Bersama Bahagia Dalam Naungan Islam

Cingkrang Berjenggot


Sepuluh tahun silam, ketika saya masih tinggal bersama kedua orang tua di kampung halaman yang asri, saya belum mengenal islam seperti sekarang ini. Yang saya tahu kala itu umat islam begitu indah, harmonis, tanpa ada perselisihan seramai saat ini. 

Apa itu bid'ah atau sunnah, para penjenggot atau pencingkrang, penjubah atau penggamis belum terbesit adanya beda dengan yang lainnya. Semua terasa biasa, mereka jumatan, sholat jamaah, tarawih kala romadhon, puasa, atau semisalnya. Dan itulah islam yang saya tahu sedari kecilku di kampung.

Semenjak ku tinggalkan orang tua di kampung untuk menimba ilmu, sedari itulah terasa dalam ternyata kondisi umat islam tak seperti yang ku kenal dulu. Sejak silam memang aku sudah mengenal umat islam tertampung dalam dua wadah ormas besar, NU dan Muhammadiyah yang terkenal terus bersebrangan, terutama kala penetapan awal puasa dan awal lebaran. 

Tapi, sekarang lebih dari itu, semakin ramai dan seru saja perselisihan antar umat islam sendiri. Mereka terkotak-kotak dalam beberapa ormas yang tak jarang terkesan merasa bangga dengan kelompoknya sendiri.

Dan yang paling booming beberapa tahun terakhir adalah perkembangan dan pesatnya dakwah salafiyah di negeri ini. Menurut mereka, dakwah salafiyah bukanlah dakwah yang terikat dalam wadah organisasi tertentu. Singkatnya salafi bukanlah organisasi, salafi hanyalah penisbatan akan para salaf [ Rasulullah dan para Sahabatnya ]. Salafi adalah orang-orang yang mengemban dakwah di atas sunnah Rasulullah.

Penyebaran opini dakwah salafi begitu cepatnya merayap di masyarakat, hingga pelosok negeri pun tak lepas terendus olehnya. Seiring itu perselisihan pula menjadi hiasan akan dakwah salafi ini. Dari yang ekstrim maupun yang sepele.

Saya bersyukur dan mengapresiasi perkembangan dakwah salafi di bumi pertiwi ini, tapi masih ada keganjalan yang sepatutnya segera diratakan oleh para penyeru dakwah salafi. 

Mungkin keganjalan ini terlalu ringan menurut mereka, tapi tidak buat saya, terlebih kecilnya itu mampu merubah opini masyarakat luas. Jika urusannya masalah opini luas, kecil terasa meluruskannya dari mereka dalam masa yang singkat. Jadi, ia bukanlah masalah kecil lagi. Tapi ini menyangkut perkembangan dakwah islam ke depan.

Jenggot dan cingkrangan misalnya. Tak ada yang mengingkari akan sunnah Rasul yang dua ini. Sudah selayaknya seorang muslim menghidupkan kedua sunnah yang telah tsabit [ tetap ] dari Rasulullah.

Tapi opini publik mengatakan orang yang berjenggot dan bercingkrang adalah salafi atau dari kalangan salafiyin, selain mereka bukanlah salafi. Sekarang kalau ada seorang berjalan di muka umum, dan ia berjenggot atau cingkrangan, mata masyarakat akan melototinya ia seorang salafi.

Cukupkah seorang dikatakan salafi karena sekadar berjenggot dan cingkrangan. Cukupkah seorang menjadi salafi hanya dengan menzahirkan dua sunnah di atas. Dan bagaimana seorang yang tertakdir tanpa berjenggot [ termasuk saya ], apakah ia tak bisa menjadi salafi.

Bagaimana nasib mereka yang menghidupkan banyak sunnah tanpa terzohirkan; sholat malam, sholat dhuha, puasa sunnah, menyantuni anak yatim, atau yang lainnya tanpa terlihat mata manusia, tidak bisakah mereka dikatakan sebagai salafi.

Bagaimana dengan seorang yang menghidupkan banyak sunnah, tapi ia tak berjenggot dan tak bercingkrang celana, bisakah ia menjadi seorang salafi ? 

Inilah opini publik yang telah mendarah pula mendaging di sebagian masyarakat di negeri ini. Benar terasa sulit kini mengubah paradigma tentang salafi di mata masyarakat. Salafi bukanlah hanya mereka yang berjenggot bercingkrang.

Tak bijak rasanya para pengemban dakwah salafiyah dan yang menisbatkan diri sebagai salafi hanya diam diri akan fenomena ini, terlebih berbangga diri dengan ke-SALAFI-annya yang hanya terzohirkan dari jenggot dan cingkarangan, sementara yang tidak demikian bukanlah salafi, ini adalah sikap picik yang tak pantas di sandang oleh mereka dan hanya akan mengotori dakwah islam.

Kerap kali terdengar, " Ente salafi ya ? " Padahal ia sekadar melihat jingkrangnya ditambah berjenggot. Atau kita saksikan seorang tak berjingkrang dan bergundul dagu masuk ke dalam komunitas cingkrangan dan jenggotan, tak sedikit mereka mencibir kedua matanya kala melihat orang itu. Ia pun tak tersambut meriah seperti tersambutnya ikhwan yang sejenggot atau secingkrang yang ada di sampingnya. Padahal siapa tahu orang itu lebih banyak nyunahnya dari mereka, hanya ia terlahir polos berdagu dan berpendapat cingkrang hanya sunnah. 

" SALAFI " bukanlah di lisan semata. Pula bukan hanya cingkrangan atau jenggotan. Yang terlanjur menisbatkan ke-salafi-annya secara zahir, jagalah pengakuanmu itu dengan aplikasi sejati para salaf.

Tapi, jika belum mampu, janganlah hanya berkoar lisan.Simpanlah ke-salafi-anmu dalam hati,itu jauh lebih baik bagimu dan dakwah islam.Lebih mulia mereka yang beramal salaf meski tak berkoar " Aku Salafi " dari mereka yang berkoar " Aku Salafi " tapi jauh dari amalan para salaf.


Wallohu a’lam bishowab
Share:

Tidak ada komentar:

PALING BANYAK DIBACA

ARSIP

Followers

Arsip Blog