Laki-laki membutuhkan
perempuan sebagaimana perempuan juga membutuhkan laki-laki. Kebutuhan yang
menjadi tuntutan masing-masing beraneka ragam, mulai dari kebutuhan biologis,
rasa aman, tentram, kebutuhan sandang, pangan, tempat tinggal dan lain
sebagainya. Untuk mencapai semua kebutuhan tersebut, mereka harus mengikuti
jalur-jalur syar’i.
Di antaranya mengikat
hubungan batin mereka dengan tali suci pernikahan. Karena perempuan yang bukan
muhrim bagi laki-laki dilarang menyendiri dengan lawan jenis untuk saling
membantu memenuhi kebutuhannya, apalagi untuk sebuah kebutuhan biologis mereka.
Hal ini sangatlah terlarang dalam islam. Hanya tali pernikahanlah yang bisa
menghalalkan hubungan mereka bersama.
Rasulullah bersabda:
[ Janganlah sekali-kali
seorang laki-laki menyendiri dengan seorang perempuan ( yang bukan mahramnya ),
melainkan syaithan menjadi orang ketiganya ] [ HR. At-Tirmidzi ; 2165 dan Ahmad ; 114
]
Hadits di atas
memberikan pengertian bahwa dampak negatif khulwah [ menyendirinya
seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan muhrimnya ] sangatlah besar.
Karena hawa nafsu laki-laki dan sifat lemah seorang perempuan akan dimanfaatkan
baik oleh orang ketiga di antara mereka yaitu syaithan.
Syaithan akan
membisikan ke dalam hati mereka bedua untuk melakukan perbuatan yang tidak
senonoh yang mengarah kepada perbuatan. Seperti saling memandang, membelai,
berpelukan, ciuman dan akhirnya mereka melakukan apa yang seharusnya tidak
dilakukan yaitu melakukan perzinaan.
Inilah akhir
dari bisikan syaithan untuk menghancurkan manusia yang senang berkhulwah. Di
saat moment-moment inilah syaithan akan membuat indah suasana, menambah
kecantikan si wanita, mengalirkan beribu-ribu rayuan mesra yang hakikatnya
adalah bisa ular yang sangat beracun sampai mereka terjatuh dalam kenistaan dan
perbuatan keji yang sangat di larang dalam islam.
Allah
berfirman:
ولا
تقربوا الزنى إنه كان فاحشة وساء سبيلا
[ Dan janganlah engkau
dekati zina, karena hal itu adalah perbuatan keji dan jalan yang buruk ] [
QS. Al-Isra ; 32 ]
Syaikh
As-Sa’di menjelaskan tentang makna ayat di atas, ” Larangan
mendekati zina lebih dalam maknanya daripada sekedar melarang dari berbuat
zina. Di mana ia mencangkup larangan terhadap semua perkara yang dapat
mengundang perbuatan zina. Barangsiapa mendekati tempat terlarang,
dikhawatirkan ia akan terjerumus ke dalamnya. Terutama dalam perkara ini, di
mana hawa nafsu menjadi faktor yang paling kuat. Kemudian Allah mensifati zina
sebagai perbuatan yang sangat keji, maksudnya sangat keji secara syar’i, akal
maupun fitrah. Karena di dalamnya mencangkup tindakan pelanggaran terhadap
kehormatan, baik terhadap hak Allah, hak perempuan, hak keluarga ataupun
terhadap para suaminya, dan juga telah merusak rumah tangga serta menjadi sebab
tercampurnya nasab dan kerusakan-kerusakan yang lainnya.”
Hadits di atas
tidaklah memberikan pengertian bahwa berkumpulnya beberapa laki-laki dan
beberapa wanita yang bukan mahramnya dibolehkan dalam islam. Kasus seperti ini
dalam islam disebut dengan ikhtilat. Islam melarang bercampur baurnya
laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya kecuali dalam kondisi yang sangat
mendesak dan darurat. Maka kondisi semacam ini dibolehkan sebatas kebutuhan darurat
itu masih ada dengan tetap menjaga batasan-batasa syar’i yang lainnya.
Namun jika keadaan darurat telah kembali normal,
maka hilanglah rukhsoh [ keringanan ] yang diberikan oleh islam. Sebuah
kaidah ushul mengatakan, “ keadaan darurat menghalalkan perkara-perkara
yang haram.” Kaidah ini kemudian dibatasi oleh kaidah yang
lain, “ keadaan darurat diukur menurut kadar kebutuhannya ” maksudnya kita boleh melakukan perkara yang haram saat darurat itu
menimpa kita sesuai dengan kebutuhan. Saat kebutuhannya telah terpenuhi dan
keadaan daruratnya telah hilang, maka perkara haram tadi kembali ke hukum
asalnnya dan kita sudah tidak boleh melakukannya kembali.