Keharmonisan
dan kelanggengan sebuah rumah tangga, tentu idaman semua orang. Siapa yang tak
menghendakinya, pastinya tidak ada, sampai manusia yang paling fajir [ pelaku
dosa ] pun sangat berharap memiliki rumah tangga yang baik dan langgeng.
Terlebih manusia yang shalih dan baik, maka mereka jauh berhasrat dan berazam [
bertekad ] untuk mengidamkan sebuah rumah tangga yang lenggeng dan harmonis.
Namun,
hak manusia hanyalah bertekad, berhasrat, ber-asa, atau berharap yang teriringi
sebuah karya atau usaha nyata, sedangkan menetapkan sebuah hasil dari usahanya
adalah hak Allah Ta’ala secara mutlak. Jika Allah Ta’ala berkehendak akan apa
yang dikehendaki oleh manusia, maka terwujudlah apa yang ia asa dan usahakan.
Sebaliknya, jika Allah Ta’ala berkehendak lain yang berbeda dengan kehendak
manusia, maka tidak akan terwujudlah apa yang telah ia harapkan dan usahakan,
meski telah mati-matian dalam menggapainya.
Allah
Ta’ala berfirman ;
وما تشاؤن إلا أن يشاء
الله رب العالمين
[ Dan
kamu tidak dapat menghendaki [ menempuh jalan itu ] kecuali apabila dikehendaki
Allah, Tuhan semesta alam ] [ 1 ]
Demikian
pula halnya dalam sebuah rumah tangga, bahwa perkara talak [ cerai ] adalah
sebuah perkara yang tiada terharapkan oleh semua orang yang telah membina rumah
tangga, terlebih mereka yang telah membangunnya berpuluh-puluh tahun bermasa.
Pula
demikian dengan Allah Ta’ala, bahwa ia adalah salah satu perkara yang dibenci
oleh-Nya, meski hukumnya halal dan boleh. Bahkan ia menjadi perkara halal yang
paling dibenci oleh-Nya.
Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda ;
أبغض
الحلال إلى الله تعالى الطلاق
[ Perkara halal yang paling dibenci
Allah adalah Thalak / cerai ] [ 2 ]
Hadits ini menunjukkan bahwa dalam
perkara halal ada yang sesuatu yang dibenci oleh Allah, dan yang paling dibenci
oleh-Nya adalah Thalak [ cerai ]. Dan hadits itu menjadi majas [ kiasan ] bahwa
perkara [ thalak ] tidaklah berpahala di dalamnya, dan perbuatan itu bukanlah
termasuk qurbah [ mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala ]. Sebagian ulama juga
mencontohkan hal lain yang dibenci dari perkara halal, seperti shalat maktubah [
shalat wajib lima waktu ] yang dilakukan di selain masjid tanpa adanya udzur
sama sekali. [ 3 ]
Berdasarkan keterangan di atas, maka
janganlah seorang suami bergampang diri dalam perkara menjatuhkan thalak,
karena thalak berbeda dengan yang lainnya. Candaan [ main-main ] dan sungguhan
dalam menjatuhkan thalak tidaklah ada bedanya, keduanya teranggap sebagai
sungguhan yang berkonskuensi jatuhnya thalak [ cerai ].
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda ;
ثلاث
جدهن جد وهزلهن جد: النكاح، والطلاق، والرجعة
[ Tiga perkara yang sungguhan dan
mainannya teranggap sebagai sungguhan, yaitu nikah, thalak, dan raj’ah [ rujuk
] [ 4 ]
Jadi, berhati-hatilah dalam perkara
thalak, dan jadikanlah ia sebagai senjata paling terakhir dalam menyelesaikan
masalah rumah tangga.
Sebuah barang pasti bahwa sebuah rumah
tangga akan tertumpuk di dalamnya seambreg masalah, mulai dari perbedaan
pendapat antara suami isteri, masalah kenakalan anak, masalah ekonomi, sosial
bermasyarakat, interaksi dengan mertua, dan sebagainya. Yang sebenarnya semua
perkara itu adalah proses pembelajaran kedewasaan bagi masing-masing pasangan
dalam menjalani hidup. Dengan keberadaan masalah yang beragam itu, menjadikan
mereka mengerti dan paham apa itu hidup dan bagaimana harus bersikap dalam
hidup itu sendiri.
Dengan demikian mereka pun akan saling
memahami dan mengerti akan kekurangan dan kelebihan masing-masing, dan hal ini
menlazimkan mereka untuk saling melengkapi, menutupi dan membantu satu sama
lain demi terciptanya keharmonisan dan kelanggengan sebuah rumah tangga yang
mereka bina.
Namun, jika dari sekian ragam masalah
yang melilit rumah tangga, sementara berbagai jalan telah ditempuhnya dan tidak
ada jalan untuk keluar darinya, atau dengan mempertahankan keberadaannya akan
menjadikan rumah tangga semakin tidak harmonis lagi, kecuali harus diakhiri
dengan perpisahan dengan sebuah thalak [ cerai ], maka hal itu tidaklah mengapa
dilakukan.
Dengan catatan bahwa thalak itu
benar-benar telah dipikirkan secara matang-matang dan menjadi jalan terakhir
yang terpaksa ditempuhnya. Dengan terawali niatan yang baik, niscaya Allah Ta’ala akan menggantinya
dengan yang lebih baik.
Demikianlah, tidak semua yang
dikehendaki manusia sesuai dengan kehendak Allah Ta’ala, bisa jadi apa yang kita
benci, justru itulah yang terbaik untuk kita, atau bisa jadi apa yang kita
cintai itu adalah buruk adanya bagi kita.
Alloh Ta’ala berfirman ;
وعسى أن تكرهوا شيئا وهو خير لكم وعسى أن تحبوا شيئا وهو شر لكم
والله يعلم وأنتم لا تعلمون
[ Boleh jadi kamu membenci sesuatu,
padahal itu amat baik bagimu, dan boleh jadi [ pula ] kamu menyukai sesuatu,
padahal itu amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui ] [
5 ]
Wallohu a’lam bishowab
------------------------------------------
[ 1 ]
QS. At-Takwir ; 29
[ 2 ] HR. Abu Dawud ; 2178
[ 3 ] Subulus Salam, Muhammad
bin Ismail As-Shan’ani, Ta’liq Muhammad Nashirudin Al-Albani, Maktabah
Al-Maarif, hal 459
[ 4 ] HR. Abu Dawud ; 2194, At-Tirmidzi
; 1184, Ibnu Majah ; 2039
[ 5 ] QS. Al-Baqarah ; 216
Tidak ada komentar:
Posting Komentar