Kita sering
mendengar kata iman, bahkan telah kita pelajari semenjak kita masih belajar di
jenjang pendidikan dasar. Tapi, ternyata definisi iman itu tidaklah hanya satu
seperti yang pernah kita kenal sebelumnya.
Dalam pembahasan
kali ini perlu penulis sebutkan beberapa pengertian iman menurut beberapa
madzhab dalam ruang lingkup aqidah. Karena dengan demikian kita akan mengetahui
makna iman yang benar dari makna iman yang salah. Dan masing-masing definisi
itu ada konsekuensi darinya, dimana hal itu sangatlah berpengaruh terhadap
aqidah dan ibadahnya.
Dan dari beragam
definisi menyimpang akan makna iman dari makna yang benar yang hendak penulis
sebutkan, banyak kita temukan di kalangan masyarakat yang telah menyakini akan
makna iman yang keliru tersebut. Dan imbasnya adalah mereka keliru dalam
memaknai aqidah dan ibadah dalam kesehariannya.
Di antara
perkataan dan madzhab dalam mendefinisikan iman ialah ;
a.
Madzhab Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah
Menurut Ahlus sunnah wal jama’ah iman
;
تصديق بالجنان وإقرار باللسان وعمل بالأركان
[ Pembenaran dan keyakinan dalam hati,
pernyataan dalam lisan dan pengamalan dengan anggot tubuh ]
Konsekuensi dari definisi tersebut
bahwa pernyataan akan keimanan hanya dalam lisan dan keyakinan hati tidaklah
cukup untuk menjadikan seseorang itu dikatakan beriman. Definisi di atas
menuntut adanya pengaplikasian apa yang menjadi keyakinan dalam hatinya dan
pernyataan dalam lisannya dalam sebuah pengamalan anggota tubuh.
Dengan demikian, jika ia menyakini
akan kebenaran keberadaan Allah dan menyatakan dalam lisannya, dan Allah adalah
Rabb-nya yang menjadi satu-satunya Dzat yang berhak disembah. Maka, agar ia
dikatakan sebagai seorang yang beriman dengan sebenar-benarnya keimanan, maka
ia harus mewujudkan keyakinannya itu dalam sebuah pengamalan nyata dalam
hidupnya. Ia harus melaksanakan apa yang menjadi perintah-Nya dan meninggalkan
segala larangan-Nya.
b.
Madzhab Al-Murji’ah
Dalam madzhab ini terbagi menjadi
beberapa pendapat ;
1.
Pendapat Jahmiah
Pendapat mereka adalah seburuk-buruk
dan sejelek-jeleknya perkataan, karena ia adalah sebuah kekufuran. Di mana
mereka mendefinisikan iman adalah Mujaradul ma’rifah, yakni
sekedar mengilmui, mengenal dan mengetahui.
Jadi, hanya mengenal dan mengetahui
akan sesuatu dalam hatinya, meskipun dirinya tidak menyakini dan membenarkannya,
cukuplah hal itu menjadikan ia dikatakan sebagai seorang yang beriman.
Konsekuensi dari pendapat ini ialah
menjadikan Iblis, Haman, Fir’aun, Qarun yang mengetahui akan Rabb-nya adalah
termasuk golongan orang-orang yang beriman.
Sungguh, keyakinan ini adalah sebuah
kebathilan. Karena Allah tidaklah pernah menjadikan mereka termasuk dalam
golongan orang-orang yang beriman.
2.
Pendapat
Al-Maturidiyah dan Al-Asya’irah
Menurut mereka iman adalah At-tashdiqu
bilqalbi, yakni keyakinan dan pembenaran dalam hati saja. Adapun
an-nuthqu billisan [ pengikraran dalam lisan ] hanyalah sebuah rukun
tambahan dan bukan rukun pokok.
Konsekuensi dari perkataan ini ialah
menjadikan orang-orang kafir sebagai golongan manusia yang beriman.
Sungguh, perkataan ini adalah sebuah
kebathilan, karena orang-orang kafir menyakini dan membenarkan dalam hatinya,
mengetahui bahwa al-Qur’an adalah sebuah kebenaran dan Rasul adalah sebuah
kebenaran. Demikian juga dengan apa yang diyakini oleh orang-orang yahudi dan
nashrani.
Sebagaimana Allah berfirman ;
الذين
آتيناهم الكتاب يعرفونه كما يعرفون أبناءهم
[ Orang-orang yang telah Kami beri
kitab [ taurat dan injil ] mengenalnya [ Muahmmad ] seperti mereka mengenal
anak-anak mereka ] [ QS. Al-Baqarah ; 146 ]
Allah juga berfirman tentang
orang-orang musyrikin ;
قد
نعلم إنه ليحزنك الذي يقولون فإنهم لا يكذبونك ولكن الظالمين بآيات الله يجحدون
[ Sungguh, Kami mengetahui bahwa apa
yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu [ Muhammad ], [ janganlah bersedih
hati ] karena sebenarnya mereka bukan mendustakan engkau, tetapi orang zalim
itu mengingkari ayat-ayat Allah ] [ QS. Al-An’am ; 33 ]
Mereka adalah golongan yang tidak
mengikrarkan dalam lisannya, tidak pula mengamalkan dalam anggota tubuhnya. Padahal
hati mereka menyakini dan membenarkannya, akan tetapi hal itu tidakah
menjadikan mereka termasuk golongan orang-orang yang beriman.
3.
Pendapat
Al-Karomiyah
Menurut mereka bahwa iman ialah Nuthqu
billisan walau lam ya’taqid bi qalbihi, yakni mengatakan dalam
lisannya meskipun hatinya tidak menyakini.
Konsekuensi dari perkataan ini ialah
menjadikan orang-orang munafik termasuk golongan manusia yang beriman. Bahkan
menurut mereka bahwa orang-orang munafik itu termasuk golongan yang memiliki
keimanan yang sempurna.
Sungguh, perkataan ini adalah sebuah
kebathilan, karena orang-orang munafik mengikrarkan dua kalimat syahadat dengan
lisannya, akan tetapi kelak mereka akan menempati kerak neraka yang paling
dalam. Hal ini menunjukkan bahwa mereka bukanlah termasuk dalam golongan
orang-orang yang beriman.
Allah berfirman tentang mereka ;
إن المنافقين في الدرك الأسفل من النار ولن تجد لهم نصيرا
[ Sungguh, orang-orang munafik itu [
ditempatkan ] pada tingkatan yang paling bawah dari neraka, dan kamu tidak akan
mendapat seorang penolong pun bagi mereka ] [ QS. An-Nisa ; 145 ]
4.
Pendapat Murji’atul
Fuqaha
Menurut mereka bahwa iman itu ialah I’tiqadu
bilqalbi wa nuthqu billisan wala yudkhilu al-‘amal fi musama al-iman, yakni
keyakinan dalam hati dan pengikraran dalam lisan, adapun pengamalan tidak masuk
dalam kategori iman.
Dan di antara mereka ada yang
mengatakan bahwa iman itu hanya satu, maka imanku seperti halnya iman Abu Bakar
dan Umar - radhiyallohu ‘an huma -, bahkan seperti imannya para nabi dan rasul,
Jibril dan Mikail.
Sungguh, ini adalah sebuah kebathilan
dan ghulu, karena kufur dan iman layaknya orang buta dan orang yang melihat,
jelas sekali bahwa keduanya sangatlah berbeda.
Demikian juga hal ini menyelisihi
dalil-dalil dalam al-Qur’an dan as-sunnah, karena berdasarkan dalil-dalil yang
ada menunjukkan bahwa iman itu bertambah dan berkurang, bertambah dengan
ketaatan kepada Allah, dan berkurang dengan kemaksiatan kepada-Nya.
Barangsiapa yang meninggalkan amal,
maka ia telah bermaksiat kepada Allah, dan hal ini akan mengurangi kualitas
keimanan dalam dirinya. Dan barangsiapa yang menjaga amalannya, maka ia adalah
orang yang taat kepada Allah dan hal ini akan menjadikan kualitas keimanannya
terus bertambah.
Jadi, iman adalah sesuatu yang mencakup
hati, lisan dan amalan dalam anggota tubuh. Iman tidaklah cukup dengan apa yang
diyakini dalam hati dan diucapkan dalam lisannya, tapi hal itu menuntut adanya
pengamalan nyata dengan anggota tubuhnya.
Demikianlah
beberapa pendapat tentang definisi iman dan konsekuensinya masing-masing.
Dimana definisi yang disimpulkan oleh al-Murji’ah dengan beragam golongannya
adalah definisi yang bathil dan menyimpang. Adapun definisi Ahlus sunnah wal
jama’ah adalah definisi iman yang terpilih, karena definisi itu yang paling sesuai
dengan dalil-dalil yang ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Wallohu a’lam
bishowab
----------------------------------
Untuk
mendapatkan pengetahuan lebih tentang masalah “ iman “, silahkan lihat kitab Syarh
Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah, Ibnu Abi Al-‘Iz Al-hanafi, Dar As-salam, hal
331-357
Tidak ada komentar:
Posting Komentar