Bersama Bahagia Dalam Naungan Islam

10 Alasan Enggan Menulis

Aku pengen nulis, tapi ....
Saya sebenarnya seneng nulis, tapi ....

Itulah beberapa jawaban atau ekspresi spontanitas kala kita bertanya kepada mereka [ yang gak mau nulis, entah karena malas atau sebenarnya memang gak bisa nulis tapi banyak berbasa basi saat ditanya kenapa gak belajar menulis ].

Penulis pada kesempatan sebelumnya telah menyoal beberapa manfaat menulis, terharap darinya siapa saja yang telah membacanya [ yang gak mau nulis, atau yang malas menulis, terlebih yang sudah terbiasa dan menjadi rutinitas atau gregetan [ kata sherina ] kalau gak nulis dalam seharinya ] termotivasi dan tergugah untuk mengawali menulisnya bagi yang belum, dan tambah giat dan semangat bagi yang sering.

Sebenarnya Allah sangatlah bermurah terhadap hamba-hamba-Nya, betapa tidak, beragam instrumen telah terberikan saat kita terlahirkan ke dunia sebagai bekalnya, pendengaran, penglihatan, perasaan, hati, pikiran, dan seterusnya. Semua itu termaksud agar mereka mengetahui keagungan Rabbnya dan bersyukur dengannya. 

Apa yang kurang darinya? semua itu adalah instrumen dan bahan-bahan untuk kita menulis. Dan menulis termasuk bentuk syukur atas karunia-Nya, karena dengannya kita bisa berbagi apa yang terpunya, menebar kebaikan kepada sesama, atau media untuk saling nasihat menasihati dalam kebaikan jua takwa.

Tapi, masih banyak juga yang enggan menulis, menulis yang positif yang tertebar darinya beragam kemanfaatan bagi yang lain, apa saja yang melatarbelakangi mereka enggan menulis,berikut beberapa alasan keengganan dan kemalasan untuk menulis:

[ 1 ] Menulis adalah rutinitas yang membosankan

Tidak sedikit orang beranggapan bahwa menulis adalah hal yang membosankan, membuat bete dan jenuh suasana. Betapa tidak, karena menulis itu butuh waktu, konsentrasi, menyendiri, duduk bermenit-menit bahkan berjam-jam di depan layar komputer, notebook, tablet, hp, atau hanya untuk menggoyang-goyangkan pena dan berselancar di atas kertas, terlebih jika tema yang hendak ditulisnya masih ngambang, tambah lama dan bete lagi.

Karena saat itu, ia harus kerja ekstra mencari referensi teoritis atau faktual, bertanya atau membaca, browser di internet atau kitab-kitab klasik, atau yang lainnya. Ini sangatlah membosankan, jenuh, bete, apalagi waktunya akan habis hanya demi mengurusi satu tema yang masih remang-remang.

Itulah anggapan mereka, bebas saja kok beropini dan basa basi, tapi saya katakan bahwa mereka yang berkata semacam itu hanyalah orang-orang lembek, bermental krupuk [ yang disiram air langsung mlempem ], bukan pekerja keras, suka yang instan [ termasuk mie instant ], tak bermental juara, lebih memilih jadi objek daripada subjek, suka lepas tanggung jawab, dan seterusnya.

Justru di saat dirinya tertuntut mencari referensi dan bahan-bahan untuk menopang tema-nya, di kala itu pula kamu sedang bekerja keras untuk belajar, mengembangkan diri dan kemampuan, mengolahragakan otak agar tak terpikunkan kelak, melatih kedisiplinan pribadi dan manajemen waktu, semakin produktif karena banyak yang terpikirkan dan harus terrampungkan, dan banyak lagi kemanfaatan yang terpetik saat kau terus tersibukan dengan ilmu dan hal-hal yang berfaidah lainnya.

[ 2 ] Moodku mandeg saat memulai menulis.

Juga, banyak yang beralasan demikian, lagi enak-enaknya menulis, menuangkan apa yang terpikirkan, tiba-tiba moodnya mandeng di tengah jalan, tema-nya buntu, otak pun tak kunjung mampu mengais-ngais isi tema yang tersisa atau bahasa yang akan terangkainya. Akhirnya ia pun mandeg [ berhenti ] pula dari menulisnya, pena di lemparnya, kertas tergulung-gulung lusuh, tinta pun menjerit terpenjarakan lagi.

Setelah itu, ia lari mencari hiburan, nonton tv kek, goyonan lawakan kek, dengerin musik kek, ngegame kek, pokoknya yang bisa membenamkan stres atau betenya. Tujuannya tema terlupakan, putus cintalah dengannya, dan memilih hidup tanpa terbebankan, tanpa terkesalkan, tanpa terpusingkan, dan tanpa ter .... lainnya.

Lagi-lagi, hal di atas adalah cermin orang yang lemah, lemah cita-citanya, lemah himah [ keinginan dan semangat ] nya, lemah daya juangnya, dan lemah segalanya.

Benar, saat kita menulis kalanya mood lancar dan kalanya mengangguk-angguk bak kehabisan bensin, bahkan mandeng pet alias mogok tak mau jalan sama sekali. Kita maklumi, dan saya akui sendiri sering dan sering terhinggapi olehnya, tapi itulah seni dalam menulis, hampa rasanya menulis tanpa terlewati olehnya, sepi rasanya menulis lurus-lurus saja, dan justru hal itu seharusnya membuat kita lebih bersemangat, tidak ngantuk, lebih agresif layaknya kita naik bus melewati lintasan pegunungan yang berkelok-kelok sembari termanjakan hijaunya pemandangan, kalau meluncur di jalan bebas hambatan [ tol cipularang misalnya ] dipastikan ngantuk dan terpulas tidur. 

Begitulah seni dan uniknya dunia menulis, semakin sering menulis semakin tipis mendung mood yang meliputi otakmu,alah bisa karena biasa kata pepatah.Penasaran! Silakan coba sembari ngeteh dan mendoan angetnya.

[ 3 ] Merasa tak memiliki bakat

Bakat [ sifat dasar, kepandaian, dan pembawaan yang dibawa dari lahir ] seseorang dengan yang lainnya tiadalah sama, dan begitulah dinamika hidup manusia, begitu juga dengan binatang. Kita memaklumi seorang berkata, saya gak berbakat menulis, bakatku bervokal. Saya gak bakat ini, tapi itu. 

Dengan alasan inilah ia enggan menulis, menjauh dari dunia tulis menulis, dan bercukup diri dengan perasaan yang terada, karena dipandangnya sesuatu yang terkerjakan tanpa bakat terasa susah lagi berat, meski hal itu kecil. 

Perasaan atau anggapan itu sangatlah berimbas pada himah [ keinginan dan semangat ] seseorang, banyak yang terjebak dan terperosok akibat lubang di jalanan saat malam, padahal cahaya lampu di sekeliling begitu terang menyinari, itu tersebab negative thinking yang telah mengelabuhi pikiran, atau tak terbiasa jalan itu terlalui olehnya, dan ia pun tak tahu mana yang berlubang dan yang tidak.

Menulis pun demikian, siapa yang sering berselancar di dalamnya, ia akan tahu beragam gelombang, semakin sering semakin mulus meluncur dan asyik menyenangkan. Bakat menulis ibarat bumbu masak, sekedar menambah lezat makanan, tapi ingat bahwa bumbu-bumbu itu bisa kita pelajari dan terpraktekkan, memasak lezat pun bisa kita racik dari tangan kita sendiri.

Kita boleh bergumam, aku tak berbakat menulis, lantas menjauh dari aktivitas menulis, dan mandeng terhenti tanpa mau mencoba, tapi ingat bahwa sesuatu bisa kita pelajari dan dikembangkan, termasuk menulis, meski awalnya susah dan hasilnya terasa hambar, itulah namanya belajar. 

Berbakat tapi tak pernah tergali dan tercoba, bakat pun akan lemah dan mati, merasa tak berbakat, tapi terus diasah dan digali, siapa tau sebenarnya itulah bakat yang tertemu yang lama tertimbun dalam dirinya. Bukankah kupu-kupu menawan bermula dari ulat yang menggelikan yang termetamorfosa, bukankah panjangnya rambut berasal dari pangkal rambut yang terus tumbuh, dan bukankah para penulis besar dulu adalah anak SD yang belajar mengeja, ini budi, ini ibu budi, dan belajar menulis abcd...z. 

[ 4 ] Menulis pekerjaan sepi dan tak bisa di andalkan dari sisi finansial

Banyak yang berfikir menulis itu pekerjaan sepi, karena ia harus penuh konsentrasi, duduk menyendiri, berfikir, dan mengembangkan topik tulisan. Intinya menyita waktu, konsentrasi dan menguras kerja otak. Sedangkan kebanyakan orang tidak suka demikian. Ditambah bahwa menulis tak bisa diandalkan untuk membiayai hidup dan keluarga, kasarnya tak bisa menjadi adalan meraup uang. Hanya mereka yang sangat berbakat dan terbiasa dengan dunia menulis yang membuat tulisannya laku terjual dan menghasilkan uang.

Ini adalah persepsi yang keliru. Temanku satu kampus, hasan al jaizy pernah berargumen super sekali, kurang lebihnya ia berkata, membaca dan menulis bukanlah tujuan akhir, siapa yang menjadikan membaca adalah tujuan akhir, maka orang gila yang duduk di pinggir jalan sembari membaca koran, ia dikatakan telah membaca, entah paham atau tidak, dan siapa yang menjadikan menulis adalah tujuan akhir, maka saat kamu menulis dengan bahasa yang tak kamu pahami, kamu dikatakan telah menulis, membaca adalah alat untuk mengumpulkan maklumat [ ilmu. informasi dan pengetahuan ], sedangkan menulis adalah cara untuk menebarkan maklumat yang terpunya.

Oleh karena itu, menulis dengan niatan utama meraup uang darinya adalah keliru, menulis sebagai lahan bisnis tidaklah terpuji, karena orientasi ini akan membenai dirinya, akan mengurangi keikhlasan, dan akan melemahkan himah kala karya tulisnya tak laku terjual di pasaran. 

lihatlah riwayat hidup para ulama terdahulu, berpuluhan ribu lembar telah ditulisnya, beratus-ratus jilid telah tertebalkan oleh ilmu yang ditulisnya, tapi mereka tak pernah berniatan menjual dan menjajakan kitab-kitab hasil karya tulisnya. Mereka hanya bermaksud menebarkan ilmu dan maklumat apa yang terpunya. Dengan keikhlasan itulah seluruh umat bisa merasakan keberkahan ilmu mereka dari kitab-kitab yang ditulisnya. Mereka telah lama mati, tapi ilmu dan pemikiran mereka akan terus hidup bergenerasi masanya.

Jadikanlah menulis untuk menebar ilmu dan kebaikan, jangan jadikan ia sebagai alat menumpuk harta dan uang, dengan niatan ikhlasmu saya yakin kamu akan semakin asyik dan menikmati indahnya berselancar dalam dunia tulis menulis.

 [ 5 ] Menulis, siapa yang mau membaca tulisan saya !

Kadang orang berfikir, saya belum pernah menulis, tapi sebenarnya saya suka membaca,  sering mengikuti berita teraktual, tersulut emosi dan perang batin kala melihat kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya, pendidikan, sampai warta dunia internasional sekalipun. Saya punya argument dan opini, tapi karena belum pernah nulis, saya rasa tulisanku biasa-biasa aja saat saya baca sendiri, saya sendiri kurang sreg, nanti pas dipost atau disebarkan, siapa sih yang akan membaca tulisan saya.

Ada juga yang bergumam, saya sudah nulis beberapa artikel, bahkan telah saya kirim ke beberapa media, tapi belum pernah sekalipun tulisan saya termuat.

Yang lain berkata, saya berkali-kali update status di fb, menurut saya tidak jelek-jelek amat kok isinya, bahasanya ya lumayan bagus, tapi gak ada yang nge-like, ada itupun satu atau paling banyak tiga atau lima, yang nge-like jarang apalagi koment. Dan beragam alasan lainnya yang intinya buat apa nulis, ngapain sibukin diri menulis, kalau jerih payah menulis kita gak ada yang menghargainya. Lebih baik waktunya kita gunakan untuk aktivitas lainnya yang lebih berdaya guna,  menambah income, atau manfaat lainnya.

Kalau kita menulis didasari niatan dan alasan di atas, tentu kita akan merasa lemah dan enggan menulis. Rubahlah persepsi buruk di atas, hilangkan dan gantilah bahwa niatan kita menulis semata-mata untuk belajar, berbagi ilmu atau maklumat lainnya kepada orang lain. Dengan dasar ini kita akan berusaha semakin baik, terdorong untuk banyak membaca, mencari dan mengumpulkan beragam maklumat, dan menulis pun akan terus jalan sesibuk apapun aktivitas kita.

[ 6 ] Apa yang akan saya tulis ?

Tidak sedikit orang bingung akan tema atau topik yang hendak ditulisnya, bukan karena malas menulis, tapi saat mau mengangkat tema, sulit rasanya mengungkapkan dan menuangkan dalam bentuk tulisan, terlebih menyusun dan merangkainya dalam bahasa yang tertata lagi menarik. Akhirnya menulis terhenti, rasa malas mulai terasa, tertunda dan tertumpuk di antara lembaran-lembaran yang hanya berjudul dengan berteman satu atau dua paragraf saja.

Sebenarnya hal ini lumrah dalam dunia menulis, terlebih mereka para pemula dan pendatang baru, dan hasil tulisan itu seberapa minim hasilnya adalah karya yang super dari diri anda, jangan remehkan hal itu dan janganlah kamu hapus file atau lembaran kertas yang tertuliskan di sana isi pikiranmu, juga usahakanlah kamu tulis dan simpan apa saja yang terbesit dalam pikiranmu, selama itu baik, meski hanya sebuah judul atau tertambah beberapa kalimat penguatnya.

Dan lebih baik lagi dalam seharinya harus ada judul yang terbanyang dan terkumpulkan dalam satu file, jika saat ini kamu merasa sulit untuk menuangkan dalam bentuk tulisan yang lengkap, suatu saat judul itu akan kamu tulis ulang dan terkembangkan, hal itu seiring dengan berkembangnya kemampuan berbahasa dan luasnya wawasan yang termiliki oleh anda. Dengan catatan, teruslah berfikir dan menulis, walau hanya sekadar judul pendek yang bisa tertuangkan.

Biasakan dari hal-hal terkecil, baik yang teralami, terdengar , terlihat, intinya tersumber dari pengalaman pribadi yang ringan-ringan dulu, usahakan janganlah terlalu banyak, cukup dua atau tiga paragraf saja, yang terpenting maksud tulisan jelas dan lugas, setidaknya otak anda tertantang untuk berfikir hal baru dan terkerja walau tak seberapa kadarnya, dan tidak sebatas itu, harus ada penambahan dan peningkatan kuantitas dan kualitasnya. Lambat laun apa yang terharap darimu akan tercapai, dan kelak kamu akan memuji atas usahamu sendiri betapa berharga dan membantunya apa yang dulu kamu tuliskan meski hanya kecil kadarnya.

Sekali lagi, janganlah berhenti berfikir dan menulis meski hanya sekedar judul atau tema yang sederhana, simpan dan tulislah apa yang terpikir olehmu dalam lembaran kertas atau file. Suatu saat ia akan menjadi sesuatu yang sangat berharga bagi hidup anda kelak.

Ingatlah, orang pandai akan kalah oleh orang yang rajin lagi tekun, anak berbakat akan terlampaui oleh anak yang terasah lagi semangat, mereka yang banyak dalam jumlah tapi rendah kualitasnya, akan terkalahkan jauh oleh mereka yang sedikit tapi berbobot dan berkualitas tinggi.

[ 7 ] Menulis itu pekerjaan kaum terpelajar

" SD saja saya gak lulus, sekarang kerjaan saya juga srawutan, kadang buruh bagunan, kadang buruh tani, atau yang lainnya, ya sedapetnya, terus apa yang mau saya tulis ", jawab si ube saat ditanya si aping teman sekelas waktu duduk di bangku SD yang sekarang menjadi mahasiswa di salah universitas ternama di jakarta. Ini sekedar ilustrasi fiktif, tapi maknanya nyata.

Tak susah kita dapati jawaban serupa dengan yang dituturkan si abe saat kita bertanya, kenapa kamu gak berminat dengan dunia menulis ? Terlebih jika pertanyaan itu ditujukan kepada mereka yang berpendidikan rendah, atau tak pernah mengenyam pendidikan formal sama sekali. Inti jawaban dan alasan mereka bisa dikatakan sama, bahwa menulis itu hanya pekerjaan kaum intelek, terpelajar, berpendidikan, atau kaum cendekiawan. 

Ini adalah alasan terbesar dan mendasar keengganan mereka [ yang berpendidikan rendah atau tak pernah bersekolah sama sekali ] untuk terjun dalam dunia menulis. Sebenarnya alasan di atas tak seluruhnya bisa diterima, memang rata-rata bahkan mayoritas tulisan adalah buah karya tangan-tangan kaum terpelajar yang bergelut dalam dunia pendidikan bermasa lamanya. 

Tapi, dunia pendidikan, baik negeri atau swasta, tingkat dasar atau perguruan tinggi, tidaklah sepenuhnya menjamin bahwa yang pernah mengenyamnya akan tertarik dan menggeluti dunia menulis. Lihatlah, berapa banyak lulusan sarjana yang senang dengan menulis, tidak sedikit mereka yang merasa sulit mengungkapkan sesuatu lewat tulisan, tak jarang bahwa menulis menjadi momok bagi mereka, dan beragam alasan pun terlontar dari lisannya.

Menulis bukanlah milik mutlak kaum terpelajar, menulis adalah hak semua orang, ia tak memandang strata sosial, ekonomi, budaya, ruang dan waktu. Siapa saja berhak menulis, sampai orang gila atau mereka yang tergila-gila pun memiliki hak sama dalam dunia menulis. Karena menulis adalah proses penerjemahan [ alih bahasa ] apa yang terbenam dalam alam pikiran dan batinnya tercetak dalam bentuk bahasa tulisan yang bisa ditangkap dan termaksud oleh yang lainnya. 

Jadi, tidak ada alasan lagi kengganan untuk menulis. Tukang becak, penjual sayuran, pedagang buah-buahan, pedagang kaki lima, buruh tani, buruh bangunan, pemulung, atau siapa saja yang tiada pernah duduk di bangku sekolah, terlebih bangku kuliah harus tersulut gemar dalam menulis.

Selama kau masih bisa berbicara, mendengar, melihat, memiliki hati, perasaan dan asa, selama itu pula kau sangat bisa untuk menulis. Tulislah apa saja yang terasa, terdengar, terlihat, teralami, atau terpikir, tapi awalilah tulisanmu itu dengan niatan baik, berbagi maklumat, kebaikan dan kemanfaatan terhadap sesama.

[ 8 ] Sibuk berbisnis atau berniaga, Tak ada waktu untuk menulis

Banyak pula mereka beralasan bahwa sempitnya waktu yang terpunya membuatnya meninggalkan dunia tulis menulis. Entah karena tersibukan oleh dunia bisnis, niaga, atau bentuk profesi lainnya. 

Sebenarnya mereka adalah orang-orang yang terpelajar, banyak pengalaman, kenangan, ilmu, dan mimpi yang sangat bermanfaat dan sumber motivasi yang lain. Alangkah baiknya jika semua itu ia tuangkan dalam tulisan, terekam dalam coretan-coretan tangan yang akan menggugah dan merubah hidup orang lain. Karena dengan ketersibukannya itu teriring beribu pengalaman dan jejak sejarah hidupnya yang sarat nilai, pelajaran dan makna bagi yang lain. Tanpa tulisan, maka semua itu akan terlebur sejalan leburnya jasad yang termakan usia.

Kalau kita menilik lebih jauh, justru para penulis ulung yang terkenal karena karyanya yang best seller adalah orang-orang yang super sibuk. Entah ia seorang pembisnis, rohaniawan, peniaga, dosen, politikus, pengamat, peneliti, atau yang lainnya. Bahkan semakin sibuk aktivitasnya, semakin berbobot dan banyak karya-karya yang ngantri harus tertuliskan. 

Demikian juga para ulama terdahulu, yang akan dan selalu terkenang nama dan karya-karyanya, mereka adalah sosok insan super sibuk, sampai waktu tidurnya pun sering tergadai hanya demi menjaga ilmu dan pemikirannya tetap eksis dan bisa termanfaatkan kelak oleh generasi lain sesudahnya, meski raganya telah hancur bercampur tanah.

Kesibukan profesi bukanlah alasan meninggalkan dunia menulis, justru kesibukan itu adalah modal berharga untuk berbijak dengan waktu, menantang dirinya pandai dalam memanajemen waktu yang terpunya, juga menjadi modal berharga yang sarat objek yang harus ditulisnya.

Jika dalam sibukmu kau mampu meluangkan beberapa menit untuk rileks, berolahraga, atau ngobrol, maka kau harus lebih bisa menyisihkan waktumu untuk menulis sesuatu yang terbaik dari hidupmu dan bermanfaat bagi saudaramu.

Menulislah sekarang, terlebih wasilah untuknya jauh lebih mudah dari zaman ulama dahulu, kau bisa menulis di mana saja, kapan saja, dalam kodisi apapun, termasuk saat kau sakitpun, kini kau telah dimudahkan dengan beragam wasilah yang ada. Tinggal mau atau tidak!

[ 9 ] Saya tidak pede menulis, dan berbicara lebih mudah daripada menulis

Tidak sedikit teman-teman para mahasiswa yang merasa kesulitan dalam menulis, mereka menulis saat ada tugas kuliah untuk membuat laporan penelitian, artikel diskusi, tugas akhir kuliah [ skripsi, tesis, disertasi ] atau yang semacamnya. Itupun terdasari atas keterpaksaan karena alasan demi mendapat nilai atau kelulusan. 

Mungkin kalau pihak kampus memberi kebebasan kepada mahasiswanya, tidak ada laporan observasi tertulis, atau tugas bahan diskusi tertulis, atau tugas akhir kuliah, bisa jadi mereka tak pernah menulis artikel selembar pun dalam periwayatan hidupnya. Lho wong ada tugas yang menuntut dirinya untuk menulis, tak jarang dari mereka hanya sekedar copas fullsreen dari tulisan orang lain, mereka hanya menambah atau mengurangi sedikit isi tulisa agar terlihat sebagai hasil karya tangannya sendiri.

Copas selama menyertakan sumber referensi sebenarnya tak masalah, karena inilah bagian adab dalam menulis dan bentuk amanah ilmiah, tapi yang menjadi masalah ialah copas fullscreen dan mengklaim bahwa itu adalah tulisannya, disamping termasuk bentuk pencurian ilmu [ plagiat ], perbuatan tersebut sangat tidaklah mendidik, dan selamanya akan membuat dirinya tak mampu menulis meski hanya sebuah artikel pendek.

Ada juga yang lebih miris lagi dari kasus di atas, banyak mahasiswa yang hanya main beres, yang penting tugas selesai. Maka mereka pun tak susah payah menyuruh orang lain untuk mengerjakan tugas dengan imbalan yang semestinya. 

Kasus semacam ini sudah tak asing lagi di kalangan mahasiswa. Akhirnya munculah para sarjana-sarjana gadungan yang setelah lulusnya tak bisa berbuat apa-apa bagi masyarakat, termasuk menulis pun mereka merasa kesulitan.

Inilah sisi negatif dari kebiasaan buruknya, alasan gak pede pun menjadi senjata utamanya, dan berbicara dianggapnya jauh lebih enak dan mudah dari menulis, memang inilah kenyatannya. Padahal berbicara dan menulis itu tak jauh berbeda, menulis adalah bentuk lain berbicara yang tak bersuara yang hanya tertuang dalam tulisan, tapi sama-sama membawa makna yang termaksud alias bisa dipahami. Berbicara jauh lebih mudah dari menulis, maka muncul istilah bersilat lidah karena lisan tak bertulang. Sementara jari jemari bertulang, jadi gak semudah lisan untuk bersilat dalam menuangkan isi hati atau pikiran.

[ 10 ] Watak dan sifat dasar yang keras.

Alasan lain seseorang enggan menulis adalah wataknya yang keras, tak mudah tergugah dan terinspirasi oleh yang lainnya. Sebenarnya secara keilmuan dan kecerdasan dirinya termasuk kategori mumpuni. Ilmu terpunya, cerdas pun ada. Tapi, karena wataknya dari awal tidak gemar menulis, ia pun tak membiasakan diri banyak menulis. menulis dilakukannya hanya bersifat insidental kalau ada tugas yang mengharuskannya menulis, dan itupun dikerjakannya hanya sederhana atau ala kadarnya. 

Kalau urusannya terpusar pada watak yang keras membatu, sulit rasanya menanamkan persepsi dalam dirinya akan urgensi dari banyak menulis. Karena watak adalah sifat dasar bawaan sejak lahir, dan untuk merubah atau menanamkan sebuah persepsi positif dalam dirinya tidaklah mudah, tapi butuh waktu dan intensitas yang berlebih. Termasuk menanamkan kebiasaan untuk menulis. 

Memang menulis tidaklah semudah yang dibayangkan, meski hanya sekedar menulis puisi atau pengalaman hidupnya. Terlebih jika watak dasarnya sudah tak suka dengan dunia menulis. Tapi perlu di ingat bahwa sesulit apapun dan sebanyak apapun alasan keengganan untuk menulis, kemanfaatan menulis takkan pernah berkurang dan lari dari mereka yang terus bekerja keras untuk belajar menulis dan menjadikannya sebuah rutinitas hariannya.

Biasakanlah menulis, meski hanya sekedar dua atau tiga paragraf dalam seharinya. Semakin sering menulis, seiring itu pula semakin banyak manfaat yang didapat dan semakin mudah serta indah bahasa penulisannya. Enyahkanlah beragam alasan yang telah disebutkan sebelumnya. Menulislah semata-mata untuk belajar, mengembangkan diri dan pikiran, serta sebagai wadah untuk berbagi ilmu atau maklumat kepada sesama. 

Beberapa point dalam tulisan ini [ 10 alasan enggan menulis ] terinspirasi oleh tulisan I Ketut suweca tentang alasan enggan menulis yang di posting di link komunitas penulis [ www. kompasiana. com ]. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis dan siapa saja yang membacanya, serta menjadi motivasi agar lebih giat lagi menekuni dunia tulis menulis.

wallohu a'lam bishowab
Share:

PALING BANYAK DIBACA

ARSIP

Followers