-
RAHASIA DI AKHIR TASYAHUD
Sukses, ternyata tidak lepas dari kecerdikan dalam memilah dan memanfaatkan kesempatan, apapun bentuk kesuksesan itu. Sehingga memerankan strategi yang baik sangatlah penting dalam kehidupan seorang muslim.
-
SAATNYA AKU TIADA LAGI BERMIMPI
Hunian super mewah di dunia belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan hunian yang Allah sediakan di surga. Untuk memilikinya pun bukanlah mimpi, bahkan seorang mukmin yang paling miskin pun bisa meraihnya, dan hal itu bukanlah perkara yang mustahil.
-
HAK-HAK ANAK TERHADAP ORANG TUA
Hak-hak anak bagi orang tua ibarat biji-bijian yang hendak ditanamnya. Apabila biji-bijian ini ketika sebelum maupun setelah ditanamnya diperhatikan dan dirawat dengan baik, niscaya ia akan menjadi tanaman yang subur dan menghasilkan buah yang baik lagi banyak.
-
DOSA-DOSA PACARAN
Cukuplah bagi kita, khususnya orang tua atau mereka yang di bawah tangannya tergenggam amanah akan pendidikan maupun perkembangan anak-anaknya, bahwa fakta maupun realita yang kerap terdengar dan menjadi santapan sehari-hari kita menunjukkan akan buruknya akibat dari sebuah pacaran.
KALA ASATIDZAH BEDA PENDAPATAN
TIARA [ Hati dalam Rasa ]
Pula dengan mudahnya hati berbunga-bunga bagai taman yang penuh keriangan. Kedua kaki pun tak hentinya menyusuri setiap tapak yang menyelinap di antara tetamanan. Dan seterusnya ....
Bunga, tidak semua bunga atau kembang itu beraroma wangi, meski warnanya begitu indah menarik. Pula tidak semua aroma wangi tertebar dari putik kembang yang berwarna warni.
OTAK-OTAK atau OTAK ATIK
Bagaimana semua itu mempersaksikan tanpa lisan terpunyakan ? Dengan apa perbuatan diomongkan tanpa suara terdengarkan ?
Katanya pengagung akal, pendewa akal, kenapa akal tak terkuraskan sepenuhnya untuk berakal, seharusnya keterbiasaan mengotak atik akalnya akan semakin tahu jawabannya, bukan malah akalnya menjadi otak otak ikan. Tambah matang dan enak dimakan jadinya.
Keangkeran Belantara Bima [ 7 ] : Suara Mistik Misterius
Keangkeran Belantara Bima [ 6 ] : Gua Si Mama Tua
mati, kan cerita itu sudah lama,hampir sepuluh tahun masanya. "
Perasaan Imam masih kalut, bimbang bercampur takut. Seusai mencuci kedua kaki dari wudlunya, ia menoleh ke belakang dan menatap ke arah Agus yang dari awal hanya terduduk diam di atas batu yang ada di bantaran kali.
Sorot cahaya senter menembus rintikan lembut gerimis malam. Sembari mententeng senternya, Agus kemudian beranjak dari duduknya dan menghampiri Imam yang terlihat menggigil ringan.
Keangkeran Belantara Bima [ 5 ] : Perpisahan Dengan Pak Tua
Pak tua menghela nafas panjang, ia melihat roman muka Agus yang masih terlihat begitu penasaran akan kelanjutan ceritanya, " memang, setelah kejadian itu yang hampir sepuluh tahun tradisi warga pinggir belantara mulai terkikis, mereka sudah tidak memberi sesaji lagi setiap jum'at kliwonnya, banyak diantara mereka sudah tidak percaya lagi akan takhayul yang selama ini diyakininya, tapi sebagian lainnya masih kental dengan ritual semacam itu "
Cerita Pak Tua [ 4 ]
Tapi, suasana kali jauh lebih terang terakibat tak adanya dedaunan rindang menutupinya. Pandangan pun bisa terhanyut lepas ke arah tumpukan bebatuan yang berserakan tapi terkesan artistik, atau semak-semak yang menyusur di sepanjang bantaran kali, atau pepohonan di atas bukit yang menyiman ribuan misteri. Semua terdiam membisu, atau terenyuh melihat tarian air kali dan gerimis yang menepuk-nepuk bebatuan kali.
Saat Imam baru saja berkenalan dengan air kali, dan hendak mengambil air wudlu, tiba-tiba ingatannya terbesit pada cerita pak tua itu. Saat bertemu rombongan kemah, pak tua yang sedang mencari pakan kambing di sekitar semak-semak pinggir jalan setapak pernah bercerita kepada dirinya.
" Maaf, nak. Rame-rame emang pada mau ke mana ? " tanya pak tua kepada Imam yang berjalan paling belakang bersama Agus di antara rombongan teman-temannya.
" Pada mau kemah pak, tapi masih mencari tempat yang bagus dan tidak jauh dari kali " jawab Imam.
" Kamu ke arah utara saja, di sana ada kali berbatu yang airnya lumayan deras, tapi tempat itu sudah masuk wilayah Brebes " tegas pak tua sembari mengumpulkan rumput-rumputnya ke keranjang.
" Tempatnya mudah di jangkau gak pak ? " tanya Imam yang kedua kalinya.
" Ya lumayan, ada jalan setapak kok yang mengarah ke situ, hanya saja semak-semak besar akan sedikit menghambat perjalananmu, karena setahu saya jalan setapak itu sudah usang dan jarang dilewati " jawab pak tua.
" Lo emang dulunya belantara ini sering di kunjungi masyarakat sekitar belantara ya pak ! " tanya Imam yang semakin penasaran.
" Iya, dulu banyak warga yang pergi ke daerah situ, awalnya mereka hanya mencari kayu bakar atau rumput untuk pakan kambing atau sapi, tapi saat ada salah satu warga yang hilang dan sampai sekarang belum ditemukan jejaknya, padahal sudah hampir sepuluh tahunan, warga pinggir belantara mengkramatkan beberapa tempat di kali itu, usut punya usut katanya yang hilang seorang perempuan tua " kata pak tua sedikit bercerita.
" Wah, kedengarannya angker juga kali itu, terus apa setelahnya yang terjadi pak ? " sela Agus yang mulai merinding menyimpak cerita pak tua.
" Semenjak si perempuan tua diketahui menghilang, warga pun berbodong-bondong mencarinya, siapa tahu ia masih hidup, dan kalau ia sudah mati paling tidak tertemukan jasadnya. Warga memang langsung menyusuri kali dan semak-semak di sepanjang bantaran kali, karena sebelum si perempuan tua itu pergi, ia berpamitan kepada anaknya akan mencari rempah-rempah di sekitar kali untuk membuat jamu. Itu kata anaknya saat melapor ke pak Kadus perihal ibunya yang sudah sehari semalam belum pulang. Hampir tiga harian usaha warga nihil. Mereka justru menemukan gua kecil yang kental dan beraroma mistik di seberang kali. Gua itu dipenuhi semak-semak di sekelilingya, di atasnya tertumbuh pohon raksasa yang mirip pohon beringin, hawanya terasa dingin sekali, sementara mata gua terlihat hitam menatap tajam meski dilihatnya dari kejauhan. " tegas pak tua melanjutkan ceritanya.
" wah, serem banget pak ! Emang sebelumnya gak ada yang pergi ke daerah gua itu pak ? " tanya Imam yang juga tambah penasaran.
" Banyak kok warga yang pergi ke bantaran kali, termasuk daerah sekitar gua, hanya saja gua itu baru terlihat dan dirasa oleh warga semenjak kejadian hilangnya si perempuan tua itu, menurut mereka itu sangat aneh dan mengagetkan, sepengetahuan mereka pohon besar yang mirip beringin itu sering dilewatinya, tapi baru kali itu mereka melihat guanya. Dan semenjak itulah pohon itu dikeramatkan warga pinggir belantara. Tak luput mereka membuat sesajian setiap jumat kliwonnya. Mereka menaruh harapan agar si penunggu pohon tak lagi murka. Sejak itulah warga menyebut pohon besar itu sebagai pohon keramat si mama tua. " jawab pak tua yang masih sibuk mengumpulkan rumput-rumputnya ke keranjang.
" Terus, kok sekarang jalan setapak itu jarang dilewati dan semakin tertutupi semak-semak, emang sudah gak ada warga yang memberi sesaji ke mama tua ? " tanya Agus yang sedikit berlaga kritikus.
Tangan pak tua mengusap dahinya yang dipenuhi cucuran air keringat. Ia begitu terlihat lelah dan haus. Botol jerigen kecil berisi air minum di samping keranjang diambilnya. Pak tua belum juga menjawb, iya masih menenggak beberapa air dari jerigen yang berwarna putih lusuh, saking lamanya dipakai.
Di Bantaran Kali [ 3 ]
Ternyata jalan setapak itu semakin membias, ilalang dan semak-semak lain terlihat menyelimuti jalan di depannya, Imam berfikir, " mungkin jalan ini buntu! ". Agus pun berfirasat sama.
" Gus, gimana nih, kayaknya jalannya buntu ? " tanya Imam kepada Agus.
" iya nih, padahal kali sudah dekat rasanya, kamu denger kan suara air kali itu ? " jawab Agus.
" iya, dari suaranya kali itu pasti di balik semak-semak yang menutupi jalan, dah kita terobos aja semak itu daripada harus muter cari jalan lain " tegas Imam.
Keduanya memberanikan diri hendak menerobos semak-semak raksasa yang menggunung di hadapannya. Baru saja melangkah sekali, " sreeet bluug ". Imam terpeleset dan jatuh meluncur ke arah semak raksasa.
" kwk kwk kwk " suara tawa Agus yang lepas saat melihat Imam berakrobat di depannya.
Sesaat rasa takut mereka terbang melayang, yang terasa hanyalah kelucuan dan tawa yang tak tertahankan. Imam pun beranjak berdiri di bawah sorotan cahaya senter yang terarah dari tangan Agus. Keduanya memutuskan tetap menerobos semak raksasa yang sudah di depan matanya.
" srak srak srak " kedua tangan Imam membelah semak-semak yang hampir menutupi tubuh mereka berdua. Sementara Agus hanya menekan tombol senter dan mengarahkan cahaya ke depan semak yang hendak di belahnya.
Agus mengelus dada, " alhamdulillah, sampai juga kita mam " kata Agus saat melihat air mengalir deras di antara bebatuan gunung yang besar-besar. Imam dan Agus terhenti langkahnya di pinggir semak bantaran kali, mereka harus berjuang lagi turun ke kali karena bantaran kali yang terjal. Beruntung tidak terlalu tinggi, sekitar satu meter memaksa keduanya untuk melompat terjun ke pinggir kali. Terjun bebas !
Perasan keduanya tidak setakut saat baru keluar dari area perkemahan, mereka sedikit terbiasa dengan suasana gulita yang menjadi pemandangannya.
Air kali mengalir derasnya, gemricik air menghantam bebatuan menjadi musik yang menghibur hati, air pun terlihat melompat-lompat menerjang batu besar maupun kecil, cahaya senter yang memantul dari air kali menambah indah suasana. Keduanya terlihat ceria, tapi saat hendak mengambil air wudlu, Imam teringat cerita pak tua yang ditemui di jalan saat dirinya dan teman-temannya lagi menyusuri semak-semak mencari lokasi perkemahan.
Aura Mistik [ 2 ]
Perbedaan sifat itu sangat kental terlihat saat kegempitan malam menyambangi ia dalam ketersendirian atau kala bencana menyatroni keluarga mereka dalam keheningan.
Suasana mistik yang mulai tercium, di manfaatkan Nawawi untuk mengajak semua temannya sholat maghrib. " ayo kita sholat maghrib dulu berjamaah " tegas Nawawi mengajak temannya yang tenggelam dalam obrolan untuk mengusir rasa takutnya.
Sontak mereka mengiyakan ajakan Nawawi. " tapi aku belum wudlu ! " sela agus. " aku juga " kata Imam yang duduk di samping lilin. " dah wudlu dulu ke sungai, bawa senter tuh, gak usah takut, kita tunggu " tegas Nawawi menyemangati mereka yang belum wudlu.
Hati Agus sedikit berani, tapi Imam tak berani beranjak dari tempatnya. Sungai kecil itu memang lumayan jauh, sekitar 200 meter dari tenda perkemahan. Jalan ke kali hanyalah jalan setapak yang tertutupi semak-semak ilalang bercampur rerumputan besar yang rindang. Jarak ke kali terasa semakin jauh malam itu. Hal itu sangat terasa dalam hati Imam yang detak jantungnya semakin cepat, bulu kuduk merangkak, ditambah jalan yang menurun lagi berkelok, suasana semakin seram saat rintik-rintik kecil hujan menambah dingin gelapnya malam.
Tangan Imam gemetar seraya mengarahkan cahaya senter menerangi jalan dan semak-semak di kanan kirinya, sementara Agus tidak terlalu takut seperti perasaan Imam, sebenarnya dirinya punya rasa takut, hanya saja kalau ia berjalan dan ada yang menemaninya, ia terasa lebih tegar, justru ia sering menakut-nakuti temannya, entah dengan bercerita hal yang berbau mistis, atau membuat kaget yang lainnya dengan suara-suara yang aneh lagi ngeri.
Imam tak sedikit pun berani menoleh ke belakangnya, terlebih di saat gerimis seperti itu. Menurut sesepuh di kampungnya, kalau menoleh ke belakang di saat gerimis, maka kuntilanak akan menampakkan wujudnya, atau pocong akan terlihat terus menguntit di belakangnya.
Imam tak menoleh ke belakang sesaat pun, matanya hanya terfokus pada cahaya senter yang tersebar di depannya. Malam itu terasa sangat dingin, bukan hanya hawa dingin yang menusuk kulit, tapi dingin belantara pun sangat terbaca, tak ada angin, semak-semak membisu, pepohonan sudah ternyeyak tidur, tak ada lambaian dedaunan atau nyanyian gesekan ranting di pepohonan, semua tertunduk diam, semua membisu, yang bernyanyi hanya para jangkrik kecil yang bersembunyi di balik semak-semak, juga suara serangga lain yang memekikan telinga.
Tapi, tak satu pun suara itu yang bisa menghibur, justru gelapnya malam semakin menjadi-jadi dengan aura mistiknya yang tak kunjung pergi. Suara itu malah menambah tegang bulu kuduknya. Rasa gemetar pun bertambah kalut.
" sraak, sraak, geeer " semak yang tersorot jauh cahaya lampu tiba-tiba bergerak dan bergoyang-goyang. Serentak jantung Imam terhentak keras, langkahnya terhenti, dan bulu-bulu kuduk langsung tergugah tegak.
Disorot tajamnya semak itu dari kejauhan, mata melotot tajam, kedua tangan tak diam tergetar, demikian juga yang di rasakan Agus. Beberapa saat keduanya terdiam mencari-cari apa gerangan yang terjadi.
" sraak sraak " ternyata dua tikus belantara sedang asyik berlomba lari di antara semak-semak belantara. Sontak hati Imam dan Agus tertenangkan, bulu kuduk mulai terlemaskan, dan detak jantung berangsur stabil dan normal. Keduanya terus melanjutkan langkahnya menyusuri jalan setapak yang terhimpit oleh semak-semak. Tak lama kemudian suara gemricik air kali mengalir mulai terdengar. Keduanya merasa lega, otot-otot yang tertegangkan sebelumnya mulai terkendorkan, gemetar tangan pun sudah tak terasa, sekarang keduanya lebih terhibur dengan suara gemricik air kali yang sangat natural.
BONEK Pasca Ujian Nasional [ 1 ]
Tapi jawaban pihak sekolah nihil alias tidak mengizinkan anak didiknya pergi berkemah ke Belantara Bima. Kepala sekolah tidak mau bertanggung jawab jika terjadi hal-hal yang tak diinginkan, hal itu tersebab tak ada guru yang bersedia mendampingi kegiatan kemah tersebut.
Meski Repala tak mendapat rekomendasi pihak sekolah, saya dan teman-teman dengan semangat BONEK [ bondo nekad ] tetap memutuskan pergi berkemah.
Yang paling mengganggu adalah serangan nyamuk belantara yang jauh lebih besar dari nyampuk kamar rumah. Nyamuk-nyamuk itu terus membuntuti dan menusuk kulit Kami beberapa kali.
Belantara yang terus beranjak petang masih kami susuri, hawa dingin mulai terasa menggigit sekujur tubuh, jarak pandang pun mulai terbatas akibat kabut yang bertambah pekat, tapi semua itu tak mengurang semangat kami untuk terus mencari tempat yang terbaik di belantara Bima.
Sebelum gelap maghrib merengkuh belantara, dua tenda telah berhasil terhamparkan, beberapa peralatan lain pula siap digunakan, lampu petromak, tempat masak, kayu bakar dan sejenisnya.
Gulita malam pun terus meraba pepohonan belantara, sunyi sayup menambah ngeri suasana, yang terdengar hanya ringkihan serangga kecil atau jeritan katak menyahut panggilan kawannya, tak ada lampu yang nyala, karena petromak rusak terguyur derasnya hujan, kami hanya tertemani senter mungil dan beberapa lilin.
Malam semakin mencekam, tak ada manusia di tengah belantara melainkan 15 orang yang terbagi dalam dua tenda. Seandai serangan binatang buas tiba-tiba menyergap tidur kami, pasti kami akan terkoyak dan tak ada satu pun yang mendengar teriakan kami, terlebih menolongnya. Seandi Kami terbebas bisa lari, siapa menjamin selamat akan menyapa sampai pagi.
Belantara bima tetap terkenang. Siapa pun berani masuk belantara, apapun ia namanya, berarti ia bermain dengan kengerian. Belantara identik dengan kengerian. Tapi belantara bukan hanya ditengah rimbanya hutan. Kini belantara yang satu ini menyeruak lebat di antara tubuh kalian. Belantara ini lebih ngeri dan mencekam. Siapa yang ceroboh dan tak berhati-hati menyusuri semak-semak dan gelapnya di antara pepohonan. Ia akan terperosok jurang dan nyawapun bisa melayang.
Lisanmu belantaramu, janganlah kau bermain-main dengannya, berhati-hatilah saat kau susuri gelapnya belantara lisan. Karena berapa banyak kawan berubah menjadi lawan karena lisannya, berapa banyak lawan menjadi kawan karena lisannya.
Dan berapa banyak hati tersakiti dan lama terobati karena buruknya lisan. Betapa banyak hati tergoda dan tertipu karena gemulai dan lincahnya lisan.
Belantaramu ada di lisanmu, lisanmu menjadi belantaramu. Kengerian meliputi belantara, kengerian mengiringi lisan. Kegelapan pasti ada di belantara, kedustaan pasti ada di lisan. Kehati-hatian di belantara adalah pembelajaran bagi kehati-hatian di lisan.
Sawang Sinawang
Orang miskin berkhayal, " betapa enaknya jadi orang kaya, tidur di atas kasur empuk, makan dengan beragam menu, sakit tinggal pergi ke dokter, pikiran tenang karena istana tak terbocorkan, pergi tinggal naik kendaraan...." dan seterusnya.
Penonton bola berkoment, " ia harusnya oper bola ke kanan, andik kan berdiri bebas, bukan malah maksa diri shooting bola ke gawang ! " dan seterusnya.
NISRINA [ Manisnya roman wanita ]
Seperti saat kau katakan, wah manis banget gadis itu, yakni ia adalah wanita yang cantik lagi enak dipandang mata.
Dan tidak semua wanita manis meski ia berwajah cantik. Cantiknya seorang wanita tidaklah menjamin ia manis yang sedap dipandang mata. Janganlah yang memiliki cantik parasnya merasa lebih dari mereka yang biasa-biasa saja paras wajahnya. Bukankah cantikmu akan tampak karena adanya golongan wanita yang terlihat biasa saja. Bukankah cantikmu terasa kala kau melihat paras mereka yang standar saja.
Mulutmu Harimaumu
Setelah selesai berwudlu, Imam menatap tajam dan mencari-cari keberadaan gua si mama tua yang pernah di ceritakan oleh pak tua. Ia memandangnya ke semak-semak rindang yang ada di bawah pohon besar itu. Tapi, ia belum juga menemukan sesuatu yang mirip seperti gua ]
Saat Umur Tersiakan
Kali Pesanggrahan meluap, warga jakarta terbanjiri, salah siapa ?
Keberkahan Ilmu Yang Terkikis
Dan inilah manfaat agama ini sebagai agama nasihat. Mengingatkan yang lalai, meluruskan yang tersimpang, menyemangati yang lemah, mengajak kembali yang berlebih, dan menghibur yang galau.
Hargailah Buku-Bukumu
Bara Sebuah Dosa Kala gundah gelisah yang tiada henti
10 Alasan Enggan Menulis
Sebenarnya Allah sangatlah bermurah terhadap hamba-hamba-Nya, betapa tidak, beragam instrumen telah terberikan saat kita terlahirkan ke dunia sebagai bekalnya, pendengaran, penglihatan, perasaan, hati, pikiran, dan seterusnya. Semua itu termaksud agar mereka mengetahui keagungan Rabbnya dan bersyukur dengannya.
Tapi, masih banyak juga yang enggan menulis, menulis yang positif yang tertebar darinya beragam kemanfaatan bagi yang lain, apa saja yang melatarbelakangi mereka enggan menulis,berikut beberapa alasan keengganan dan kemalasan untuk menulis:
[ 1 ] Menulis adalah rutinitas yang membosankan
Tidak sedikit orang beranggapan bahwa menulis adalah hal yang membosankan, membuat bete dan jenuh suasana. Betapa tidak, karena menulis itu butuh waktu, konsentrasi, menyendiri, duduk bermenit-menit bahkan berjam-jam di depan layar komputer, notebook, tablet, hp, atau hanya untuk menggoyang-goyangkan pena dan berselancar di atas kertas, terlebih jika tema yang hendak ditulisnya masih ngambang, tambah lama dan bete lagi.
Karena saat itu, ia harus kerja ekstra mencari referensi teoritis atau faktual, bertanya atau membaca, browser di internet atau kitab-kitab klasik, atau yang lainnya. Ini sangatlah membosankan, jenuh, bete, apalagi waktunya akan habis hanya demi mengurusi satu tema yang masih remang-remang.
Itulah anggapan mereka, bebas saja kok beropini dan basa basi, tapi saya katakan bahwa mereka yang berkata semacam itu hanyalah orang-orang lembek, bermental krupuk [ yang disiram air langsung mlempem ], bukan pekerja keras, suka yang instan [ termasuk mie instant ], tak bermental juara, lebih memilih jadi objek daripada subjek, suka lepas tanggung jawab, dan seterusnya.
Justru di saat dirinya tertuntut mencari referensi dan bahan-bahan untuk menopang tema-nya, di kala itu pula kamu sedang bekerja keras untuk belajar, mengembangkan diri dan kemampuan, mengolahragakan otak agar tak terpikunkan kelak, melatih kedisiplinan pribadi dan manajemen waktu, semakin produktif karena banyak yang terpikirkan dan harus terrampungkan, dan banyak lagi kemanfaatan yang terpetik saat kau terus tersibukan dengan ilmu dan hal-hal yang berfaidah lainnya.
[ 2 ] Moodku mandeg saat memulai menulis.
Juga, banyak yang beralasan demikian, lagi enak-enaknya menulis, menuangkan apa yang terpikirkan, tiba-tiba moodnya mandeng di tengah jalan, tema-nya buntu, otak pun tak kunjung mampu mengais-ngais isi tema yang tersisa atau bahasa yang akan terangkainya. Akhirnya ia pun mandeg [ berhenti ] pula dari menulisnya, pena di lemparnya, kertas tergulung-gulung lusuh, tinta pun menjerit terpenjarakan lagi.
Setelah itu, ia lari mencari hiburan, nonton tv kek, goyonan lawakan kek, dengerin musik kek, ngegame kek, pokoknya yang bisa membenamkan stres atau betenya. Tujuannya tema terlupakan, putus cintalah dengannya, dan memilih hidup tanpa terbebankan, tanpa terkesalkan, tanpa terpusingkan, dan tanpa ter .... lainnya.
Lagi-lagi, hal di atas adalah cermin orang yang lemah, lemah cita-citanya, lemah himah [ keinginan dan semangat ] nya, lemah daya juangnya, dan lemah segalanya.
Benar, saat kita menulis kalanya mood lancar dan kalanya mengangguk-angguk bak kehabisan bensin, bahkan mandeng pet alias mogok tak mau jalan sama sekali. Kita maklumi, dan saya akui sendiri sering dan sering terhinggapi olehnya, tapi itulah seni dalam menulis, hampa rasanya menulis tanpa terlewati olehnya, sepi rasanya menulis lurus-lurus saja, dan justru hal itu seharusnya membuat kita lebih bersemangat, tidak ngantuk, lebih agresif layaknya kita naik bus melewati lintasan pegunungan yang berkelok-kelok sembari termanjakan hijaunya pemandangan, kalau meluncur di jalan bebas hambatan [ tol cipularang misalnya ] dipastikan ngantuk dan terpulas tidur.
Begitulah seni dan uniknya dunia menulis, semakin sering menulis semakin tipis mendung mood yang meliputi otakmu,alah bisa karena biasa kata pepatah.Penasaran! Silakan coba sembari ngeteh dan mendoan angetnya.
[ 3 ] Merasa tak memiliki bakat
Bakat [ sifat dasar, kepandaian, dan pembawaan yang dibawa dari lahir ] seseorang dengan yang lainnya tiadalah sama, dan begitulah dinamika hidup manusia, begitu juga dengan binatang. Kita memaklumi seorang berkata, saya gak berbakat menulis, bakatku bervokal. Saya gak bakat ini, tapi itu.
Dengan alasan inilah ia enggan menulis, menjauh dari dunia tulis menulis, dan bercukup diri dengan perasaan yang terada, karena dipandangnya sesuatu yang terkerjakan tanpa bakat terasa susah lagi berat, meski hal itu kecil.
Perasaan atau anggapan itu sangatlah berimbas pada himah [ keinginan dan semangat ] seseorang, banyak yang terjebak dan terperosok akibat lubang di jalanan saat malam, padahal cahaya lampu di sekeliling begitu terang menyinari, itu tersebab negative thinking yang telah mengelabuhi pikiran, atau tak terbiasa jalan itu terlalui olehnya, dan ia pun tak tahu mana yang berlubang dan yang tidak.
Menulis pun demikian, siapa yang sering berselancar di dalamnya, ia akan tahu beragam gelombang, semakin sering semakin mulus meluncur dan asyik menyenangkan. Bakat menulis ibarat bumbu masak, sekedar menambah lezat makanan, tapi ingat bahwa bumbu-bumbu itu bisa kita pelajari dan terpraktekkan, memasak lezat pun bisa kita racik dari tangan kita sendiri.
Kita boleh bergumam, aku tak berbakat menulis, lantas menjauh dari aktivitas menulis, dan mandeng terhenti tanpa mau mencoba, tapi ingat bahwa sesuatu bisa kita pelajari dan dikembangkan, termasuk menulis, meski awalnya susah dan hasilnya terasa hambar, itulah namanya belajar.
Banyak yang berfikir menulis itu pekerjaan sepi, karena ia harus penuh konsentrasi, duduk menyendiri, berfikir, dan mengembangkan topik tulisan. Intinya menyita waktu, konsentrasi dan menguras kerja otak. Sedangkan kebanyakan orang tidak suka demikian. Ditambah bahwa menulis tak bisa diandalkan untuk membiayai hidup dan keluarga, kasarnya tak bisa menjadi adalan meraup uang. Hanya mereka yang sangat berbakat dan terbiasa dengan dunia menulis yang membuat tulisannya laku terjual dan menghasilkan uang.
Ini adalah persepsi yang keliru. Temanku satu kampus, hasan al jaizy pernah berargumen super sekali, kurang lebihnya ia berkata, membaca dan menulis bukanlah tujuan akhir, siapa yang menjadikan membaca adalah tujuan akhir, maka orang gila yang duduk di pinggir jalan sembari membaca koran, ia dikatakan telah membaca, entah paham atau tidak, dan siapa yang menjadikan menulis adalah tujuan akhir, maka saat kamu menulis dengan bahasa yang tak kamu pahami, kamu dikatakan telah menulis, membaca adalah alat untuk mengumpulkan maklumat [ ilmu. informasi dan pengetahuan ], sedangkan menulis adalah cara untuk menebarkan maklumat yang terpunya.
Oleh karena itu, menulis dengan niatan utama meraup uang darinya adalah keliru, menulis sebagai lahan bisnis tidaklah terpuji, karena orientasi ini akan membenai dirinya, akan mengurangi keikhlasan, dan akan melemahkan himah kala karya tulisnya tak laku terjual di pasaran.
lihatlah riwayat hidup para ulama terdahulu, berpuluhan ribu lembar telah ditulisnya, beratus-ratus jilid telah tertebalkan oleh ilmu yang ditulisnya, tapi mereka tak pernah berniatan menjual dan menjajakan kitab-kitab hasil karya tulisnya. Mereka hanya bermaksud menebarkan ilmu dan maklumat apa yang terpunya. Dengan keikhlasan itulah seluruh umat bisa merasakan keberkahan ilmu mereka dari kitab-kitab yang ditulisnya. Mereka telah lama mati, tapi ilmu dan pemikiran mereka akan terus hidup bergenerasi masanya.
Jadikanlah menulis untuk menebar ilmu dan kebaikan, jangan jadikan ia sebagai alat menumpuk harta dan uang, dengan niatan ikhlasmu saya yakin kamu akan semakin asyik dan menikmati indahnya berselancar dalam dunia tulis menulis.
" SD saja saya gak lulus, sekarang kerjaan saya juga srawutan, kadang buruh bagunan, kadang buruh tani, atau yang lainnya, ya sedapetnya, terus apa yang mau saya tulis ", jawab si ube saat ditanya si aping teman sekelas waktu duduk di bangku SD yang sekarang menjadi mahasiswa di salah universitas ternama di jakarta. Ini sekedar ilustrasi fiktif, tapi maknanya nyata.
Tak susah kita dapati jawaban serupa dengan yang dituturkan si abe saat kita bertanya, kenapa kamu gak berminat dengan dunia menulis ? Terlebih jika pertanyaan itu ditujukan kepada mereka yang berpendidikan rendah, atau tak pernah mengenyam pendidikan formal sama sekali. Inti jawaban dan alasan mereka bisa dikatakan sama, bahwa menulis itu hanya pekerjaan kaum intelek, terpelajar, berpendidikan, atau kaum cendekiawan.
Ini adalah alasan terbesar dan mendasar keengganan mereka [ yang berpendidikan rendah atau tak pernah bersekolah sama sekali ] untuk terjun dalam dunia menulis. Sebenarnya alasan di atas tak seluruhnya bisa diterima, memang rata-rata bahkan mayoritas tulisan adalah buah karya tangan-tangan kaum terpelajar yang bergelut dalam dunia pendidikan bermasa lamanya.
Tapi, dunia pendidikan, baik negeri atau swasta, tingkat dasar atau perguruan tinggi, tidaklah sepenuhnya menjamin bahwa yang pernah mengenyamnya akan tertarik dan menggeluti dunia menulis. Lihatlah, berapa banyak lulusan sarjana yang senang dengan menulis, tidak sedikit mereka yang merasa sulit mengungkapkan sesuatu lewat tulisan, tak jarang bahwa menulis menjadi momok bagi mereka, dan beragam alasan pun terlontar dari lisannya.
Menulis bukanlah milik mutlak kaum terpelajar, menulis adalah hak semua orang, ia tak memandang strata sosial, ekonomi, budaya, ruang dan waktu. Siapa saja berhak menulis, sampai orang gila atau mereka yang tergila-gila pun memiliki hak sama dalam dunia menulis. Karena menulis adalah proses penerjemahan [ alih bahasa ] apa yang terbenam dalam alam pikiran dan batinnya tercetak dalam bentuk bahasa tulisan yang bisa ditangkap dan termaksud oleh yang lainnya.
Jadi, tidak ada alasan lagi kengganan untuk menulis. Tukang becak, penjual sayuran, pedagang buah-buahan, pedagang kaki lima, buruh tani, buruh bangunan, pemulung, atau siapa saja yang tiada pernah duduk di bangku sekolah, terlebih bangku kuliah harus tersulut gemar dalam menulis.
Selama kau masih bisa berbicara, mendengar, melihat, memiliki hati, perasaan dan asa, selama itu pula kau sangat bisa untuk menulis. Tulislah apa saja yang terasa, terdengar, terlihat, teralami, atau terpikir, tapi awalilah tulisanmu itu dengan niatan baik, berbagi maklumat, kebaikan dan kemanfaatan terhadap sesama.
[ 8 ] Sibuk berbisnis atau berniaga, Tak ada waktu untuk menulis
Banyak pula mereka beralasan bahwa sempitnya waktu yang terpunya membuatnya meninggalkan dunia tulis menulis. Entah karena tersibukan oleh dunia bisnis, niaga, atau bentuk profesi lainnya.
Sebenarnya mereka adalah orang-orang yang terpelajar, banyak pengalaman, kenangan, ilmu, dan mimpi yang sangat bermanfaat dan sumber motivasi yang lain. Alangkah baiknya jika semua itu ia tuangkan dalam tulisan, terekam dalam coretan-coretan tangan yang akan menggugah dan merubah hidup orang lain. Karena dengan ketersibukannya itu teriring beribu pengalaman dan jejak sejarah hidupnya yang sarat nilai, pelajaran dan makna bagi yang lain. Tanpa tulisan, maka semua itu akan terlebur sejalan leburnya jasad yang termakan usia.
Kalau kita menilik lebih jauh, justru para penulis ulung yang terkenal karena karyanya yang best seller adalah orang-orang yang super sibuk. Entah ia seorang pembisnis, rohaniawan, peniaga, dosen, politikus, pengamat, peneliti, atau yang lainnya. Bahkan semakin sibuk aktivitasnya, semakin berbobot dan banyak karya-karya yang ngantri harus tertuliskan.
Demikian juga para ulama terdahulu, yang akan dan selalu terkenang nama dan karya-karyanya, mereka adalah sosok insan super sibuk, sampai waktu tidurnya pun sering tergadai hanya demi menjaga ilmu dan pemikirannya tetap eksis dan bisa termanfaatkan kelak oleh generasi lain sesudahnya, meski raganya telah hancur bercampur tanah.
Kesibukan profesi bukanlah alasan meninggalkan dunia menulis, justru kesibukan itu adalah modal berharga untuk berbijak dengan waktu, menantang dirinya pandai dalam memanajemen waktu yang terpunya, juga menjadi modal berharga yang sarat objek yang harus ditulisnya.
Menulislah sekarang, terlebih wasilah untuknya jauh lebih mudah dari zaman ulama dahulu, kau bisa menulis di mana saja, kapan saja, dalam kodisi apapun, termasuk saat kau sakitpun, kini kau telah dimudahkan dengan beragam wasilah yang ada. Tinggal mau atau tidak!
Tidak sedikit teman-teman para mahasiswa yang merasa kesulitan dalam menulis, mereka menulis saat ada tugas kuliah untuk membuat laporan penelitian, artikel diskusi, tugas akhir kuliah [ skripsi, tesis, disertasi ] atau yang semacamnya. Itupun terdasari atas keterpaksaan karena alasan demi mendapat nilai atau kelulusan.
Mungkin kalau pihak kampus memberi kebebasan kepada mahasiswanya, tidak ada laporan observasi tertulis, atau tugas bahan diskusi tertulis, atau tugas akhir kuliah, bisa jadi mereka tak pernah menulis artikel selembar pun dalam periwayatan hidupnya. Lho wong ada tugas yang menuntut dirinya untuk menulis, tak jarang dari mereka hanya sekedar copas fullsreen dari tulisan orang lain, mereka hanya menambah atau mengurangi sedikit isi tulisa agar terlihat sebagai hasil karya tangannya sendiri.
Copas selama menyertakan sumber referensi sebenarnya tak masalah, karena inilah bagian adab dalam menulis dan bentuk amanah ilmiah, tapi yang menjadi masalah ialah copas fullscreen dan mengklaim bahwa itu adalah tulisannya, disamping termasuk bentuk pencurian ilmu [ plagiat ], perbuatan tersebut sangat tidaklah mendidik, dan selamanya akan membuat dirinya tak mampu menulis meski hanya sebuah artikel pendek.
Ada juga yang lebih miris lagi dari kasus di atas, banyak mahasiswa yang hanya main beres, yang penting tugas selesai. Maka mereka pun tak susah payah menyuruh orang lain untuk mengerjakan tugas dengan imbalan yang semestinya.
Kasus semacam ini sudah tak asing lagi di kalangan mahasiswa. Akhirnya munculah para sarjana-sarjana gadungan yang setelah lulusnya tak bisa berbuat apa-apa bagi masyarakat, termasuk menulis pun mereka merasa kesulitan.
Inilah sisi negatif dari kebiasaan buruknya, alasan gak pede pun menjadi senjata utamanya, dan berbicara dianggapnya jauh lebih enak dan mudah dari menulis, memang inilah kenyatannya. Padahal berbicara dan menulis itu tak jauh berbeda, menulis adalah bentuk lain berbicara yang tak bersuara yang hanya tertuang dalam tulisan, tapi sama-sama membawa makna yang termaksud alias bisa dipahami. Berbicara jauh lebih mudah dari menulis, maka muncul istilah bersilat lidah karena lisan tak bertulang. Sementara jari jemari bertulang, jadi gak semudah lisan untuk bersilat dalam menuangkan isi hati atau pikiran.
[ 10 ] Watak dan sifat dasar yang keras.
Alasan lain seseorang enggan menulis adalah wataknya yang keras, tak mudah tergugah dan terinspirasi oleh yang lainnya. Sebenarnya secara keilmuan dan kecerdasan dirinya termasuk kategori mumpuni. Ilmu terpunya, cerdas pun ada. Tapi, karena wataknya dari awal tidak gemar menulis, ia pun tak membiasakan diri banyak menulis. menulis dilakukannya hanya bersifat insidental kalau ada tugas yang mengharuskannya menulis, dan itupun dikerjakannya hanya sederhana atau ala kadarnya.
Kalau urusannya terpusar pada watak yang keras membatu, sulit rasanya menanamkan persepsi dalam dirinya akan urgensi dari banyak menulis. Karena watak adalah sifat dasar bawaan sejak lahir, dan untuk merubah atau menanamkan sebuah persepsi positif dalam dirinya tidaklah mudah, tapi butuh waktu dan intensitas yang berlebih. Termasuk menanamkan kebiasaan untuk menulis.
Memang menulis tidaklah semudah yang dibayangkan, meski hanya sekedar menulis puisi atau pengalaman hidupnya. Terlebih jika watak dasarnya sudah tak suka dengan dunia menulis. Tapi perlu di ingat bahwa sesulit apapun dan sebanyak apapun alasan keengganan untuk menulis, kemanfaatan menulis takkan pernah berkurang dan lari dari mereka yang terus bekerja keras untuk belajar menulis dan menjadikannya sebuah rutinitas hariannya.
Biasakanlah menulis, meski hanya sekedar dua atau tiga paragraf dalam seharinya. Semakin sering menulis, seiring itu pula semakin banyak manfaat yang didapat dan semakin mudah serta indah bahasa penulisannya. Enyahkanlah beragam alasan yang telah disebutkan sebelumnya. Menulislah semata-mata untuk belajar, mengembangkan diri dan pikiran, serta sebagai wadah untuk berbagi ilmu atau maklumat kepada sesama.
Beberapa point dalam tulisan ini [ 10 alasan enggan menulis ] terinspirasi oleh tulisan I Ketut suweca tentang alasan enggan menulis yang di posting di link komunitas penulis [ www. kompasiana. com ]. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis dan siapa saja yang membacanya, serta menjadi motivasi agar lebih giat lagi menekuni dunia tulis menulis.