Namun
tidak menutup kemungkinan, di saat mereka bergembira dalam penantian lahirnya
seorang anak, Allah Ta’ala mentakdirkan ajal mengakhiri hayat sang suaminya
tercinta. Dan hal itu pun tidak bisa dicegah atau mengelak darinya, karena itu
adalah keputusan Allah yang pasti terjadinya, kapan, siapa dan di mana saja.
Allah
Ta’ala berfirman ;
إذا
جاء أجلهم فلا يستأخرون ساعة ولا يستقدمون
[
Tiap-tiap umat mempunyai ajal, Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka
tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak [ pula ] mendahulukannya
] [ 1 ]
Apabila
hal itu terjadi, seorang suami meninggal dunia, sementara isterinya masih dalam
keadaan hamil. Bagaimana dan berapa lama seorang isteri harus beriddah ?
Makna Iddah
Sebagaimana
biasanya, sebuah kata itu memiliki makna lughowi [ bahasa / etimologi ] dan
makna ishthilahi [ istilah / terminologi ]. Dan makna kata secara bahasa tentu
lebih luas cakupannya daripada makna secara istilah, karena dalam makna istilah
sudah dibatasi oleh ketentuan-ketentuan lainnya.
Iddah
secara etimologi [ bahasa ] berakar dari kata al-‘addu dan al-hisab, keduanya
bermakna al-ihshaa yaitu penghitungan. Disebut demikian karena iddah itu
biasanya mencangkup bilangan haid [ al-aqraa ] atau bulan [ al-asyhur ].
Iddah
secara terminologi [ istilah syar’i ] bermakna masa atau bilangan waktu yang
telah ditetapkan oleh syaari [ pembuat syariat ] setelah terjadinya perpisahan
[ dari hubungan pernikahan ], yang mewajibkan seorang wanita untuk menunggu [
selama waktu itu ] tanpa adanya pernikahan [ yang baru ] sampai habis [ waktunya
]. [ 2 ]
Furqoh
[ perpisahan hubungan pernikahan ] bisa terjadi karena suaminya meninggal dunia
atau akibat perceraian yang dijatuhkan oleh suaminya.
Masa Iddah
Apabila
suami meninggal dunia, sementara isterinya sedang hamil. Para ulama berbeda
pendapat tetang masa iddahnya, yaitu berapa lama seorang isteri harus menunggu
sampai ia boleh menikah kembali dengan laki-laki lain. Berikut ini adalah
pendapat para ulama tentang masalah itu ;
[
1 ] Empat Bulan Lebih Sepuluh Hari
Ini
adalah pendapat Al-Hanafiah dan Al-Malikiah.
Al-Hanafiah
berkata, “ bahkan masa iddah seorang wanita [ yang hamil dan suaminya meninggal
dunia ] berakhir setelah empat bulan sepuluh hari, yaitu iddahnya seorang
wanita karena meninggalnya suami.
Contoh,
apabila suaminya meninggal dunia dua bulan setelah isterinya melahirkan, maka
wajib bagi si isteri untuk menunggu lagi selama dua bulan sepuluh hari setelah
ia melahirkan [ sehingga totalnya empat bulan sepuluh hari ].
Dan
apabila masa empat bulan sepuluh hari telah berakhir sebelum si isteri
melahirkan, maka masa iddahnya telah berakhir sebelum ia melahirkan. Sehingga
akad nikah yang dilakukan saat itu hukumnya sah, akan tetapi tidak boleh [ bagi
suami yang kedua ] untuk menggaulinya sampai ia melahirkan. Dan tidak boleh
menasabkan anak yang terlahir [ kepada suami yang kedua ] dalam kondisi apapun,
baik terlahir saat kurang dari enam bulan setelah akad nikah, atau enam bulan dan
bahkan lebih dari itu.” [ 3 ]
Dalil
pendapat kelompok pertama ;
a.
Al-Qur’an
Allah Ta’ala berfirman ;
والذين يتوفون منكم ويذرون أزواجا يتربصن بأنفسهن أربعة أشهر وعشرا
[ Orang-orang yang
meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri, [ hendaklah para
isteri itu ] menangguhkan dirinya [ beriddah ] empat bulan sepuluh hari ] [
4 ]
b.
As-Sunnah
Hadist Hafshoh, bahwa
Nabi bersabda shallallahu alaihi wa sallam ;
لا
يحل لامرأة تؤمن بالله واليوم الآخر أن تحد على ميت فوق ثلاثة أيام إلا على زوج :أربعة أشهر وعشرا
[ Tidak halal bagi
seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung atas
mayit lebih dari tiga hari kecuali kepada suaminya sendiri, yaitu selama empat
bulan sepuluh hari ] [ 5 ]
Jadi, kelompok yang
pertama ini lebih merajihkan [ menguatkan ] dalil-dalil yang menyebutkan bahwa
wanita yang suaminya meninggal dunia, maka ia beriddah selama empat bulan
sepuluh hari, baik ia sedang dalam kondisi hamil ataupun tidak.
[
2 ] Sampai Melahirkan Kandungannya
Ini
adalah pendapat Jumhur [ mayoritas ] Ulama, yang mengatakan bahwa masa iddahnya
berakhir dengan melahirkan, baik lama atau sebentar. Bahkan seandainya ia
melahirkan satu jam setelah suaminya meninggal dunia, maka iddahnya telah
berakhir dan halal baginya untuk menikah. [ 6 ]
Ibnu
Qudamah menambahkan, “ Halal baginya [ si isteri ] untuk menikah, akan tetapi tidak boleh bagi suami [
yang baru ] untuk menggaulinya sampai ia suci dari nifasnya dan mandi.” [ 7
]
Adalah
tidak boleh bagi suami [ yang baru ] untuk menggaulinya sampai ia suci dan
mandi dari nifasnya berdasarkan firman Allah Ta’ala ;
ولا تقربوهن حتى يطهرن فإذا تطهرن فأتوهن من حيث أمركم الله
[ Dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah
suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu ] [
8 ]
Istidhlal
[ sisi pengambilan dalil ] dari ayat di atas ;
Ayat
di atas memang berkaitan dengan hukum wanita haidh, akan tetapi para ahli fiqih
mengatakan bahwa hukum wanita nifas sama halnya dengan wanita haidh dalam
perkara yang diharamkan atasnya dan ibadah yang gugur karenanya. Hal ini karena
darah nifas adalah darah haidh, hanya saja ia tertahan [ tidak keluar ] selama
masa kehamilan, karena ia berubah menjadi sumber makanan untuk janin yang
dikandungnya. [ 9 ]
Maka,
jika diharamkan mencampuri wanita haidh hingga ia suci dan mandi darinya,
demikian pula diharamkan bagi seorang suami untuk menggauli isterinya yang
sedang nifas sampai ia benar-benar suci dari darah nifas dan mandi darinya.
Dalil
pendapat kelompok kedua [ Jumhur ] ;
a.
Al-Qur’an
Keumuman firman Allah Ta’ala
;
وأولات الأحمال أجلهن أن يضعن حملهن
[ Dan perempuan-perempuan
yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya ] [ 10 ]
Ayat ini bersifat umum
bagi semua al-muthallaqat [ isteri yang dicerai ], termasuk di dalamnya isteri
yang dicerai karena suaminya meninggal dunia, sementara ia dalam kondisi hamil.
Kemudian ayat di atas
mengkhususkan keumuman firman Allah Ta’ala ;
والذين يتوفون منكم ويذرون أزواجا يتربصن بأنفسهن أربعة أشهر وعشرا
[ Orang-orang yang
meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri, [ hendaklah para
isteri itu ] menangguhkan dirinya [ beriddah ] empat bulan sepuluh hari ] [
11 ]
Dan dalam kaidah ushul
mengatakan, “ jika ada dua dalil, yang satu bersifat umum dan yang lain
bersifat khusus, maka makna umum dibawa ke dalam makna khusus.”
Ibnu Qudamah berkata, “
Saya tidak mengetahui adanya perselisihan akan bolehnya takhshishu al-umum [
pengkhusuan makna umum ] “ [ 12 ]
Walhasil, makna ayat yang
kedua dibawa ke dalam makna ayat yang pertama, sehingga masa iddah seorang
wanita yang dicerai Karena suaminya meninggal dunia dan ia dalam kondisi hamil
adalah sampai ia [ si isteri ] melahirkan kandungannya.
b.
As-Sunnah
Hadits al-Miswar bin
Makhramah menyebutkan bahwa ;
أن
سبيعة الأسلمية نفست بعد وفاة زوجها بليال، فجاءت النبي صلى الله عليه وسلم،
فاستأذنته أن تنكح فأذن لها
فنكحت
[ Adalah Subai’ah
al-Aslamiyyah bernifas setelah suaminya wafat beberapa malam, kemudian ia
mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan meminta izin untuk menikah. Maka
beliau mengizinkannya dan kemudian ia menikah ] [ 13 ]
Wajhu dilalah [ sisi pendalilan
] dari hadits di atas ;
Wanita hamil yang
ditinggal wafat suaminya, masa iddahnya berakhir [ dengan melahirkan ] meski
belum melebihi empat bulan sepuluh hari. Bahkan seandainya [ ia melahirkan ]
satu jam setelah wafatnya, halal baginya untuk menikah. Karena tujuan adanya
iddah bagi para wanita yang berhaidh adalah untuk mengetahui baroatu ar-rahm [
kosongnya rahim dari janin ].
Dan melahirkan kandungan
adalah dalil [ petunjuk ] yang lebih kuat akan kosongnya rahim dari janin
daripada berakhirnya iddah karena waktu. Sehingga berakhirnya iddah dengan [
melahirkan ] lebih utama daripada berakhirnya iddah karena telah lewatnya batas
waktu. [ 14 ]
Dan hadits Subai’ah datang belakangan setelah turunnya ayat iddah
wafat, karena kisah Subai’ah terjadi setelah haji wada’. [ 15 ] Sehingga
hadits tersebut menjadi pengkhusus bagi keumuman makna ayat tentang iddah
wafat. Dengan demikian, makna umum ayat tentang iddah wafat di bawa ke dalam
makna khusus dalam hadits Subai’ah, yang berarti bahwa makna khususlah yang
berlaku dan masa iddah bagi wanita itu adalah sampai ia melahirkan kandungan.
[
3 ] Waktu yang paling lama berakhir di antara dua masa iddah
Wanita
hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya, memiliki dua masa iddah bersamaan
berdasarkan nash al-Qur’an, yaitu masa iddah sampai ia melahirkan kandungannya
di satu sisi, karena ia dalam kondisi hamil. Dan di sisi lain ia harus beriddah
selama empat bulan sepuluh hari, dikarenakan suaminya yang meninggal.
Maka
bagaimana seorang wanita tersebut harus beriddah [ menunggu ] ?
Ali
bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, dan Ibnu Abi Laila berpendapat bahwa wanita dalam
kondisi hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya, ia beriddah dengan waktu
iddah yang paling lama berakhir di antara dua masa iddah, baik melahirkan
kandungan atau waktu empat bulan sepuluh hari. Mana waktu yang paling lama
berakhir di antara keduanya, maka ia beriddah dengan waktu tersebut. [ 16 ]
Dalil
pendapat kelompok ketiga ;
a.
Allah Ta’ala berfirman ;
والذين يتوفون منكم ويذرون أزواجا يتربصن بأنفسهن أربعة أشهر وعشرا
[ Orang-orang yang
meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri, [ hendaklah para
isteri itu ] menangguhkan dirinya [ beriddah ] empat bulan sepuluh hari ] [
17 ]
Di dalam ayat ini ada
makna umum di satu sisi, dan makna khusus di sisi lain. Makna umumnya karena
ayat itu mencakup wanita yang ditinggal wafat oleh suaminya, baik ia dalam
kondisi hamil atau haail [ tidak hamil ]. Sementara makna khususnya adalah
penyebutan batas waktu empat bulan sepuluh hari.
b.
Firman Allah Ta’ala ;
وأولات الأحمال أجلهن أن يضعن حملهن
[ Dan perempuan-perempuan
yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya ] [ 18 ]
Pula, di dalam ayat ini ada makna umum dan makna khusus, makna
umumnya karena ia mencakup wanita yang ditinggal wafat oleh suaminya dan
selainnya [ yang ditinggal karena diceraikan ]. Sedangkan makna khususnya
adalah penyebutan masa iddah sampai ia melahirkan kandungan.
Wajhu dilalah [ sisi pendalilan
] dari dua ayat di atas ;
Hukum masing-masing kedua
ayat di atas sangatlah shorih [ jelas ], sehingga menggabungkan hukum kedua
ayat tersebut dan mengamalkannya adalah lebih utama daripada mentarjih [ menguatkan
hukum salah satunya ], ini berdasarkan kesepakatan para pakar ushul.
Oleh karena itu, beriddah
dengan waktu yang paling lama berakhir [ di antara dua masa iddah ] telah
mengamalkan hukum kedua ayat di atas. Berbeda kalau hanya beriddah dengan melahirkan
kandungannya, maka ia telah meninggalkan pengamalan ayat lain tentang iddah
karena ditinggal wafat. Sehingga mengamalkan dua dalil di atas secara bersamaan
lebih utama daripada meninggalkan salah satunya. [ 19 ]
Contoh,
a. Fulanah sedang hamil besar, dan
umur kandungannya telah mencapai delapan bulan. Dan dengan izin Allah Ta’ala,
beberapa saat kemudian suaminya meninggal dunia.
Melihat kasus di atas, masa iddah wanita tersebut ada dua macam ;
- Karena ia hamil, maka masa
iddahnya sampai ia melahirkan. Dan masa iddahnya tersebut akan berakhir kurang
lebih satu bulan setelahnya. Karena umur kandungannya telah mencapai delapan
bulan, dan rata-rata umur kandungan adalah sembilan bulan.
- Karena suaminya meninggal dunia
, maka masa iddah baginya empat bulan sepuluh hari. Dan masa iddahnya itu akan
berakhir dengan habisnya masa tersebut.
Dengan kata lain, ia telah melahirkan sebelum empat bulan sepuluh
hari. Sehingga wanita tersebut harus beriddah [ menunggu ] selama empat bulan
sepuluh hari lagi, karena masa iddah dengannya lebih lama berakhir daripada
masa iddahnya dengan melahirkan kandungan yang hanya sebulan saja.
b. Fulanah sedang hamil dan umur
kandungannya baru menginjak satu bulan. Dan dengan izin Allah Ta’ala di bulan
yang sama suaminya meninggal dunia.
Melihat kasus di atas, wanita itu juga memiliki dua masa iddah ;
- Sampai ia melahirkan, karena ia
dalam kondisi hamil. Dan akan berakhir masa iddahnya setelah berlalu delapan
bulan lagi, karena umur kandungannya saat ini baru menginjak satu bulan.
- Karena suaminya meninggal dunia,
maka ia harus beriddah selama empat bulan sepuluh hari. Dan beriddah dengannya
akan berakhir dengan habisnya waktu tersebut.
Dengan kata lain, masa iddah empat bulan sepuluh hari telah
berakhir sebelum ia melahirkan kandungannya. Sehingga, wanita tersebut harus
beriddah [ menunggu ] selama delapan bulan lagi sampai ia melahirkan
kandungannya, karena masa iddah dengannya lebih lama berakhir daripada masa
iddah karena ditinggal wafat suaminya yang hanya empat bulan sepuluh hari.
Dari dua kasus di atas,
terkadang seorang wanita beriddah sampai ia melahirkan kandungannya, dan
terkadang beriddah dengan iddah wafat, yaitu empat bulan sepuluh hari.
Sehingga, waktu yang mana paling lama berakhir masa iddahnya di antara dua masa
iddah itu, maka ia beriddah dengannya. Dengan demikian ia telah mengamalkan
makna kedua ayat di atas.
Pendapat yang rajih [ kuat ]
Setelah melihat beberapa
dalil dari masing-masing pendapat di atas, maka pendapat yang rajih [ kuat ]
adalah pendapat kedua, yaitu pendapat jumhur ulama.
a. Kuatnya dalil-dalil yang
disertakan oleh Jumhur
b. Karena tujuan
adanya iddah bagi para wanita yang berhaidh adalah untuk mengetahui baroatu
ar-rahm [ kosongnya rahim dari janin ].
Dan melahirkan kandungan
adalah dalil [ petunjuk ] yang lebih kuat akan kosongnya rahim dari janin
daripada berakhirnya iddah karena waktu. Sehingga berakhirnya iddah dengan [
melahirkan ] lebih utama daripada berakhirnya iddah karena telah melewati batas
waktu.
Bantahan terhadap pendapat
pertama ;
a.
Pendapat pertama hanya menguatkan dalil yang mengatakan
ia harus beriddah dengan iddah wafat, yaitu empat bulan sepuluh hari, meski
wanita itu sedang hamil.
b.
Mereka telah mangabaikan dalil [ ayat lain ] yang
mengatakan bahwa wanita hamil masa iddahnya adalah sampai ia melahirkan
kandungannya. Padahal masing-masing dari kedua dalil tersebut sama-sama kuat
hukumnya.
c.
Mereka telah mengabaikan kaidah ushul saat adanya dua
dalil yang sama-sama kuat hukumnya. Yaitu al-jam’u [ mengkompromikan dan
mengabungkan dua dalil ], jika tidak mungkin melakukan al-jam’u baru beralih ke
tarjih [ menguatkan salah satu dari keduanya ]. Sementara mereka langsung merujuk
ke metode tarjih, padahal kedua dalil tersebut masih bisa digabungkan dan
dikompromikan.
d. Mereka tidak
melihat kepada tujuan adanya iddah bagi para wanita yang berhaidh, di mana
tujuannya adalah untuk mengetahui baroaturrahm [ kosongnya rahim dari janin ].
Dan melahirkan kandungan
adalah dalil [ petunjuk ] yang lebih kuat akan kosongnya rahim dari janin
daripada lewatnya waktu iddah wafat, yaitu empat bulan sepuluh hari. Sehingga
berakhirnya iddah dengan [ melahirkan ] lebih utama daripada berakhirnya iddah
karena telah melewati batas waktu tersebut.
Pula, tujuan adanya iddah adalah agar tidak terjadinya percampuran
air mani yang mengakibatkan sulitnya penetapan nasab terhadap anak yang lahir.
Dan dengan melahirkan kandungan, menunjukan rahim tersebut telah kosong dari
janin, sehingga percampuran nasab tidak mungkin
terjadi karenanya.
Bantahan terhadap pendapat
ketiga ;
a. Metode al-Jam’u [ pengkompromian
antara dua dalil ] yang mereka lakukan kuranglah tepat. Karena makna umum dan
khusus dari dua dalil di atas tidaklah mereka tinjau sama sekali. mereka hanya
berusaha mengkompromikan secara zahirnya saja.
Padahal kalau kita lihat, dalil yang mengatakan harus beriddah
sampai ia melahirkan kandungan adalah bersifat khusus. Sementara dalil yang
mengatakan ia harus beriddah dengan empat bulan sepuluh hari adalah bersifat
umum.
Dan untuk menggabungkan dua dalil tersebut yaitu dengan membawa
makna umum ke dalam makna khusus, yang berarti bahwa makna khusus itulah yang
berlaku. Inilah kaidah ushul yang telah disepakati oleh para pakar ushul.
b. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas
bahwa dirinya menarik kembali pendapatnya tersebut setelah mendengar hadits
Subai’ah. Dan hadits Subai’ah datang belakangan setelah turunnya ayat iddah
wafat, karena kisah Subai’ah terjadi setelah haji wada’. [ 20 ]
Sehingga hadits tersebut menjadi pengkhusus bagi keumuman makna
ayat tentang iddah wafat.
c. Ibnu Abdilbar berkata, “ kalau
bukan karena hadits Subai’ah, tentu pendapat yang benar adalah pendapat Ali dan
Ibnu Abbas, karena ia adalah iddah yang menggabungkan dua sifat, yaitu keduanya
tergabung pada wanita hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya, sementara ia
tidak dapat keluar dari iddahnya kecuali dengan yakin, dan masa iddah yang
paling yakin adalah waktu yang paling lama berakhir.” [ 21]
Wallohu a’lam bishowab
--------------------------------
[ 1 ] QS. Yunus ; 49
[ 2 ] Shahih Fiqhi
As-Sunnah, Abu Malik kamal Bin As-Sayyid Salim, Maktabah At-Taufiqiyyah, 3
/ 317.
[ 3 ] Al-Fiqh Ala
Al-Madzahib Al-Arba’ah, Abdurrohman bin Muhammad Iwadh Al-Jaziri, Dar
Al-Kutub Al-Ilmiah, 4 / 457-458
[ 4 ] QS. Al-Baqarah ;
234
[ 5 ] HR. Muslim ; 1490,
At-Tirmidzi ; 1195 ]
[ 6 ] Al-Masuu’ah
Al-Fiqhiyyah Al-Kuwatiyyah, Wizarotu Al-Auqof Wassu’un Al-Islamiyyah, 29 /
317.
[ 7 ] Al-Mughni,
Muawafaqqudin Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Maktabah Al-Qohiroh,
8 / 118
[ 8 ] QS. Al-Baqarah ;
222.
[ 9 ] Al-Masuu’ah
Al-Fiqhiyyah Al-Kuwatiyyah, Wizarotu Al-Auqof Wassu’un Al-Islamiyyah, 41 /
16.
[ 10 ] QS. Ath-Thalaq ; 4
[ 11 ] QS. Al-Baqarah ;
234
[ 12 ] Raudhotu
An-Nadzir Wa Junatu Al-Mandzir, Abdulkarim bin Ali bin Muhammad An-Namlah,
Maktabah Ar-Rusyd, hal 721.
[ 13 ] HR. Bukhari ;
5320, Muslim ; 1485.
[ 14 ] Al-Masuu’ah
Al-Fiqhiyyah Al-Kuwatiyyah, Wizarotu Al-Auqof Wassu’un Al-Islamiyyah, 29 /
317-318
[ 15 ] Tafsir al-Qurthubi, Muhammad bin
Ahmad bin Abi Bakar bin Farh Al-Anshori Syamsudin Al-Qurthubi, Dar Al-Kutub
Al-Mishriyyah, 3 / 175
[ 16 ] Al-Masuu’ah
Al-Fiqhiyyah Al-Kuwatiyyah,
Wizarotu Al-Auqof Wassu’un Al-Islamiyyah, 29 / 318
[ 17 ] QS. Al-Baqarah ;
234
[ 18 ] QS. Ath-Thalaq ; 4
[ 19 ] Al-Masuu’ah
Al-Fiqhiyyah Al-Kuwatiyyah,
Wizarotu Al-Auqof Wassu’un Al-Islamiyyah, 29 / 317-318
[ 20 ] Tafsir
al-Qurthubi, Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar bin Farh Al-Anshori Syamsudin
Al-Qurthubi, Dar Al-Kutub Al-Mishriyyah, 3 / 175
[ 21 ] Shahih
Fiqhi As-Sunnah, Abu
Malik kamal Bin As-Sayyid Salim, Maktabah At-Taufiqiyyah, 3 / 328
Tidak ada komentar:
Posting Komentar