Bersama Bahagia Dalam Naungan Islam

Beragam Warna


Banyak tingkah, langkah, gerak dan sikap seseorang menjadi bernilai, berharga, dan berhikmah bagi yang lainya, entah itu baik atau buruk, sengaja maupun tidak, besar atau kecil, langsung maupun tidak. Masalahnya hanya perbedaan daya tangkap dan kualitas loading yang beragam antara yang satu dan lainnya. Apa yang terlihat, terdengar, terasa, bahkan teralami sendiri, sepontan ia merespons dan menjadi sesuatu yang berharga baginya, menjadi ibroh [ pelajaran hidup ], dan hikmah yang tak terlupakan. juga ada di antara mereka, setiap apa yang terlewat, terlihat, terdengar atau terlalami sendiri, ia anggap bagai angin yang berhembus dan berlalu, tiada bermakna, tanpa arti dan tak pernah terbekas dalam lembaran hidupnya.

Kali ini, saya akan mengajak anda berlarut dalam sedikit kisah singkat yang baru saja saya alami [ kisah ini sangat berharga, penuh arti, hikmah, ibroh, dan berbekas dalam hati penulis, mungkin bagi anda tidak sama sekali, bahkan bisa jadi ia hanya seperti sampah, tanpa makna dan arti, yang ibarat debu terhempas angin dan tercecer tanpa terbekas dalam pandangan ]. Ini adalah kisah yang terajut dalam beragam  lembaran hidupku, harapan ia membawa manfaat untuk pribadi penulis dan juga anda yang mau membacanya.

Bermula, seusai shalat isya berjama’ah di Mushola Baiturrohiim gang Asnawi, aku bergegas kembali ke kamar kos, hendak menyantap makan malam, tapi apa boleh buat menu belum tersiapkan, aku pun segera membuat menu mie goreng campur telur yang digoreng ulang ala chef miftah sururi, dalam kata lain; gorengan indomie telur, itulah nama menu menurutnya [ bang miftah ] yang hendak menjadi santapan malam saya.

Selepas menyantap makan malam, serentak mas imron mengajak saya untuk menemani beliau mengembalikan piring dan panci bekas wadah sop daging tulang kambing campur sapi, ia adalah menu ternikmat hasil racikan ibu asiah dan puterinya[  ambiya ] saat kegembiraan adha menyelimuti umat islam. Sop hangat yang menyegarkan dan tentunya rasambayar, telah menyihir teman-teman se-kos termasuk saya untuk memanjakan lidah dengan rasa dan aroma khasnya. Berulang kali aku meminum air sopnya meskipun tanpa isi yang berarti, ya memang yang banyak hanya tulangnya, sedangkan dagingnya hanya terselip di antara ruas-ruas tulang, atau menempel sedikit di beberapa pangkalnya. Tapi justru itulah yang menambah nikmatnya sop ala bu asiah.

Meski awalnya aku ragu untuk ikut, tapi akhirnya aku mengiyakan tawaran beliau, itung-itung main sambil silaturahmi ke rumah bu asiah yang selama ini aku belum pernah lewat di depannya apalagi masuk ke rumahnya. Selang kemudian aku bersama mas imron berjalan menyusuri gang remang-remang yang terselip di antara dinding-dinding rumah penduduk kompleks asnawi, sesekali kami berdua tersorot terangnya cahaya lampu rumah yang menembus di antara dinding-dinding yang saling berhimpitan. Tidak lama kemudian, kami berdua pun sampai di depan pintu rumahnya, langkah kaki terhenti, dan jari tangan mas imron mulai mengetuk pintu rumahnya, pintu terketuk selama tiga kali, tapi tak sekali pun terdengar jawaban dari dalam rumah, hatiku bergumam, mungkin pak salam [ suami bu asiah ] dan bu asiah sudah terlelap tidur bersama selimutnya. Hati kecil berontak, gak mungkin tidur, lho wong masih jam 20.15, mungkin saja keduanya sedang terasyikan dengan acara tv yang lagi seru-serunya sampai suara dari luar pun tak terdengar olehnya. 

Lain dengan mas imron, ia langsung berinsiatif [ ya karena mas imron yang paling dekat dan paling tau seluk beluk keduanya, saking dekatnya, sampai-sampai teman-teman se-kos menyebutnya sebagai morotuone [ mertuanya ]] mencari ke rumah tetangganya, ternyata feeling beliau benar, ia sedang berada di salah satu rumah tetangganya yang ada di sebelah barat. Sekilas bu asiah pun datang menyambut kami berdua dengan tingkahnya yang khas [ murah senyum, banyak canda, cerewet, dan banyak cerita, ya maklum namanya juga perempuan, rata-rata wanita memang bertabiat seperti itu, lebih cerewet di banding suaminya ], tapi di balik semua itu, obrolan bersama bu asiah terasa berbeda dari yang lainnya. Lebih renyah dan unik terasa. Tentunya banyak ibroh dan cerita yang harus tertulis dan terpetik darinya.

Setelah kami berdua dipersilakan masuk dan duduk, pak salam [ suami bu asiah ] turun dari kamar lantai atas, beliau pun mulai menyalami kami berdua, menghidupkan kipas angin, dan mempersilakan kami lagi untuk duduk, kami pun duduk di atas hamparan karpet bercorak kembang beragam warna cantik lagi menarik, obrolan pun termulai, basa-basi mulai mengalir, senyuman kecil terlihat sering, canda bercampur  tawa akhirnya membubuhi hangatnya suasan obrolan di malam itu, sementara bu asiah sibuk menjamu kami berdua meski hanya segelas air dingin nutri sari yang baru saja dibeli  dari warung sebelah.

Banyak cerita yang menjadi tema malam itu, mulai dari cerita saat masih tinggal di kampoeng halaman bersama bapak ibunya, cerita awal-awal rumah tangganya yang berusaha tinggal di kampoeng halaman [ kampoeng pak salam, di daerah magelang ] yang terakhiri dengan ketidakbetahan dan kemudian membawanya kembali ke Jakarta, cerita keinginannya menunaikan umroh sekeluarga ke tanah suci meski sekarang belum cukup uang untuk melaksanakannya, cerita harapannya agar anak bungsunya [ ambiya ] bisa kuliah di kampus lipia yang tidak begitu jauh dari rumahnya, cerita lika liku puteri sulungnya yang menarik dan menguggah emosi siapa yang mendengarnya,…..dan seterusnya.

Obrolan tidak terasa telah meninabobokan kami berdua dalam keasyikan yang luar biasa. Jarang aku temui suasana sehangat itu selama gulungan lembar hidupku terus bergulir, suasana canda yang seakan-akan keluarga besar yang baru tergabung selepas berpisahnya berberapa masa, tiada batas, tak ada canggung, tak terlihat angkuh, yang terasa hanya ceria, gembira, renyah, penuh canda maupun tawa, persis seperti anggota keluarga sendiri, padahal kami berdua tidak memiliki hubungan darah sedikitpun dengan mereka, walau hanya sekedar sepupu, cucu atau bahkan cicit, sama sekali tidak ada. Itulah keindahan terbaru yang terlihat, keunikan teranyar yang terasa, keragaman ceria yang terbina, dan kehangatan bersama yang langka.

Tak terasa memang obrolan berjalan, kurang lebih sejam lamanya kami berdua terasyikan tenggelam dalam sembarang obrolan bersama mereka, malam telah berdetak di pukul 21.15, kami pun bergegas berpamitan, kami berdua pulang dengan terakhiri salam dan dua sachet nutri sari rasa jeruk yang harus terbawa pulang.

Sebenarnya masih banyak cerita yang belum tertuliskan, tapi cukuplah ini mewakili apa yang teralami olehku, apa yang terasakan oleh jiwaku, dan apa yang telah melewati rajutan lembaran hidupku, semuanya banyak ibroh [ pelajaran ] bagiku dan kalian, meski terlihat sepele dan tak berarti, tapi semua akan menjadi mahal dan berarti bagi mereka yang mau mempergetarkan hatinya, membuka pikiran dan melatih kepekaan batinnya.

Terakhir, semoga apa yang menjadi harapan keluarga pak salam dan bu asiah terkabulkan  oleh Alloh, Dzat yang Maha Mendengar lagi Maha yang mengabulkan do’a. Amiin, tak terlupa juga ucapan terima kasih dan jazakumullohu khoiron katsiron kepada keluarga besar pak salam dan bu asiah atas segala kebaikan yang selama ini terasakan oleh anak kos-an MABES FosKi, semoga Alloh menerimanya dan menjadi timbangan kebaikan baginya kelak di hari kiamat.

Ibroh [ pelajaran ] yang terpetik dari sekilas cerita di atas;

[1] Bermasyarakatlah dengan baik, bermuamalahlah dengan indah, niscaya kebaikan dan keindahan akan turut menyertai tanpa harus dipaksakan.

[2] Bermurah senyumlah dengan siapapun, karena ia adalah sodaqoh, jangan beraura masam lagi kecut, karena ia menjadi penghalang keakraban kita dengan masyarakat di sekeliling kita. yang berakhir sulitnya dakwah ishlahiah [ perbaikan ] menembus relung-relung hati mereka.

[3] Banyak metode dakwah yang dapat ditempuh untuk menyampaikan kebenaran kepada masyarakat awam, usahakan serileks mungkin dan step by step [bertahap ].

[4] Langkah pertama hidup harmonis dalam bermasyarakat majemuk ialah jaga hubungan baik dengan mereka , jangan pernah membuatnya tersakiti, jangan pernah mendiskreditkan [ menyudutkan ] mereka dalam beragam hal, karena satu jurang tergali, niscaya kebenaran akan tertolak dari hati mereka.

[5] Sering memberi hadiah kepada mereka, sekecil apapun itu, dan seringlah membantu kesulitan maupun kesusahan yang mereka alami, tanpa harus diminta, bahkan kita harus menawarkan terlebih dahulu saat mereka terlihat membutuhkan.


Semoga bermanfaat……..
Share:

PALING BANYAK DIBACA

ARSIP

Followers