Nasi
uduk, semua mengenal dan pernah menyantapnya, hanya mereka yang tak pernah
keluar dari tempurung kampoengnya yang tak kenal dengan jenis nasi ini, padahal
di sepanjang jalan, anda pasti akan melihat spanduk menggantung pada
warung-warung lesehan dan sejenisnya bertuliskan “ NASI UDUK “. Nasi
uduk adalah jenis nasi yang dimasak selazimnya, hanya saja ada sedikit racikan
yang menjadikannya terasa dan beraroma khas,berupa campuran air santan,
beberapa helai daun pandan, sejumlah daun salam, dan sesekali diaduk supaya
rasa gurih dan aromanya merata.
Entah apa asal usulnya kenapa ternamai dengan “ NASI UDUK “, padahal ia lebih kental dengan rasa gurihnya santan, atau aroma pandan yang sedap, atau juga rasa daun salam yang segar. Aku meruntut kembali tanpa manggali informasi valid dari mereka yang bergelut dengannya [ para koki uduk yang berserakan di beberapa kota besar, seperti jakarta ], aku hanya bersangka saja, nama “ UDUK “ berasal dari kata ADUK, karena jenis nasi ini diaduk dan diaduk beberapa kali saat memasaknya supaya tercipta rasa dan aroma yang berbeda dari nasi biasanya. Ini hemat saya, mungkin benar, mungkin juga salah. Kalau salah silahkan di ralat bagi anda yang telah membacanya dan mengetahui seluk beluk tentangnya.
Awal cerita,
pagi ini berbeda dari pagi-pagi yang telah berlalu, sejak sore kemarin saya
dapat undangan jamuan makan dari teman sekampus [ Imam Zarkasi Ahmad ]
lewat sanad mas imron muzakki untuk hadir tepat jam 7 pagi di rumah barunya
kompleks karangpola, ‘’ undangan jamuan makan itu hanya teruntuk teman sekelas
di LIPIA,’’ sela mas imron kepada saya, saya pun mengiyakan tawaran beliau,
tapi dalam hati masih tersisa Tanda Tanya, ‘’ ada apa yah tumben banget
kita diudang makan, ulang tahun kah, selametan kah, tasyakuran kah, atau ……’’
belum terjawab semuanya.
Malam pun
berlalu, karena terlalu berlarut dalam bergadang membuat saya ngantuk berat
sesaat setelah shalat subuh berjamaah, tak kuasa saya menahan rasa kantuk, saya
pun terdampar di atas bantal biru yang selalu menemani tidurku, tak terasa dan
tak bermimpi, saya terbangun oleh colekan mas imron yang mengajak untuk
bersegera mendatangi jamuan makan Imam Zarkasi, serentak ragaku menyatu dan
mencuci muka agar tak terlalu terlihat bekas-bekas tidurnya.
Kami pun
bergegas pergi berjamaah, ada mas Imron, mbah Reza, kang Anam, cak Didik,
semua terlihat ceria saat berkendara, meski beratus pasang mata di sepanjang
jalan pasar minggu-mangga besar sedang dalam galau disebab kemacetan yang tak
kunjung sirna. tak selang lama, kami pun tiba di rumahnya, disambut senyuman
khas ala Zarkasi dengan sedikit bumbu suara merdunya dan salaman yang tak
terlupa.
Ada sedikit
yang berbeda pagi itu, katanya jamuan makan, acara tasyakuran atau selamatan,
tapi kok sepi sunyi tak terlihat tanda-tanda para tamu undangan, di tambah si
empunya [ Zarkasi ] masih terlihat acak-acakan, tanpa pakaian, hanya sarung
yang membalut separuh raganya dan handuk lusuk yang menjadi sorban di
pundaknya, dan yang terlihat waktu itu hanya mas Ardan dan kang Agus budiyanto,
saya bergumam dalam hati, ” wah di kerjain pasti kita nih,”
kami pun
beranjak masuk melewati lorong pinggir rumah yang sedikit lapuk, sesampai di
depan pintu kamar yang terbuka lebar, kami tak mendapati apa-apa, hanya kang
Sutomo yang sedang asyik menggoyang-goyangkan pointer notebooknya, begitu
juga gus Hanif yang terpaku menatap layar tablet pintarnya, hatiku
bergumam lagi, “ wah dikerjain juga kita nih “
Pemandanganya
biasa, tak ada roti, tak ada air gelas mineral, tak ada kacang-kacangan, taka
da keripik, atau makanan ringan lainnya, yang adanya hanya tumpukan buku-buku
arab bercampur buku-buku berbahasa Indonesia, almari dengan beragam pakaian,
dipan dengan seprai kembang yang terlihat lusuk dan tua, dan kipas angin yang
tanpa bosan mensuplai pusaran angin segar di dalam kamar. Hatiku pun bergumam
lagi, “ waduh di kerjain kita nih “
Obrolan pun
mulai mencairkan suasana kamar, hatiku yang terus bergumam mulai tertutupi
senyuman dan tawa ria, eh lagi enak-enak ngobrol, si empunya izin mandi dan
bebersih diri. Ada apa nih gerangan, benarkah ada jamuan makan, atau
semua itu hanya candaan dan guyonan, bungkus-bungkus nasi kotak pun tak
terlihat, minuman marjan atau es campur tambah mendoan juga masih ghoib, yang
nampak hanya kotak bertuliskan telur asin yang aku sangka kotak roti donat yang
banyak beredar di bus-bus dan kereta api yang terbandrol lima ribuan, dan
sekotak plastik berisikan gorengan kentang yang tercacah kecil-kecil.
Begitu lama
kita menunggu, terlalu banyak obrolan terhabiskan, tawa ria pun mulai runyam,
mungkin karena bosan dalam antrian menanti ada apa gerangan, dan wajah-wajah
anak negeri ini tak terbiasa dengan budaya antrian dan bacaan, tapi sangat
antusias dengan yang namanya makanan, itu lah yang aku lihat dari gaya-gaya dan
geligat tubuh mereka, termasuk aku pribadi. saking lamanya mas imron pun
terpaksa meninggalkan acara yang masih tanda tanya besar, ?????? karena beliau
pagi itu terlalu sibuk, tanpa ragu ia pun beralih ke acara yang lain, terbukti
berapa kali tersibukan dengan telphon antiknya.
Menuggu pun
masih terus berlanjut, ditambah si empunya keluar rumah membeli kertas alas
makanan dan kebutuhan lain yang masih tanda tanya. Kurang lebih sepuluh menit sudah
lamanya detakan jam tak bosan berirama, si empunya pun datang sembari
mententeng sekantong plastik gorengan, kertas pun mulai di hamparkan, ricecooker
ikut didekatkan, dan semua tersibukan membantu persiapan jamuan, tanda tanya
mulai terjawabakan, dan nasi uduklah menjadi jawaban atas semuanya, meski
porsi bukan jumbo, karena hanya memasak satu ricecooker mungil untuk wali songo
[ Sembilan tamu undangan termasuk si empunya, dan mas imron tereliminasi dari
bilangan ].
Selang
beberapa menit, Nasi uduk karangpola racikan sang Imam sudah siap di santap,
dengan bertaburan gorengan kentang kecil-kecil di atasnya, potongan telur asin
yang menggugah rasa, gorengan tempe dan bakwan yang menggoda, di tambah abon
kambing yang mulai meyihir lidah untuk merasakannya, suasana jamuan makan
semakin nikmat, seru dan terasa. saking nikmatnya, tangan-tangan wali songo tak
menyangka telah menyantap habis nasi uduk racikan sang Imam.
Selesai sudah
jamuan makan, hanya beberapa menit santapan telah menghilang, yang tertinggal
hanya sedikit rasa pada jari jemari yang tersisakan dan aroma pandan yang terus
melenyap dari ciuman. Ada satu yang kurang dari jamuan itu, “ Kurang banyak
“ celentuk Cak Didik kepada sang Imam. Emang kurang banyak, aku juga
mengiyakan. Menutup acara jamuan, lagi-lagi kita di tenggelamkan candaan,
obrolan, tertawaan, sampai pada cerita yang sedikit berbau politik dan
kenegaraan. Ya semua itu hanya bumbu-bumbu kehidupan, bisa baik dan bisa juga
buruk, semua tergantung pada porsi dan cara pengolahan serta gaya penyajian.
Tak terasa
detakan jam mengarah pada pukul 08.15, kami pun berpamitan, dan semua terakhiri
dengan salam dan apresiasi [ penghargaan ] yang sangat besar dari kami terutama
dan teruntuk sang Imam Zarkasi Ahmad atas jamuan makan yang super,
racikan nasi UDUK hasil kepiawaian tangannya sendiri, dan sambutan meriah penuh
ceria dan senyuman gembira yang tak pernah terlupa. Jazakallohu khairon
katsiron. Semoga kesuksesan dan keberkahan dari Allah senantiasa menyertai
Zarkasi Ahmad. Amiiin..
Teruslah
berjuang, perbaiki kualitas dan jangan lupa yah diperbanyak lho [ ingat pesan
mas didik ]….kalau kami di undang untuk yang kemudian….mudah-mudahan jamuan ke
depan masih rasambayar untuk episode selanjutnya….he he he . syukron atas
semuanya.
Di tunggu episode selanjutnya….
Ibrah [
pelajaran ] bagi kita ;
[1] Indahnya kebersamaan dan
ukhuwah islamiyah, maka peliharalah ia dengan beragam cara, betapa pun kecilnya,
semisal jamuan makan untuk teman-teman sekampus dan yang sejenisnya.
[2] Mahalnya nilai kemandirian,
ketrampilan dan keuletan. Tanamkanlah nilai-nilai berharga itu kepada anak-anak
dan cucu-cucu kita, kelak mereka akan menjadi pribadi yang mandiri dan tidak
mudah tergantung pada orang lain.
[3] Pentingnya keikhlasan hati,
ikhlas memiliki nilai sangat tinggi, karena dengannya sesuatu yang kecil terasa
besar setelahnya, sesuatu yang ringan terasa berat sesudahnya, sesuatu yang
terlihat hina menjadi berharga karenanya, dan sesuatu yang biasa-biasa saja
menjadi terasa luar biasa saat dipandangnya.
[4] Semua yang terlihat, terasa,
terdengar, bahkan teralami sendiri, entah itu baik atau pun buruk, adalah media
pembelajaran bagi kita, sarana untuk berkembang dan maju. Janganlah lewatkan
semua itu teranggap sebagai hembusan angin atau debu yang akhirnya sirna tanpa
berbekas atau menjadi ibrah [ nilai pelajaran hidup ] bagi kita.
[5] Kebaikan tidak terpaku pada
kuantitas atau bilangan belaka, tapi seberapa besar ia berberkas dan bermanfaat
bagi yang lain, betapa pun kecil dan hinanya apa yang terberikan.
[6] Berkeras kerjalah
mengenyahkan [ menghilangkan ] rasa su’udzon [ prasangka buruk ] terhadap yang
lain. Sangkaan buruk hanya akan mengeruhkan hati, merusak kebaikan, dan raiblah
kebersamaan yang terbangun antar sesama.
Semoga bermanfaat…..