Bersama Bahagia Dalam Naungan Islam

  • RAHASIA DI AKHIR TASYAHUD

    Sukses, ternyata tidak lepas dari kecerdikan dalam memilah dan memanfaatkan kesempatan, apapun bentuk kesuksesan itu. Sehingga memerankan strategi yang baik sangatlah penting dalam kehidupan seorang muslim.

  • SAATNYA AKU TIADA LAGI BERMIMPI

    Hunian super mewah di dunia belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan hunian yang Allah sediakan di surga. Untuk memilikinya pun bukanlah mimpi, bahkan seorang mukmin yang paling miskin pun bisa meraihnya, dan hal itu bukanlah perkara yang mustahil.

  • HAK-HAK ANAK TERHADAP ORANG TUA

    Hak-hak anak bagi orang tua ibarat biji-bijian yang hendak ditanamnya. Apabila biji-bijian ini ketika sebelum maupun setelah ditanamnya diperhatikan dan dirawat dengan baik, niscaya ia akan menjadi tanaman yang subur dan menghasilkan buah yang baik lagi banyak.

  • DOSA-DOSA PACARAN

    Cukuplah bagi kita, khususnya orang tua atau mereka yang di bawah tangannya tergenggam amanah akan pendidikan maupun perkembangan anak-anaknya, bahwa fakta maupun realita yang kerap terdengar dan menjadi santapan sehari-hari kita menunjukkan akan buruknya akibat dari sebuah pacaran.

Saat Ikhtilat Menjadi Tradisi

Pada zaman sekarang ini, ikhtilat sepertinya sudah menjadi budaya dan tradisi di Negeri ini. Tidak ada tempat melainkan di sana ada ikhtilat. Dalam dunia pendidikan, kampus, dunia kerja, pusat-pusat perdagangan, tempat hiburan, rekreasi, bahkan sampai pada angkutan umum, baik darat, laut maupun udara. Kalau kita hendak berpergian, seakan-akan kita tidak bisa terlepas dari fitnah yang satu ini.

Dalam dunia pendidikan di tingkat sekolah, dari TK sampai tingkat lanjutan para siswa telah terbiasa dengan tradisi semacam ini. Kelas yang menjadi tempat belajar mereka setiap harinya tidak ada sekat yang memisahkan antara siswa laki-laki maupun perempuan. Mereka terbiasa dengan diskusi bersama, bercanda bersama, belajar bersama, makan dikantin berbaur dengan teman-teman perempuan, pulang pergi sekolah juga beramai-ramai dengan mereka sembari mengobral canda tawa, dan melakukan kegiatan-kegiatan lainnya secara bersama-sama. Inilah yang kemudian menjadi pemandangan dalam setiap harinya dan telah menjadi tradisi di antara mereka yang apabila tidak mereka lakukan akan terasa hambar aktivitas dan pergaulannya.

Demikian juga pemandangan di tempat kerja, perkantoran, pabrik-pabrik, toko-toko, swalayan, sampai pada pasar-pasar tradisional maupun tempat-tempat lainnya. Tradisi semacam ini ditambah kondisi masyarakat yang secara umum bersikap apatis serta awam terhadap ilmu agama, pula pengaruh yang kuat dari budaya barat yang terus menyebar ke setiap pelosok negeri ini. Sekaligus dianggap sebagai legitimasi akan baik dan wajarnya budaya tersebut yang sejatinya tidaklah sesuai dengan nilai-nilai islam yang mulia.

Suara mayoritas dalam islam bukanlah sebuah tolak ukur dalam baik maupun buruknya sebuah perkara. Maka apabila ikhtilat itu telah menjamur di tengah-tengah masyarakat dan sulit untuk kita hindari, hal itu tidaklah menjadi sebuah legitimasi akan sah dan wajarnya ikhtilat. Seberapa banyak pun manusia yang melakukan perkara haram, maka jumlah itu tidak akan merubah hukum perbuatan tersebut menjadi halal. Ataupun sebaliknya, seandainya perkara halal itu hanya diamalkan oleh segelintir manusia saja, maka jumlah yang sedikit itu juga tidak akan merubah status hukum halal menjadi haram.

Adapun mayoritas umat manusia itu berada dalam kesesatan, maka apabila kita mengikuti mayoritas mereka, berarti kita akan terjerumus dalam kesesatan. Hal ini sebagaimana firman Allah :

“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Yang mereka ikuti hanyalah persangkaan belaka, dan mereka hanyalah membuat kebohongan.” (QS. Al-An’am : 116)

Banyak sekali hasil penelitian yang memaparkan betapa tragis dan mengerikan kondisi masyarakat yang diakibatkan oleh pergaulan bebas yang berawal dari anggapan wajar dan sah akan khulwah maupun ikhtilat di tengah-tengah mereka.

Munculnya kasus-kasus perselingkuhan di dunia perkantoran antara bos dengan sekretarisnya, atau majikan dengan pembantunya, atau guru dengan muridnya, dosen dengan mahasiswinya, atau yang semisalnya adalah bersumber dari pergaulan mereka yang tidak lepas dari kebiasaan khulwah maupun ikhtilat.

Ikhtilat atau percampuran bebas antara lawan jenis merupakan unsur paling menentukan untuk terjadinya masalah-masalah seksualitas, penderitaan psikologis, serta rangsangan naluri. Dari percampuran bebas inilah yang kemudian memunculkan kasus-kasus lain seperti kasus aborsi, kelahiran yang tidak diinginkan, bunuh diri, hamil diluar nikah, semakin menjamurnya dunia prostitusi, pembunuhan, pencurian, kasus narkoba, dan kasus-kasus kriminalitas lainnya. Belum lagi kebiasaan itu akan berimbas pada buruknya masalah sosial, psikologis, pergaulan, mental, kepribadian dan dampak-dampak buruk lainnya.

Sungguh, tradisi khulwah maupun ikhtilat merupakan tipu daya orang-orang Yahudi maupun Nashrani yang hendak menghancurkan umat islam baik secara mental, sosial, spiritual maupun intelektual. Oleh karena itu, hendaknya umat islam harus lebih berhati-hati terhadap propaganda-propaganda yang dihembuskan oleh mereka melalui media-media yang semakin hari semakin canggih, pula pemikiran yang dibawa oleh para akademisi yang selama ini menimba ilmu di luar negeri yang telah terpengaruh oleh budaya barat dan pulang ke dalam negeri dengan mengatasnamakan moderenisasi.

Rasulullah telah bersabda :

لَتَتَّبِعُنَّ سُنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ، قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، اليَهُودُ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: فَمَنْ

“Sungguh kalian akan mengikuti tradisi dan budaya umat sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, dan sehasta demi sehasta hingga jikalau mereka masuk ke dalam liang hewan dhab [sejenis biawak], maka kalian pun akan mengikutinya.” Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu Yahudi dan Nashrani ?“ Beliau menjawab, “Siapa lagi !” [1]

Banyak orang yang membolehkan ikhtilat, menganggapnya hal biasa dan mengingkari bahaya yang akan muncul dari kebiasaan ikhtilat. Menurutnya perihal ikhtilat itu tidak ada dalil sharih [gamblang] yang melarang ataupun mengharamkannya, sementara hukum asal sebuah muamalah adalah boleh. Dengan demikian hukum ikhtilat yang merupakan bagian dari muamalah adalah boleh-boleh saja.

Ketahuilah, anggapan itu hanyalah pengekoran terhadap hawa nafsu belaka yang tidak bersandar pada syariat sama sekali. Padahal para ulama telah menjelaskan akan haramnya ikhtilat dan dampak negatif darinya dengan membawakan dalil-dalil yang shahih dan sharih dari Rasulullah. Di antaranya ialah hadits :

Dari Abu Usaid Al-Anshori dari Bapaknya bahwa dia mendengar Rasulullah bersabda – ketika itu beliau sedang di luar Masjid melihat beberapa laki-laki dan perempuan bercampur baur di tengah jalan – kepada para wanita itu :

اسْتَأْخِرْنَ، فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ تَحْقُقْنَ الطَّرِيقَ، عَلَيْكُنَّ بِحَافَّاتِ الطَّرِيقِ

“Mundurlah [kalian wahai para wanita], kalian tidaklah layak melintas di tengah-tengah jalan, hendaklah kalian menepi ke sisi jalan.”

Setelah itu para wanita menepi hingga ke dinding [di pinggir jalan], sampai-sampai sesuatu yang ada di dinding menempel di pakaian mereka karena saking dekatnya.[2]

Juga atsar dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah melarang seorang laki-laki berjalan di antara dua perempuan.[3]

Dari Hadits di atas kita bisa melihat bagaimana usaha beliau untuk mencegah keburukan agar tidak tersebar di tengah-tengah umatnya. Seorang laki-laki saja dilarang untuk berjalan di antara dua perempuan, maka bagaimana halnya jika beberapa perempaun dan laki-laki berbaur di satu tempat hanya untuk mengobrol, bercanda ria, atau hanya bermain-main saja di antara mereka, tentu hal itu lebih tercela dan terlarang lagi. Oleh karena itu, kebaikan dan kemuliaan hanya akan diraih dengan mengikuti petunjuk Rasulullah.

Dalam riwayat Ibnu Hibban, dari Rasulullah bahwa beliau bersabda :

لَيْسَ لِلنِّسَاءِ وَسَطُ الطَّرِيقِ

“Tidak layak para wanita berjalan di tengah-tengah jalan.”

Sabda beliau, “Tidak layak para wanita berjalan di tengah-tengah jalan” merupakan lafadz khabar [berita] yang maksudnya ialah larangan terhadap sesuatu yang tersembunyi di dalamnya, yaitu bersentuhannya wanita dengan laki-laki saat berjalan, karena umumnya para laki-laki itu berjalan di tengah-tengah jalan. Maka wajib bagi para wanita untuk menepi ke pinggir jalan ketika hendak melintas agar tidak bersentuhan dengan para laki-laki.[4]

Demikian juga sabda Rasulullah tentang shaf shalat berjamaah :

خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا، وَشَرُّهَا آخِرُهَا، وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا، وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا

“Shaf yang terbaik bagi laki-laki ialah yang terdepan, dan yang terburuk ialah yang paling belakang. Adapun shaf yang terbaik bagi perempuan ialah yang paling belakang, dan yang terburuk ialah shaf yang paling depan.” [5]

Imam Nawawi berkata, “Adapun keutamaan shaf terakhir bagi perempuan karena jauhnya mereka dari bercampurnya dengan laki-laki, pandangannya terhadap mereka, keterikatan hati dengannya saat melihat gerakaanya, mendengar percakapannya atau yang semisalnya. Sementara jeleknya shaf terdepan bagi perempuan karena alasan dari kebalikan itu semua. Wallohu a’lam.”[6]

Syaikh Ibnu Baz berkata dalam fatawanya, “Setiap orang yang memilki bashirah [ilmu] pasti mengetahui akan keadaan dunia saat ini, bahwa ikhtilat [campur baur] antara laki-laki dan perempuan akan mengakibatkan kerusakan dan keburukan yang besar serta akibat-akibat lain yang tercela. Hal itu menunjukkan akan keutamaan apa yang dibawah oleh syariat ini. Dan sudah menjadi kewajiban untuk berpegang teguh dengan hukum-hukumnya dalam setiap keadaan, tempat dan waktu serta harus bersikap waspada dari penyelisihan terhadapnya.”[7]

Demikianlah beberapa dalil dan kalam ulama yang menunjukkan akan haramnya ikhtilat serta akibat buruk yang ditimbulkan olehnya. Cukuplah dalil-dalil di atas sebagai pedoman hidup kita agar kita lebih berhati-hati dari sikap menggampangkan ikhtilat antara laki-laki dan perempuan. Tidaklah petunjuk Rasulullah ditegakkan melainkan akan tercipta suasana kedamaian dan kesejahteraan di tengah-tengah masyarakat baik lahir maupun batin.


------------------------
[1] HR. Bukhari (7320), Muslim (2669) dan Ibnu Majah (3994)
[2] HR. Abu Dawud (5272) dan At-Thabrani di Al-Mu’jam Al-Kabir (580)
[3] HR. Abu Dawud (573)
[4] Shahih Ibnu Hibban, 12/416 – 417, no. 5601
[5] HR. Muslim (440), Abu Dawud (678), At-Tirmidzi (224), An-Nasa’I (820) dan Ibnu Majah (1001)
[6] Syarh An-Nawawi ‘Ala Muslim, Imam An-Nawawi, 4/159-160
[7] Majmu Fatawa Ibnu Baz, Abdul Aziz bin Baz, 1/120
Share:

Khulwah, Sebuah tradisi yang keji

Laki-laki membutuhkan perempuan sebagaimana perempuan juga membutuhkan laki-laki. Kebutuhan yang menjadi tuntutan masing-masing beraneka ragam, mulai dari kebutuhan biologis, rasa aman, tentram, kebutuhan sandang, pangan, tempat tinggal dan lain sebagainya. Untuk mencapai semua kebutuhan tersebut, mereka harus mengikuti jalur-jalur syar’i. Di antaranya mengikat hubungan batin mereka dengan tali suci pernikahan. Karena perempuan yang bukan mahram bagi laki-laki dilarang menyendiri dengan lawan jenis untuk saling membantu memenuhi kebutuhannya, apalagi untuk sebuah kebutuhan biologis mereka. Hal ini sangatlah terlarang dalam islam. Hanya tali pernikahanlah yang bisa menghalalkan hubungan mereka bersama.

Rasulullah bersabda :

لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا كَانَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ

“Janganlah sekali-kali seorang laki-laki menyendiri dengan seorang perempuan (yang bukan mahramnya), melainkan syaithan menjadi orang ketiganya.” [1]

Hadits di atas memberikan pengertian bahwa dampak negatif khulwah (menyendirinya seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahramnya) sangatlah besar. Karena hawa nafsu laki-laki dan sifat lemah seorang perempuan akan dimanfaatkan baik oleh orang ketiga di antara mereka yaitu syaithan. Ia akan membisikan ke dalam hati mereka untuk melakukan perbuatan yang tidak senonoh yang mengarah kepada zina. Seperti saling memandang, membelai, berpelukan, ciuman dan akhirnya mereka melakukan apa yang seharusnya tidak dilakukan yaitu melakukan perzinaan. Inilah akhir dari bisikan setan untuk menghancurkan manusia yang senang berkhulwah. Di saat moment-moment inilah setan akan membuat indah suasana, menambah kecantikan si wanita, mengalirkan beribu-ribu rayuan mesra yang hakikatnya adalah bisa ular yang sangat beracun sampai mereka terjatuh dalam kenistaan dan perbuatan keji yang sangat di larang dalam islam.

Ketahuilah, bahwa disaat kau sedang sendirian, atau berkhulwah [menyepi] bersama pasanganmu yang bukan mahramnya, sesungguhnya kau tidaklah sendirian. Allah senantiasa mengawasimu dan apa saja yang kau perbuat dengannya, serta tiadalah pernah kau terlepas dari pandangan Allah.

Seorang penyair mengatakan :

وَإِذَا خَلَوْتَ بِرِيْبَةٍ فِيْ ظُلْمَةٍ وَالنَّفْسُ دَاعِيَةٌ إِلَى الطُّغْيَانِ

فاسْتَحْيِ مِنْ نَظَرِ الْإِلَهِ وَقُلْ لَهَا إِنَّ الَّذِي خَلَقَ الظَّلَامَ يَرَانِيْ

Ketika engkau sendirian dan menyimpan suatu keraguan dalam kegelapan
Sedangkan jiwamu mengajak kepada kesesatan
Maka malulah dikau dari pandangan Rabb-mu, dan katakanlah kepadanya
Sesungguhnya yang menciptakan kegelapan melihat diriku
[2]

Allah berfirman :

“Dan janganlah engkau dekati zina, karena hal itu adalah perbuatan keji dan jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra : 32)

Syaikh As-Sa’di menjelaskan tentang makna ayat di atas, ”Larangan mendekati zina lebih dalam maknanya daripada sekedar melarang dari berbuat zina. Di mana ia mencangkup larangan terhadap semua perkara yang dapat mengundang perbuatan zina. Barangsiapa mendekati tempat terlarang, dikhawatirkan ia akan terjerumus ke dalamnya. Terutama dalam perkara ini, di mana hawa nafsu menjadi faktor yang paling kuat.

Kemudian Allah mensifati zina sebagai perbuatan yang sangat keji, maksudnya sangat keji secara syari’, akal maupun fitrah. Karena di dalamnya mencangkup tindakan pelanggaran terhadap kehormatan, baik terhadap hak Allah, hak perempuan, hak keluarga ataupun terhadap para suaminya, dan juga telah merusak rumah tangga serta menjadi sebab tercampurnya nasab dan kerusakan-kerusakan yang lainnya.”[3]

Demikian juga hadits di atas tidaklah memberikan pengertian bahwa berkumpulnya beberapa laki-laki dan beberapa wanita yang bukan mahramnya dibolehkan dalam islam. Kasus seperti ini dalam islam disebut dengan ikhtilat. Islam melarang bercampur baurnya laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya kecuali dalam kondisi yang sangat mendesak dan darurat. Maka kondisi semacam ini dibolehkan sebatas kebutuhan darurat itu masih ada dengan tetap menjaga batasan-batasan syar’i yang lainnya.

Namun jika keadaan darurat telah kembali normal, maka hilanglah rukhsoh (keringanan) yang diberikan oleh islam. Sebuah kaidah ushul mengatakan, “Keadaan darurat menghalalkan perkara-perkara yang haram”.[4] Kaidah ini kemudian dibatasi oleh kaidah yang lain, “ Keadaan darurat diukur dengan kebutuhannya”.[5] maksudnya kita boleh melakukan perkara yang haram saat darurat itu menimpa kita sesuai dengan kebutuhan.

Saat kebutuhannya telah terpenuhi dan keadaan daruratnya telah hilang, maka perkara haram tadi kembali ke hukum asalnnya dan kita sudah tidak boleh melakukannya kembali. Seperti memakan bangkai yang hukumnya adalah haram, namun jika seseorang tertimpa rasa lapar yang sangat dan tidak ada makanan selain bangkai hewan yang ia dapatkan, sementara jika dirinya tidak memakannya maka ia akan mati. Maka ketika itu ia dibolehkan memakan bangkai sebatas untuk untuk menghilangkan rasa laparnya agar dirinya tetap bertahan hidup. [6]


---------------------------
[1] HR. At-Tirmidzi (2165) dan Ahmad (114)
[2] Homoseks, Bahaya dan Solusinya, hal 76
[3] Tafsir As-Sa’di, Syaikh As-Sa’di, hal 457
[4] Al-Mumti’ Fii Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, DR. Musalim bin Muhammad bin Majid Ad-Dausari, hal 191
[5] Ibid, hal 195
[6] Ibid, hal 193
Share:

Fitrah laki-laki dan perempuan

Allah telah menciptakan mahluk-Nya berpasang-pasangan. Seperti langit pasangannya dengan bumi, panas dengan dingin, malam dengan siang, daratan dengan lautan, laki-laki dengan perempuan dan yang selainnya. Masing-masing ciptaan itu membawa tugasnya sendiri-sendiri. Mereka tidak boleh keluar dari ketentuan Allah. Semua aktivitasnya harus sesuai dengan fitrah yang telah dianugerahkan Allah kepadanya. Mereka tidaklah memiliki kelebihan dari yang lain. Semuanya sama dalam pandangan Allah. Mereka hanya bersinergi membentuk tatanan alam semesta secara teratur dan rapih.

Oleh karena itu, barangsiapa keluar dari fitrah dan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah, maka yang akan terjadi adalah kekacauan dan bencana yang sangat besar. Karena masing-masing diciptakan oleh Allah menurut fitrahnya sebagaimana penciptaan manusia yang secara naluri mereka itu diciptakan beragama yaitu agama tauhid. Maka barangsiapa keluar dari fitrah ini [agama tauhid], maka hal itu adalah sebuah ketidakwajaran dan akan terjadinya kekacauan yang disebabkan olehnya. Demikian pula terhadap gambaran mahluk Allah secara umum lainnya.

Perhatikanlah Firman Allah berikut ini :

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama [islam]; [sesuai] fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut [fitrah] itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. [itulah] agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rum: 30)

Kini kita melihat sisi lain yang lebih simpel. Allah telah menciptakan laki-laki sesuai dengan fitrahnya yang mulia, demikian juga perempuan diciptakan sesuai dengan fitrahnya yang berbeda dengan laki-laki. Tidak ada perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya dalam pandangan Allah. Masing-masing saling melengkapi dan membutuhkan satu sama lain.

Seorang lelaki tidaklah lebih mulia daripada seorang perempuan dengan beberapa tugas dan kewajibannya yang harus dipikulnya. Demikian juga seorang perempuan tidaklah lebih mulia daripada seorang laki-laki dengan beberapa tugasnya yang mulia. Hanya ketaatan dan ketaqwaanlah yang menjadikan mereka lebih mulia daripada yang lainnya di hadapan Allah. Kemuliaan di sisi Allah bukanlah dari sudut gender maupun pangkat dan kekayaan. Akan tetapi iman dan amal shalih inilah yang akan menjadi perhitungan di sisi-Nya.

Allah berfirman :

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kemudian Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui Maha teliti.” (QS. Al-Hujurat : 13)

Rasulullah bersabda :

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada perawakanmu dan hartamu, akan tetapi Dia melihat kepada hati dan amalmu.”[1]

Syikah As-Sa’di mengatakan dalam kitab tafsirnya, “Sesungguhnya kemuliaan itu dengan takwa. Mereka yang paling mulia di sisi-Nya ialah orang-orang yang paling bertakwa di antara mereka. Mereka ialah orang yang paling taat kepada-Nya dan jauh dari kemaksiatan. Bukan orang yang memiliki banyak kerabat dan kaum, atau yang paling mulia nasabnya.” [2]

Imam Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya, ”Tingkat kemuliaan manusia sama jika dilihat dari sisi bahan penciptaan Adam dan Hawa. Yang memuliakan mereka dari yang lainnya adalah perkara-perkara agama, yaitu ketaatan kepada Allah dan ittiba’ (mengikuti) kepada Rasul-Nya.”[3]

DR. Na’man mengatakan, “Kehidupan dunia yang di dalamnya terdapat baik dan buruk, mudah dan susah, sedih dan bahagia, mati dan hidup atau yang lainnya tidaklah khusus bagi kaum laki-laki tanpa perempuan, atau khusus bagi kaum perempuan tanpa laki-laki. Akan tetapi, semua itu berlaku bagi keduanya. Seorang perempuan adalah patner bagi laki-laki. Dalam kehidupannya mereka saling membantu untuk mendapatkan kebaikan dan mencegahnya dari beragam kemudharatan.”[4]

Merupakan fitrah laki-laki ialah memiliki kekuatan fisik lebih besar di bandingkan perempuan, karena ia dituntut menjadi kepala keluarga yang berkewajiban memenuhi nafkah keluarganya, menyediakan tempat tinggal, pakaian, dan menjadi pelindung bagi seorang perempuan (isteri) dan anak-anaknya.

Allah berfirman :

“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (isteri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) , dan karena mereka (laki-laki) telah memberi nafkah dari hartanya.“ (QS. An-Nisa : 34)

Sedangkan perempuan diciptakan sebagai manusia yang lemah secara fisik dibandingkan laki-laki. Namun Allah memberinya sifat kelembutan dan kasih sayang yang lebih besar yang tidak dimiliki oleh kaum laki-laki. Hal ini dikarenakan perempuan itu disiapkan untuk menjadi sosok pendidik dan pembimbing terhadap pertumbuhan dan perkembangan sikap, perilaku, mental dan akhlak anak-anaknya.

Antara laki-laki dan perempuan, masing-masing memiliki sifat kekurangan dan kelebihan yang saling melengkapi satu sama lain. Sehingga dengan menjalankan peranannya masing-masing, tidak mengurangi apa yang menjadi kewajibannya dan tidak menuntut lebih apa yang menjadi haknya, maka akan terwujudlah keserasian dan keseimbangan dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat.

Allah telah menjadikan perempuan sebagai pasangannya bagi laki-laki, demikian juga sebaliknya. Semua itu untuk mewujudkan rasa tentram yang penuh kasih dan sayang di antara mereka. Hal ini sebagaiman firman Allah :

“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya. Dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rum : 21)

Dengan demikian, terlahirlah rasa ketertarikan di antara mereka, kecenderungan untuk saling dekat dan memiliki sesuai dengan fitrahnya. Puncak perasaan ini akan tumbuh saat usia mereka menginjak masa baligh dan pubertas. Akan tetapi, islam tidak membiarkan aliran perasaan fitrah itu mengalir ke mana-mana tanpa adanya sekat maupun pembatas. Islam memberikan batasan-batasan yang tidak mengurangi sedikitpun fitrah mereka. Islam hanya mengarahkan dan menuntun fitrah mereka agar tetap berada pada jalurnya.

Karena tanpa batasan-batasan syari, akan terjadi kekacauan dan kehancuran bagi umat manusia serta hilangnya fitrah yang ada pada mereka. Sungguh, kebebasan mutlak sangatlah berdampak negatif bagi kelangsungan hidup umat manusia. Di mana nafsu dan syahwat akan berkuasa untuk menggiring mereka ke lembah kehancuran tanpa terasa. Ia akan menjadikan setiap jiwa berbuat semena-mena tanpa mengenal rasa dan dosa. Ia akan menjadikan orientasi hidup mereka hanya keindahan dan kenikmatan sementara, padahal hakikatnya membawa mereka kepada kebinasaan.


---------------------------
[1] HR. Muslim (6708), Ibnu Majah (4143) dan Ahmad (7814)
[2] Tafsir As-Sa’di, Syaikh As-Sa’di, 1/802
[3] Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim [Tafsir Ibnu Katsir], Ibnu Katsir, 7/380
[4] Mabahits fii Tsaqofah Al-Islamiyah, DR. Na’man, Hal 81
Share:

Syubhat Pacaran Dan Bantahannya (Bag 2)

Syubhat-syubhat mereka dari orang-orang kafir dan munafik dalam masalah pacaran sangatlah berbahaya sekali. Di mana hal itu akan membuat kerancuan dalam benak para remaja dan pemuda islam. Dan tidak sedikit dari remaja dan pemuda islam telah tertipu dan teracuni oleh bualan-bualan kotor mereka. Akhirnya mereka pun terbawa dalam pusaran arus besar akan bolehnya pacaran dalam islam menurut pandangan mereka.

Semua itu bermuara pada legalisasi pergaulan bebas yang terselubung maupun yang terang-terangan. Interaksi asmara antar lawan jenis yang bukan mahramnya mereka kemas dengan bungkus yang indah dan seolah-olah telah mendapat sertifikasi legal dari syariat. Kemasan itu mereka gali dari takwilan dan pelintiran terhadap nash-nash syar'i yang ada. Adapun syubhat-syubhat yang lain dalam masalah pacaran di antaranya ialah :

Syubhat ketiga

Sebagian orang mengatakan bahwa pacaran hanyalah sebuah istilah dan instrumen, dalam bahasa anak mudanya pacaran menjadi ajang PDKT [pendekatan] untuk mengetahui sejauh mana karakter dan sifat yang hendak dijadikan calon pasangan hidupnya. Kalau adanya kecocokan maka akan dilanjutkan ke jenjang pernikahan, tapi kalau tidak cocok cukup sebagai sebuah pengalaman akan karakter orang lain yang kemudian mencari penggantinya sampai mendapati kecocokan antar keduanya.

Kemudian untuk melegalkan hal semacam itu, sebagian mereka mengkategorikan pacaran menjadi dua, pacaran islami dan pacaran non islami. Pacaran non islami jelas terlarang karena banyak mengandung unsur dosa, adapun pacaran islami maka hal itu boleh selama tidak membentur batasan-batasan syar’i.


Jawab :

Kemunculan istilah pacaran islami dan non islami memang membuat kerancuan tersendiri di tengah-tengah pergaulan remaja maupun anak muda. Karena hal ini belum memiliki definisi yang jelas dan paten. Entah siapa yang pertama kali mengarang istilah semacam itu. Paling tidak istilah ini sering disalahgunakan oleh anak-anak muda dan menjadi tempat berteduhnya mereka akan legalnya sebuah pacaran.

Dan dari istilah ini kemudian muncullah sebuah opini akan bolehnya pacaran selama tidak berpegangan tangan, bermesraan, berboncengan, jalan-jalan bareng, berkhulwah, dan yang semisalnya. Akan tetapi mereka tetap memiliki seorang pasangan yang memiliki hubungan khusus di antara keduanya. Adapun cara mereka berkomunikasi tidaklah sesering mungkin sebagaimana yang terjadi pada pacaran secara umumnya. Cukuplah mereka berkomunikasi via facebook, twitter, bbm, whatsapp, sms, telephone, dan yang sejenisnya berupa komunikasi jarak jauh.

Ketahuilah, bahwa dalam islam tidak dikenal istilah pacaran islami maupun non islami, dan selamanya islam tidak akan melegalkan sebuah pacaran semacam itu dikarenakan banyak sekali keburukan, mudarat dan dampak negatif yang ditimbulkannya.

Dan apa yang mereka anggap baik sebagai sebuah masa pengenalan karakter maupun sifat calon pasangan, tidaklah teranggap baik dalam pandangan islam. Baik menurut manusia belum tentu baik menurut Allah, dan begitu pula sebaliknya, baik menurut Allah belum tentu dianggap baik oleh manusia. Akan tetapi, semua yang telah menjadi ketetapan dan kehendak Allah atas manusia adalah bersifat baik dan demi kemashlahatan hamba-Nya, meskipun secara zahirnya ia terlihat buruk dan tak disukai oleh nafsu manusia.

Oleh karena itu Allah berfirman :

“Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah : 216)

Ketahuilah, bahwa komunikasi dalam bentuk apapun, meskipun mereka tidak berdampingan atau berkhulwah, jika hal itu dilakukan oleh seorang lelaki terhadap perempuan yang bukan mahramnya, dan tidak adanya kondisi darurat atau untuk kemashlahatan agama maupun umat, terlebih bagi mereka yang menganggap dirinya memiliki hubungan khusus atau ikatan batin, maka semua hal itu tetap terlarang hukumnya dalam pandangan islam.

Islam tidaklah pernah mengajarkan pengenalan karakter calon pasangan lewat media pacaran. Yang diajarkan dalam islam, apabila seorang lelaki sudah berhasrat menikah dan memiliki kemampuan di dalamnya, kemudian ia memiliki ketertarikan terhadap salah seorang gadis muslimah. Maka cukuplah ia mengenal karakter itu dari akhlak kesehariannya, informasi salah satu keluarga dekatnya yang amanah, atau mengutus salah seorang teman wanitanya yang terpecaya untuk menyelidiki dan menggali informasi akan karakter dan sifatnya secara umum.

Kemudian kalau dirinya mendapati adanya kecocokan di dalamnya, maka pinang dan nadhorlah ia [dilihat dan meminta izin kepada kedua orang tuanya untuk diajaknya menikah]. Apabila si gadis itu mengiyakan, maka waktu yang dinanti pun semakin dekat. Tapi selama itu pula status mereka masih tetap sebagai seorang ajnabi [wanita/lelaki asing yang bukan mahramnya] yang masih berlakunya larangan-larang syar’I terhadap lawan jenisnya sampai terikatnya akad nikah di antara keduanya. Akad nikah inilah yang telah menghalalkan apa yang selama ini diharamkan bagi mereka.

Begitulah cara islam mengajarkan adab-adab yang mulia, sampai adab hendak menikahi seorang wanita muslimah pun sangat diatur dengan detail dengan menimbang nilai-nilai kebaikan dan budi luhur antara dua insan yang hendak menyatukan diri dalam ikatan sebuah rumah tangga.

Percayalah dan yakinlah kepada Allah Yang Maha Baik. Dia-lah yang akan memasangkan seorang muslim yang baik dengan muslimah yang baik, karena itu adalah janjinya. Perbaikilah diri, tingkatkan kualitas pribadi dalam hal ibadah, akhlak dan ketakwaan kepada Allah, dan teruslah bekerja keras untuk menjadikan dirinya seorang pribadi muslim atau muslimah yang baik, niscaya Allah akan mempertemukan jodohnya dengan seorang muslim/muslimah yang baik pula.

Bukankah Allah telah berfirman dalam kalam-Nya yang mulia :

“Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji [pula]. Sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik [pula].” (QS. An-Nur : 26)

Dan jika didapati seorang muslim yang baik, namun ia memiliki pasangan hidup yang buruk lagi keji atau sebaliknya. Ketahuilah bahwa hal itu hanyalah sebagai ujian bagi dirinya dan menjadi ibrah [pelajaran] bagi yang lainnya. Tidakkah kau melihat siapa itu Fir’aun, dia adalah seorang raja yang durhaka kepada Allah dan dzalim terhadap rakyatnya, ia seorang lelaki yang kejam dan buruk perangainya. Akan tetapi ia memiliki seorang isteri yang shalihah, baik dan taat kepada Allah.

Lihatlah firman Allah berikut ini :

“Dan Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, isteri Fir’aun, ketika dia berkata, “Wahai Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.” (QS. At-Tahrim : 11)

Adapun keburukan Fir’aun dan kezalimannya itu menjadi ujian bagi isterinya dan sebagai ibrah [pelajaran] yang terkandung beribu hikmah dalam perjalanan hidupnya bagi manusia yang hidup setelahnya.

Demikian pula dalam kisah Nabi Nuh dan Nabi Luth, keduanya adalah seorang nabi yang memiliki isteri yang keji dan durhaka terhadap Allah. Maka kemudian Allah memasukan mereka berdua ke dalam api neraka dan disiksa dengan siksaan yang pedih di dalamnya.

Lihatlah Firman Allah berikut ini :

“Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang kafir, isteri Nuh dan isteri Luth. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang shaleh di antara hamba-hamba Kami. Lalu kedua isteri itu berkhianat kepada kedua suaminya, tetapi kedua suaminya itu tidak dapat membantu mereka sedikitpun dari [siksa] Allah, dan dikatakan [kepada kedua isteri itu], “masuklah kamu berdua ke neraka bersama orang-orang yang masuk [neraka].” (QS. At-Tahrim : 10)

Syubhat keempat


Sebagian orang mengatakan bahwa sejatinya pacaran dalam islam itu ada, hal itu disimpulkan dari beberapa hadits Nabi yang berkaitan tentang tahapan saat memilih calon sebelum pernikahan. Pada umumnya suatu perkawinan terjadi setelah melalui beberapa proses, yaitu proses sebelum terjadi akad nikah, proses akad nikah dan proses setelah terjadi akad nikah. Proses sebelum terjadi akad nikah juga melalui beberapa tahap, yaitu tahap penjajakan, tahap peminangan dan tahap pertunangan.

Masa penjajakan ini dapat disamakan dengan masa pacaran menurut pengertian ketiga di atas [Pacaran berarti berteman dan saling menjajaki kemungkinan untuk mencari jodoh berupa suami atau istri, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Poerwadarminta, 1976]. Setelah masa pacaran dilanjutkan dengan masa meminang, jika peminangan diterima maka jarak antara masa peminangan dan masa pelaksanaan akad nikah disebut masa pertunangan. Pada masa pertunangan ini masing-masing pihak harus menjaga diri mereka masing-masing karena hukum hubungan mereka sama dengan hubungan orang-orang yang belum terikat dengan akad nikah.


Jawab :

Islam tidaklah memungkiri adanya tahapan-tahapan sebelum terjadinya akan nikah, seperti khitbah dan nadzor. Bahkan keberadaan tahapan-tahapan itu adalah sunnah Rasul yang dimaksudkan agar bangunan rumah tangga yang dibentuknya menjadi langgeng di atas balutan kasih sayang dari kedua pasangan.

Rasulullah bersabda :

إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ

“Jika salah seorang kalian meminang wanita, maka apabila ia mampu untuk melihat apa yang membuatnya terdorong untuk menikahinya, maka lakukanlah.” [1]

Inilah salah satu contoh petunjuk Rasulullah ketika seseorang hendak menikahi seorang wanita. Akan tetapi fase untuk melihat dan mengenal calon pasangan yang hendak dinikahi tidaklah sama dengan pacaran. Selamanya ia tidak bisa disamakan dengan pacaran, terlebih dibungkus dengan nama yang lebih halus, seperti pacaran islami. Pacaran tetaplah pacaran yang sarat dengan hal-hal yang diharamkan dalam islam, sementara fase khitbah dan nadzor adalah fase tersendiri yang disunnahkan dalam islam yang tidak bisa diistilahkan dengan kata pacaran.

Pengistilahan untuk fase pengenalan yang disunnahkan dalam islam dengan kata pacaran adalah pengistilahan yang tidak berdasar sama sekali, baik secara bahasa maupun syariat, melainkan ia hanya bersandar pada hawa nafsu dan akal semata. Justru hal itu akan membuat kerancuan tersendiri karena istilah pacaran berawal dari fase penjajakan karakter lawan jenis yang kerap dihiasi oleh perkara-perkara haram. Demikian juga pendekatan dengan menggunakan istilah pacaran islami untuk menandingi dan menekan maraknya budaya pacaran yang sesungguhnya, maka hal itu adalah pendekatan yang tidak bernilai islam sama sekali.

Pendekatan semacam ini merupakan bentuk dari mengkompromikan antara yang hak dan batil, yang baik dan buruk agar lebih diterima di mata masyarakat, namun justru yang terjadi akan menimbulkan masalah baru bahwa istilah itu akan dijadikan tameng dan pelindung oleh pihak-pihak tertentu untuk menghalalkan pacaran, yang penting menurutnya pacaran itu bernuansa agamis dan islami, jauh dari hal-hal yang diharamkan, masing-masing pasangan dibalut oleh busana muslim yang baik, dan ia bisa menjadi instrument untuk merubah image buruk masyarakat akan pacaran.

Akan tetapi faktanya tidaklah demikian, masih banyak larangan-larangan agama yang mereka kerjakan di dalamnya, hanya saja hal itu dilakukan dalam nuansa yang islami kata mereka. Perlu diketahui, apakah nuansa islami hanya sebatas memakai busana muslim dan muslimah yang baik, atau sering mengadakan kegiatan kajian-kajian remaja, atau sering mengucapkan salam ketika bertemu dengan temannya sesama muslim.

Kita tidak memungkiri hal itu adalah bagian dari nilai-nilai islam yang mulia, dan apabila perkara itu menjadi kebiasaan rutin seorang muslim/muslimah, maka hal itu sangatlah baik sekali. Namun, nilai-nilai islam tidaklah sebatas itu dan masih banyak nilai-nilai islam lainnya yang harus diamalkan. Adapun masih seringnya berkomunikasi dengan lawan jenis [pacarnya] meski bukan dalam bentuk kontak fisik, mengunjungi rumah seorang perempuan [pacar] sekedar hanya untuk bertemu atau melepas rindu - dan bukan untuk nadzor, meminang atau melamarnya - meski mereka ditemani oleh mahramnya, atau yang semisalnya bukanlah termasuk nilai-nilai islam, tapi mengapa masih mereka lakukan di dalamnya bahkan dianggapnya boleh dan wajar demi proses penjajakan dalam sebuah pacaran islami.

Para sahabat saja yang merupakan generasi terbaik umat ini apabila hendak meminta sesuatu kepada para umahatul mukminin [isteri-isteri Nabi], mereka memintanya dari belakang ta’bir [penghalang] dan tidak pernah melakukan komunikasi dengan mereka melainkan untuk hal-hal yang penting saja. Allah berfirman :

“Apabila kamu meminta sesuatu [keperluan] kepada mereka [isteri-isteri Nabi], maka mintalah dari belakang tabir. [Cara] yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (QS. Al-Ahzab : 53)

Oleh karena itu, fase pacaran dan fase yang disunnahkan dalam islam sebelum masuk ke akad nikah tidaklah sama dan tidak bisa/mungkin untuk disamakan. Para ulama pun tidak pernah menggunakan istilah lain untuk menamai fase tersebut. Sampaikanlah yang hak adalah hak dan yang batil adalah batil, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah.


----------------------------
[1] HR. Abu Dawud (2082) dan Ahmad (14586)
Share:

Syubhat Pacaran dan Bantahannya (Bag 1)

Polemik boleh tidaknya pacaran dalam pandangan islam telah menelurkan berbagai syubhat-syubhat yang sengaja dilontarkan oleh para kelompok pengekor akal dan hawa nafsu. Mereka dengan genjarnya menyebarkan berbagai syubhat kepada umat islam, khususnya kalangan remaja dan anak muda. Berbagai media telah mereka manfaatkan dan embel-embeli dengan slogan-slogan manis yang pada hakikatnya adalah kebusukan.

Kalau kita tilik lebih mendalam, mereka merupakan kaki tangan orang-orang kafir yang hendak memporak-porandakan generasi muda islam. Orang-orang kafir paham betul bahwa kemunduran dan kehancuran remaja dan pemuda islam, baik dalam akidah, akhlak, ibadah, muamalah dan yang lainnya merupakan cara jitu untuk menghancurkan serta melenyapkan islam dan umatnya dari muka bumi ini.

Syubhat-syubhat mereka sangatlah berbahaya sekali. Di mana hal itu akan membuat kerancuan dalam benak para remaja dan pemuda islam. Dan tidak sedikit dari remaja dan pemuda islam telah tertipu dan teracuni oleh bualan-bualan kotor mereka. Akhirnya mereka pun terbawa dalam pusaran arus besar akan bolehnya pacaran dalam islam menurut pandangan mereka. Semua itu bermuara pada legalisasi pergaulan bebas yang terselubung maupun yang terang-terangan. Syubhat-syubhat itu di antaranya ialah :

Syubhat pertama

Dalam al-Qur’an maupun sunnah tidak ada satupun dalil yang qathi’ yang melarang dan mengharamkan pacaran. Dengan demikian pacaran hukumnya boleh dalam islam. Hal ini dipertegas lagi oleh sebuah kaidah, “Hukum asal dalam semua muamalah adalah boleh sampai ada dalil yang melarangnya.” Pacaran merupakan muamalah. Karena tidak adanya dalil qathi’ yang melarangnya, maka kita kembalikan kepada hukum asalnya, yaitu boleh.

Jawab :

Sungguh syubhat ini sangatlah berbahaya, sesat dan menyesatkan. Memang bungkusnya begitu menarik, tapi isinya begitu busuk. Secara dzahir argumentasi mereka sangatlah baik dan logis (masuk akal). Namun sebenarnya hal itu merupakan bentuk pengekoran terhadap akal dan hawa nafsu, mendewakan serta mentuhankan akal dari segala-galanya.

Akal menjadi neraca dan tolak ukur baik tidaknya segala sesuatu. Secara tidak langsung dirinya mengklaim lebih tahu daripada Allah dan Rasul-Nya. Menganggap syariat islam sudah tidak relevan lagi dan masih banyak kekurangan di sana sini. Padahal Allah berfirman :

“Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan (nya) dari pada Allah?“ (QS. An-Nisa’ : 87)

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?“ (QS. Al-Maidah : 50)

Argumentasi mereka yang tidak berdasar itu merupakan model pemahaman mereka yang parsial dan setengah-setengah terhadap dalil-dalil syari’. Hati suci mereka sebenarnya mengingkari, hanya saja akal dan hawa nafsunya telah menguasai jiwa mereka. Begitulah kondisi mereka yang dengan sengaja hendak memplintir nash-nash untuk memperkuat dan melegitimasi setiap keinginan dan nafsunya.

Memang dalam al-Qur’an dan sunnah tidak ada nash yang secara eksplisit menyebutkan kata pacaran dilarang dan haram hukumnya. Akan tetapi banyak sekali nash-nash qath’i yang melarang perkara-perkara yang banyak dilakukan saat berpacaran. Hal ini menunjukkan bahwa islam melarang pacaran yang di dalamnya tidak terlepas dari perkara-perkara tersebut, seperti memandang lawan jenis yang tidak halal, memegang, bersalaman, berpelukan, ngobrol, ciuman, dan yang lainnya.

Allah berfirman :

“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nur : 30)

“Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya dan memlihara kemaluannya.” (QS.An-Nur : 31)

“Dan janganlah engkau dekati zina, karena hal itu adalah perbuatan keji dan jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra : 32)

Disebutkan dalam sebuah hadits :

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ لاَ وَاللَّهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ غَيْرَ أَنَّهُ بَايَعَهُنَّ بِالْكَلاَمِ 

“Dari Aisyah bahwa ia berkata, “Demi Allah, Rasulullah tidaklah menyentuh tangan salah seorang wanita sama sekali (saat membaiatnya). Namun Beliau membaiat mereka dengan perkataan.” [1]

Imam nawawi berkata, “Dalam hadits ini ada beberapa faidah, yaitu:

- Rasulullah dalam membaiat kaum wanita (mengambil janji setia) hanya dengan ucapan tanpa memegang tangannya.
- Baiat kaum laki-laki dengan ucapan dan memegang tangan mereka.
- Berbicara dengan wanita yang bukan mahramnya dibolehkan saat dibutuhkan dan suara wanita bukanlah aurat. Kemudian tidak boleh menyentuh kulit wanita asing kecuali dalam kondisi darurat, seperti untuk pengobatan, operasi, mencabut gigi, mencelaki mata dan yang lainnya yang mana tak seorang wanita pun yang mampu untuk melakukannya. Saat itu dibolehkan bagi seorang laki-laki untuk melakukannya karena kondisi darurat yang menuntutnya.” [2]

Rasulullah juga bersabda :

إِنِّيْ لَا أُصَافِحُ النِّسَاءَ إِنَّمَا قَوْلِيْ لِامْرَأَةٍ قَوْلِيْ لِمِائَةِ امْرَأَةٍ

“Aku tidaklah berjabat tangan dengan kaum wanita. Perkataanku (dalam mengambil janji setia) untuk seorang wanita telah mewakili seratus orang wanita.” [3]

لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا كَانَ ثَالِثُهُمَا الشَّيْطَانَ

“Janganlah sekali-kali seorang laki-laki menyendiri dengan seorang perempuan (yang bukan mahramnya), melainkan setan menjadi orang ketiganya.” [4]

Nash-nash di atas menunjukan secara gamblang akan haramnya memandang lawan jenis yang bukan mahramnya, menyentuh, memegang, berjabat tangan, ngobrol, berduaan, mencium, bermesraan dan lain sebagainya. Di mana perkara-perkara ini tidak mungkin terlepas saat mereka berpacaran. Dan masih banyak lagi nash-nash lain yang secara sharih melarang perkara-perkara yang banyak dilakukan oleh orang yang berpacaran.

Adapun penerapan kaidah yang mereka sebutkan tidaklah tepat. Dalam kaidah “Hukum asal semua muamalah adalah boleh sampai ada dalil yang melarangnya“ [5] bahwa yang dimaksud muamalah dalam kaidah ini apabila muamalah tersebut tidak bertentangan dengan syariat dan dalil-dalil umum yang ada. Ia bukanlah muamalah yang bersifat mutlak tanpa adanya batasan-batasan syari’ di dalamnya.

Sehingga apabila dalam muamalah tersebut mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan syariat, maka muamalah tersebut menjadi haram hukumnya. Hal ini seperti kaidah “Adat kebiasaan bisa dijadikan sebagai dasar hukum.” [6] Adat kebiasaan dalam kaidah ini bersifat terbatas dan batasannya adalah hukum-hukum syariat. Apabila adat kebiasaan tersebut tidak bertentangan dengan batasan-batasan syari’, maka kaidah di atas bisa diamalkan. Namun jika adat kebiasaan tersebut bertentangan dengan syariat, baik dalil-dalil yang bersifat khusus maupun yang bersifat umum. Maka kaidah tersebut tidak boleh diamalkan.

Apabila kita perhatikan praktik pacaran, maka muamalah yang ada di dalamnya sangatlah bertentangan dengan syariat dan dalil-dalil umum yang ada. Seperti haramnya berjabat tangan dengan lawan jenis, memandang, mencium, menyentuh dan lain sebagainya.

Dengan demikian, sudah sangat jelas dan tanpa ada ragu lagi bahwa praktik pacaran yang banyak dilakukan oleh kalangan remaja dan kawula muda tidak dibolehkan dalam islam dan haram hukumnya. Jika mereka menghendaki kebaikan, maka tinggalkanlah pacaran. Niscaya Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik dan akan merasakan kepada hati mereka betapa lezatnya sebuah keimanan.

Syubhat kedua

Pacaran bisa dijadikan sebagai jalan untuk mengenal lebih dekat sifat dan karakter pasangannya sebelum melaju ke jenjang pernikahan. Dengan cara ini diharapkan rumah tangga yang dibina nantinya akan lebih harmonis karena telah mengetahui karakter satu sama lain dari masing-masing pasangannya.

Jawab :

Perkataan di atas hanyalah sebuah argumentasi dan teori yang tidak berdasar pada agama sama sekali, tapi bersandar pada hawa nafsu dan akal semata-mata. Keharmonisan sebuah rumah tangga bukan hanya dibina dari pengetahuan akan sifat dan karakter masing-masing pasangannya. Akan tetapi lebih dari sekadar itu. Rumah tangga yang harmonis akan terbentuk saat rumah tangga itu dibangun di atas dien yang benar, pengertian masing-masing pasangan akan kekurangan dan kelebihannya, penunaian hak dan kewajiban tanpa lebih dan kurang dari masing-masing anggota keluarga.

Perlu digaris bawahi juga, bahwa kebenaran dan kebaikan tidak boleh ditempuh dengan jalan yang haram dan tidak baik. Mengenal sifat dan karakter calon pasangan hidup lewat jalur pacaran adalah cara-cara yang tidak dibenarkan dalam syariat. Kita juga harus memahami bahwa jodoh adalah rahasia Allah. Dia-lah yang menentukan siapa yang cocok sebagai pasangan hidup kita.

Bisa jadi mereka bisa mengenal dan memahami dengan baik sifat dan karakter calon pasangannya. Akan tetapi ternyata ia bukanlah jodoh kita dan kita tidak bisa membina keluarga bersamanya. Kita juga harus yakin bahwa laki-laki yang shalih adalah untuk wanita-wanita yang shalihah, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji pula.

Allah berfirman :

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).” (QS. An-Nur : 26)

Dengan demikian, cukuplah bagi kita berusaha untuk menjadi hamba yang shalih atau shalihah, niscaya Allah akan memberikan pasangan hidup yang baik. Dengan keberadaan pasangan hidup yang baik inilah akan terbentuk rumah tangga yang harmonis. Dan dari rumah tangga yang harmonis inilah akan tercipta sebuah tatanan masyarakat islami yang indah penuh dengan nilai-nilai ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, pula pengamalan maupun implementasi akan nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an dan as-sunnah.

------------------------------
[1] HR. Bukahri (5288), Muslim (1866) dan Ibnu Majah (2875)
[2] Syarh An-Nawawi ‘Ala Muslim, Imam Nawawi, 13/10
[3] HR. An-Nasai’ (4181), Ibnu Majah (2874), Ahmad (27051 ) dan dalam al-Muatha al-Imam Malik (1775)
[4] HR. At-Tirmidzi (2165) dan Ahmad (114)
[5] Al-Mumti’ Fii Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, hal 141
[6] Ibid, hal 267
Share:

Keluar Dari Lingkaran Api Pacaran

Pacaran merupakan sebuah problematika remaja dan anak muda yang sudah tidak asing lagi. Sebenarnya, kalau kita melihat realita. Konteks sebuah pacaran tidak terbatas pada kalangan remaja yang belum menikah. Ia juga bisa menjangkit orang-orang yang sudah berumah tangga yang notabene mengalami broken home. Berawal dari ketidakpuasan dan hilangnya rasa kepercayaan terhadap pasangannya menjadikan mereka mencari tempat pelarian di luar rumah untuk mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari orang lain.

Kalau ditinjau dari definisi umum pacaran, perkara ini masuk dalam pengertian pacaran secara umum. Karena di dalamnya adanya ikatan cinta dan kasih antara dua pasangan lawan jenis yang bukan mahramnya. Namun, Istilah mengenai kasus ini lebih dikenal dengan perselingkuhan yang terjadi dalam sebuah rumah tangga. Lagi-lagi semua masalah ini berakar dari buruk dan minimnya pengetahuan ilmu syar’i dan pemahaman yang benar terhadap islam.

Adapun istilah pacaran lebih cocok dan lebih populer untuk kalangan remaja dan anak muda yang sedang dimabuk cinta. Karena faktanya kita lebih banyak menemukan kasus semacam ini pada kalangan remaja dan anak muda dari pada kalangan orang-orang yang sudah membina rumah tangga. Oleh karena itu, pacaran dikategorikan sebagai sebuah problematika remaja dan anak muda yang patut mendapatkan perhatian khusus tentang bagaimana memecahkan dan mencari solusi agar para remaja dan anak muda terlepas dari jeratan api iblis tersebut.

Dalam mencari solusi untuk keluar dari problematika ini, maka tidak ada jalan lain kecuali kita mencari akar permasalahan dan kemudian dikembalikan kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul-Nya (As-Sunnah). Hal ini sebagaimana firman Allah :

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nissa : 59)

Metode ini merupakan cara terbaik yang diperintahkan oleh Allah tatkala ditimpa suatu problem atau terjadi perselisihan di antara kita. Berikut ini adalah beberapa upaya yang dapat kita lakukan untuk menyelamatkan para remaja dan anak muda dari belenggu hitam pacaran :

1. Pendidikan nilai-nilai islam sejak usia dini

Usia dini adalah masa-masa emas. Ia sangat berharga bagi masa depan seorang anak di kemudian hari. Jangan pernah sedikit pun untuk mengabaikan dan bersikap ceroboh terhadap pendidikan islam yang benar pada anak-anaknya di usia dini. Karena anak-anak pada usia ini ibarat pita kaset yang masih kosong atau seperti kertas putih yang masih bersih dari coretan-coretan tinta.

Barangsiapa mengisinya dengan hal-hal yang baik dan menulis di atasnya dengan tinta emas keshalihan, maka hal itu akan membekas dan menjadi modal yang sangat berharga bagi masa depan anak-anaknya kelak. Dan barangsiapa membiarkannya untuk merekam hal-hal yang buruk dan dan tidak menjauhkan dari coretan tinta-tinta hitam kefasikan, akhlak yang buruk, aqidah yang menyimpang dan keburukan-keburukan lainnya, maka anak pun akan tumbuh dalam dunia yang penuh kehinaan dan penyimpangan.

Dalam lingkup keluarga, hendaknya seorang anak dibekali dengan aqidah yang benar, keimanan yang kokoh, akhlak yang terpuji, dan dijauhkan dari perkara-perkara yang menyimpang dari ajaran islam yang benar. Di antaranya, seperti memisahkan tempat tidur antara anak laki-laki dan anak perempuan di saat mereka telah beranjak usia tamyiz (usia di mana anak telah mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, antara yang hak dan yang batil).

Rasulullah bersabda :

مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat saat usia mereka tujuh tahun. Dan pukullah mereka apabila pada usia sepuluh tahun tidak melaksanakan shalat serta pisahkanlah tempat tidur mereka.” [1]

Contoh di atas merupakan awal pendidikan agar anak-anak tidak terbiasa dengan budaya ikhtilat di saat mereka menginjak usia remaja. Ia juga merupakan salah satu penanaman nilai-nilai kesucian dan kehormatan pada diri mereka agar mereka terhindar dari malapetaka hawa nafsu dan syahwat akibat budaya ikhtilat yang sudah banyak tersebar di kalangan para remaja maupun anak muda.

2. Keteladanan kedua orang tua

Kedua orang tua adalah sosok yang menjadi teladan pertama bagi anak-anaknya. Di mana semua aktivitas kedua orang tuanya secara langsung disaksikan oleh mereka dan secara otomatis hal itu akan terserap dan tersimpan dalam memori otak anak-anaknya. Apabila orang tua membiasakan dirinya dengan keteladanan yang baik, maka hal itu akan membiasakan anak dalam kebaikan pula. Demikian juga keteladanan yang buruk dan salah dari orang tua akan menjadika anak-anaknya tubuh dan berkembang dalam kebiasaan yang buruk pula.

Lingkungan keluarga adalah madrasah pertama dan utama bagi seorang anak. Kedua orang tua merupakan guru dan pendidik yang sangat berperan dalam mencetak mereka menjadi generasi yang baik atau generasi yang buruk. Sungguh keteladanan nyata dari keduanya sangatlah berpengaruh positif terhadap emosi dan akhlak anak-anaknya. Sehingga tidak cukup bagi orang tua hanya memberikan nasihat dan perintah saja, sementara dirinya tidak melakukan dan memberikan contoh nyata terhadap mereka. Karena hal ini akan menjadi bumerang bagi keduanya saat mendidik anak-anaknya.

Sebagai contoh, seorang ayah menyuruh anaknya untuk mengaji dan belajar membaca al-Qur’an, sementara dirinya tidak bisa membaca al-Qur’an dan tidak mau belajar membaca al-Qur’an. Atau menyuruh anak-anaknya untuk shalat sementara dirinya tidak shalat sama sekali. Meminta anak-anaknya untuk berhias dengan akhlak yang mulia sementara dirinya berakhlak buruk.

Maka mustahil bagi anak-anaknya untuk mengikuti perintah orang tuanya. Meskipun si anak menuruti perintah orang tuanya, ia melaksanakan perintah itu karena unsur keterpaksaan. Apabila ada kesempatan bagi dirinya untuk menghindar, maka ia akan langsung menghindar dari perintah orang tuanya. Sehingga metode pendidikan semacam ini adalah metode yang salah dan tidak akan membuahkan hasil yang maksimal dan optimal dalam diri sang anak.

Demikian juga seorang ibu, jika dirinya tidak mengenakan jilbab, mempertontonkan aurat dan kecantikannya di hadapan orang lain, berbaur dengan orang yang bukan mahramnya, berbicara dan berakhlak tidak terpuji, bertabaruj (bersolek dan berdandan menor di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya), dan perbuatan-perbuatan buruk lainnya. Maka semua perbuatan itu akan menjadi pendidikan praktis bagi anak-anaknya untuk terbiasa berlaku menyimpang, hilangnya rasa malu, menipisnya nilai kesopanan diri, serta tidak memiliki kehati-hatian dalam menjaga kesucian dan kehormatan dirinya.

Oleh karena itu, Rasulullah telah menegaskan bahwa orang tua memiliki peran yang sangat penting dalam mengarahkan anak-anaknya untuk menjadi baik atau buruk. Rasulullah bersabda :

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَثَلِ الْبَهِيمَةِ 

تُنْتَجُ الْبَهِيمَةَ هَلْ تَرَى فِيهَا جَدْعَاءَ

“Setiap anak adam terlahir dalam keadaan fitrah (beragam islam). Kedua orang tuanyalah yang akan menjadikan mereka beragama yahudi, atau nashrani, atau majusi. Ia persis layaknya hewan yang melahirkan hewan yang serupa. Mungkinkah ia melahirkan onta? “ [2]

Wahai para orang tua, jadilah engkau sosok teladan bagi anak-anakmu, menjadi seorang guru dan pendidik yang bukan hanya bisa berkata tanpa bisa berbuat.

Sungguh, keteladanan nyata lebih bermakna dari pada sekedar kata-kata. Dan keteladan itu akan lebih bernilai jika engkau gabungkan antara keteladanan nyata dan nasihat-nasihat mutiara yang baik. Sehingga engkau akan tersenyum saat melihat anak-anakmu shalih dan shalihah, memiliki aqidah yang lurus dan akhlak yang mulia serta jauh dari akhlak-akhlak yang tercela. Janganlah kalian menjadi golongan orang-orang yang mendapat murka Allah, karena hanya bisa bicara tanpa bisa berbuat.

Allah berfirman :

“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shaff : 2-3)

3. Pengawasan dan bimbingan kedua orang tua dalam pergaulan anak-anaknya


Pengawasan orang tua terhadap pergaulan anak-anaknya memiliki peranan yang sangat penting. Keduanya harus mengetahui lingkungan yang menjadi tempat bermain mereka, mengenal dan memahami sifat maupun karakter teman-temannya. Apabila anak-anaknya dibiarkan bebas bergaul dengan siapa saja, tanpa membatasi waktu, ruang, sifat maupun karakter teman-temannya. Maka hal itu sangat berakibat fatal bagi perkembangan kepribadian anak-anaknya.

Kondisi semacam ini akan menjadikan kecenderungan anak-anaknya untuk menyimpang dari jalan yang benar semakin besar, baik dari sisi sikap, perilaku, akhlak, gaya hidup maupun yang lainnya. Karena secara umum lingkungan luar pada saat ini sudah sangat rusak dan tidak kondusif bagi pendidikan anak-anak. Di mana pergaulan mereka dengan teman-temannya menjadi sebuah pendidikan praktis baginya. Pendidikan praktis ini sangatlah berbahaya karena ia dengan cepatnya bisa melekat dan membekas dalam jiwa seorang anak.

Di sinilah peran orang tua diuji. Keduanya harus pandai dalam memilih lingkungan yang baik untuk anak-anaknya. Menanamkan sedini mungkin tentan prinsip-prinsip beragama yang benar terhadap mereka. Sehingga tatkala sang anak beranjak dewasa dan masuk ke dalam lingkungan yang kurang baik, dirinya telah memiliki pondasi dan prinsip beragama yang kokoh yang dapat melindungi dirinya dari pengaruh buruk lingkungan dan akhlak-akhlak teman-temannya.

Perlu diketahui oleh para orang tua bahwa lingkungan itu tidak terbatas pada tempat. Mereka juga harus memahami bahwa ada lingkungan lain yang bersifat maya. Namun demikian, dunia maya ini memiliki efek yang sangat berbahaya apabila tidak ada pengawasan dan bimbingan yang baik dari kedua orang tuanya.

Adapun lingkungan lain itu bisa berupa internet, televisi, radio, buku-buku komik, majalah, novel, handphone, game player, pembantu dan yang lainnya. Semua media tersebut akan berpengaruh buruk bagi perkembangan sang anak apabila berisi hal-hal yang negatif dan tidak mengandung unsur pendidikan sama sekali. Meskipun semua media itu berada di dalam rumah.

Oleh karena itu, hendaknya orang tua membatasi dan mengawasi anak-anaknya dalam mengakses media-media yang ada di sekitarnya. Jauhkanlah mereka dari acara-acara yang mangandung maksiat, gambar-gambar yang jorok, buku-buku yang sesat dan tidak berguna sama sekali. Tanamkan kepada mereka jiwa senang membaca buku-buku yang baik, giat menuntut ilmu, mengaji, berkarya dan berinovasi yang positif.

Orang tua harus membantu mengembangkan bakat dan cita-cita anak-anaknya, menyalurkan dan menuntun bakat mereka kepada hal-hal yang positif serta tidak memaksakan tuntutan dan kehendaknya terhadap sang anak. Mereka cukup membimbing dan mengarahkan bakat-bakat itu ke arah yang baik selama bakat itu tidak bertentangan dengan islam.

Wahai para orang tua, katakanlah kepada anak-anak kalian bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah menurut kacamata agama. Janganlah engkau membiasakan diri berkata dusta kepada mereka atau berjanji tanpa pernah ditepati. Mulailah semuanya dari diri kalian, niscaya anak-anakmu tidak akan jauh dari apa yang kalian usahakan. Sebuah pepatah jawa mengatakan, “Mbuluk iku nek lugur ora adoh soko wite“ maksudnya bahwa buah kelapa itu apabila jatuh tidak akan jauh dari pohonnya.

Pepatah di atas menggambarkan bahwa anak itu tidak akan jauh dari kepribadian kedua orang tuanya. Oleh karena itu, keteladanan yang baik dari orang tua akan menjadikan anak tumbuh dengan baik mengikuti bakat dan nalurinya, serta menjadikan dirinya memiliki modal dan prinsip beragama yang kokoh. Sehingga ia pantas untuk menjadi generasi yang kokoh, tangguh, berdedikasi, berjiwa besar, beraqidah lurus, dan berakhlak mulia. Ia pun siap untuk bergelut dalam lingkungan yang memiliki karakter yang beraneka ragam. 

4. Peran aktif seorang dai’

Seorang dai’ adalah manusia yang mengemban tanggung jawab untuk menjaga kemurniaan syariat islam yang mulia. Ia menjadi penuntun manusia untuk tetap di atas jalan yang benar, memberi peringatan bagi mereka yang lalai dan menyimpang, serta memberi kabar gembira bagi mereka yang istiqamah di atas jalan Allah dan Rasul-Nya.

Peranan seorang Dai’ adalah menjaga tali estafet para ulama yang membawa tugas mulia warisan para Nabi berupa ilmu. Rasulullah telah menegaskan sendiri bahwa para ulama adalah pewaris para Nabi yang telah mewariskan ilmu kepada mereka. Rasulullah bersabda :

وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

“Ulama adalah pewaris para Nabi. Di mana para Nabi tidaklah mewariskan dinar maupun dirham, akan tetapi mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya (ilmu), maka ia telah mengambil bagian yang banyak.” [3]

Seorang dai’ dituntut untuk aktif dalam membantu membangun kembali reruntuhan akidah, ibadah, muamalah dan akhlak manusia. Ia harus andil secara nyata dalam dunia pembinaan, pengajaran dan pendidikan. Baik secara langsung maupun tidak langsung. Ia harus melindungi manusia dari segala pemikiran dan syubhat yang menyimpang dan menyesatkan.

Peran nyata mereka bisa berupa khutbah atau ceramah umum, pembinaan dalam dunia pendidikan dan pengajaran dalam lingkup pesantren, menulis buku, artikel, dan yang tidak kalah penting memanfaatkan dunia maya untuk menyebarkan kebaikan dan kebenaran serta membantah pemikiran-pemikiran maupun syubhat yang sesat dan menyesatkan yang sengaja dilontarkan oleh musuh-musuh islam, baik dari kalangan orang-orang kafir maupun orang-orang munafik.

Para dai’ pun harus terus memberikan tindakan konkrit, baik melalui media tulis menulis maupun media ceramah, baik terjun dalam media cetak maupun elektronik. Jangan sampai mendiamkan dan membiarkan kemunkaran dan tersebarnya perbuatan dosa dan maksiat. Setiap dai’ dan anggota keluarganya harus menjadi teladan baik bagi masyarakatnya, bekerja sama dengan berbagai pihak untuk saling bahu membahu membangun masyarakat islami yang baik dan kokoh.

Para ulama dan dai’ adalah pewaris para Nabi yang telah mewariskan kepada mereka ilmu dien yang mulia. Mereka harus siap dan sabar dalam menghadapi setiap celaan, hujatan, permusuhan, ancaman, tantangan dan berbagai rintangan dalam dunia dakwah. Sebagaimana halnya para Nabi telah mencontohkan sikap mulia mereka dalam mengemban tugas dakwah. Para dai’ pada zaman sekarang ini harus pandai memanfaatkan kemajuan ilmu dan teknologi untuk memperkuat dakwah, melawan dan mengimbangi gerakan musuh-musuh islam.

Dengan peran dai’ yang aktif yang pandai melihat kasus dan mencari solusi terbaik sesuai tuntunan Rasulullah, maka akan tercipta sebuah masyarakat islami yang menjadi dambaan semua orang. Masing-masing dai’ menyesuaikan diri dengan kemampuan dan keahliannya masing-masing.

Bagi mereka yang memiliki kelebihan dalam orasi, tebarkanlah kebaikan dan kebenaran lewat dunia ceramah. Bagi mereka yang ahli dalam bidang tulis menulis, kerahkanlah semua kemampuannya untuk berdakwah lewat ketajaman penanya. Dan media-media lainnya sesuai dengan bakat dan kemampuan masing-masing dai’.

Dengan demikian, mereka saling melengkapi satu sama lain. Sehingga hembusan dakwah akan menyusup ke semua tempat dan semua kalangan. Dan dakwah akan tersebar, menggema dan membahana di mana-mana.

5. Peran dan tanggung jawab seorang pemimpin

Seorang pemimpin hendaknya mengeluarkan tindakan yang tegas untuk menjaga ketentraman, keamanan, kebaikan dan kemuliaan dari perilaku para wanita dan laki-laki yang melanggar batasan-batasan syariat. Seperti para wanita yang sengaja mempertontonkan aurat dan kecantikannya, berbaur dengan laki-laki yang bukan mahramnya dan sebagainya.

Selain itu, mereka juga harus melindungi umat dari kejahatan yang dilakukan oleh para lelaki maupun wanita, melarang berbagai tulisan orang-orang yang sesat dan menyesatkan, serta memberikan sanksi yang tegas terhadap para pelakunya.

Demikian pula, para pemimpin mulai dari tingkat RT, RW, Desa, Kecamatan, Kabupaten, maupun Propinsi, dan Pusat harus lebih giat membuat program-program lewat lembaga terkait serta melakukan kerja sama dengan lembaga lain, seperti sekolah, pesantren, yayasan islam untuk memberikan penyuluhan intensif tentang bahaya pacaran maupun pergaulan bebas.

Adapun kenyatannya yang kita lihat di lapangan, tindakan yang dilakukan oleh birokrasi kepemerintahan dari tingkat Desa hingga pusat memang belum maksimal dan kurang menaruh perhatian tentang dampak buruk tradisi pacaran. Oleh karena itu, kepemimpinan rumah tangga dalam kondisi seperti ini sangatlah urgen untuk memberikan pendidikan dan memelihara anggota keluarganya agar tidak terjerumus dari perbuatan haram, seperti pacaran.

Apabila masing-masing keluarga antusias untuk memelihara dan memberikan bimbingan maupun pengawasan terhadap anak-anaknya agar tidak tercebur dalam dunia pacaran, maka nantinya secara otomatis akan terbentuk sebuah komunitas yang baik di tingkat RT maupun RW yang saling bekerja sama untuk melindungi anak-anaknya dari pacaran.

Inilah sejatinya peran kepemimpinan yang kecil namun sangat urgen untuk merubah kondisi buruk masyarakat yang harus dijalankan oleh masing-masing keluarga. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah :

كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا

وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا، وَالخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan kalian bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya. Seorang Imam adalah pemimpin dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya, dan seorang suami adalah pemimpin dalam rumah tangganya yang bertanggung jawab terhadap keluarganya, seorang Isteri adalah pemimpin di rumah suaminya yang bertanggung jawab atas kepemimpinannya [seperti pendidikan anak-anak], dan seorang pembantu juga pemimpin atas harta tuannya yang bertanggung jawab atas amanat hartanya.” [4]

Allah juga telah memerintahkan orang-orang beriman untuk menjaga diri dan keluarganya dari api neraka. Hal ini menunjukkan akan peranan yang sangat penting dari sebuah kepemimpinan keluarga bagi perbaikan kehidupan masyarakat. Allah telah berfirman :

“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim : 6)

6. Pengembangan pendidikan yang berbasis islam


Pendirian dan pengembangan pendidikan yang benar-benar berbasis islam, baik dalam hal kurikulum maupun lingkungannya sangatlah memberikan kontribusi terhadap meminimalisir pengaruh buruk dunia pacaran. Penerapan ini harus dimulai dari tingkat pendidikan kanak-kanak hingga ke pendidikan perguruan tinggi. Hal ini sebagai bentuk preventif dan penanaman nilai-nilai islam sejak usia dini. Apabila hal ini bisa terbentuk dengan baik, maka mental dan akhlak generasi umat islam pun akan menjadi baik.

Sebagai contoh, seperti pemisahan tempat belajar antara siswa laki-laki dan perempuan di sekolah-sekolah, pembagian kelas yang dipisah antara Mahasiswa dan Mahasiswi di perguruan tinggi. Hal ini sebagai bentuk implementasi penekanan pengaruh buruk akan tradisi ikhtilat.

Juga penanaman dan pendidikan agar anak-anak didik berpakaian rapih, sopan, dan islami. Biasakan hal ini kepada mereka agar anak-anak didik memiliki rasa malu dari mengumbar aurat di depan lawan jenis yang bukan mahramnya. Sungguh, apabila rasa malu itu telah tertanam dalam hati anak-anak didik dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, maka hal itu sangat berpengaruh terhadap interaksi antara laki-laki dan perempuan yang penuh dengan adab dan sopan santun di bawah nilai-nilai islam.

Diramaikannya lembaga pendidikan, sekolah-sekolah, maupun perguruan tinggi dengan program-program halaqah penghafal al-Qur’an juga sangat berandil besar agar mereka dekat dengan al-Qur’an. Jika kebiasaan itu telah tertanam dalam hati mereka, maka ia menjadi modal dasar dalam pengendalian diri agar tidak mudah terjerumus dalam perbuatan dosa maupun pergaulan bebas dengan lawan jenisnya.

Islam tidaklah menutup interaksi antara kaum laki-laki dengan kaum perempuan, justru masing-masing saling membutuhkan satu sama lain untuk memakmurkan bumi ini dalam mengimplementasikan ibadah kepada Allah. Akan tetapi, islam tidaklah memberikan kebebasan itu secara mutlak tanpa adanya batasan-batasan di dalamnya. Karena batasan-batasan itu sejatinya dimaksudkan demi kebaikan mereka bersama.

Oleh karena itu, kita sangat mengapresiasi terhadap lembaga pendidikan baik islam maupun umum yang sudah mulai menerapkan nilai-nilai islam di atas. Dan kemajuan ini perlu didukung oleh semua kalangan serta harus dikembangkan di setiap pelosok negeri ini. Karena lembaga pendidikan memiliki andil besar terhadap perkembangan mental, akhlak maupun kepribadian anak-anak didiknya.


---------------------------
[1] HR. Abu Dawud (495)
[2] HR. Bukhari (1385), Muslim (6928), At-Tirmidzi (2138), Abu Dawud (4716), dan Ahmad (7698)
[3] HR. Abu Dawud (3643), At-Tirmidzi (2682) dan Ibnu Hibban dalam shahihnya (88)
[4] HR. Bukahri (2409), Muslim (1829), Abu Dawud (2928) dan At-Timidzi (1705)
Share:

Dosa-Dosa Pacaran

Cukuplah bagi kita, khususnya orang tua atau mereka yang di bawah tangannya tergenggam amanah akan pendidikan maupun perkembangan anak-anaknya, bahwa fakta maupun realita yang kerap terdengar dan menjadi santapan sehari-hari kita menunjukkan akan buruknya akibat dari sebuah pacaran yang banyak dilakukan oleh kalangan para remaja maupun anak muda akhir-akhir ini. Tiadakah hal itu menyadarkan kita atau malah menjadikan diri kita terbiasa dengannya yang memunculkan sikap apatis akan perkembangan anak maupun dampak buruk yang terjadi setelahnya.

Sungguh keburukan yang sangat buruk kala orang tua membiarkan keburukan anak-anaknya terjadi di rumahnya yang menjadi istananya dan dijadikannya keburukan itu menghiasi pandangannya. Adakah orang tua yang menginginkan keburukan bagi anak-anaknya ? secara naluri tentunya tidak ada, akan tetapi realita sikap orang tua yang terlalu memberikan ruang bebas pergaulan anak-anak perempuannya dengan laki-laki yang bukan mahramnya atau sebaliknya, bisa menjadi indikasi akan keinginan mereka bahwa anak-anaknya tetap tercebur dalam lumpur keburukan yang nyata.

Sesungguhnya orang tua-lah yang layak menjadi seorang raja, karena dibawah tangannya tergenggam kekuasaan dan wilayah yang tiada termiliki oleh anak-anaknya. Maka gunakanlah kekuasaan itu untuk mencegah keburukan menyemat di pundak anak-anaknya. Namun fakta pun berbicara lain, bahwa sering kita saksikan bahwa akhir-akhir ini anaklah yang lebih sering naik tahta menjadi seorang raja. Sementara orang tuanya, baik ibu maupun bapaknya, keduanya dijadikan sebagai pelayan untuk menuruti apa yang menjadi keinginan anak-anaknya.

Begitulah fakta dan realitanya. Siapakah yang salah, tentunya tak bijak menyalahkan salah satunya, dan sikap yang paling bijak layak kita sematkan bahwa kesalahan terletak pada kedua-duanya. Terlebih di zaman sekarang ini yang telah terkelilingi oleh buruknya pengaruh lingkungan sekitar dan kemajuan teknologi dan informasi yang semakin pesat.

Sebenarnya inti semua keburukan itu muncul karena minimnya pemahaman dan pengetahuan mereka akan ilmu agama. Orang tua kurang mengerti dan sedikit sekali pengetahuannya akan hukum-hukum syariat, sehingga pendidikan akhlak dan perilaku anak-anaknya kurang terkontrol dengan baik. Demikian pula yang terjadi pada anak-anaknya yang sangat kurang mendapatkan porsi pendidikan dan penanaman nilai-nilai agama yang baik. Akibatnya masing-masing merasa dan menganggap bahwa keburukan yang mereka lakukan adalah sesuatu yang wajar, terlebih jika hal itu sudah menjadi sebuah tradisi dan budaya di lingkungan masyarakat.

Sungguh, inilah keburukan yang terburuk, menganggap wajar sebuah keburukan dan menjadikan sebuah tradisi maupun budaya masyarakat - yang banyak terkandung di dalamnya penyimpangan-peyimpangan terhadap syariat - sebagai perkara yang baik dan benar. Demikianlah yang akan terjadi apabila amalan atau perbuatan kebanyakan [mayoritas] manusia yang menjadi titik acuan akan kebenaran maupun kebaikan sebuah perkara.

Bukanlah suara mayoritas yang menjadi tolak ukur kebenaran maupun kebaikan sebuah perkara atau perbuatan masyarakat, melainkan kekuatan hukum sebuah perkara atau perbuatan yang berdiri di atas dalil-dalil syar’I yang bersumber dari al-qur’an maupun hadits Nabi yang menjadi neraca akan baik dan benarnya sebuah perkara atau perbuatan. Maka apabila suatu perbuatan atau perkara yang dianggap baik oleh suara mayoritas masyarakat, telah berlangsung lama, tersebar dan turun temurun dari masa ke masa, namun perkara itu tiada berlandaskan pada dalil-dalil syar’I sedikit pun, bahkan bertentangan dengan nilai-nilai dan hukum syariat, maka gugurlah kekuatan perkara itu untuk menjadi sebuah kebenaran atau kebaikan di tengah-tengah masyarakat.

.................


ANDA BERMINAT :
Lengkapi kepustakaan anda dengan Buku: 
DOSA-DOSA PACARAN yang dianggap biasa 
Penulis : Saed as-Saedy
Penerbit : WAFA Press, Solo
Cetakan : Ke-2
Halaman : 176 hal
Berat : +/-198 gram 
ISBN : 978 979 1414 791

Anda berMINAT, anda juga bisa hubungi langsung ke penulisnya via: 
HP/WA: 0878 8336 2047
Harga : Rp. 27.000, - (Free Ongkir khusus JABODETABEK)

.........

Oleh karena itu, Allah telah mewanti-wanti masalah ini bahwa tolak ukur kebenaran hanyalah apa yang bersumber dari Allah dan Rasul-Nya, dan bukan apa yang dilakukan atau dikatakan oleh mayoritas manusia.

Allah berfirman :

“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan manusia di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Yang mereka ikuti hanyalah persangkaan belaka dan mereka hanyalah membuat kebohongan.” (QS. Al-An’am : 116)

Alloh juga berfirman :

“Dan sesungguhnya [al-Qur’an itu] adalah kitab yang mulia. [yang tidak] tidak akan didatangi oleh kebatilan baik dari depan maupun dari belakang [pada masa lalu dan yang akan datang], yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana, Maha Terpuji.” (QS. Fushshilat : 41-42)

Alloh juga berfirman :

“Dan tidaklah yang diucapkannya itu [al-Qur’an] menurut keinginannya. Tidak lain [al-Qur’an itu] adalah wahyu yang diwahyukan [kepadanya].” (QS. An-Najm : 3-4)

Berikut ini adalah beberapa fakta dan realita yang terjadi akibat menjamurnya dunia pacaran di kalangan remaja maupun anak muda :

1. Tersebarnya hubungan intim di luar nikah

Penelitian yang dilakukan terhadap 633 siswa [345 pria dan 288 wanita] Sekolah Lanjutan Atas di kota besar di Bali didapatkan bahwa 27 % siswa pria mengaku pernah melakukan hubungan badan dengan lawan jenis dan 18 % pernah terjadi pada siswa puteri. (Pangkahila, W. 1981).[1] Dan pada tahun 1981 pernah dilakukan penelitian oleh Tempo yang menunjukkan angka 17,02 % responden yang setuju dengan senggama sebelum nikah.[2]

Hasil penelitian remaja di DKI Jakarta dan DI Yogyakarta oleh Ramli Bandi dkk, 1991, menunjukkan bahwa dari responden yang berjumlah 3967 menyatakan bahwa 19,6 % perilaku/tindakan pada waktu pacaran yang dilakukan oleh remaja tersebut yaitu 41,4 % mengaku hanya berkunjung ke rumah dan bercanda, 37,4 % Menyatakan cium pipi, cium bibir dan yang menyatakan pernah melakukan senggama 4,1 %. Dari yang menyatakan pernah bersenggama dilakukan pertama kali pada usia 15–19 tahun menunjukkan 49,8 %. Dan, melakukan dengan pacarnya 37,5 %. Sedangkan dengan WTS [pelacur] sebanyak 20,8%.[3]

Hasil penelitian di atas dilakukan sekitar tahun 1980-an dan tahun 1990-an sebelum maraknya media sosial, mudahnya mengakses internet, penggunaan smartphone [ponsel canggih], serta semakin mudahnya menyantap media transportasi maupun informasi seperti sekarang ini yang bisa didapatkan oleh semua kalangan.

Kementerian Kesehatan RI, 2009, pernah merilis perilaku seks bebas remaja dari penelitian di empat kota yakni Jakarta Pusat, Medan, Bandung, dan Surabaya. Hasil yang didapat sebanyak 35,9 persen remaja punya teman yang sudah pernah melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Bahkan, 6,9 persen responden telah melakukan hubungan seksual pranikah. (www.poskotanews.com)
   
2. Menjamurnya perzinaan di kalangan anak muda

Fakta mengejutkan ini diungkapkan Kepala Badan Koordinasi Keluarga berencana Nasional (BKKBN), Sugiri Syarief. Data yang dimilikinya menunjukkan sejak 2010 ini diketahui sebanyak 50 persen remaja perempuan di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) sudah tidak perawan karena melakukan hubungan seks pra nikah. Remaja putri ini mengaku sudah pernah melakukan hubungan suami istri diluar nikah. Bahkan, tidak sedikit di antaranya hamil di luar nikah.

“Dari data yang kita himpun dari 100 remaja, di mana 51 remaja perempuannya sudah tidak lagi perawan,” jelas Sugiri kepada sejumlah media dalam Grand Final Kontes Rap dalam memperingati Hari AIDS sedunia di lapangan parkir IRTI Monas, Ahad (28/11/2010).

Selain di Jabodetabek, ungkap Sugiri, data yang sama juga diperoleh di wilayah lain di Indonesia. Ia merinci, di Surabaya remaja perempuan lajang yang sudah hilang kegadisannya mencapai 54 persen, di Medan 52 persen, Bandung 47 persen, dan Yogyakarta 37 persen. Menurutnya, data ini dikumpulkan BKKBN selama kurun waktu 2010 saja.

Dari kasus perzinaan yang dilakukan para remaja putri, yang paling dahsyat terjadi di Yogyakarta. Pihaknya menemukan dari hasil penelitian di Yogya kurun waktu 2010 setidaknya tercatat sebanyak 37 persen dari 1.160 mahasiswi di kota Gudeg tersebut menerima gelar MBA (marriage by accident) alias menikah akibat hamil maupun kehamilan di luar nikah. (www.nahimunkar.com)

3. Terjadinya perkelahian atau tawuran antar pelajar maupun mahasiswa

Data akhir tahun yang dihimpun Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menunjukan angka memprihatinkan. Sebanyak 82 pelajar tewas sepanjang 2012.

"Komnas PA mencatat 147 kasus tawuran. Dari 147 kasus tersebut, sudah memakan korban jiwa sebanyak 82 anak," ujar Arist dalam konferensi pers catatan akhir tahun di Kantor Komnas PA, Jalan TB Simatupang, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Jumat (20/12/2012) pagi.

Menurut Arist, angka itu mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 128 kasus. Kondisi itu pun semakin menunjukkan kekerasan sesama anak dalam bentuk tawuran menjadi fenomena sosial yang patut diwaspadai. (www.kompas.com)

Kalau kita telisik lebih mendalam, salah satu yang memicu terjadinya perkelahian atau tawuran antar pelajar ialah saingan dalam berpacaran, atau merasa kekasihnya direbut oleh pelajar yang lain. Kondisi ini sangat disayangkan, hanya dilatarbelakangi perkara negatif saja [pacaran] mereka berani mengorbankan fisik maupun nyawanya.

4. Meningkatnya jumlah penderit HIV/AIDS dan pecandu narkoba

Data Kementerian Menteri Kesehatan akhir Juni 2010 mencatat, terdapat 21.770 kasus AIDS serta 47.157 kasus HIV positif dengan persentase pengidap usia 20-29 tahun, yakni 48,1 persen dan usia 30-39 tahun 30,9 persen. Selain itu, kasus penularan terbanyak adalah heteroseksual 49,3 persen, homoseksual 3,3 persen, dan IDU 40,4 persen. Sementara soal data penyalahgunaan narkoba menunjukkan, dari 3,2 juta jiwa yang ketagihan narkoba, 78 persennya adalah remaja. Sedangkan penderita HIV/AIDS terus meningkat setiap tahunnya. (www.liputan6.com)

Kementerian Kesehatan juga mengeluarkan data yang mengejutkan soal penderita penyakit HIV/AIDS. Diperkirakan sebanyak lebih dari 200.000 penduduk Indonesia menderita penyakit HIV/AIDS.

“Dengan total populasi 240 juta, kita memiliki prevalensi HIV 0,24 persen dengan estimasi ODHA 186.000. Data itu masih mungkin lebih besar dan bisa capai lebih dari 200.000” ungkap Direktur Pengendalian Penyakit Menular Langsung dari Kementerian Kesehatan, M. Subuh, dalam keterangan pers di Jakarta, Jumat, 25 November 2011. (www.tempo.co)

Prevalensi [4] penyalahgunaan narkoba dalam penelitian BNN dan Puslitkes UI serta berbagai universitas negeri terkemuka, pada 2005 terdapat 1,75 persen pengguna narkoba dari jumlah penduduk di Indonesia. Prevalensi itu naik menjadi 1,99 persen dari jumlah penduduk pada 2008. Tiga tahun kemudian, angka sudah mencapai 2,2 persen. Pada 2012, diproyeksikan angka sudah mencapai 2,8 persen atau setara dengan 5,8 juta penduduk. (www.kompas.com)

5. Kerap terjadi kematian, pembunuhan maupun bunuh diri

Indonesia tercatat sebagai negara penyumbang angka kematian tertinggi di Asia tenggara disaat melahirkan. Dari 100 ribu angka kelahiran, 307 orang ibu meninggal akibat aborsi. Hal ini disampaikan oleh dr Budi Santoso dari Divisi Fertilitas Endrokinologi Reproduksi Obstetri dan Ginekolog Fakultas Kedokteran Unair-RSUD Dr Soetomo dalam Seminar Nasional Pengaturan Kesehatan Reproduksi : Legalisasi dan atau Liberalisasi Abortus ? di Fakultas Hukum Unair, Surabaya, Selasa (24/11/2009). "Di Indonesia ada 1,5 juta ibu yang menjalani aborsi yang tidak aman," kata Budi.

Menurut Budi, dari persentase 11-13 persen angka kematian ibu (AKI) diakibatkan adanya kematian aborsi tidak aman (unsafe abortion). "Di Seluruh dunia tercatat kurang lebih ada 50 juta ibu menjalani unsafe abortion." (www.detik.com)

Kasus aborsi yang mengakibatkan kematian sering kali dilatarbelakangi oleh hubungan intim di luar nikah, karena mereka belum siap memiliki anak atau tidak mau menanggung malu dengan kehamilannya di luar nikah, maka tindakan aborsi pun terpaksa mereka lakukan, dan yang menjadi resikonya apabila gagal ialah kematian dirinya.

Kita juga sering mendengar berita, baik di media cetak maupun elektronik tentang terjadinya pembunuhan terhadap pacarnya karena dianggapnya telah berkhianat, atau akibat sakit hati ditinggal mantan kekasihnya. Demikian juga, tidak sedikit yang kita temukan seorang remaja wanita yang bunuh diri akibat telah diperkosa oleh pacarnya, atau tidak mau menahan malu akibat hamil di luar nikah yang mendorong dirinya untuk mengakhiri hidupnya. Dan berita-berita yang semisalnya yang merupakan sederet akibat buruk dari dunia pacaran dan pergaulan bebas di kalangan remaja maupun anak muda.

6. Kebobrokan moral, akhlak dan mental para remaja dan anak muda

Akibat marak dan tersebarnya tradisi pacaran di kalangan remaja dan anak muda, ternyata berdampak buruk dalam perkembangan moral, akhlak maupun mental mereka. Hal itu disebabkan oleh kebiasaan buruk yang terjadi selama pacaran, ditabraknya norma-norma agama maupun adat masyarakat, serta terbentuknya angan-angan maupun obsesi kosong mereka sebagai akibat dari pergaulan bebas yang banyak sekali melanggar nilai-nilai agama.

Inilah yang kemudian memunculkan kasus-kasus pemerkosaan, aborsi, pencurian, malas dalam beribadah, jauh dari nilai-nilai agama, menurunnya semangat belajar, maraknya prostitusi, kasus hamil di luar nikah, kelahiran anak yang tidak diinginkan, dan yang semacamnya.

Sebagai contohnya, pada tahun 1981 pernah dilakukan penelitian oleh Tempo yang menunjukkan angka 17,02 % responden yang setuju dengan senggama sebelum nikah.[5] Itu adalah hasil penelitian tahun 1980-an, maka bagaimana dengan sekarang ini? Bukankah pemikiran semacam ini menunjukkan akan bobroknya moral maupun akhlak mereka, jauhnya dari nilai-nilai dan pemahaman agama yang benar.

7. Maraknya perdagangangan anak-anak dan remaja

Perdagangan manusia secara global kini semakin meningkat. Menurut informasi Badan PBB untuk Anak-Anak UNICEF, saat ini lebih dari 25 persen korban yang ditemukan adalah anak-anak. Bentuk eksploitasi korban yang paling sering adalah pelacuran paksa dan pekerja paksa. Komisi Eropa memperkirakan, keuntungan yang diraup melalui perdagangan manusia di dunia lebih dari 25 miliar Eropa per tahun. Hal ini juga dibenarkan Jörg Ziercke, presiden jawatan kriminal Jerman. Kebanyakan dari korban perdagangan manusia yang ditemukan polisi Jerman dalam razia tahun 2011, berusia di bawah 21 tahun, ujar Ziercke. Dua belas persen berumur antara 14 dan 17 tahun, 13 korban bahkan lebih muda dari 14 tahun. (www.dw.de). Bahkan Indonesia dinyatakan menempati urutan terburuk di dunia bersama dengan beberapa negara lain di Asia dalam hal perdagangan anak dan perempuan. (www.hukumonline.com)

Adapun salah satu penyebabnya ialah banyaknya anak-anak maupun remaja yang terjebur dalam pergaulan bebas, di antaranya adalah dunia pacaran. Akibat pacaran yang sudah tidak mengenal batas ruang dan waktu, terkadang mereka terjebak oleh iming-iming uang oleh orang yang tidak dikenal, atau ditipu oleh laki-laki yang mengaku sebagai kekasihnya selama ini, atau diculik karena pulang rumah terlalu larut malam, atau karena dirinya sudah merasa hancur hidupnya disebabkan pemerkosaan oleh pacarnya sehingga dirinya masuk ke dunia pelacuran, dan yang semisalnya.

Pula merasa bahwa anak yang dihasilkannya adalah akibat perzinaan, maka dirinya tidak ragu-ragu untuk menjualnya, karena keberadaan anak itu hanya akan menambah beban hidupnya, terlebih dirinya terdesak oleh kebutuhan ekonomi. Inilah buruknya dunia pacaran yang ikut andil terhadap maraknya perdangangan anak maupun remaja.

8. Kerap terjadi kasus aborsi

Angka pengguguran kandungan [aborsi] jumlahnya sangat mencengangkan. Menurut data dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia [PKBI] setiap tahun dua juta aborsi terjadi di Indonesia, 750 ribu di antaranya remaja. Sementara, menurut polling dokter di Surabaya, enam dari 10 remaja di Jakarta dan Surabaya tidak perawan. (Republika, 8 Agustus 2000). [6]

Berdasarkan data yang dikeluarkan BKKBN, diperkirakan setiap tahun jumlah aborsi di Indonesia mencapai 2,4 juta jiwa. Bahkan, 800 ribu di antaranya terjadi di kalangan remaja. Beberapa wilayah lain di Indonesia, seks pranikah juga dilakukan beberapa remaja. Seperti di Surabaya tercatat 54 persen, Bandung 47 persen, dan 52 persen di Medan. (www.jurnas.com)

Data kasus aborsi yang tercatat di Komisi Nasional Perlindungan Anak meningkat pada 2012, yakni 121 kasus, dengan mengakibatkan delapan orang meninggal. Menurut Ketua Komnas Anak, pada 2011 kasus aborsi tercatat ada 86 kasus. "Ini berarti terjadi peningkatan yang cukup signifikan. Sebanyak 121 kasus aborsi itu dilakukan oleh anak SMA dan SMP atau di bawah 18 tahun," kata Arist saat ditemui di kantornya, Rabu, 30 Januari 2013. (www.tempo.co)

9. Banyak terjadinya kasus pemerkosaan

Di awal 2013 saja tercatat sebanyak 25 kasus pemerkosaan yang tersebar di wilayah di Indonesia. Indonesia Police Watch (IPW) mencatat Jawa Barat adalah wilayah yang banyak terjadi tindak pidana pemerkosaan.

"Di Jawa Barat ada 8 kasus, Jakarta 5 kasus, Jawa Tengah 5 kasus dan Jawa Timur 3 kasus," ungkap Ketua Presidium Indonesian Police Watch, Neta S Pane. Yang lebih miris lagi bahwa kasus-kasus perkosaan itu dilakukan oleh oleh para pelajar setingkat SMP. (www.detikcom).

Di Mesir saja dalam angka penelitian yang dilakukan oleh Dr. Fadeya Abu Syuhbah menyebutkan bahwa telah terjadi 20 ribu kasus perkosaan di Mesir setiap tahunnya. Ini berarti setiap satu jam kurang lebih terjadi satu perkosaan di Mesir. Pelakunya 90% adalah orang-orang pengangguran (di Mesir terdapat 6 jutaan pengangguran). (www.arrahmah.com).

Demikianlah beberapa fakta sebagai akibat buruk dari menjamurnya dunia pacaran di kalangan remaja maupun anak muda. Untuk melengkapi fakta di atas, berikut ini penulis hadirkan pula hasil penelitian Dr. Sarlito Wirawan Sarwono yang diadakan terhadap remaja di Jakarta sekitar tahun 1980-an dari 417 responden. Adapun perinciaannya adalah sebagai berikut :[7]

Tabel I
Perbandingan Jumlah Responden Laki-laki dan Perempuan
Jenis kelamin
Jumlah
%
Laki-laki
Perempuan
226
191
54,2
45,8

Tabel II
Tingkat Pendidikan Responden
Tingkat Pendidikan
Jumlah
%
SLP
SLA
Perguruan Tinggi
Pelajar / Tidak mengisi
28
231
101
57
6,7
55,4
24,2
13,7
Jumlah
417
100

Tabel III
Pelajar/Mahasiswa Yang Pernah Melihat Buku/Majalah
dan Filam Porno
Kegiatan
SLP
SLA
P.T.
f
%
f
%
f
%
Buku/Majalah 
Film
12 
8
42,9 
26,6
160
90
69,3 
39
89 
61
88,1 
60,4

Tabel IV
Responden Yang Pernah Bermasturbasi
Pernah Masturbasi
SLP
SLA
P.T.
F
%
f
%
f
%
Belum
Pernah
Tidak Menjawab
9
9
10
32,1
32,1
35,6
160
35
36
60,3
15,1
15,6
54
42
5
53,5
41,6
4,9

Tabel V
Tindakan Yang Dilakukan Pada Waktu Pacaran
Tingkah Laku
Jumlah
%
Berkunjung ke rumah pacar (sebaliknya)
Saling mengunjungi
Berjalan berduaan
Berpegang tangan
Mencium pipi
Mencium bibir
Memegang buah dada
Memegang alat kelamin di balik baju
Memegang kelamin di atas baju
Melakukan senggama
Tidak menjawab
186
124
164
157
136
119
51
35
29
17
18
64,6
43,1
57
54,5
47,2
41,3
17,7
12,1
10,1
5,9
6,3

Tabel VI
Sikap Terhadap Free Seks
Sikap
SLP
SLA
P.T.
f
%
f
%
f
%
Setuju
Tidak setuju
Tidak menjawab
3
18

7
16,7
64,3

25
18
136

77
7,8
58,9

33,3
19
65

17
18,8
64,4

16,8

Demikianlah hasil penelitian yang dilakukan oleh beliau sekitar tahun 1980-an di Jakarta. Meskipun angka-angka itu tidak bersifat mengikat bagi daerah lain, dan tidak bisa digunakan untuk mengeneralisir lokasi lain, karena perbedaan tingkat ekonomi, sosial, pendidikan, maupun lingkungan. Namun data itu cukup bagi kita sebagai bukti maupun gambaran akan buruknya perilaku yang dilakukan saat pacaran.

Kemudian bagaimana hasilnya jika penelitian itu dilakukan akhir-akhir ini, di mana kemajuan teknologi, transportasi dan informasi telah memberikan kemudahan tersendiri untuk mengakses hal-hal yang haram dan beraroma syahwat yang sangat mempengaruhi terhadap sikap seksualitas para remaja maupun anak muda serta pergaulan sehari-hari mereka?


--------------------
[1] Media Litbang Kesehatan, Depkes RI, Volume XI Nomor 1 Tahun 2001, hal 30.
[2] Pacaran Dalam Kacamata Islam, hal 52
[3] Media Litbang Kesehatan, Depkes RI, Volume XI Nomor 1 Tahun 2001, hal 32.
[4] Prevalensi : Jumlah keseluruhan kasus penyakit yang terjadi pada suatu waktu tertentu di suatu wilayah. (www.artikata.com)
[5] Pacaran Dalam Kacamata Islam, hal 52
[6] Pacaran Dalam Kacamata Islam, Abdurrahman Al-Mukaffi, hal 57.
[7] Pacaran Dalam Kacamata Islam, Abdurrahman Al-Mukaffi, hal 47-49.



Share:

PALING BANYAK DIBACA

ARSIP

Followers