Pernahkah kau
hendak shalat berjamaah, ternyata saat berjalan menuju masjid terlintas dalam
dirimu keraguan, apakah sudah berwudhu atau belum ?
Atau saat dalam
keadaan shalat, kau ragu berapa jumlah rekaat yang telah kau kerjakan, dua
rekaat atau tiga rekaat misalnya ?
Atau kau dalam
keadaan sedang berpuasa, kemudian kau berbuka di sore hari dalam keadaan
mendung dan tiada jam di rumahmu, namun kau ragu apakah waktu di saat kau dalam
berbuka sudah masuk waktunya atau belum ?
Dari beberapa kasus di atas apakah yang hendak
kita perbuat ? saya yakin kau pasti pernah mengalami keraguan seperti salah
satu dari kasus-kasus di atas atau kasus lain yang semisalnya.
Kalau saya
sendiri akui pernah mengalami kasus semacam itu, bahkan lebih dari satu. Pernah
suatu hari sebelum maghrib dan belum lama terasa dalam ingatanku, aku mandi
sore hari seperti biasanya, sesaat setelah adzan maghrib terkumandangkan, aku
pun bergegas menuju mushala terdekat dari tempat kos, ternyata saat berjalan di
gang menuju mushala, terlintas dan teringat olehku sebuah keraguan, apakah aku
sudah bersuci [ berwudhu ] atau belum ?
Dalam keraguan
semacam ini, aku pun memutuskan untuk berwudhu di mushala, karena dalam
benakku, aku lebih condong dan yakin bahwa aku belum berwudhu. Apakah yang
mendasari keputusanku untuk berwudhu ?
Dalam disiplin
ilmu qawaid fiqhiyah [ kaidah-kaidah limu fiqih ] terdapat beberapa kaidah
fiqih yang bisa memberikan jawaban akan kasus-kasus di atas. Di antaranya ialah
;
اليقين لا يزول بالشاك
[ Keyakinan itu tak
tergugurkan oleh keraguan ]
Maksudnya. “ Apabila sudah
tetap suatu perkara tertentu, baik berupa ketetapan yang pasti atau rajih [
kuat ], ada ataupun tidak adanya, kemudian setelah itu muncul keraguan akan
gugur atau hilangnya perkara yang sudah tetap tersebut. Maka, ketika itu
tidaklah perlu untuk menganggap keraguan itu. Bahkan perkara itu dihukumi
dengan ketetapannya yang sudah pasti sebagaimana sebelumnya “ [ Al-Mumti’ Fi
Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah, DR. Musallam bin Muhammad bin Majid Ad-Dusiri, Dar
Zidni, Cetakan pertama, 2007 M / 1428 H, Hal 116-117 ]
الأصل بقاء ما كان على
ما كان
[ Pada
asalnya, sesuatu itu tetap pada hukumnya sebagaimana ketetapan hukum sebelumnya
]
Maksudnya,
“ Bahwa suatu perkara, apabila sudah tetap dalam keadaan tertentu pada waktu
tertentu, maka pada waktu berikutnya, perkara itu dihukumi dengan keadaan
sebelumnya, sampai adanya perkara syar’i mu’tabar yang mengubahnya, maka
berlakulah konsekuensinya saat itu “ [ Ibid, hal 124 ]
Adapun
dalil-dalil yang menunjukan akan kaidah di atas adalah dalil naqli [ al-Qur’an,
sunnah dan ijma ] dan dalil aqli [ akal ].
Dalil
Naqli
1. Al-Qur’an
Di antara dalil al-Qur’an ialah
Firman Allah ;
وما
يتبع أكثرهم إلا ظنا إن الظن لا يغني من الحق شيئا
[ Dan kebanyakan mereka hanya mengikuti
dugaan. Sesungguhnya dugaan itu tidak sedikit pun berguna untuk melawan
kebenaran ] [ QS. Yunus ; 36 ]
Dan Firman Allah ;
وما لهم به من علم إن يتبعون إلا الظن وإن الظن لا يغني من الحق شيئا
[ Dan mereka tidak mempunyai ilmu
tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti dugaan, dan sesungguhnya
dugaan itu tidak berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran ] [ QS. An-Najm ; 28
]
Wajhu dilalah [ Sisi pengambilan
dalil ] dari ayat ;
Bahwa di antara penafsiran Dzan [
dugaan ] ialah suatu kondisi yang tidak adanya pengetahuan tentang hakikat
sesuatu, tidak pula tentang keabsahannya. Maka hal ini adalah sebuah kondisi
ragu-ragu. Dan ayat di atas menunjukan bahwa keadaan semacam itu tidaklah
berfaedah sedikit pun terhadap keyakinan, pula tidak bisa menduduki sedikit pun
akan penggantinya. Maka, hal ini menunjukan bahwa keraguan itu apabila bertemu
dengan keyakinan, keraguan itu tak mampu untuk melawannya. Bahkan, hukum itu
akan tetap berlaku untuk sesuatu yang sudah yakin. [ Ibid, 117 ]
2. As-Sunnah
Di antara dalil dari As-sunnah
ialah sabda Rasulullah - shallallahu alaihi wa sallam -;
إذا
شك أحدكم في صلاته، فلم يدر كم صلى ثلاثا أم أربعا، فليطرح الشك وليبن على ما
استيقن
[ Apabila salah seorang kalian
merasa ragu dalam shalatnya, berapa [ rekaat ] ia shalat, tiga atau empat ?
maka, buanglah keraguan itu, dan tetaplah pada apa yang diyakini ] [ HR. Muslim
; 571 ]
Beliau juga bersabda ;
إذا
وجد أحدكم في بطنه شيئا، فأشكل عليه أخرج منه شيء أم لا، فلا يخرجن من المسجد حتى
يسمع صوتا، أو يجد ريحا
[ Apabila salah seorang kalian
mendapati sesuatu di dalam perutnya dan membuatnya resah, apakah keluar sesuatu
darinya atau tidak ? maka, janganlah kalian keluar dari masjid hingga mendengar
suara atau mencium baunya ] [ HR. Muslim ; 362 ]
Wajhu dilalah dari hadits [ sisi
pengambilan dalil ] ;
Bahwa Nabi - shallallahu alaihi wa
sallam - memberikan petunjuk dalam kondisi ragu-ragu akan keberadaan hadats
dalam shalatnya setelah ia melakukan thaharah [ wudhu ] dengan penuh keyakinan,
bahwa agar seorang muslim untuk tetap dalam shalatnya, dan keraguan yang baru
muncul itu tidaklah berfaedah sama sekali. Maka, hal ini menunjukan bahwa
keyakinan itu tidaklah tergugurkan oleh keraguan. [ Ibid, 118-119 ]
3. Al-Ijma
Para ulama telah sepakat bahwa
dasar dalam beramal adalah dengan kaidah tersebut, meskipun mereka berbeda
pendapat dalam beberapa perinciannya. Al-Qurafi berkata, “ Kaidah ini telah
menjadi kesepakatan, bahwa setiap keragu-raguan dianggap seperti ma’dum [ tidak
ada ] yang dipastikan akan ketidakadaannya.” [ ibid, 119 ]
Dalil
Aqli
Adapun
dalil secara akal bahwa yakin itu lebih kuat dari pada keraguan sebagaimana hal
ini telah diketahui. Maka, tidak sah secara akal bahwa yakin yang kuat itu bisa
lenyap [ tergugurkan ] oleh keraguan yang bersifat lemah.
Kesimpulan
Berdasarkan
kaidah-kaidah di atas beserta dalil-dalil yang mendasari kaidah itu, maka
kesimpulan dari beberapa kasus di atas adalah sebagai berikut ;
1. Di saat terbesit keraguanmu, apakah sudah berwudhu
atau belum ?
Dalam kasus ini kau terhukumi
belum berwudhu, karena belum berwudhu adalah asalnya, dan itulah kondisi yang
lebih kuat dan meyakinkan, dan kaidah mengatakan, “ Pada asalnya, sesuatu itu
tetap pada hukumnya sebagaimana ketetapan hukum sebelumnya. “
2. Namun jika kau telah yakin telah berwudhu, kemudian
selang beberapa jam setelahnya terbesit olehmu keraguan apakah kau telah
berhadats atau belum ?
Dalam kasus ini kau terhukumi
tetap dalam berwudhu. Karena asalnya adalah kau berada dalam keadaan bersuci [
wudhu ], dan itulah yang yakin. Adapun keraguan akan hadats itu adalah sesuatu
yang baru. Maka, pada asalnya, sesuatu itu tetap pada hukumnya sebagaimana
ketetapan hukum sebelumnya.
3. Dan di saat dalam keadaan shalat, kau ragu berapa jumlah rekaat
yang telah kau kerjakan, dua rekaat atau tiga rekaat ?
Dalam kasus ini kau harus memilih
bilangan rekaat yang paling sedikit di antara dua bilangan yang kau ragukan.
Kalau dalam kasus tersebut, maka kau terhukumi baru shalat dua rekaat. Karena
jumlah yang lebih sedikit di antara dua bilangan adalah jumlah yang yakin.
Adapun jumlah yang melebihi dari bilangan yang yakin adalah sebuah keraguan,
dan hal itu teranggap tidak ada.
4. Dan di saat kau dalam keadaan sedang berpuasa, kemudian kau
berbuka di sore hari dalam keadaan mendung dan tiada jam di rumahmu, namun kau
ragu apakah waktu di saat kau dalam berbuka sudah masuk waktunya atau belum ?
Dalam kasus ini, maka puasamu
terhukumi batal dan tidak sah, karena kau teranggap telah berbuka sebelum masuk
waktunya. Karena waktu siang hari masih terhukumi ketetapannya dan belum
terakhiri. Dan ini adalah asalnya dan menjadi sesuatu yang yakin, sementara
pada asalnya sesuatu itu tetap pada hukumnya sebagaimana ketetapan hukum
sebelumnya. Dan Keyakinan
itu tak tergugurkan oleh keraguan. Adapun masuk waktunya berbuka atau belum
adalah sesuatu yang masih ragu-ragu dalam dirimu. Maka keraguan ini tidaklah
berpengaruh sama sekali terhadap sesuatu yang yakin, yaitu keberadaan siang
hari yang masih belum berakhir.
Wallohu
a’lam bishowab
---------------------------------
Untuk
mendapatkan pengetahuan lebih tentang masalah kaidah fiqih di atas, silahkan
lihat Al-Mumti’
Fi Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah, DR. Musallam bin Muhammad bin Majid Ad-Dusiri, Dar Zidni,
Cetakan pertama, 2007 M / 1428 H, Hal 113 - 127
Tidak ada komentar:
Posting Komentar