Bersama Bahagia Dalam Naungan Islam

Surat Kecilku Teruntuk Ibuku


Ibu, Engkau adalah sosok manusia yang sangat mulia, insan yang istimewa, bahkan kemuliaanmumu jauh lebih mulia daripada segenggam mutiara, permata, dan perhiasan mulia lainnya.

Sungguh, engkau begitu mulia di hadapan Allah, sampai-sampai Rasulullah memerintahkan manusia untuk berbakti kepada ibunya sebanyak tiga kali, baru setelah itu beliau memerintahkan kebaktian itu kepada bapaknya.

Wahai ibu, Kemuliaanmu di hadapan Allah dipertegas lagi dalam al-Qur’an. Allah telah menggandengkan perintah berbuat baik kepada kedua orang tua setelah memerintahkan untuk mentauhidkan Allah dan tidak memepersekutukan-Ny dengn sesuatu apapun di dunia ini, termasuk mahluk Allah yang sangat dekat dengan-nya, baik malaikat, para Nabi dan Rasul, maupun wali-wali Allah yang lainnya.

Wahai ibu, Sebenarnya aku malu dan sangat malu pada diriku sendiri, bagaimana kebaikan-kebaikanmu telah engkau korbankan semua tanpa tersisa demi anak-anakmu agar tumbuh menjadi insan yang baik dan mulia. Berapa banyak tinta yang harus ku tuliskan, lembaran-lembaran kertas yang harus ku habiskan hanya untuk melukiskan dan menceritakan semua kebaikanmu yang tak pernah bertepi. Sampai-sampai umurku pun tak cukup untuk mengisahkan pengorbanan, perjuangan, kesabaran, ketabahan dan kebaikan-kebaikan lainnya yang mengalir dari jiwamu.

Wahai ibu, Sungguh murka Allah berada di telapak kakimu, demikian juga ridho Allah berada di telapak kakimu. Betapa mulianya derajatmu di hadapan Allah, wahai ibu. Sampai-sampai semua kebaikan seorang anak yang ia korbankan, baik berupa harta, tahta, istana, cinta dan kasih sayang, semua itu tidak akan mampu untuk menebus dan membalas semua pengorbanan dan kebaikanmu. Semua itu tidak ada nilainya sama sekali jika dibandingkan denga semua kebaikanmu.

Hanya ada satu cara untuk bisa menebus kebaikanmu, wahai ibu. Namun cara ini bisa aku katakan mustahil dan sangat langka dalam pandangan mataku. cara itu berupa pembebasanmu saat engkau terbelenggu tali perbudakan terakibat tawanan perang atau yang lainnya. 

Hanya inilah satu-satunya cara untuk bisa menebus dan membalas semua kebaikan yang telah engkau korbankan kepada anak-anakmu. Tapi, itu tidak mungkin wahai ibuku. Terlebih aku yang hidup di zaman yang tiada lagi perbudakan. Dan pula tiada aku rela ibu diperbudakan atau terjerembab dalam pusaran tali perbudakan selama-lamanya.

Ibu, Aku dapat merasakan dan membayangkan bagaimana perasaanmu saat mulai.mengandungku. Mulai itulah engkau dihampiri oleh beban yang semakin bertambah, perasaan demi perasaan yang terus mulai berubah-ubah tidak seperti biasanya. Engkau tidak boleh makan yang ini dan yang itu, hindarilah yang ini dan makanlah yang itu.

Di minggu-minggu pertama kau mulai mengandungku, rasa mual, mulas, bahkan muntah sudah menjadi santapanmu sehari-hari. Lemah dan lemas pun sering menyambangi ragamu. Padahal di saat yang sama engkau masih harus tetap melayani ayahku, entah itu memasak, mencuci pakaian, menyiapkan sarapan pagi, makan siang maupun malam, membersihkan rumah, mendidik dan juga membimbinh kakak-kakaku.

Wahai ibu, Di saat itulah rasa lemah dan lemasmu terus bertambah, tidur menjadi susah, dan makan pun tiada berselera lagi. Begitulah kondisi dan keadaanmu sampai-sampai waktu istirahatmu terkuras habis. Namun, aku begitu bangga dan takjub dengan kondisimu yang begitu memprihatinkan, engkau tetap tegar lagi kokoh, tetap semangat menjagaku yang masih dalam kandungan agar aku tetap sehat dan bugar.

Dalam rasa lemah dan lemasmu aku bisa merasakan kebahagiaanmu dalam kerinduan penantianku, penantian si buah hati yang imut lagi mungil, penantian yang tak terbilang sebentar, tapi penantian yang cukup lama bermasa, selama sembilan bulan, aku tidak bisa membayangkan semua itu. Namun, engkau tetap dalam sabar bercampur bahagia demi menyambut datangnya si buah hati dengan sehat dan selamat yang akan menjadi penyejuk mata.

Wahai ibu, Bulan pertama saat kau mengandungku telah kau lewati penuh dengan lika-liku. Kini perutmu terus mulai membesar, bobot tubuhmu pun mulai bertambah.

Hari silih berganti, jam terus berputar, jarum jam terus berdetak, seiring itu pula bobotmu terus bertambah dan rasa lemah lemas turut menyertai. Namun, engkau tetap teratur dan asyik untuk tetap menjaga kesehatanmu dan kesehatanku.

Wahai ibu, Kondisi lemahmu yang bertumpuk kepayahan telah diabadikan oleh Allah dalam al-Qur'an. Hal ini menunjukkan betapa mulianya pengorbananmu, kesabaran dan ketabahan saat itu demi melihat si buah hati dalam pelukanmu.

Hari silih berganti, tak terasa tubuhku yang melingkar dalam rahimmu semakin sempurna. Dan di saat aku berumur empat bulan dalam rahimmu, datanglah malaikat untuk menuliskan ketetapan Allah atas diriku, umur, ajal, rizki, bahagia dan sengsaraku sudah tetap kala itu dan sudah tidak dapat diganggu gugat lagi.

Dan kini bebanku terus bertambah dan bertambah, yang seiring pula menambah beban tubuhmu. Engkau pun mulai merasakan ketidaknyamanan disaat tidurnya, sesekali engkau ingin tidur berbaring, tapi hal itu tidaklah memungkinkan karena keberadaanku dalam perutmu, engkau pun berusaha tidur miring ke kanan atau ke kiri dan tidur telentang. Dan itu pun tidak senyaman seperti sebelum keberadaanku.

Wahai ibu, Detik berdetak, jarum jam berputar, dan waktu pun terus bertambah. Kini usiaku sudah mulai mendekati bulan ke Sembilan. Di satu sisi aku merasakan kelemahanmu yang terus bertambah dan semakin bertambah dengan keberadaan bebanku dalam perutmu. Namun, di sisi lain aku pun merasakan kebahagiaanmu yang terus termekarkan, karena masa penantianmu akan si buah hatinya akan berakhir. Engkau pun mulai menyiapkan segalanya untuk menyambut kedatanganku, mulai dari materi, mental, kesehatan, dan hal-hal lain yang akan membantu kelancaran dalam persalinanmu.

Wahai ibu, Hari pertemuanku denganmu sudah semakin dekat, ia tinggal dalam hitungan jari-jemari saja. Keikhlasan, kesabaran dan kebahagiaan terus memekar dalam jiwamu. Semua itu akan menjadi energi super yang akan memuluskan dan memudahkan jalanku untuk terlahir ke alam baruku dan kehidupan anyarku di dunia ini. Sesaat engkau merasakan permainanku dalam rahimmu, hentakan kaki dan pergerakan tanganku. Engkau pun mulai bertambah gembira karena kedatanganku sudah sangat terasa semakin dekat.

Wahai ibu, Saat kegelapan mulai tiba, dan sang mentari meninggalkan kegagahannya di siang harinya. Engkau mulai merasakan sakit yang teriringi pergerakanku dalam rahimmu. Dan otot-otot rahimmu terus berkontraksi untuk membantu mengeluarkanku ke alam dunia ini, alam yang penuh dengan keindahan dan ujian yang belum pernah terjamah sedikitpun olehku.

Berangsur-angsur malam mulai terlarut, seiring itu pula keyakinanmu terus bertambah kuat akan kelahiranku. Engkau pun terus merintih menahan rasa sakit yang tiada kunjung hentinya. Sementara ayahku terduduk di sampingmu, memegang erat tanganmu hanya untuk memberikan sugesti, semangat dan energi tambahan di saat detik-detik kelahiranku mulai tertiba.

Wahai ibu, Dan sekarang tibalah saatnya detik-detik pengorbanan jiwamu, saatnya masa kegentingan yang tiada pernah terasakan oleh kaum adam. Kala itu engkau pun sudah merelakan dan menebus jiwamu di antara dua pilihan, hidup atau mati demi untuk melahirkanku ke alam dunia ini. Sungguh, ini adalah pengorbanan dan taruhan yang sangat besar dalam hidupmu.

Oleh karena itu, pantas sekali jika Allah mengabadikan nama dan pengorbananmu dalam Al-Qur’an serta memerintahkan anak-anakmu untuk senantiasa bersyukur dan berbuat baik terhadapmu. Inilah cara Allah untuk mengenang dan mengingatkan umat manusia akan perjuangan dan pengorbanan seorang ibu yang sangat besar lagi mulia. Hal itu agar mereka merasa malu akan diri mereka sendiri dan tidak berani untuk melakukan kedurhakaan terhadap kedua orang tuanya.

Wahai ibu, Di saat pintu dan dinding rahimmu mulai terbuka sedikit demi sedikit demi memberi ruang untuk pergerakanku, di saat itulah engkau merasakan sakit yang sangat, sakit yang luar biasa yang tiada pernah terasakan oleh kaum adam, sakit yang taruhannya antara hidup dan mati.

Batinku tak bisa membayangkan untuk bisa melukiskan rasa sakit itu. Dan tanganku tiada lagi mampu menorehkan tinta demi menggambarkan kesakitan yang kau alami kala itu. Sungguh, sangat pantas sekali jika tidak ada kebaikan sama sekali yang diberikan oleh sang anak untuk bisa menebus semua pengorbanan dan kebaikanmu, karena taruhan perjuanganmu kala itu adalah antara hidup atau mati.

Wahai ibu, Sedikit demi sedikit kini tubuhku mulai melewati pintu rahimmu. Di saat itu engaku terus berjuang untuk mendorongku lahir ke dunia ini. Rasa sakit yang terus berkecamuk terus engkau lawan dengan segala kekuatan, keyakinan dan keperkasaanmu. Dengan izin Allah, engkau pun berhasil melewati masa-masa kritismu dan aku pun terlahir dengan selamat ke dunia baruku. 

Sesaat setelah aku terlahirkan, dengan spontan teriakan tangis keras keluar dari mulutku. Mendengar tangisan yang begitu kerasnya, rasa sakit yang baru saja engkau alami dan masih terbekaskan di sekujur ragamu, seketika itu pula sirna dan terluluhkan. Detik-detik antara hidup dan matimu juga hilang begitu saja dari benakmu dan sudah tiada terbayangkan lagi.

Keringat yang mengalir dan membanjiri sekujur tubuhmu, ketegangan dan kegentingan jiwamu, dan rasa lemah lemas yang tertumpuk akibat terkuras habis semua oleh energi tubuhmu, pula tiada terasa lagi saat engkau melihat dan menatapku penuh dengan kelembutan kasih sayang dan senyuman cintamu.

Wahai ibu, Setelah tubuhku dibersihkan dari sisa darah dan air ketuban oleh si dukun bayi, yang kemudian dibalut dengan sehelai kain dan ditaruhlah aku di samping pembaringanmu. Engkau pun menatapku kembali penuh dengan kasih sayang, senyuman lembutmu pula terus menghiasi kedua bibirmu, kemudian engkau mengecup keningku yang masih lembut dengan penuh bahagia dan cinta.

Wahai ibu, Tubuhku yang masih kemerah-merahan sesaat setelah terlahirnya aku dan aliran darah merahmu yang begitu banyak kala itu adalah bukti nyata akan tingginya pengorbanan hidupmu, dan ia adalah saksi akan perjuanganmu.

Wahai ibu, Aku benar-benar mengakui bahwa tidak ada kebaikan sedikitpun yang dapat aku berikan kepadamu untuk bisa membalas dan menebus semua pengorbanan dan kebaikanmu, apapun itu bentuknya. Aku malu dan sungguh malu jika teringat itu semua.

Wahai ibu, Aku hanya bisa untuk menghadirkanmu dalam munajat suciku kepada Allah agar engaku menjadi salah satu penduduk surga-Nya yang penuh dengan kenikmatan nan abadi. Sebuah kenikmatan yang tiada pernah terlintas dalam hati manusia, tak pernah terlihat oleh mata, dan tak pernah terdengar oleh telinga. Dan aku pun terus berusaha untuk senantiasa taat kepadamu, berbakti dan menjaga serta merawatmu di saat hidup dan kelak di hari senjamu.

Wahai ibu, Aku terus memohon kepada Allah agar pertaruhan jiwamu antara hidup dan mati, darah merahmu yang mengalir deras mengiringi keterlahiranku ke dunia ini, rasa sakit yang sangat kala detik-detik persalinanmu, rasa lemah lemas yang tertumpuk payah saat engkau mengandungku pula saat melahirkanku, air mata bening sebening embun di pagi hari, senyum manismu yang penuh kasih sayang dan juga cinta yang setiap saatnya. 

Mutiara kesabaran yang mengkilap sepanjang masa, gunung-gunung kokoh akan ketabahan dan ketegaranmu yang senantiasa menghiasi ranah hidupmu, semua itu menjadi bukti dan saksi di hadapan Allah bahwa engkau sangatlah pantas untuk tinggal di surga-Nya yang sangat luas seluas langit dan bumi yang di bawahnya mengalir sungai-sungai yang indah, dan buah-buahannya yang lebat lagi bermacam-macam. 

Di dalamnya juga terdapat mata air yang mengalir dengan indahnya. Di sana juga dihiasi oleh bidadari-bidadari surge yang sopan lagi menundukan pandangannya, mereka tiada pernah tersentuh manusia sebelumnya, dan tiada pula tersentuh oleh bangsa jin. Mereka adalah bidadari-bidadari yang cantik lagi jelita, putih bersih yang dipingit dalam surganya, bertelekan bantal-bantal hijau dan permadani yang indah yang sebelah dalamnya terbuat dari sutera, seakan-akan bidadari-bidadari itu adalah permata yakut dan marjan, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.

Ya Allah, Ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku, curahkanlah rahmat-Mu kepada mereka berdua sebagaimana mereka telah mendidikku di saat aku masih kecil. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan atas Nabi Muhammad, keluarga, para sahabat, dan para umatnya yang senantiasa taat dan istiqamah di atas jalannya sampai hari kiamat.

Amiin
Share:

Tidak ada komentar:

PALING BANYAK DIBACA

ARSIP

Followers

Arsip Blog