Bersama Bahagia Dalam Naungan Islam

PU PU PU . . . PUTUS LAGI


Kejadian kemarin sore hingga pagi ini mengingatkan memoriku akan indahnya kampung halaman sepuluh tahun yang lalu. Bagi sebagian teman mungkin merasa ia tak ada nilainya, bahkan yang saya rasakan sendiri hanya keluh kesah atau ngegrundel mereka sembari komat kamit atau ngomel menyalahkan yang teranggap salah atau pantas dianggap salah menurutnya, tapi bagi saya ia sungguh bernilai akan kenangan kala masih di kampung.

Emangnya kejadian apa sih kok kayaknya bermoment sekali bagiku. JEPREET .. Ya sekedar suara sekreng yang turun berimbas mati lampu. Ternyata konsleting aliran listrik di kosan tempat saya tinggal.

Walah cuma listrik mati kok repot, tapi ternyata emang bikin repot bagi sebagian kita, terlebih tinggal di kota yang hampir semua bergantung pada sumber energi yang satu ini, mulai dari memasak, mandi, hiburan, komunikasi, bekerja, atau kegiatan lainnya tak lepas dari listrik.
 
Makanya kala listrik konslet, aliran putus dan lampu mati semua jadi repot dan seakan-akan semua kegiatan mati dan menjadi sepi.

Memasak gak bisa, mandi gak ada air, nelpon banter low, mau ngenet laptop sudah mulai sekarat, mau membaca buku ruangan gelap, dan seterusnya. Semua bingung dan ngedumel sendiri, ada yang ngobrol dalam keremangan malam, ada pula yang pulas bobo dalam gelapnya kamar. Itulah kondisi kota yang sangat bergantung pada listrik.

Sekreng lampu putus kira-kira jam 5.15 an senja hari, ada yang lagi asyik dengan acara TV, fb-an, menulis tugas di laptop, pula sedang memasak nasi di rice cooker. Semua kompak berkoar, WAAH, reaksi kekesalan hati.

Beberapa kali teman saya turun untuk menyalakan sekreng yang anjlog, lagi-lagi JEPREET suara terdengar dari bawah tingkat, aliran listrik putus dan lampu mati lagi. Ada teman saya yang lain turun lagi, JEPREET, suara ini menjadi yang terakhir terdengar sore itu. Yah, pu pu pu putus lagi kata Aziz gagap. Sejak itulah aliran listrik benar-benar putus dan lampu takkan menyala sama sekali sampai pagi.

Suasana maghrib yang petang mulai terasa, hawa dingin terus menembus ruang kamar, sepi, tenang, hening begitu menggugah memoriku akan suasana kampung sepuluh tahun bermasa yang lalu.

Bagi kamu yang pernah tinggal di kampung mungkin akan terasa mengenalnya dengan suasana ini. Kampungku yang jauh dari kota, 1 kilo bejarak dari pegunungan, tak jauh dari sungai besar citanduy, dan belakang rumah yang berupa pesawahan membentang luas.

Kala itu belum ada listrik di kampung, televisi aja hanya ada satu di kampung yang saya ingat , itupun hanya memakai energi setrum aki [ accu ], warnanya masih hitam putih, dan hanya ada stasiun TVRI dan TPI.

Jalanan kampung belum berbatu apalagi beraspal, yang terjadi begitu halusnya kala musim kemarau dan becek berlumpur saat hujan tiba. Suara motor masih bisa dihitung jemari, yang terlihat sering hanya sepeda onthel beseliweran dan para pejalan kaki.

Kala senja mulai tertutup petang, suasana kampung menjadi gelap dalam sunyi bagai kuburan, yang ramai hanya mushola atau surau di pinggir sawah yang membahana dengan pekikan suara anak-anak kampung sedang mengaji hafalan surat, iqro, qur'an dan kitab kuning.

Semua sudut kampung gelap tanpa ada lampu jalan menerangi, hanya kemerlip cahaya bintang di angkasa dan terangnya langit yang sedikit memberi ruang kedua mata untuk bisa melihat apa yang ada di sekelilingnya.

Rentang waktu antara maghrib dan isya mata saya masih bisa di manjakan sorotan cahaya teplok atau damar yang terpancar dari balik bilik [ diding rumah yang terbuat dari belahan tipis bambu ] saat saya menyusuri jalan kampung. Tapi setelah isya apalagi tengah malam, kampungku terasa gelap dan tenang sekali bagai kuburan Bojong Gebang di lereng pegunungan Bihbul. Yang terdengar hanya sajak-sajak kodok longan [ katak rumah ] dan nyayian jangkrik atau serangga yang lain.

Sepanjang malam begitu hening dan tenang, tak ada hiruk pikuk atau kegaduhan, hanya hawa dingin dan nyanyian serangga malam yang terus menemani tidur warga di kampungku.

Kala fajar mulai menyingsing pun begitu terkesan sekali, hanya kokokan ayam jago yang saling sahut menyahut dari setiap sudut kampung membangunkan para warga, tapi karena sunyi yang berbalut dingin yang menusuk kulit belum banyak warga yang keluar dari gubugnya, hanya sekitar jam lima-an baru banyak ibu-ibu yang terbangun untuk sholat subuh dan memasak nasi dengan kayu bakar yang mengepulkan asap ke atas atap gubugnya, adapun para Bapak pergi ke belakang rumah menghampiri kambingnya yang terus berteriak meminta jatah sarapan pagi,sembari itu mereka membakar rerumputan sisa pakan kambing yang kering.

Suasana pagi yang terus beranjak terang semakin terhangatkan oleh kepulan-kepulan asap dari dapur maupun bediangan [ rumput kering sisa pakan ternak yang di bakar ] yang ada di samping kandang kambing.

Begitula selintas suasana kampungku sepuluh tahun silam, hanya konsleting listrik dan lampu mati semalaman yang akan mengingatkan memoriku akan indahnya suasana kampung halaman.

Wallohu a’lam bishowab
Share:

Tidak ada komentar:

PALING BANYAK DIBACA

ARSIP

Followers

Arsip Blog