Bersama Bahagia Dalam Naungan Islam

SAYANG SEKALI


Bercerita tentang kampung, apalagi kampung halaman, tentu tak lepas dari kata keindahan panoramanya, udara yang sejuk, keramahan manusia, dan keasrian lainnya yang begitu memanjakan mata.

Inilah suasana kampung-kampung yang berada di pelosok-pelosok negeri ini, tapi bukan kampung pulo lho, kalau kampung yang satu ini bukan kampung pelosok negeri, tapi kampung pelosok ibu kota.

Keduanya jelas jauh berbeda, di mana kampung pulo adalah kampung kumuh, menjadi langganan banjir, dan tiada sedikit pun yang menyajikan panorama asri seperti yang tersuguhkan oleh kampung-kampung pelosok negeri.

Siapa yang tak rindu suasana kehidupan kampung yang terbalut keindahan alamnya, kesejukan udaranya dan keramahan manusia-manusia yang menempatinya.

Manusia ibu kota sangatlah berharap mereka bisa tinggal dan membangun hunian di kampung-kampung, kalau bukan karena tuntutan hidup, keluarga dan pekerjaan, tentu mereka lebih memilih tinggal di kampung pelosok.

Tapi karena tuntutan hidupnya, pula karena kampung pelosok tak mungkin menyajikan kemudahan fasilitas dan moda transportasi moderen yang mudah dan nyaman, dan juga tak adanya profesi yang menjanjikan dan menjadi andalan, maka mereka terpaksa memilih negeri rantau di ibu kota.

Kampung pelosok memang begitu indah sekali dan akan terus memikat hati. Anak-anak kampung pelosok yang kini tinggal di ibu kota pun sangat merindukan sekali, kalau bukan karena pekerjaan dan pencarian penghidupan yang lebih layak secara materi, tentu mereka takkan mau meninggalkan tempat kelahirannya.

Secara materi dan ekonomi tinggal di kampung pelosok memang begitu sulit dan berat, hanya segelintir manusia yang terkesan nyaman dan tenang, para pemilik tanah atau sawah yang berpetak-petak misalnya.

Namun, pada kenyataannya, mayoritas manusia kampung pelosok tidaklah seperti mereka. Rata-rata hidup mereka terbelit selendang kesusahan dan keterbatasan, yang terpikirkan

Sementara kampung pelosok tiadalah menyajikan pekerjaan melainkan pekerjaan alam yang sangat menguras tenaga. Pekerjaan yang tak senyaman dan menjanjikan uang yang besar layaknya di ibu kota.

Lihat saja, bercocok tanam di sawah. Manusia kampung yang malas dengan pekerjaan ini, maka ia tak bisa makan. Bercocok tanam adalah pekerjaan fisik yang sangat berat, seharian mereka berkulum dalam lumpur, terbakar sinar matahari, bermandi keringat, kotor dan ketidaknyamanan lainnya. Tapi itulah yang tersedia dan harus di ambilnya.

Atau membuat gula merah misalnya, ini juga pekerjaan fisik yang sangat berat pula. Bisa dibayangkan, kalau ia harus mengambil air gula dari 25 pohon kelapa, maka hampir seharian hidup dan tenaganya terkuras untuk naik turun pohon yang terbilang tinggi ini. 

Padahal ia harus melakukannya dua kali dalam sehari, pagi hari untuk mengambil air wala [ bahan dasar gula merah ] dan mengganti wadahnya, lantas sore hari harus diambil lagi, kalau tidak maka air itu akan basi dan tidak bisa dijadikan gula merah.

Belum lagi ia harus mencari kayu bakar yang tidak sedikit, dan juga memasak dan memprosesnya agar menjadi gula merah. Maka tak jarang si isteri pun harus terjun membantu pekerjaan berat itu. 

Dan itulah yang tersedia untuknya, kalau tidak ditekuninya, anak isteri akan makan apa dan bagaimana anak-anaknya harus sekolah.

Dan pekerjaan-pekerjaan kasar lainnya yang sangatlah menguras fisik dan tenaga, bagi mereka yang tidak tahan dengan kodisi ini dan berharap meraup penghasilan yang lebih, mereka pun terpaksa merantau ke kota atau pulau lain, meski acap kali mendapat pekerjaan yang tiada jauh berbeda beratnya dengan pekerjaam di kampungnya, namun secara finansial jauh lebih menjanjikan.

Dan konsekuensinya ia harus meninggalkan anak isterinya jauh di kampung berbulan-bulan masanya. Tapi itulah tuntutan hidupnya. Tanpa pengorbanan itu, ia akan tetap terlilit kesusahan dan kemiskinan.

Oleh karena itu, banyak kita temukan kampung-kampung pelosok ramai dengan ibu-ibu yang menjanda tapi bukan janda. Karena mereka sering ditinggal pergi merantau para suaminya.

Namun di sisi lain kalau kita perhatikan, ternyata banyak mereka yang jauh dari kata ibadah kepada Allah, jarang di antara mereka yang rutin menjaga shalatnya, alih-alih shalat tepat waktu, merutinkan shalat lima waktu saja terasa berat bagi mereka.

Inilah pemandangan yang miris adanya jika dilihat dari sisi ibadahnya, banyak yang beralasan capek dan butuh istirahat setelah seharian bekerja. Keadaan ini pun turun temurun ke anak-anak mereka. Bahkan menjadi lebih parah setelah masuknya alat-alat informasi yang semakin mudah dan maju.

Sayang sekali keadaan mereka, hidup dalam kesusahan dan pekerjaan yang berat, namun mereka juga jauh dari Allah. Mereka hanya terbalut kesejukan alam dalam fisiknya, tapi hati dan jiwa mereka jauh dari kesejukan imam dan ibadah kepada Allah.

Semoga Allah membukakan mata hati mereka dan memberinya hidayah sebelum ajal menjemputnya.

Wallohu a'lam bishowab
Share:

Tidak ada komentar:

PALING BANYAK DIBACA

ARSIP

Followers

Arsip Blog