Sesungguhnya
seopan santun, adab yang baik, rasa malu, dan kata-kata yang halus lagi lembut
adalah merupakan akhlak yang mulia. Dan Rasulullah – shallallahu alaihi wa
sallam di utus ke dunia ini adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Dan
seseorang yang berhias dengan akhlak yang baik menunjukan kebaikan hati dan
kepribadian yang agung akan dirinya.
Bahkan
Rasulullah melebihkan kedudukan seorang mukmin dari mukmin yang lainnya dengan
kemuliaan akhlaknya yang telah menghiasai dirinya. Rasulullah telah bersabda ;
أكمل المؤمنين إيمانا
أحسنهم خلقا، وخيركم خيركم لنسائهم
[ Iman seorang mukmin
yang paling sempurna ialah mereka yang paling baik akhlaknya, dan orang yang
paling baik di antara kalian ialah orang yang paling baik terhadap isterinya ] [
HR. At-Tirmidzi ;1162 ]
Dalam redaksi
hadits lain di sebutkan bahwa Ibnu Umar berkata ;
كنت مع رسول الله صلى
الله عليه وسلم، فجاءه رجل من الأنصار، فسلم على النبي صلى الله عليه وسلم، ثم
قال: يا رسول الله أي المؤمنين أفضل؟ قال: «أحسنهم خلقا»
[ Saya sedang bersama
Rasulullah, kemudian datanglah seorang laki-laki anshor dan memberikan salam
kepada Nabi, lantas berkata, “ wahai Rasulullah, siapakah orang mukmin yang
paling baik ? “ Beliau menjawab. “ orang yang paling baik akhlaknya “ [ HR.
Ibnu Majah ; 4259. Syaikh Albani menghukumi hadits ini hasan ]
Dan Al-Qur’an
maupun As-Sunnah sendiri telah memberikan contoh tentang uslub [ metode ] dalam
menjunjung akhlak, rasa malu dan sopan santun.
Di antaranya :
a.
Penyebutan isteri
dengan kata ahli
Allah berfirman saat mengkisahkan
Nabi Musa ;
فلما
قضى موسى الأجل وسار بأهله آنس من جانب الطور نارا قال لأهله امكثوا
إني آنست نارا لعلي آتيكم منها بخبر أو جذوة من النار لعلكم تصطلون
[ Maka ketika Musa telah
menyelesaikan waktu yang ditentukan itu dan ia berangkat dengan keluarganya,
dia melihat api di lereng gunung. Dia berkata kepada keluarganya, “
Tunggulah [ di sini ], sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat
membawa suatu berita kepadamu dari [ tempat ] api itu atau [ membawa ] sepercik
api, agar kamu dapat menghangatkan badan ] [ QS. Al-Qashash ; 29]
Dalam ayat di atas kata ahli maskudnya
adalah isterinya. Padahal kata ahli secara umum bermakna keluarga yang terdiri
dari isteri, anak dan anggota keluarga lainnya. Namun dalam ayat ini Allah
menyebutkan isteri dengan kata ahli, karena hal ini sebagai bentuk
penghormatan, sopan santun dan adab yang baik.
Dalam sebuah hadits juga disebutkan ;
أتى النبي صلى الله عليه وسلم رجل، فقال: هلكت،
قال: « ولم؟ » قال: وقعت على أهلي في
رمضان، قال: « فأعتق رقبة » قال: ليس عندي، قال: « فصم شهرين
متتابعين » قال: لا أستطيع، قال: « فأطعم ستين
مسكينا » قال: لا أجد، فأتي النبي صلى الله
عليه وسلم بعرق فيه تمر، فقال: « أين السائل؟ » قال: ها أنا ذا، قال: « تصدق بهذا » قال: على أحوج منا يا رسول الله، فوالذي
بعثك بالحق، ما بين لابتيها أهل بيت أحوج منا، فضحك النبي صلى الله عليه وسلم حتى
بدت أنيابه، قال: « فأنتم إذا »
[ Seorang lelaki datang kepada Nabi –
shallallahu alaihi wa sallam – seraya berkata, “ celakalah aku “ Nabi berkata,
“ apa [ yang membuatmu celaka ] ? Ia menjawab, “ Aku telah menggauli
keluargaku [ isteriku ] pada siang hari ramadhan.” Beliau berkata, “ Maka
bebaskanlah budak “ Ia menjawab, “ aku tidak memiliki budak “. Beliau berkata
lagi, “ maka berpuasalah selama dua bulan berturut-turut. “ Ia berkata, “ Aku
tidaklah mampu. “ Beliau berkata lagi, “ maka berilah makan kepada enam puluh
fakir miskin.“ Ia berkata, “ Aku tidaklah memiliki sesuatu [ untuk itu ].”
Kemudian Nabi mengambil suatu wadah yang di dalamnya berisi kurma seraya
berkata, “ Di mana tadi orang yang bertanya ? “ Ia menjawab, “ ini aku “.
Kemudian Beliau berkata, “ bersedekahlah dengan ini [ kurma ].” Ia menjawab, “
wahai Rasulullah, apakah harus disedekahkan kepada orang yang paling fakir di
antara kami. Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan haq, tidaklah ada keluarga
di antara dua rumah yang lebih miskin dariku ! “ Maka Nabi pun tertawa sampai
gigi gerahamnya terlihat dan berkata, “ jadi, kamu saja [ yang berhak
mendapatkan sedekah itu ].” [ HR. Bukhari ; 6087, Muslim ; 5368 ]
Dalam hadits ini juga menyebutkan
isteri dengan kata ahli yang merupakan bentuk penghormatan, sopan santun dan
adab yang baik. Karena penyebutan kata ahli yang bermakna isteri lebih terasa
beradab dan sopan adanya secara bahasa.
Bukankah dikenal pula dalam adat
istiadat di masyarakat kita, bahwa berbicara dengan bahasa yang lebih halus dan
sopan sangatlah terkesan darinya sebuah kebaikan dan penghormatan yang tinggi
dari orang yang mengajaknya berbicara. Sebagai contohnya, bahasa jawa terbagi
menjadi beberapa tingkatan, halus , sedang, dan kasar. Masing-masing tingkatan
bahasa itu digunakan sesuai dengan tingkatan umurnya. Dan jika tidak
menggunakan pada tempatnya, maka ia terkesan dan dikenal akan ketidaksopanannya
dan kekurangan adabnya dalam berbicara.
b.
Penyebutan jima’ [
hubungan intim suami isteri ] dengan kata laamastumunisa
يا أيها الذين آمنوا لا تقربوا الصلاة وأنتم سكارى حتى تعلموا ما
تقولون ولا جنبا إلا عابري سبيل حتى تغتسلوا وإن كنتم مرضى أو على سفر أو جاء أحد
منكم من الغائط أو لامستم النساء فلم تجدوا ماء فتيمموا صعيدا طيبا فامسحوا
بوجوهكم وأيديكم إن الله كان عفوا غفورا
[ Wahai orang
yang beriman ! janganlah kamu mendekati shalat, ketika kamu dalam keadaan
mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula [ kamu hampiri
masjid ketika kamu ] dalam keadaan junub kecuali sekadar melewati jalan saja,
sebelum kamu mandi [ mandi junub ]. Adapun jika kamu sakit atau sedang dalam
perjalanan atau sehabis buang air atau kamu telah menyentuh perempuan,
sedang kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik [
suci ], usaplah wajahmu dan tanganmu dengan debu itu. Sungguh, Allah Maha
Pemaaf, Maha Pengampun ] [ QS. An-Nisa ; 43 ]
Dalam ayat di
atas, Allah menyebutkan kata jima’ [ hubungan intim suami isteri ] dengan
bahasa kinayah [ kiasan ], yaitu lams [ menyentuh ]. Karena telah diketahui
secara bersama dan secara fitrah bahwa bahasa yang berkaitan dengan masalah
hubungan intim apabila disampaikan di sebuah majelis umum dengan bahasa yang
fulgar, maka ia terkesan tidak sopan, tidak merasa malu, dan adanya kekurangan
adab dalam perihal berbicara.
Dan bahasa
kiasan dalam masalah tersebut adalah bahasa yang penuh dengan adab, menjunjung
rasa malu, dan penuh dengan kesopanan. Bukankah secara adat hal itu juga
terakui adanya ?
Demikianlah
Allah menyebutkan sesuatu dengan bahasa yang halus, penuh sopan santun, dan
menjunjung rasa malu, serta menjauhi dari bahasa-bahasa yang kasar dan tidak
menunjukan adanya rasa sopan santun atau rasa malu sama sekali.
Oleh karena itu,
berbicaralah dengan bahasa yang baik, sopan dan penuh adab. Pula bersikap dan
berakhlaklah dengan akhlak yang mulia penuh adab dan sopan santun. Karena tiada
seorang pun yang berbicara dengan adab dan bahasa yang baik, melainkan terlihat
dan terpancar darinya sebuah akhlak yang baik, pribadi yang sopan dan hati yang
bersih. Dan tiada pula seseorang berakhlak dengan baik, melainkan ia adalah
seorang yang baik pula, baik lahir maupun batinnya.
Dan jika tidak
bisa berbicara dengan kata-kata yang baik lagi sopan, maka berdiam diri dari
menahan perkataan jauh lebih baik dan selamat bagimu dan juga aku. Bukankah
Rasulullah – shallallahu alaihi wa sallam – telah bersabda ;
من كان يؤمن بالله
واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت
[ Barangsiapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berbicaralah yang baik atau diam
[ jika tidak mampu berbicara dengan baik ] [ HR. Bukhari ; 6475, Muslim ; 47
]
Wallohu a’lam
bishowab
----------------------------------
Tulisan ini
terinspirasi dari Muhadharah DR. Ajazi Al-Mishri saat membahas masalah kias dan
menyinggung tentang masalah akhlak dalam al-Qur’an saat menjelaskan maksud kata
ahli. Beliau adalah Dosen Ushul Fiqh fakultas syariah di LIPIA Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar