Bersama Bahagia Dalam Naungan Islam

Masa Iddah wanita Hamil Dan Suaminya Meninggal Dunia

Ada pertemuan pasti ada perpisahan, itulah kata sebagian orang. Dan memang itu benar adanya. Seorang lelaki dipertemukan oleh Allah dengan seorang perempuan yang terikat dalam sebuah pernikahan. Keduanya pun hidup bermasa lamanya hingga dikaruniai seorang anak yang akan menjadi penyejuk hati mereka berdua dan untuk meneruskan tali nasab sebuah keluarga.

Namun tidak menutup kemungkinan, di saat mereka bergembira dalam penantian lahirnya seorang anak, Allah Ta’ala mentakdirkan ajal mengakhiri hayat sang suaminya tercinta. Dan hal itu pun tidak bisa dicegah atau mengelak darinya, karena itu adalah keputusan Allah yang pasti terjadinya, kapan, siapa dan di mana saja.

Allah Ta’ala berfirman ;

إذا جاء أجلهم فلا يستأخرون ساعة ولا يستقدمون

[ Tiap-tiap umat mempunyai ajal, Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak [ pula ] mendahulukannya ] [ 1 ]

Apabila hal itu terjadi, seorang suami meninggal dunia, sementara isterinya masih dalam keadaan hamil. Bagaimana dan berapa lama seorang isteri harus beriddah ?

Makna Iddah

Sebagaimana biasanya, sebuah kata itu memiliki makna lughowi [ bahasa / etimologi ] dan makna ishthilahi [ istilah / terminologi ]. Dan makna kata secara bahasa tentu lebih luas cakupannya daripada makna secara istilah, karena dalam makna istilah sudah dibatasi oleh ketentuan-ketentuan lainnya.

Iddah secara etimologi [ bahasa ] berakar dari kata al-‘addu dan al-hisab, keduanya bermakna al-ihshaa yaitu penghitungan. Disebut demikian karena iddah itu biasanya mencangkup bilangan haid [ al-aqraa ] atau bulan [ al-asyhur ].

Iddah secara terminologi [ istilah syar’i ] bermakna masa atau bilangan waktu yang telah ditetapkan oleh syaari [ pembuat syariat ] setelah terjadinya perpisahan [ dari hubungan pernikahan ], yang mewajibkan seorang wanita untuk menunggu [ selama waktu itu ] tanpa adanya pernikahan [ yang baru ] sampai habis [ waktunya ]. [ 2 ]

Furqoh [ perpisahan hubungan pernikahan ] bisa terjadi karena suaminya meninggal dunia atau akibat perceraian yang dijatuhkan oleh suaminya.

Masa Iddah

Apabila suami meninggal dunia, sementara isterinya sedang hamil. Para ulama berbeda pendapat tetang masa iddahnya, yaitu berapa lama seorang isteri harus menunggu sampai ia boleh menikah kembali dengan laki-laki lain. Berikut ini adalah pendapat para ulama tentang masalah itu ;

[ 1 ] Empat Bulan Lebih Sepuluh Hari

Ini adalah pendapat Al-Hanafiah dan Al-Malikiah.

Al-Hanafiah berkata, “ bahkan masa iddah seorang wanita [ yang hamil dan suaminya meninggal dunia ] berakhir setelah empat bulan sepuluh hari, yaitu iddahnya seorang wanita karena meninggalnya suami.

Contoh, apabila suaminya meninggal dunia dua bulan setelah isterinya melahirkan, maka wajib bagi si isteri untuk menunggu lagi selama dua bulan sepuluh hari setelah ia melahirkan [ sehingga totalnya empat bulan sepuluh hari ].

Dan apabila masa empat bulan sepuluh hari telah berakhir sebelum si isteri melahirkan, maka masa iddahnya telah berakhir sebelum ia melahirkan. Sehingga akad nikah yang dilakukan saat itu hukumnya sah, akan tetapi tidak boleh [ bagi suami yang kedua ] untuk menggaulinya sampai ia melahirkan. Dan tidak boleh menasabkan anak yang terlahir [ kepada suami yang kedua ] dalam kondisi apapun, baik terlahir saat kurang dari enam bulan setelah akad nikah, atau enam bulan dan bahkan lebih dari itu.” [ 3 ]

Dalil pendapat kelompok pertama ;
a.   Al-Qur’an
Allah Ta’ala berfirman ;

والذين يتوفون منكم ويذرون أزواجا يتربصن بأنفسهن أربعة أشهر وعشرا

[ Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri, [ hendaklah para isteri itu ] menangguhkan dirinya [ beriddah ] empat bulan sepuluh hari ] [ 4 ]

b.   As-Sunnah
Hadist Hafshoh, bahwa Nabi bersabda shallallahu alaihi wa sallam ;

لا يحل لامرأة تؤمن بالله واليوم الآخر أن تحد على ميت فوق ثلاثة أيام إلا على زوج :أربعة أشهر وعشرا

[ Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung atas mayit lebih dari tiga hari kecuali kepada suaminya sendiri, yaitu selama empat bulan sepuluh hari ] [ 5 ]

Jadi, kelompok yang pertama ini lebih merajihkan [ menguatkan ] dalil-dalil yang menyebutkan bahwa wanita yang suaminya meninggal dunia, maka ia beriddah selama empat bulan sepuluh hari, baik ia sedang dalam kondisi hamil ataupun tidak.

[ 2 ] Sampai Melahirkan Kandungannya

Ini adalah pendapat Jumhur [ mayoritas ] Ulama, yang mengatakan bahwa masa iddahnya berakhir dengan melahirkan, baik lama atau sebentar. Bahkan seandainya ia melahirkan satu jam setelah suaminya meninggal dunia, maka iddahnya telah berakhir dan halal baginya untuk menikah. [ 6 ]

Ibnu Qudamah menambahkan, “ Halal baginya [ si isteri ] untuk  menikah, akan tetapi tidak boleh bagi suami [ yang baru ] untuk menggaulinya sampai ia suci dari nifasnya dan mandi.” [ 7 ]

Adalah tidak boleh bagi suami [ yang baru ] untuk menggaulinya sampai ia suci dan mandi dari nifasnya berdasarkan firman Allah Ta’ala ;

ولا تقربوهن حتى يطهرن فإذا تطهرن فأتوهن من حيث أمركم الله

[ Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu ] [ 8 ]

Istidhlal [ sisi pengambilan dalil ] dari ayat di atas ;

Ayat di atas memang berkaitan dengan hukum wanita haidh, akan tetapi para ahli fiqih mengatakan bahwa hukum wanita nifas sama halnya dengan wanita haidh dalam perkara yang diharamkan atasnya dan ibadah yang gugur karenanya. Hal ini karena darah nifas adalah darah haidh, hanya saja ia tertahan [ tidak keluar ] selama masa kehamilan, karena ia berubah menjadi sumber makanan untuk janin yang dikandungnya. [ 9 ]

Maka, jika diharamkan mencampuri wanita haidh hingga ia suci dan mandi darinya, demikian pula diharamkan bagi seorang suami untuk menggauli isterinya yang sedang nifas sampai ia benar-benar suci dari darah nifas dan mandi darinya.

Dalil pendapat kelompok kedua [ Jumhur ] ;
a.   Al-Qur’an
Keumuman firman Allah Ta’ala ;

وأولات الأحمال أجلهن أن يضعن حملهن

[ Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya ] [ 10 ]

Ayat ini bersifat umum bagi semua al-muthallaqat [ isteri yang dicerai ], termasuk di dalamnya isteri yang dicerai karena suaminya meninggal dunia, sementara ia dalam kondisi hamil.

Kemudian ayat di atas mengkhususkan keumuman firman Allah Ta’ala ;

والذين يتوفون منكم ويذرون أزواجا يتربصن بأنفسهن أربعة أشهر وعشرا

[ Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri, [ hendaklah para isteri itu ] menangguhkan dirinya [ beriddah ] empat bulan sepuluh hari ] [ 11 ]

Dan dalam kaidah ushul mengatakan, “ jika ada dua dalil, yang satu bersifat umum dan yang lain bersifat khusus, maka makna umum dibawa ke dalam makna khusus.”

Ibnu Qudamah berkata, “ Saya tidak mengetahui adanya perselisihan akan bolehnya takhshishu al-umum [ pengkhusuan makna umum ] “ [ 12 ]

Walhasil, makna ayat yang kedua dibawa ke dalam makna ayat yang pertama, sehingga masa iddah seorang wanita yang dicerai Karena suaminya meninggal dunia dan ia dalam kondisi hamil adalah sampai ia [ si isteri ] melahirkan kandungannya.

b.   As-Sunnah
Hadits al-Miswar bin Makhramah menyebutkan bahwa ;

أن سبيعة الأسلمية نفست بعد وفاة زوجها بليال، فجاءت النبي صلى الله عليه وسلم، فاستأذنته أن تنكح فأذن لها فنكحت

[ Adalah Subai’ah al-Aslamiyyah bernifas setelah suaminya wafat beberapa malam, kemudian ia mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan meminta izin untuk menikah. Maka beliau mengizinkannya dan kemudian ia menikah ] [ 13 ]

Wajhu dilalah [ sisi pendalilan ] dari hadits di atas ;

Wanita hamil yang ditinggal wafat suaminya, masa iddahnya berakhir [ dengan melahirkan ] meski belum melebihi empat bulan sepuluh hari. Bahkan seandainya [ ia melahirkan ] satu jam setelah wafatnya, halal baginya untuk menikah. Karena tujuan adanya iddah bagi para wanita yang berhaidh adalah untuk mengetahui baroatu ar-rahm [ kosongnya rahim dari janin ].

Dan melahirkan kandungan adalah dalil [ petunjuk ] yang lebih kuat akan kosongnya rahim dari janin daripada berakhirnya iddah karena waktu. Sehingga berakhirnya iddah dengan [ melahirkan ] lebih utama daripada berakhirnya iddah karena telah lewatnya batas waktu. [ 14 ]

Dan hadits Subai’ah datang belakangan setelah turunnya ayat iddah wafat, karena kisah Subai’ah terjadi setelah haji wada’. [ 15 ] Sehingga hadits tersebut menjadi pengkhusus bagi keumuman makna ayat tentang iddah wafat. Dengan demikian, makna umum ayat tentang iddah wafat di bawa ke dalam makna khusus dalam hadits Subai’ah, yang berarti bahwa makna khususlah yang berlaku dan masa iddah bagi wanita itu adalah sampai ia melahirkan kandungan.

[ 3 ] Waktu yang paling lama berakhir di antara dua masa iddah

Wanita hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya, memiliki dua masa iddah bersamaan berdasarkan nash al-Qur’an, yaitu masa iddah sampai ia melahirkan kandungannya di satu sisi, karena ia dalam kondisi hamil. Dan di sisi lain ia harus beriddah selama empat bulan sepuluh hari, dikarenakan suaminya yang meninggal.

Maka bagaimana seorang wanita tersebut harus beriddah [ menunggu ] ?

Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, dan Ibnu Abi Laila berpendapat bahwa wanita dalam kondisi hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya, ia beriddah dengan waktu iddah yang paling lama berakhir di antara dua masa iddah, baik melahirkan kandungan atau waktu empat bulan sepuluh hari. Mana waktu yang paling lama berakhir di antara keduanya, maka ia beriddah dengan waktu tersebut. [ 16 ]

Dalil pendapat kelompok ketiga ;
a.    Allah Ta’ala berfirman ;

والذين يتوفون منكم ويذرون أزواجا يتربصن بأنفسهن أربعة أشهر وعشرا

[ Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri, [ hendaklah para isteri itu ] menangguhkan dirinya [ beriddah ] empat bulan sepuluh hari ] [ 17 ]

Di dalam ayat ini ada makna umum di satu sisi, dan makna khusus di sisi lain. Makna umumnya karena ayat itu mencakup wanita yang ditinggal wafat oleh suaminya, baik ia dalam kondisi hamil atau haail [ tidak hamil ]. Sementara makna khususnya adalah penyebutan batas waktu empat bulan sepuluh hari.

b.    Firman Allah Ta’ala ;

وأولات الأحمال أجلهن أن يضعن حملهن

[ Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya ] [ 18 ]

Pula, di dalam ayat ini ada makna umum dan makna khusus, makna umumnya karena ia mencakup wanita yang ditinggal wafat oleh suaminya dan selainnya [ yang ditinggal karena diceraikan ]. Sedangkan makna khususnya adalah penyebutan masa iddah sampai ia melahirkan kandungan.

Wajhu dilalah [ sisi pendalilan ] dari dua ayat di atas ;

Hukum masing-masing kedua ayat di atas sangatlah shorih [ jelas ], sehingga menggabungkan hukum kedua ayat tersebut dan mengamalkannya adalah lebih utama daripada mentarjih [ menguatkan hukum salah satunya ], ini berdasarkan kesepakatan para pakar ushul.

Oleh karena itu, beriddah dengan waktu yang paling lama berakhir [ di antara dua masa iddah ] telah mengamalkan hukum kedua ayat di atas. Berbeda kalau hanya beriddah dengan melahirkan kandungannya, maka ia telah meninggalkan pengamalan ayat lain tentang iddah karena ditinggal wafat. Sehingga mengamalkan dua dalil di atas secara bersamaan lebih utama daripada meninggalkan salah satunya. [ 19 ]

Contoh,

a.    Fulanah sedang hamil besar, dan umur kandungannya telah mencapai delapan bulan. Dan dengan izin Allah Ta’ala, beberapa saat kemudian suaminya meninggal dunia.

Melihat kasus di atas, masa iddah wanita tersebut ada dua macam ;

-      Karena ia hamil, maka masa iddahnya sampai ia melahirkan. Dan masa iddahnya tersebut akan berakhir kurang lebih satu bulan setelahnya. Karena umur kandungannya telah mencapai delapan bulan, dan rata-rata umur kandungan adalah sembilan bulan.

-      Karena suaminya meninggal dunia , maka masa iddah baginya empat bulan sepuluh hari. Dan masa iddahnya itu akan berakhir dengan habisnya masa tersebut.

Dengan kata lain, ia telah melahirkan sebelum empat bulan sepuluh hari. Sehingga wanita tersebut harus beriddah [ menunggu ] selama empat bulan sepuluh hari lagi, karena masa iddah dengannya lebih lama berakhir daripada masa iddahnya dengan melahirkan kandungan yang hanya sebulan saja.

b.    Fulanah sedang hamil dan umur kandungannya baru menginjak satu bulan. Dan dengan izin Allah Ta’ala di bulan yang sama suaminya meninggal dunia.

Melihat kasus di atas, wanita itu juga memiliki dua masa iddah ;

-      Sampai ia melahirkan, karena ia dalam kondisi hamil. Dan akan berakhir masa iddahnya setelah berlalu delapan bulan lagi, karena umur kandungannya saat ini baru menginjak satu bulan.

-      Karena suaminya meninggal dunia, maka ia harus beriddah selama empat bulan sepuluh hari. Dan beriddah dengannya akan berakhir dengan habisnya waktu tersebut.

Dengan kata lain, masa iddah empat bulan sepuluh hari telah berakhir sebelum ia melahirkan kandungannya. Sehingga, wanita tersebut harus beriddah [ menunggu ] selama delapan bulan lagi sampai ia melahirkan kandungannya, karena masa iddah dengannya lebih lama berakhir daripada masa iddah karena ditinggal wafat suaminya yang hanya empat bulan sepuluh hari.

Dari dua kasus di atas, terkadang seorang wanita beriddah sampai ia melahirkan kandungannya, dan terkadang beriddah dengan iddah wafat, yaitu empat bulan sepuluh hari. Sehingga, waktu yang mana paling lama berakhir masa iddahnya di antara dua masa iddah itu, maka ia beriddah dengannya. Dengan demikian ia telah mengamalkan makna kedua ayat di atas.

Pendapat yang rajih [ kuat ]

Setelah melihat beberapa dalil dari masing-masing pendapat di atas, maka pendapat yang rajih [ kuat ] adalah pendapat kedua, yaitu pendapat jumhur ulama.

a.    Kuatnya dalil-dalil yang disertakan oleh Jumhur

b.    Karena tujuan adanya iddah bagi para wanita yang berhaidh adalah untuk mengetahui baroatu ar-rahm [ kosongnya rahim dari janin ].

Dan melahirkan kandungan adalah dalil [ petunjuk ] yang lebih kuat akan kosongnya rahim dari janin daripada berakhirnya iddah karena waktu. Sehingga berakhirnya iddah dengan [ melahirkan ] lebih utama daripada berakhirnya iddah karena telah melewati batas waktu.

Bantahan terhadap pendapat pertama ;

a.    Pendapat pertama hanya menguatkan dalil yang mengatakan ia harus beriddah dengan iddah wafat, yaitu empat bulan sepuluh hari, meski wanita itu sedang hamil.

b.    Mereka telah mangabaikan dalil [ ayat lain ] yang mengatakan bahwa wanita hamil masa iddahnya adalah sampai ia melahirkan kandungannya. Padahal masing-masing dari kedua dalil tersebut sama-sama kuat hukumnya.

c.    Mereka telah mengabaikan kaidah ushul saat adanya dua dalil yang sama-sama kuat hukumnya. Yaitu al-jam’u [ mengkompromikan dan mengabungkan dua dalil ], jika tidak mungkin melakukan al-jam’u baru beralih ke tarjih [ menguatkan salah satu dari keduanya ]. Sementara mereka langsung merujuk ke metode tarjih, padahal kedua dalil tersebut masih bisa digabungkan dan dikompromikan.

d.    Mereka tidak melihat kepada tujuan adanya iddah bagi para wanita yang berhaidh, di mana tujuannya adalah untuk mengetahui baroaturrahm [ kosongnya rahim dari janin ].

Dan melahirkan kandungan adalah dalil [ petunjuk ] yang lebih kuat akan kosongnya rahim dari janin daripada lewatnya waktu iddah wafat, yaitu empat bulan sepuluh hari. Sehingga berakhirnya iddah dengan [ melahirkan ] lebih utama daripada berakhirnya iddah karena telah melewati batas waktu tersebut.

Pula, tujuan adanya iddah adalah agar tidak terjadinya percampuran air mani yang mengakibatkan sulitnya penetapan nasab terhadap anak yang lahir. Dan dengan melahirkan kandungan, menunjukan rahim tersebut telah kosong dari janin, sehingga percampuran nasab tidak mungkin  terjadi karenanya.

Bantahan terhadap pendapat ketiga ;

a.    Metode al-Jam’u [ pengkompromian antara dua dalil ] yang mereka lakukan kuranglah tepat. Karena makna umum dan khusus dari dua dalil di atas tidaklah mereka tinjau sama sekali. mereka hanya berusaha mengkompromikan secara zahirnya saja.

Padahal kalau kita lihat, dalil yang mengatakan harus beriddah sampai ia melahirkan kandungan adalah bersifat khusus. Sementara dalil yang mengatakan ia harus beriddah dengan empat bulan sepuluh hari adalah bersifat umum.

Dan untuk menggabungkan dua dalil tersebut yaitu dengan membawa makna umum ke dalam makna khusus, yang berarti bahwa makna khusus itulah yang berlaku. Inilah kaidah ushul yang telah disepakati oleh para pakar ushul.

b.    Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa dirinya menarik kembali pendapatnya tersebut setelah mendengar hadits Subai’ah. Dan hadits Subai’ah datang belakangan setelah turunnya ayat iddah wafat, karena kisah Subai’ah terjadi setelah haji wada’. [ 20 ]
Sehingga hadits tersebut menjadi pengkhusus bagi keumuman makna ayat tentang iddah wafat.

c.    Ibnu Abdilbar berkata, “ kalau bukan karena hadits Subai’ah, tentu pendapat yang benar adalah pendapat Ali dan Ibnu Abbas, karena ia adalah iddah yang menggabungkan dua sifat, yaitu keduanya tergabung pada wanita hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya, sementara ia tidak dapat keluar dari iddahnya kecuali dengan yakin, dan masa iddah yang paling yakin adalah waktu yang paling lama berakhir.” [ 21]

Wallohu a’lam bishowab

--------------------------------

[ 1 ] QS. Yunus ; 49
[ 2 ] Shahih Fiqhi As-Sunnah, Abu Malik kamal Bin As-Sayyid Salim, Maktabah At-Taufiqiyyah, 3 / 317.
[ 3 ] Al-Fiqh Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, Abdurrohman bin Muhammad Iwadh Al-Jaziri, Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 4 / 457-458
[ 4 ] QS. Al-Baqarah ; 234
[ 5 ] HR. Muslim ; 1490, At-Tirmidzi ; 1195 ]
[ 6 ] Al-Masuu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwatiyyah, Wizarotu Al-Auqof Wassu’un Al-Islamiyyah, 29 / 317.
[ 7 ] Al-Mughni, Muawafaqqudin Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Maktabah Al-Qohiroh, 8 / 118
[ 8 ] QS. Al-Baqarah ; 222.
[ 9 ] Al-Masuu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwatiyyah, Wizarotu Al-Auqof Wassu’un Al-Islamiyyah, 41 / 16.
[ 10 ] QS. Ath-Thalaq ; 4
[ 11 ] QS. Al-Baqarah ; 234
[ 12 ] Raudhotu An-Nadzir Wa Junatu Al-Mandzir, Abdulkarim bin Ali bin Muhammad An-Namlah, Maktabah Ar-Rusyd, hal 721.
[ 13 ] HR. Bukhari ; 5320, Muslim ; 1485.
[ 14 ] Al-Masuu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwatiyyah, Wizarotu Al-Auqof Wassu’un Al-Islamiyyah, 29 / 317-318
[ 15 ] Tafsir al-Qurthubi, Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar bin Farh Al-Anshori Syamsudin Al-Qurthubi, Dar Al-Kutub Al-Mishriyyah, 3 / 175
[ 16 ] Al-Masuu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwatiyyah, Wizarotu Al-Auqof Wassu’un Al-Islamiyyah, 29 / 318
[ 17 ] QS. Al-Baqarah ; 234
[ 18 ] QS. Ath-Thalaq ; 4
[ 19 ] Al-Masuu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwatiyyah, Wizarotu Al-Auqof Wassu’un Al-Islamiyyah, 29 / 317-318
[ 20 ]  Tafsir al-Qurthubi, Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar bin Farh Al-Anshori Syamsudin Al-Qurthubi, Dar Al-Kutub Al-Mishriyyah, 3 / 175
[ 21 ] Shahih Fiqhi As-Sunnah, Abu Malik kamal Bin As-Sayyid Salim, Maktabah At-Taufiqiyyah, 3 / 328
Share:

Tidak ada komentar:

PALING BANYAK DIBACA

ARSIP

Followers

Arsip Blog