Bersama Bahagia Dalam Naungan Islam

Ainul Yaqin


Pernahkah kau melihat Monas [ Monumen Nasional ] di Ibu kota Jakarta secara langsung, menyaksikannya dengan mata kepala sendiri, menikmati pemandangan di sekelilingnya lewat puncaknya ?

Apa yang kau rasakan ? bukankah terasa beda adanya antara melihat secara langsung lewat mata kepala sendiri dengan melihatnya lewat rekaman video, meski video itu memberikan secara detail informasi dan menyorotnya setiap sudut ruang dari monas itu sendiri.

Atau sebuah kesaksianmu secara langsung akan sebuah kecelakaan tragis yang pernah terjadi di depan matamu. Maka kejadian itu sangat jauh beda terasanya jika dibandingkan penglihatanmu lewat sebuah rekaman CCTV atau sebuah video yang kau downloadnya dari situs youtobe. Meski secara jelas dan gamblang bahwa kejadian itu terekam dalam video itu.

Demikianlah perbedaan antara menyaksikan sesuatu secara langsung, melihat dan merasakannya sendiri dengan hanya menyaksikan sesuatu lewat sebuah instrument rekaman, atau hanya sekedar mendengar cerita dan penuturan dari orang yang langsung melihatnya sendiri, atau hanya membacanya dari sebuah tulisan yang mengkisahkan suatu kejadian tertentu.

Oleh karena itu, seorang penyair pun menyenandungkan sebuah syair yang mengilustrasikan perihal itu ;

ليس الخبر كالمعينة

[ Berita [ yang terdengar atau terbaca ] tiadalah sama seperti apa yang terlihatnya [ secara langsung ]

الشاهد يرى ما لا يرى الغائب

[ Orang yang menyaksikan [ secara langsung ] akan melihat sesuatu yang tiada pernah dilihatnya oleh orang yang ghaib [ tidak hadir ]

Jadi, melihat sesuatu secara langsung dengan ‘ainul yaqin [ kasat mata ] memiliki kedudukan dan nilai lebih tersendiri. Oleh karena itu, syariat pun menganggap dan memperhitungkannya sebagai sebuah kesaksian yang terkuat yang tidak bisa terwakili oleh yang lainnya, termasuk oleh rekaman dari sebuah instrument modern terjanggih apa pun.

Sebagai contohnya, dalam perihal menuduh seorang muslim atau muslimah lainnya telah berbuat zina, maka syariat mensyaratkan bahwa orang yang menuduhnya harus bisa menghadirkan empat orang saksi yang kesemuanya benar-benar melihatnya dengan ‘ainul yaqin [ kasat mata ] akan terjadinya perbuatan zina tersebut.

Jika ia tidak bisa untuk menghadirkan kesemua saksi tersebut, atau hanya satu atau dua saksi yang benar-benar melihatnya secara kasat mata, sementara yang lainnya tidak melihatnya dengan jelas, maka justru sebaliknya bahwa orang yang menuduh tersebut berhak untuk mendapatkan hukuman berupa cambukan sebanyak delapan puluh kali.

Allah berfirman perihal itu ;

والذين يرمون المحصنات ثم لم يأتوا بأربعة شهداء فاجلدوهم ثمانين جلدة ولا تقبلوا لهم شهادة أبدا وأولئك هم الفاسقون

[ Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik [ berzina ] dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik ] [ QS. An-Nur ; 4 ]

Dan para ulama mensyaratkan bahwa keempat saksi itu harus benar-benar melihat secara kasat mata terjadinya dukhul [ maaf, dukhul ialah masuknya dzakar ke dalam vagina seorang perempuan ]. Kalau kesaksian mereka hanya sekedar dugaan kuat karena melihat qarinah [ indikasi ] telah terjadinya perbuatan mesum yang tidak halal tersebut, namun tidak melihat terjadinya dukhul, maka kesaksian mereka tertolak secara syar’i dan mereka pun berhak mendapatkan hukuman dera delapan puluh kali karena telah melemparkan tuduhan tanpa mampu menghadirkan empat saksi yang kuat.

Demikian pula, dengan semakin berkembangnya kemajuan teknologi, bahwa rekaman video tidak bisa mewakili kesaksian ‘ainul yaqin [ kasat mata ] dan tidak bisa diterima kesaksiannya secara syar’i, meski secara teknologi keabsahan dan keorisinilan video tersebut bisa terbuktikan.

Syariat tetap saja tidak bisa menerimanya menjadi sebuah kesaksian yang menggantikan pandangan kasat mata, karena kecanggihan teknologi pula, bahwa rekaman itu bisa saja dimanipulasi, pula semakin banyaknya tersebar manusia-manusia fasik dan tidak menjaga amanahnya.

Dengan demikian betapa beratnya syarat-syarat untuk menjatuhkan hukuman rajam terhadap para pezina. 
Dan dalam sejarah islam sendiri, sedari zamannya Rasulullah – shallallahu alaihi wa sallam – hingga saat ini belum pernah dilakukannya hukuman rajam yang mana syarat-syaratnya telah terpenuhi secara sempurna. Yang banyak terjadi bahwa pelaksanaan hukuman rajam itu adalah karena adanya pengakuan dari si pelaku itu sendiri dan bukan karena terpenuhi syarat-syaratnya.

Dan dengan beratnya syarat-syarat tersebut dan pula ancaman bagi penuduh yang tidak bisa menghadirkan empat orang saksi, maka manusia akan lebih berhati-hati dalam menjatuhkan tuduhan zina kepada orang lain. Seandainya syarat-syarat dalam menjatuhkan hukuman rajam begitu ringannya, maka berapa banyak manusia yang terkena hukuman rajam dan akan betapa rusaknya tatanan masyarakat, karena masing-masing orang akan dengan gampangnya menjatuhkan tuduhan zina terhadap orang yang tidak disukainya.

Ini adalah merupakan salah satu rahmat Allah atas hamba-hamba-Nya yang tergelincir dalam perbuatan maksiat yang sangat keji tersebut, di mana Allah memberikan kesempatan agar mereka sadar dan bertaubat kepada Allah dari perbuatan dosa besar yang telah dilakukannya.

Demikianlah, salah satu kedudukan ‘ainul yaqin [ pandangan kasat mata ] yang sangat diperhitungkan dalam syariat islam. Dimana ia tidak bisa tergantikan dengan sesuatu apa pun dalam perihal kesaksiannya dalam masalah-masalah syariat.

Maka benar sekali adanya tentang ilustrasi syair ;

ليس الخبر كالمعينة

[ Berita [ yang terdengar atau terbaca ] tiadalah sama seperti apa yang terlihatnya [ secara langsung ]

Oleh karena itu, jagalah pandangan matamu dari perkara-perkara yang diharamkan wahai saudaraku dan pula diriku yang telah Allah amanahkan kepada kita kesehatan pengglihatan mata, karena semua itu akan dipertanggungjawabkan dan akan tersaksikan kelak di hari pembalasan.

Allah berfirman ;

إن السمع والبصر والفؤاد كل أولئك كان عنه مسؤلا

[ Karena pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya ] [ QS. Al-Isra’ ; 36 ]


Wallohu a’lam bishowab

--------------------------------

Tulisan ini terinspirasi dari muhadharah Ustadz. Muhammadun. MA di saat beliau menyampaikan mata kuliah fiqih tentang bab Jarimah [ kriminalitas ]. Beliau adalah Dosen mata kuliah fiqih fakultas syariah di LIPIA Jakarta.

Share:

Tidak ada komentar:

PALING BANYAK DIBACA

ARSIP

Followers

Arsip Blog