Betapa
indahnya syariat shalat berjamaah, begitu berfaidahnya shalat berjamaah bagi
seorang muslim, dan sungguh sangat banyak keutamaan-keutamaan shalat berjamaah
yang terlalaikan dari pandangan kaum muslimin.
Bukankah
mereka telah belajar hukum shalat berjamaah, mempelajari keutamaan dan
kebaikkan yang terpancar darinya, mengetahui adab-adab dan pahala yang
terjanjikan oleh Allah.
Tapi, mengapa
masjid-masjid masih sepi dari shalat berjamaah, mengapa mushola dan surau-surau
tetap saja terhuni oleh segelintiran orang-orang yang hanya terhitung jari
tangan, mengapa masih begitu terasa berat kaki-kaki terlangkahkan, betapa
pelitnya tangan-tangan terayunkan mengiringi langkah menuju masjid, dan mengapa
hati tak tergugah bahkan tergerak untuk menjawab dan mendatangi seruan adzan
yang terkumandangkan.
Tak
terpungkiri bahwa para ulama berbeda pendapat dalam masalah hukum shalat
berjamaah. Sebagian mereka berpendapat bahwa hukumnya adalah wajib ‘ain,
barangsiapa yang meninggalkannya maka ia telah berdosa, sebagian yang lain
mengatakan bahwa shalat berjamaah hanyalah sunnah muakaad ( sunnah yang sangat
ditekankan ), ada juga yang berpendapat bahwa ia hanyalah wajib kifayah,
yang apabila sebagian umat islam telah mengerjakannya, maka gugurlah dosa bagi
mereka yang tidak mengerjakannya.
Perbedaan
ulama dalam masalah fiqhiyah di atas adalah sebuah rahmat ( kasih sayang )
Allah akan umat Nabi Muhammad. Begitu mulianya agama ini dengan memberikan
kemudahan-kemudahan dalam beribadah kepada-Nya, apabila tidak mampu dengan cara
yang pertama, Allah telah memberikan opsi lain dengan cara kedua, jika tidak
mampu juga, Allah tidak memaksakan kita, kerjakanlah ibadah itu semampu kita
selama tidak menyimpang dari tuntunan Rasulullah.
Dalam masalah
perbedaan ulama mengenai hukum shalat berjamaah, kita diberi kebebasan untuk
memilih salah satu pendapat yang kita anggap paling cocok [ mententramkan ]
hati kita, selama pendapat itu berdasarkan pada dalil-dalil qathi’ [ kuat ]
dengan tetap menghargai pendapat orang lain yang berbeda dengan kita, inilah
langkah adil dan bijak dalam berbeda pendapat selama perbedaan itu masih dalam
kategori yang termaklumkan dalam syariat ini.
Adapun sikap
hanya memilah-milih pendapat marjuh [ terlemah ] yang terambil dari beragam
madzhab yang ada, maka ini adalah cara yang keji dan tercela yang tidak layak
seorang muslim malakukannya. Para ulama telah mencela perbuatan mereka, karena
sikap tersebut tidaklah mencerminkan sikap seorang muslim yang sejati.
Dalam masalah
hukum shalat berjamaah, apakah karena hanya kita memilih pendapat ulama bahwa
hukumnya sunnah muakad, atau memilih pendapat yang mengatakan bahwa hukumnya
hanyalah wajib kifayah, lantas kita meninggalkan shalat berjamaah, membiarkan
masjid, surau, mushola sepi dari syiar shalat berjamaah, dan mencukupkan diri
dengan shalat sendirian di rumahnya.
Atau apakah
terasa sedikitnya dosa-dosa kita, atau tak terbutuhkannya berlipat ganjaran
yang Allah janjikan kepada hamba-Nya, ataukah tersibukkannya hati
ini dengan debu-debu harta dan dunia, lantas kita meninggalkan shalat
berjamaah, tidak menghidupkan syiar Allah yang terpenuhi berlipat-lipat pahala,
dan tidak tergugah sedikit pun hatinya untuk berlomba-lomba meraup pahala yang
sangat besar.
Padahal
Rasulullah telah menjanjikan kepada umatnya akan besarnya pahala tatkala
seorang muslim menunaikan shalat berjamaah di rumah-rumah Allah. Sungguh, hanya
orang-orang yang cinta akan indahnya surga yang terpikat dengan pahala yang
Allah janjikan lewat sabda Rasu-Nya. Bukan karena kewajibannya telah gugur dan
tertunaikan, melainkan pahala yang terjanjikan oleh Allah yang mendorong
hatinya untuk berlomba-lomba dalam kebaikan dan raupan pahala.
Wallohu a’lam
bishowab