Bersama Bahagia Dalam Naungan Islam

ONE HEART


Tak selamanya kawan tetaplah kawan, ada saatnya ia kawan, tapi di saat lain ia terasa lawan. Tak sepenuhnya lawan takkan berubah menjadi kawan, ada kalanya ia lawan, tapi karena kebenaran tersingkap, tabir kedengkian terungkap, ia pun berubah menjadi kawan. 

Tak semua kawan dekat akan selalu dekat, tapi kebaikan kawan dekat akan selalu teringat olehmu. Meski kini ia jauh terpisahkan oleh jarak dan waktu. Tak semua kawan dekat akan selalu berbuat baik, dan penghianatan kawan dekat adalah kepahitan yang sulit terobati dalam hayatmu. Tak selamanya musuh terasa jauh, meski ia duduk di sampingmu, tapi kebaikan musuh atasmu adalah hal yang sangat berbekas dalam hidupmu. Terlebih saat musuhmu telah berubah menjadi kawanmu. 

Apakah ia yang dulu lawan, takkan pernah teranggap kawan meski hakikatnya berubah menjadi kawan. Apakah ia yang dulu lawan, takkan pernah mendapat ruang di hatimu untuk menjadi kawan meski ia telah bertaubat dari keburukan. Sampai kapankah ia yang dulu kawan, tetap terangkul kawan meski hakikatnya telah bertingkah lawan. Sampai kapankah ia yang dulu lawan, tetap bercokol tenang dalam hatimu mesti ia telah berpaling dari kebenaran. Berbaiklah kepada kawan maupun lawan, tapi bukan berarti berkawan dengan lawan. Ingatlah kawan, meski kau kini bergelimang kemewahan.

Adalah Ame [ panggilan bagi Amirudin ] sejak kecil berkawan baik dengan Ube [ panggilan bagi Ustman Bekti ], sejak SD hingga SMA mereka berdua selalu satu sekolahan, karena satu kampung tak jarang keduanya bermain bola bersama, berangkat sekolah bersama, ngaji bersama dan banyak aktivitas mereka lainnya yang terlewati penuh kebersamaan. Inilah moment-moment masa kecil dan remaja yang paling berkesan dan terkenang oleh keduanya.

Kini Ame melanjutkan pendidikannya ke jenjang kuliah, sementara Ube tak sempat kuliah meski keinginan dalam hatinya berontak. Apakah daya, karena terbentur biaya ia pun mengubur impiannya bisa kuliah seperti Ame, yang dilakukannya sekarang adalah bekerja dan bekerja mencari uang, ia menjadi tulang punggung keluarganya sepeninggalan Bapaknya setahun sebelum ia lulus SMA. 

Kerjanya pun semrawutan, kadang menjadi buruh bangunan, buruh tani, penjaga toko, pesuruh, atau yang lainnya. Ia hanya berfikir selama pekerjaan itu halal, selama itu pula raganya takkan pernah berhenti bekerja, semuanya demi adik-adiknya agar tetap sekolah dan kelak bisa merubah nasibnya lebih baik dari dirinya.

Kini Ame dan Ube telah lama terpisah, keduanya tersibukkan oleh orientasi hidupnya masing-masing. Sudah lebih dari tiga tahun Ube tak mendengar kabar Ame, demikian pula Ame terhadap Ube. Kedekatan berkawan keduanya kini tak terlihat lagi, keakraban mereka kini telah melebur tertelan bumi, keindahan masa kecil dan remajanya kini tinggal cerita dan kenangan untuk dirinya maupun anak cucunya. Semua telah berubah dan berbeda jauh, padahal sepeda onthel yang menjadi saksi bisunya masih terlihat segar dan baik tak banyak berubah dari wujud aslinya yang dulu.

Waktu terus berjalan, roda terus terputar, dan langit terus merubah auranya tanpa pernah sama dengan sebelumnya. Setelah lima belas tahun bermasa lamanya terhitung sejak SMA, kini Ame telah menjadi orang sukses, sebagai direktur muda di suatu perusahan besar bertaraf internasional. Secara ekonomi dan strata sosial, Ame telah menjadi orang yang mapan berkecukupan, bahkan lebih. Anak-anaknya juga bersekolah di sekolahan bonafit bertaraf internasional.

Keadaan ini begitu berbeda dengan apa yang teralami Ube sekarang ini, setelah wafatnya sang ibu, kehidupan Ube tak jauh berbeda seperti sebelum-sebelumnya, rumahnya semi permanen dan masih berlantaikan tanah, pekerjaannya tak ayalnya sebuah lebah yang harus bekerja keras mencarinya kesana kemari tanpa tempat yang pasti. 

Tapi ada satu yang terbanggakan dalam hati Ube, semenjak menikah dan memiliki dua anak, ibadah Ube semakin rajin, sering mengaji, dan anak-anaknya pun sudah pandai membaca al-qur'an, kedua anaknya sudah dicetak dan disiapkannya masuk pondok tahfidz tahun depan. semua itu tidak lepas dari kebaikan dan kerja keras sang isteri. Meski kehidupan ekonomi mereka terbilang pas-pasan, bahkan tak jarang meminjam pada tetangga atau sedulurnya. Tapi Inilah kebanggan dan kebahagian Ube yang tak terharga. 

Adapun Ame, kini kehidupannya kurang menaruh perhatian terhadap pendidikan agama untuk keluarga dan anak-anaknya, dirinya jauh lebih tersibukkan oleh urusan dunia daripada mengurus hatinya, perusahannya telah membuat waktunya terkuras habis,manajemen bisnis telah menjadikan hatinya takut bangkrut dan miskin. Tak sedikit pun dalam hatinya terpikir akan kawan dekatnya Ube, terlebih membantu meringankan ekonomi keluarga Ube, paling tidak membantu biaya pendidikan anak-anaknya. Hati Ame tak sempat berfikir jauh kesana. Ia hanya berfikir perusahaannya semakin berkembang dan bisnisnya tak terpailitkan.

Begitulah Ame dan Ube. Harta dunia telah menjadikan kawan dekat menjadi jauh terasa, bahkan telah terhapus dari lembaran hidupnya.

Wallohu a’lam bishowab
Share:

Tidak ada komentar:

PALING BANYAK DIBACA

ARSIP

Followers

Arsip Blog