Allah
menciptakan sesuatu itu berpasang-pasangan, di antaranya adalah baik dan buruk.
Kedua perkara ini memiliki neraca syariat yang absolut, tidak bisa diganggu
gugat, dan ditentang oleh akal manusia. Karena neraca ini bersumber dari Allah
yang Maha Adil dan Maha Bijaksana.
Adapun
neraca akal manusia terhadap kedua perkara di atas adalah bersifat relatif,
berbeda antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya, karena
masing-masing memiliki sudut pandang dan kepentingan tersendiri.
Dan
menurut mu’tazilah yang merupakan kelompok mutakalimin [ ahli filsafat
pengagung akal ] mengatakan tentang neraca baik buruknya sesuatu ;
الحسن ما حسنه العقل والقبيح ما قبحه العقل
[ Baik
adalah apa yang teranggap baik oleh akal
Buruk
adalah apa yang teranggap buruk oleh akal ]
Maksudnya,
“ Bahwa menurut mereka, segala sesuatu itu sudah baik ataupun buruk secara
dzatnya, dan akal manusia pun mengetahui hal itu semenjak terlahirnya akal.
Kemudian datanglah syariat yang mengakui perkara tersebut. Sehingga menurut
mereka, syariat itu adalah sebagai tabi’ [ pengikut ] bagi akal. “
Kesimpulannya
menurut mereka bahwa kedudukan akal manusia jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan kedudukan syariat Allah, sehingga syariat itu harus tunduk dibawah
kekuatan akal manusia. Selama syariat itu tidak bertentangan dengan akal
manusia maka diambillah syariat itu, namun jika bertentangan dengan akalnya,
maka terlemparlah syariat itu.
Dengan
demikian yang menjadi neraca [ penimbang ] akan baik buruknya sesuatu adalah
akal manusia, adapun syariat itu hanya bersifat sebagai penguat akan apa yang
diyakni oleh akal manusia.
Sungguh,
pemikiran semacam ini sangatlah bertentangan dengan pendapat ahlus sunnah,
pemikiran yang sesat dan menyesatkan banyak manusia. Dan menurut ahlus sunnah,
neraca baik buruknya sesuatu adalah berdasarkan sudut pandang syariat dan bukan
atas akal manusia. Mereka mengatakan ;
الحسن ما حسنه
الشرع والقبيح ما قبحه الشرع
[ Baik adalah
apa yang dianggap baik oleh syariat
Buruk adalah
apa yang dianggap buruk oleh syariat ]
Maksudnya. “
Terkadang sesuatu itu terpandang baik oleh akal, kemudian datanglah syariat
yang menganggapnya buruk perkara itu, karena pada hakikatnya perkara itu
memanglah buruk adanya, namun kemampuan akal manusia sangatlah terbatas yang
tak mampu mengetahui hakikatnya.
Atau pula
terkadang suatu perkara itu teranggap buruk oleh akal, kemudian datanglah
syariat yang memandangnya sebagai sesuatu yang baik, karena pada hakikatnya
perkara itu memang baik adanya, hanya saja akal manusia tidaklah mampu untuk
mengetahui akan hakikatnya karena keterbatasan kemampuan yang ada padanya.”
Dengan demikian,
syariat itu berkedudukan sebagai ushul [ pokok ] dalam menimbang baik buruknya sebuah
perkara, adapun akal hanya bertindak sebagai tabi’ [ pengikut ] bagi syariat
yang harus tunduk sepenuhnya terhadap syariat Allah.
Jika akal
menganggap suatu perkara itu baik, namun ternyata syariat berkata sebaliknya.
Maka, akal harus tunduk dan berserah diri terhadap apa yang menjadi penilaian
syariat. Begitu pula sebaliknya, jika
akal menilai sesuatu itu buruk, namun ternyata syariat menganggapnya baik.
Maka, akal harus tuduk terhadap syariat dan menerima apa saja yang akan menjadi
konsekuensinya.
Ketahuilah,
tidaklah syariat itu melarang dari suatu perkara tertentu dan menganggapnya
sebagai sebuah keburukan, melainkan karena perkara itu mengandung kemudharatan
bagi umat manusia, baik keburukan baginya di dunia maupun di akhirat.
Dan tidaklah
syariat itu memerintahkan akan suatu perkara tertentu dan menganggapnya sebagai
sebuah kebaikan, melainkan karena perkara itu berisi kemashlahatan bagi umat
manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Dan syariat itu tidaklah datang
melainkan untuk merealisasikan kemashlahatan bagi umat manusia, selaras dengan
akal dan fitrah manusia.
Wallohu a’lam
bishowab
[ Di sarikan
dari Muhadharah DR. Al-Ajazi Al-Mishri dengan beberapa tambahan oleh penulis
saat membahas pasal tentang al-qiyas [ analogi ] dan al-ilah, beliau adalah
Dosen Ushul Fiqih Di LIPIA Semester 7, Senin 18/2/2013 ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar