Bersama Bahagia Dalam Naungan Islam

Yang Malu Kita


Setiap manusia jelas pernah bersafar, entah lama atau sebentar. Dan safar itu sendiri bermakna perjalanan jauh keluar rumah dan meninggalkan kampungnya dengan tujuan tertentu, bisa baik ataupun buruk. 

Karena seseorang yang keluar dari rumahnya tidak terlepas dari dua kemungkinan, keluar dengan maksud baik atau buruk. Yang bertujuan baik misalnya untuk berdagang, menuntut ilmu, berkunjung sanak keluarga, bekerja, mengajarkan ilmu, dan sebagainya.

Yang bertujuan buruk misalnya untuk berdagang hal-hal yang haram, bekerja di tempat haram, mencuri, atau untuk membunuh manusia dan semisalnya.

Tapi hanya keluar rumah tidaklah bisa dianggap ia seorang musafir [ yang bersafar ], meski pendapat jumhur mengatakan bahwa safar itu tidaklah dibatasi oleh jarak dan waktu tertentu. Dan maksud jumhur tidaklah bisa ditelan begitu saja, tapi pendapat itu diikat oleh urf [ kebiasaan manusia ], bahwa makna safar itu mengikuti urf masyarakat, jika urf masyarakat menganggap perjalanan itu adalah safar [ perjalanan jauh ], meski tidak melebihi jarak atau waktu yang ditentukan oleh ulama yang berpendapat bahwa ia dibatasi oleh jarak atau waktu yang tertentu, maka ia dianggap sebagai safar.

Adapun jika melebihi batas minimal yang ditetapkan ulama yang berpendapat bahwa ia terbatas oleh jarak dan waktu tertentu, maka urf masyarakat sepakat bahwa ia adalah safar, karena jelas teranggap sebagai perjalanan yang jauh. 

Inilah makna safar menurut pendapat jumhur ulama. 

Dan diwartakan dalam sebuah hadits bahwa safar adalah bagian dari adzab [ siksaan ]. Maksudnya dalam safar itu tertumpuk beragam kesulitan, ketidaknyamanan, dan keletihan, atau hal yang tidak menyenangkan lainnya, dimana hal itu adalah bagian dari siksaan orang yang bersafar.

Dan Allah Maha Adil, yang telah menjadikan safar [ yang merupakan bagian dari siksaan bagi manusia ] sebagai moment waktu yang mustajab [ dijawabnya doa ] untuk berdoa. Maka perbanyaklah doa saat safar, dan saya kini sedang safar ke kampung halaman. Dan saya berdoa semoga Allah menetapkan hati kita dalam keimanan dan taqwa hingga akhir hayat, dan memberikan kesuksesan kepada kita dan kaum muslimin lainnya, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Dari safar ini saya teringat akan sirah para ulama salaf [ terdahulu ] dalam bersafar, di mana dalam sirah mereka, terutama dalam safarnya telah memberikan banyak ibroh [ pelajaran ] bagi kita.

Adalah safar yang merupakan bagian adzab bagi manusia, terlebih dalam safar mereka yang sangat jauh, menembus panasnya padang pasir, dan hanya menunggang unta atau berjalan kaki, tentu sangatlah terasa akan adzab perihnya sebuah safar jika dibandingkan dengan zaman sekarang di mana kita hidup.

Namun ada satu hal yang sangat mengagumkan kita semua akan safar mereka, bahwa keletihan dan bentuk siksaan lain sebuah safar bagi si musafir tidaklah menghalangi mereka untuk tetap berkarya dan memperdalam ilmu agama.

Banyak atsar dan riwayat menyebutkan bahwa mereka tetap bisa menghafal al-qur'an dan hadits, mengkhatamkan hafalannya, murojaah [ mengulang-ulang ] ilmu, mutholaah [ mengkaji ] ilmu yang terpunya, bahkan mengarang sebuah buku atau kitab, bukan hanya berpuluh halaman, tapi hingga ratusan halaman dan berjilid-jilid setelah tercetak.

Kita tak habis pikir, dalam keletihan dan bentuk siksaan lainnya dalam safar, mereka tetap mampu berkarya yang luar biasa. Maka bagaimana kodisi mereka saat iqomah [ menetap ], tentu semangat berilmu dan berkaryanya jauh lebih besar lagi, karena dalam kondisi iqomah, tak ada keletihan dan bentuk siksaan lain seperti saat safar. Maka untuk berilmu dan berkarya jauh lebih terfokuskan lagi.

Diriwayatkan bahwa Imam Ibnul Qoyyim, muridnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, menulis kitab Zaadul Ma'ad hanya dalam satu safar yang tidak lebih dari berbulan-bulan masanya.

Padahal kitab ini, yang sekarang banyak menjadi referensi para penuntut ilmu terdiri dari beberapa bab, seperti sirah, fiqih, dan lainnya telah tercetak dalam beberapa jilid. Ini menunjukkan keluasan dan keberkahan ilmu seorang ulama salaf.

Bagaimana dengan kita ?

Tentu kita seharusnya sangat malu dari mereka, dimana kita hidup di zaman yang penuh dengan kemudahan dan beragam alat canggih lainnya.

Wallohu a’lam bishowab
Share:

Tidak ada komentar:

PALING BANYAK DIBACA

ARSIP

Followers

Arsip Blog