha.net



Share:

Etika Bijak Terhadap Kredit Motor


Pembahasan transaksi jual beli dalam disiplin ilmu fiqih merupakan perkara yang tidak akan ada habisnya. Terlebih semakin maju dan berkembangnya iklim ekonomi secara global dengan menawarkan beragam transaksi modern yang belum dikenal sebelumnya. Meskipun demikian, semua klasifikasi transaksi ekonomi modern yang akan terus berkembang seiring kemajuan zaman dan teknologi telah dihimpun prinsip-prinsip dasarnya dalam syariat islam. Sehingga, setiap transaksi modern yang ada bisa disimpulkan hukum akan boleh tidaknya memanfaatkan transaksi tersebut.

Di antara jenis transaksi yang masih kerap dipertanyakan akan kehalalannya adalah transaksi jual beli secara kredit, terlebih akhir-akhir ini banyak sekali badan usaha, baik perorangan ataupun lembaga yang menjalankan sistem transaksi semacam ini, contoh nyatanya seperti jual beli motor atau mobil secara kredit.

Jual beli kredit masih diperdebatkan

Transaksi secara kredit merupakan salah satu jenis jual beli yang masih diperdebatkan oleh para ulama akan boleh atau tidaknya. Sebagian ulama kontemporer mengharamkan transaksi semacam ini (yaitu jual beli kredit yang harganya lebih mahal dari harga tunai). Di antaranya ialah Syaikh Al-Albani dan Syaikh Muqbil bin Hadi yang berpendapat demikian.

Akan tetapi, setelah dilihat dan ditinjau dari beberapa sisi, jual beli secara kredit hukumnya boleh dalam islam. Inilah pendapat yang rajih (kuat) di antara dua pendapat yang ada. Berikut ini adalah beberapa hal yang menunjukkan bolehnya memanfaatkan transaksi jual beli secara kredit:

1. Saat Allah berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ 

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya." (QS. Al-Baqarah: 282)

Ayat tersebut secara umum mencakup transaksi jual beli secara tidak tunai, termasuk di dalamnya jual beli secara kredit. Inilah keumuman dalil yang secara gamblang menunjukkan sah dan halalnya transaksi secara kredit.

2. Umat islam telah melakukan transaksi jual beli secara kredit sejak dahulu, bahkan Nabi sendiri telah membenarkan transaksi semacam ini.

Dari Amru bin 'Ash, ia berkata, "Nabi menyiapkan unta-unta zakat untuk tunggangan pasukan berjihad, ternyata jumlah unta yang ada tidak mencukupi. Maka Nabi memerintahkanku untuk membeli unta dengan cara tidak tunai dan dibayar nanti bila datang unta zakat. Kemudian aku membeli seekor unta dengan dua/tiga ekor unta yang lebih muda yang dibayar setelah unta zakat datang. Tatkala unta zakat datang, lantas Nabi membayarnya." (HR. Ahmad dengan sanad shahih)

Hadits di atas menunjukkan bolehnya melakukan transaksi jual beli secara kredit, dimana harganya lebih mahal daripada harga tunai. Dalam hadits tersebut Nabi telah membenarkan transaksi jual beli seekor unta yang diterima tunai dengan dua/tiga unta yang akan dibayarnya setelah unta zakat datang. Bukankah jual beli di atas merupakan jenis transaksi secara kredit?

Hal ini juga diperkuat oleh beberapa pendapat ulama lain setelah mengkaji lebih dalam mengenai transaksi semacam ini.

Keputusan Majma' Al-Fiqh Al-Islami (Devisi Fiqih OKI) No. 51 (2/6) tahun 1990 membolehkan transaksi secara kredit, "Boleh melebihkan harga barang yang dijual tidak tunai (kredit) daripada dijual tunai .... dan harganya dicicil dalam jangka waktu yang ditentukan."

Syaikh Bin Baz pernah mengatakan, "Jual beli kredit hukumnya boleh, dengan syarat bahwa lamanya masa angsuran serta jumlah angsuran diketahui dengan jelas saat akad, sekalipun jual beli kredit biasanya lebih mahal daripada jual beli tunai. Hal ini dibolehkan, karena kedua belah pihak mendapat keuntungan dari jual beli kredit; penjual mendapat untung karena harga barangnya lebih mahal dan pembeli mendapat untung karena mendapat tempo tunggakan pembayaran."

Kapan boleh transaksi secara kredit?

Berdasarkan dalil-dalil dan penjelasan secara sederhana di atas, maka kita boleh bertransaksi secara kredit kapan pun tatkala transaksi tersebut memenuhi beberapa syarat berikut ini:

1. Lamanya masa angsuran dan jumlah angsuran harus diketahui secara jelas saat akad, sebagaimana yang terdapat dalam kisah Amru bin 'Ash.
2. Barang merupakan milik penjual sebelum terjadinya akad jual beli kredit dilangsungkan.
3. Barang yang dijual harus berada di tangan penjual sebelum dirinya melakukan transaksi secara kredit dengan pembeli.
4. Barang tersebut harus diterima oleh pembeli secara tunai pada saat akad berlangsung.
5. Tidak boleh adanya persyaratan kewajiban membayar denda, atau harga barang menjadi bertambah jika terjadi keterlambatan pembayaran. Karena hal ini termasuk riba yang dilarang.
6. Barang yang dijual bukan dalam bentuk emas, perak dan mata uang.

Jika sebuah transaksi secara kredit memenuhi kriteria di atas, maka seseorang boleh melakukan transaksi dengan cara kredit semacam itu.

Contoh,

Agus memiliki sebuah handphone yang hendak dijualnya. Seorang temannya yang bernama Ahmad merasa tertarik dan hendak membeli handphone miliknya. Setelah melakukan perbincangan ternyata Agus hanya akan menjual handphone tersebut seharga Rp. 1.300.000,_ secara tunai. Sementara Ahmad tidak memiliki cukup uang sebanyak itu, lantas ia putuskan untuk membayarnya secara kredit (pembayaran diangsur) selama 6 bulan meskipun harganya lebih mahal dari harga tunai. Kemudian Agus menjual handphone tersebut seharga Rp. 1.600.000,_ jika dibayar secara angsuran. Ahmad juga sepakat atas harga yang ditawarkan oleh Agus. Akhirnya Agus pun menyerahkan handphone tersebut kepada Ahmad yang akan dibayarnya secara angsuran selama tenggang waktu 6 bulan.

Jenis transaksi kredit di atas jelas boleh hukumnya, meskipun harga jual kredit lebih tinggi dari harga jual secara tunai. Karena transaksi tersebut telah memenuhi syarat-syarat yang membolehkan akad jual beli secara kredit. Yaitu barang yang dijual bukan dalam bentuk emas, perak atau mata uang, barang adalah mutlak milik penjual, barang berada di tangan penjual, barang diterima oleh pembeli secara tunai saat akad berlangsung, lamanya masa angsuran dan jumlahnya jelas saat akad berlangsung, dan tidak adanya syarat sanksi denda jika terjadi keterlambatan pembayaran.

Bagaimana dengan kredit motor?

Kita tidak memungkiri bahwa kredit motor beberapa tahun terakhir ini sangat digandrungi oleh masyarakat muslim di negeri ini. Di satu sisi transaksi kredit semacam itu memberikan kemudahan seseorang untuk memiliki sebuah motor baru dengan dana minim yang dimilikinya, terlebih kebutuhan akan kendaraan bermotor dewasa ini bisa dikategorikan sebagai sebuah kebutuhan yang urgent dalam menunjang setiap aktivitasnya sehari-hari. Akan tetapi, di sisi lain transaksi ini juga meninggalkan beberapa kasus yang terkadang merugikan pihak pembeli tatkala dirinya tak mampu membayar angsuran yang telah disepakati, seperti harus membayar denda dengan sejumlah uang tertentu atau motor tersebut diambil alih kepemilikannya oleh pihak penjual.

Kalau kita melihat sistem maupun praktik transaksi yang ada dalam kredit motor yang ditetapkan oleh pihak penjual, maka hal itu tidak terlepas dari beberapa hal di bawah ini:

1. Pihak penjual mensyaratkan denda kepada pembeli jika terjadi keterlambatan pembayaran pada salah satu angsuran selama masa tenggang yang telah disepakati.
2. Terkadang motor tersebut belum menjadi hak milik pihak penjual, dimana pihak penjual - setelah melakukan kesepakatan transaksi kredit dengan pihak pembeli – baru mencarikan motor yang dibutuhkan tersebut setelah terjadinya kesepakatan akad dengan pihak pembeli.

Dua perkara inilah yang biasanya tidak terlepas dalam jual beli kredit motor yang sudah menjamur di tengah-tengah masyarakat kita.

Dengan demikian, kredit motor yang memakai sistem semacam itu tidak dibolehkan dan haram hukumnya dalam islam. Hal itu dikarenakan:

1. Syarat-syarat yang membolehkan jual beli kredit secara umum tidak terpenuhi dalam transaksi kredit motor tersebut, yaitu adanya syarat sanksi denda jika terjadi keterlambatan pembayaran, dan terkadang barang yang dijual belum menjadi milik pihak penjual.
2. Ketentuan yang ditetapkan oleh pihak penjual telah menyelisihi nash-nash yang ada. Ketentuan sanksi denda tersebut masuk kategori riba nasi'ah (tambahan pembayaran utang karena melewati jatuh tempo) yang menjadi kebiasaan masyarakat jahiliyah kala itu.
3. Posisi barang yang dijual (motor) yang saat akad belum menjadi milik pihak penjual jelas bertentangan dengan sabda Rasulullah yang mengatakan, "Janganlah kalian menjual barang yang bukan milikmu!" (HR. Abu Dawud: 3503)

Solusi dan sikap yang bijak terhadap kredit motor

Kredit motor merupakan transaksi yang sudah menjamur di tengah-tengah masyarakat kita. Setelah mengkaji sistem maupun praktik yang terjadi di dalamnya, memang bentuk transaksi semacam itu diharamkan dan tidak dibolehkan dalam islam. Salah satu penyebab yang menjadikan transaksi kredit motor semakin berkembang dan digandrungi oleh sebagian besar masyarakat muslim di negeri ini ialah ketidaktahuan sebagian besar mereka akan muamalah yang dihalalkan maupun yang diharamkan, minimnya pemahaman mereka akan syariat islam (khususnya masalah jual beli yang diharamkan), tidak adanya perhatian yang baik untuk mengaplikasikan hukum-hukum muamalat yang ada dari para praktisi transaksi ekonomi dan tidak adanya lembaga islam yang memiliki otoritas khsusus untuk melarang dan membekukan segala jenis transaksi yang diharamkan dalam islam, seperti transaksi jual beli kredit motor.

Oleh karena itu, solusi dan sikap terbaik dalam menyikapi fenomena semacam ini di antaranya ialah:

1. Hendaknya seorang muslim bersabar dengan apa yang dimilikinya, dan tidak memaksakan diri untuk melakukan kredit motor selama kebutuhan tersebut dianggap tidak mendesak sekali. Memaksakan diri dalam kredit motor merupakan bentuk saling tolong-menolong dalam dosa dan keburukan.

Alloh berfirman:

وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ 

"Janganlah kalian saling tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan." (QS. Al-Maidah:2)

Sikap bersabar dan bercukup diri dengan apa yang dimilikinya merupakan sikap yang bijak dan mulia yang akan mendatangkan pertolongan maupun kelapangan dari Allah. Allah telah berfirman,artinya, "Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqarah: 153)

2. Hendaknya seorang muslim tidak menggampangkan perkara berhutang dalam memenuhi kebutuhannya. Utang adalah perkara yang tidak dianjurkan dalam islam kecuali bagi seseorang yang sangat membutuhkan barang tersebut dan ia merasa mampu untuk melunasinya.

Rasulullah bersabda, "Janganlah kalian berikan rasa takut ke dalam diri kalian setelah diri itu tenang!" Para sahabat bertanya, "Apa hal tersebut wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Utang." (HR. Ahmad)

Umar bin Khattab juga pernah berkata, "Hindarilah berhutang, karena orang yang berhutang mengawali hidupnya dengan kegelisahan dan mengakhirinya dengan kebinasaan." (Atsar ini diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Kitab Al-Muwattha')

3. Hendaknya seorang muslim bersikap hidup sederhana dan qona'ah (merasa cukup) terhadap apa yang dimilikinya. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:

لَيس الغِنَي عَن كثْرَةِ العَرضِ ، وَلكِنَّ الغنِيَ غِنَي النَّفسِ 

"Kekayaan itu bukanlah kala banyaknya harta, melainkan berupa kekayaan hati." (HR.Bukhari: 6446 dan Muslim: 2467)
Rasulullah juga pernah bersabda:

قَدْ أَفلَحَ مَنْ أَسَلَمَ ، وَرُزِقَ كَفَافاً ، وَقَنَّعَهُ اللَّه بما آتَاهُ 

"Sungguh telah beruntung seseorang yang telah masuk islam, diberi rezeki yang cukup dan qana'ah (merasa cukup) dengan apa yang telah Allah berikan kepadanya." (HR. Muslim: 2473)

4. Jika dirinya sangat mendesak sekali membutuhkan kendaraan motor untuk aktivitas sehari-hari, cukuplah dirinya membeli motor bekas yang sesuai dengan kemampuan finansialnya. Jika tidak memungkinkan, maka hendaknya ia meminjam uang secukupnya kepada saudara atau orang lain (tanpa adanya unsur riba yang disyaratkan dalam pinjaman tersebut) untuk membeli motor baru/bekas yang sangat dibutuhkannya.

Akan tetapi, saya pribadi berpendapat bahwa tidaklah perlu seorang muslim memaksakan diri untuk membeli motor baru apabila keadaan finansialnya tidak mendukung/tidak mencukupi. Karena hal itu akan membebani dirinya dan keluarganya, terlebih jika ia terjerat dalam praktik perkreditan motor atau yang semacamnya. Siapakah yang bisa menjamin bahwa kesehatan diri, kelancaran usaha maupun rezeki akan berjalan mulus seperti apa yang direncanakannya?

Oleh karena itu, jika memang sangat membutuhkan kendaraan bermotor untuk membantu aktivitasnya sehari-hari, cukuplah ia membeli yang bekas dengan harga yang jauh lebih murah, dan seandainya mengharuskan ia berhutang, maka beban hutangnya jauh lebih ringan dan tidak terlalu memberatkan hidupnya.

5. Adapun bagi para pelaku ekonomi, khususnya para pedagang yang bergelut dalam bisnis jual beli motor secara kredit hendaknya mempelajari kembali prinsip-prinsip dasar jual beli dan hukum-hukumnya, terutama tentang masalah transaksi jual beli secara kredit. Setelah itu hendaknya ia mengaplikasikan dalam praktik jual beli yang dijalankannya yang sesuai dengan nilai-nilai islam yang benar. Seperti tidak mensyaratkan adanya sanksi denda jika terjadi keterlambatan pembayaran angsuran dari pihak pembeli.

Dengan demikian, ia bukan hanya sekadar mendapatkan keuntungan duniawi berupa laba dari hasil jual belinya, namun ia juga akan mendapatkan keuntungan ukhrawi berupa pahala yang besar dari transaksinya yang sesuai dengan hukum-hukum islam. Inilah yang diharapkan bersama agar setiap muamalah yang mereka jalankan, khususnya dalam masalah jual beli akan mendapatkan keberkahan dan keridhoan dari Allah. Wallohu a'lam bishowab


-----------------------------------
Referensi :

1. Harta Haram Muamalat Kontemporer, DR. Erwandi Tarmizi, MA, Penerbit Berkat Mulia Insani, Bogor, Cetakan ke-4, April 2013.
2. Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Prof. DR. Shalah Ash-Shawi dan Prof. DR. Abdullah Al-Mushlih, Penerbit Darul Haq, Jakarta, Cetakan ke-2, April 2008.
3. Al-Maktabah Asy-Syamilah, Versi terbitan 3.28




Share:

PALING BANYAK DIBACA

ARSIP

Followers