Bersama Bahagia Dalam Naungan Islam

Madzhab Dalam Memaknai Iman


Kita sering mendengar kata iman, bahkan telah kita pelajari semenjak kita masih belajar di jenjang pendidikan dasar. Tapi, ternyata definisi iman itu tidaklah hanya satu seperti yang pernah kita kenal sebelumnya.

Dalam pembahasan kali ini perlu penulis sebutkan beberapa pengertian iman menurut beberapa madzhab dalam ruang lingkup aqidah. Karena dengan demikian kita akan mengetahui makna iman yang benar dari makna iman yang salah. Dan masing-masing definisi itu ada konsekuensi darinya, dimana hal itu sangatlah berpengaruh terhadap aqidah dan ibadahnya.

Dan dari beragam definisi menyimpang akan makna iman dari makna yang benar yang hendak penulis sebutkan, banyak kita temukan di kalangan masyarakat yang telah menyakini akan makna iman yang keliru tersebut. Dan imbasnya adalah mereka keliru dalam memaknai aqidah dan ibadah dalam kesehariannya.
Di antara perkataan dan madzhab dalam mendefinisikan iman ialah ;

a.    Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah

Menurut Ahlus sunnah wal jama’ah iman ;
تصديق بالجنان وإقرار باللسان وعمل بالأركان
[ Pembenaran dan keyakinan dalam hati, pernyataan dalam lisan dan pengamalan dengan anggot tubuh ]

Konsekuensi dari definisi tersebut bahwa pernyataan akan keimanan hanya dalam lisan dan keyakinan hati tidaklah cukup untuk menjadikan seseorang itu dikatakan beriman. Definisi di atas menuntut adanya pengaplikasian apa yang menjadi keyakinan dalam hatinya dan pernyataan dalam lisannya dalam sebuah pengamalan anggota tubuh.

Dengan demikian, jika ia menyakini akan kebenaran keberadaan Allah dan menyatakan dalam lisannya, dan Allah adalah Rabb-nya yang menjadi satu-satunya Dzat yang berhak disembah. Maka, agar ia dikatakan sebagai seorang yang beriman dengan sebenar-benarnya keimanan, maka ia harus mewujudkan keyakinannya itu dalam sebuah pengamalan nyata dalam hidupnya. Ia harus melaksanakan apa yang menjadi perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya.

b.    Madzhab Al-Murji’ah

Dalam madzhab ini terbagi menjadi beberapa pendapat ;

1.    Pendapat Jahmiah

Pendapat mereka adalah seburuk-buruk dan sejelek-jeleknya perkataan, karena ia adalah sebuah kekufuran. Di mana mereka mendefinisikan iman adalah Mujaradul ma’rifah, yakni sekedar mengilmui, mengenal dan mengetahui.

Jadi, hanya mengenal dan mengetahui akan sesuatu dalam hatinya, meskipun dirinya tidak menyakini dan membenarkannya, cukuplah hal itu menjadikan ia dikatakan sebagai seorang yang beriman.

Konsekuensi dari pendapat ini ialah menjadikan Iblis, Haman, Fir’aun, Qarun yang mengetahui akan Rabb-nya adalah termasuk golongan orang-orang yang beriman.

Sungguh, keyakinan ini adalah sebuah kebathilan. Karena Allah tidaklah pernah menjadikan mereka termasuk dalam golongan orang-orang yang beriman.

2.    Pendapat Al-Maturidiyah dan Al-Asya’irah

Menurut mereka iman adalah At-tashdiqu bilqalbi, yakni keyakinan dan pembenaran dalam hati saja. Adapun an-nuthqu billisan [ pengikraran dalam lisan ] hanyalah sebuah rukun tambahan dan bukan rukun pokok.

Konsekuensi dari perkataan ini ialah menjadikan orang-orang kafir sebagai golongan manusia yang beriman.

Sungguh, perkataan ini adalah sebuah kebathilan, karena orang-orang kafir menyakini dan membenarkan dalam hatinya, mengetahui bahwa al-Qur’an adalah sebuah kebenaran dan Rasul adalah sebuah kebenaran. Demikian juga dengan apa yang diyakini oleh orang-orang yahudi dan nashrani.

Sebagaimana Allah berfirman ;
الذين آتيناهم الكتاب يعرفونه كما يعرفون أبناءهم
[ Orang-orang yang telah Kami beri kitab [ taurat dan injil ] mengenalnya [ Muahmmad ] seperti mereka mengenal anak-anak mereka ] [ QS. Al-Baqarah ; 146 ]

Allah juga berfirman tentang orang-orang musyrikin ;
قد نعلم إنه ليحزنك الذي يقولون فإنهم لا يكذبونك ولكن الظالمين بآيات الله يجحدون
[ Sungguh, Kami mengetahui bahwa apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu [ Muhammad ], [ janganlah bersedih hati ] karena sebenarnya mereka bukan mendustakan engkau, tetapi orang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah ] [ QS. Al-An’am ; 33 ]

Mereka adalah golongan yang tidak mengikrarkan dalam lisannya, tidak pula mengamalkan dalam anggota tubuhnya. Padahal hati mereka menyakini dan membenarkannya, akan tetapi hal itu tidakah menjadikan mereka termasuk golongan orang-orang yang beriman.

3.    Pendapat Al-Karomiyah

Menurut mereka bahwa iman ialah Nuthqu billisan walau lam ya’taqid bi qalbihi, yakni mengatakan dalam lisannya meskipun hatinya tidak menyakini.

Konsekuensi dari perkataan ini ialah menjadikan orang-orang munafik termasuk golongan manusia yang beriman. Bahkan menurut mereka bahwa orang-orang munafik itu termasuk golongan yang memiliki keimanan yang sempurna.

Sungguh, perkataan ini adalah sebuah kebathilan, karena orang-orang munafik mengikrarkan dua kalimat syahadat dengan lisannya, akan tetapi kelak mereka akan menempati kerak neraka yang paling dalam. Hal ini menunjukkan bahwa mereka bukanlah termasuk dalam golongan orang-orang yang beriman.

Allah berfirman tentang mereka ;
إن المنافقين في الدرك الأسفل من النار ولن تجد لهم نصيرا
[ Sungguh, orang-orang munafik itu [ ditempatkan ] pada tingkatan yang paling bawah dari neraka, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka ] [ QS. An-Nisa ; 145 ]

4.    Pendapat Murji’atul Fuqaha

Menurut mereka bahwa iman itu ialah I’tiqadu bilqalbi wa nuthqu billisan wala yudkhilu al-‘amal fi musama al-iman, yakni keyakinan dalam hati dan pengikraran dalam lisan, adapun pengamalan tidak masuk dalam kategori iman.

Dan di antara mereka ada yang mengatakan bahwa iman itu hanya satu, maka imanku seperti halnya iman Abu Bakar dan Umar - radhiyallohu ‘an huma -, bahkan seperti imannya para nabi dan rasul, Jibril dan Mikail.

Sungguh, ini adalah sebuah kebathilan dan ghulu, karena kufur dan iman layaknya orang buta dan orang yang melihat, jelas sekali bahwa keduanya sangatlah berbeda.

Demikian juga hal ini menyelisihi dalil-dalil dalam al-Qur’an dan as-sunnah, karena berdasarkan dalil-dalil yang ada menunjukkan bahwa iman itu bertambah dan berkurang, bertambah dengan ketaatan kepada Allah, dan berkurang dengan kemaksiatan kepada-Nya.

Barangsiapa yang meninggalkan amal, maka ia telah bermaksiat kepada Allah, dan hal ini akan mengurangi kualitas keimanan dalam dirinya. Dan barangsiapa yang menjaga amalannya, maka ia adalah orang yang taat kepada Allah dan hal ini akan menjadikan kualitas keimanannya terus bertambah.

Jadi, iman adalah sesuatu yang mencakup hati, lisan dan amalan dalam anggota tubuh. Iman tidaklah cukup dengan apa yang diyakini dalam hati dan diucapkan dalam lisannya, tapi hal itu menuntut adanya pengamalan nyata dengan anggota tubuhnya.

Demikianlah beberapa pendapat tentang definisi iman dan konsekuensinya masing-masing. Dimana definisi yang disimpulkan oleh al-Murji’ah dengan beragam golongannya adalah definisi yang bathil dan menyimpang. Adapun definisi Ahlus sunnah wal jama’ah adalah definisi iman yang terpilih, karena definisi itu yang paling sesuai dengan dalil-dalil yang ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.

Wallohu a’lam bishowab

----------------------------------

Untuk mendapatkan pengetahuan lebih tentang masalah “ iman “, silahkan lihat kitab Syarh Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah, Ibnu Abi Al-‘Iz Al-hanafi, Dar As-salam, hal 331-357
Share:

Tidak ada komentar:

PALING BANYAK DIBACA

ARSIP

Followers

Arsip Blog