Bersama Bahagia Dalam Naungan Islam

MABUR ATAU MABRUR


Kata mabrur dilihat dari segi bahasa berasal dari kata بر – يبر – برا   [ bermakna baik, berbakti, taat, benar, tidak dusta, diterima ]
 
Adapun makna istilah mabrur beragam, tapi substansinya tak jauh berbeda, di antaranya apa yang tersebut dalam kitab subulus salam ;

     [1]   Mabrur ialah sesuatu yang tiada tercampur sedikit pun dengan dosa, pendapat ini di  rajihkan [ dikuatkan dan dipilih ] oleh imam An-Nawawi.


[2]   Mabrur berarti diterima atau dikabulkannya sesuatu

[3] Mabrur ialah sesuatu yang berbuah hasil bagi pelakunya, dalam artian keadaan setelahnya berubah menjadi lebih baik dari yang sebelumnya.

Inilah beberapa makna kata mabrur yang tersebut dalam hadits Nabi melalui jalan periwayatan sahabat  Abu Hurairoh, sesungguhnya berliau bersabda;

العمرة إلى العمرة كفارة لما بينهما والحج المبرور ليس له جزاء إلا الجنة

[ Umroh yang satu ke umroh yang lainnya adalah penghapus [ penebus ] dosa di antara keduanya, dan tiada balasan bagi haji mabrur melainkan surga ] [ Muttafaq ‘alaih ]

            Adapun kata mabur berasal dari bahasa  jawa yang berarti terbang atau melayang. Kemudian makna mabur tersebut meluas sesuai tema yang berkaitan, ia bisa bermakna lenyap, menghilang, raib, dan semisalnya karena sesuatu yang di maksud telah pergi atau semakin menjauh dari pemiliknya.

            Saya sangat bergembira, turut senang dan bersuka ria dengan datangnya bulan haji [ orang – orang menyebutnya demikian, karena di bulan tersebut ada ibadah yang sangat  mulia dan termasuk rukun islam yang lima, yaitu manasik haji ]. Dan saya sangat mengapresiasi khususnya bagi para jemaah haji indonesia, dan umumnya seluruh umat muslim sedunia yang pada tahun ini bisa memenuhi panggilan Allah ke tanah suci untuk menjalankan manasik haji. 

            Banyak saudara-saudara kita yang sangat berkeinginan pergi ke tanah suci, tapi Allah belum mengizinkan mereka, ada yang tertahan karena harta yang tak cukup, ada yang karena sakit menimpa raganya, ada yang tak kuasa pergi akibat usia senja yang tiada lagi mendukungnya, juga ada yang tinggal berangkat hari – H, eh ternyata tak jadi berangkat akibat kesalahan pengurusan paspor atau tertipu oleh pihak penyelenggara haji illegal, atau masalah-masalah lainnya yang menjadi sebab Allah belum berkehendak atasnya untuk menunaikan manasik haji.

            Bersyukurlah wahai saudara-saudaraku yang telah diizinkan Allah untuk pergi ke tanah suci, manfaatkanlah moment berharga itu untuk semakin dekat dengan-Nya, perbanyaklah munajat kepada-Nya, dan janganlah engkau kotori semua kebaikanmu dengan keburukan-keburukan yang akan mendatangkan murka-Nya setelah sekembalimu ke tanah air.

Doaku terpanjatkan semoga amal sholeh mereka selama manasik diterima Allah, menjadi tibangan kebaikan kelak di akhirat dan kembali ke tanah airnya dalam keadaan sehat, selamat dan mendapat haji yang mabrur sebagai mana yang tersebut dalam sabda Rasul.

Tapi, khusus umat muslim Indonesia masih banyak catatan-catatan yang perlu diperhatikan mengenai ibadah yang satu ini. Di antara yang ingin saya ungkap mengenai dua hal:

            [1] Gelar pak haji atau bu hajah

            [2] Mabur atau mabrur 

            Gelar pak haji atau bu hajah mungkin hanya ada di negeri ini, itu menurut hemat saya, karena beberapa kali yang aku temui, termasuk di tulisan maupun media elektronik, tiada aku dapati gelar semacam ini [ pak haji, bu hajah ], terlebih dari mereka orang pribumi asli asal negeri dua tanah suci, meski mereka sudah berhaji lebih dari sekali, tidak terdengar sekali pun panggilan atau sahutan, ya haja fulan [ wahai pak haji fulan ] atau ya hajah fulanah [ wahai bu hajah fulanah ], yang sering malah mereka memanggil dengan nama aslinya, laqobnya [ gelar ], atau kunyahnya [ julukan ].

Berbeda dengan negeri kita ini, sering kita melihat tulisan dengan dibubuhi gelar akademik dan juga haji atau hajah, semisal, H. DR. Muaraf MA, atau Hj. DR. Mudrikah. MA, dan sejenisnya. Sering juga terdengar di beberapa kesempatan panggilan naman yang terbubuhi gelar tersebut. Inilah keunikan dan kreatifitas anak bangsa yang terus turun temurun.

            Aku sebenarnya tak mempermasalahkan gelar semacam ini, tapi bagiku gelar itu ibarat pisau bermata dua, bisa baik di satu sisi, dan terkadang menjadi buruk di sisi lain. Semua kembali kepada pribadinya masing-masing. 

Kapan ia menjadi baik, saat mereka telah menyandang gelar haji atau hajah dan sudah dikenal banget oleh tetangga atau sanak saudara, dan di saat hatinya galau, keimanan terkikis, dan hampir saja tergelincir ke dalam kubangan maksiat, mereka akan lebih mudah terinstropeksi diri dan lebih tertahan, kenapa ? karena ada pergolakan batin antara hitam dan putih, baik dan buruk, persaingan ketat antara keduanya, tinggal mana yang lebih kuat, dialah pemenangnya. 

Kenapa pak haji kok mulai kendor shalat jamaahnya ? pak haji itu gak boleh bohong, tak boleh dusta, atau mengumpat ? bu hajah itu tak boleh ngeghibah, tak bermurah senyum, atau tak mau berbaik muamalah sama tetangga? atau pergolakan batin semisalnya.  Inilah yang terkadang bisa membantu menjadi neraca tibangan saat akan berbuat buruk atau tidak terpuji si pak haji atau bu hajah, semakin terdalami dan teresapi dengan gelar di atas, semakin baik dan lebih tertahan dirinya dari berbuat kebururkan. Tapi sebaliknya, semakin meremehkan dan menganggapnya biasa, akan semakin mudah dirinya terdorong berbuat keburukan di saat-saat terkikisnya keimanan.

Dan kapankah gelar [ pak haji, bu hajah ] menjadi buruk, tentu saat gelar ini menjadi sebuah tujuan, entah agar di kenal sebagai orang yang shalih dikarenakan sudah pernah tawaf dan sa’I di tanah suci, atau supaya dirinya lebih dihormati dan disegani karena tittle haji-nya, atau agar orang-orang memanggilnya haji atau hajah sebagai bentuk hormat akan kedudukannya, baik karena harta, ilmu atau strata sosial lainnya, atau tujuan-tujuan lain yang terpusar pada keduniaan dan sanjungan orang-orang di sekitarnya.

Masalah kedua terkait sentilan mabur atau mabrur. sudah barang tentu, semua yang pernah menunaikan manasik haji berharap ibadah hajinya diterima di sisi Allah, dengan kata lain menjadi haji yang mabrur [ diterima dan bernilai pahala ], tapi tidak sedikit masalah ini menjadi bumerang bagi si empunya, hal ini terlihat dari atsar [ buah dan pengaruh ] yang tercermin oleh ibadah dan muamalah mereka sesudahnya, apakah setelah berhaji ia menjadi lebih dekat kepada Allah, lebih giat dalam beribadah, lebih sering dalam menebar kebaikan, lebih baik dalam bermuamalah dengan sesama, atau malah yang terjadi sebaliknya, ia menjadi lebih sombong, angkuh, sering membuat  sakit hati para tetangga, lebih gencar menebar keburukan, atau terlihat jarang beribadah dengan alasan dirinya telah haji, seolah-olah gelar haji telah mengangkat derajatnya ke tingkat ma’rifat yang tak butuh lagi akan ibadah kepada Allah.

Kita memang tidak bisa menilai apakah manasik haji si fulan di terima Allah, menjadi haji yang mabrur [ diterima ], bernilai pahala dan menjadi penebus dosa-dosa kecil yang selama ini diperbuatnya. Ini adalah perkara rahasia Allah, hak istimewa milik-Nya yang tak seorang hamba pun turut campur di dalamnya, termasuk malaikat dan para nabi, sehingga kita tak berhak sedikit pun mengklaim fulan berhaji mabrur, tapi kita boleh mendoakan semoga haji fulan mabrur [ diterima ]. 

Tapi di sisi lain kita bisa dan boleh mengidentifikasi bahwa haji fulan mabrur [ diterima ] dengan tidak mengklaimnya bahwa hajinya mabrur, hanya sebatas harapan dan doa, karena semua masih rahasia dan hanya Allah yang berhak untuk menerima atau menolak ibadah hajinya. 

Haji fulan mabrur [ diterima ], hal ini bisa terlihat dari tanda-tanda yang terpancar dari si empunya, seperti yang tersebut dalam definisi sebelumnya, bahwa keadaan si empunya setelah berhaji menjadi lebih baik dari sebelumnya, baik dalam hal ibadah maupun muamalah, baik dalam ucapan atau perbuatan.

Namun, jika yang terlihat malah sebaliknya, bukannya ia berpredikat haji mabrur, malah dia akan menjadi haji yang mabur, mabur [ terbang ] segala-galanya, hilang kebaikannya, lenyap pahala yang selama ini terharap dan terusahakan dengan susah berbalut payah, raib setiap kebaikan yang dikerjakannya, dan kemudian ia terakhiri dengan rasa sesal dan kerugian yang tiada berarti lagi kelak di hari kiamat.

            Aku berpesan kepada saudara-saudaraku seiman yang telah kembali dari berhajinya, tingkatkanlah ibadah dan kedekatkannya kepada Allah, perbaikilah muamalah dengan sesama yang selama ini ternodai kedengkian atau tendensi miring lainnya, giatkanlah dalam menebar kebaikan baik  dalam ucapan atau perbuatan, dengan demikian harapan menjadi haji mabrur akan terkabulkan, dan inilah yang menjadi esensi dari manasik haji.

            Semoga Allah menerima manasik haji seluruh kaum muslimin yang tertunaikan pada tahun ini, dan semoga mereka [ termasuk penulis ] yang belum berkesempatan pergi ke tanah suci untuk berhaji, Allah segerakan dan mudahkan jalan-jalannya untuk menuju ke Baittullah.

            Semoga bermanfaat dan menjadi bahan renungan ……….

Share:

PALING BANYAK DIBACA

ARSIP

Followers