Bersama Bahagia Dalam Naungan Islam

Yang Harusnya Malu


Dulu dan kini berbeda adanya, kemudahan dunia transportasi dan informasi kini jauh lebih termanjakan, untuk menyebrang ke negeri tetangga cukup dalam hitungan menit, atau untuk mengetahui kejadian di ujung dunia cukup tekan klik atau tombol enter, tanpa berlama bermenit-menit semua itu tersuguhkan di hadapannya.

Adapun dulu, belajar atau menuntut ilmu, seorang tholib [ pelajar ] harus bekerja keras dan bersungguh-sungguh. Berpagi-pagi meninggalkan rumah agar tak tertinggal majelis ilmu, berebut untuk duduk dekat sang guru, bersafar lamanya demi satu hadits, berpayah diri untuk menulis syarh atau ilmu dari sang guru, berletih raga dan pikiran untuk menulis atau membukukan ilmu yang tertimba dan agar terus terfaidahkan oleh manusia lain.

Waktu pun terasa sempit baginya, dan tiada waktu terlewatkan melainkan untuk ilmu atau amal dari ilmu itu sendiri, mereka bergurau tapi bermakna, dan istirahat hanya sekedarnya demi menunaikan hak raganya.

Setiap waktu terasa bermakna, meski keterbatasan instrumen hayat tak segampang saat ini, baik untuk menulis, atau referensi bacaan, transportasi, kenyamanan majelis ilmu, dan sebagainya.

Dan kini, buku atau kitab tetumpuk dan tercecer di mana-mana, di perpustakaan, di kantor, di masjid, di madrasah, di rumah-rumah, terlebih di toko-toko buku.

Terlebih dalam dimensi DUMAY [ Dunia Maya ] dengan syaikh google-nya, semuanya tersuguhkan apa yang terbutuhkan hanya dalam kotak Search. Tinggal menulis apa yang dimau, syaikh google akan menjawabnya dalam hitungan detik. Entah itu baik maupun buruk, semua tersedia dan siap tersajikan.

Pula dengan jumlah madrasah, sekolah, pesantren yang menjamur di sana sini, transportasi kilat yang bisa memindahkan raga dalam hitungan menit, atau informasi teranyar yang bisa diketahui hanya tinggal klik atau tekan tombol enter.

Tapi, kemudahan di masa kini kurang tersyukuri oleh sebagian besar manusia. Tumpukan kitab atau buku yang memenuhi kamarnya belum juga terbaca, kecuali sedikit saja, ia hanya berupa tumpukan ilmu yang tersimpan. 

Dumay yang mengesankan lebih terpakai dalam gurauan atau hal-hal yang hanya menyia-nyiakan waktu, kecuali sedikit saja dari mereka, ia menjadi nikmat yang belum berbarokah baginya.

Kita, yang seharusnya malu, malu dari mereka para salaf yang dalam keterbatasannya lebih menuai keberkahan ilmu yang tertimba.

Sementara kita, dengan beragam kemudahan di sana sini, enggan dan malas dalam belajar ilmu, baik membaca atau menghafal ilmu yang bermanfaat, terlebih dalam amalnya, masih terasa jauh antara ilmu dan amal yang kita punya.

Yang harusnya malu adalah kita, malu kepada Allah akan kemudahan yang diberikannya kepada kita. Dan keberkahan ilmu pun belum terasakan adanya, kecuali bagi mereka yang dikehendaki oleh-Nya.

Wallohu a'lam bishowab
Share:

Tidak ada komentar:

PALING BANYAK DIBACA

ARSIP

Followers

Arsip Blog