Masih hangat di telinga kita akan buku “ Chairul Tanjung Si Anak Singkong ”, kisah inspiratif yang menyuguhkan autobiografi yang berkesan, menggugah, dan dinamis. Beranjak dari keluarga yang sederhana, kini setelah melewati masa setengah abadnya, ia telah menjadi seorang miliader dan salah satu orang terkaya di Indonesia bahkan dunia.
Keberhasilannya sebagai seorang pembisnis dalam bidan property, perbankan,
perhotelan, asuransi, pasar modal, dan media masa, bukanlah ditempuhnya bak
membalikkan telapak tangan atau mengedipkan mata. Semua kesuksesannya
berawal dari ketidakberadaan, kesederhanaan, kerja keras, tabah, bermental
baja, tidak mudah menyerah, doa dan seambreg [ semua ] mental sang juara.
Inilah
seklumit synopsis [ ikhtisar cerita sebuah buku ] dari buku tersebut yang aku
baca, sebenarnya belum aku baca buku tersebut, namun intinya sudah tertangkap
dari sinopsisnya. Kalau anda belum puas, silahkan beli dan baca sendiri
bukunya….
Itulah Chairul Tanjung Si Anak Singkong.
Kisah di atas bertolak belakang dengan Farid Si Anak Empang. Ada kemiripan, sedikit, tapi itu tidak berarti. Si farid ini berbeda dari teman-teman sebayanya, paling kucel [ awut-awutan ], kurus, terkucilkan, menjadi objek dan bukan subjek godaan. Ini dalam pergaulannya. Terlebih dalam masalah urusan mengaji atau belajar, ia terkesan paling lama loadingnya dan selalu tertinggal. Membaca iqro’ jilid II saja belum lancar, terlebih membaca al-Qur’an, bacaan sholat, do’a-do’a keseharian, apalagi hafalan surat-surat pendek. Padahal ia sekarang sudah duduk di kelas tiga SD, memasuki umur yang sepatutnya sudah lancar sholat, membaca al-Qu’an, hafal surat-surat pendek dan do’a-do’a keseharian.
Kenapa farid menjadi anak empang? ya kalau empang itu empang kampung, masih jernih, bersih, segar, banyak ditumbuhi rerumputan yang hijau, dan pemandangan-pemandangan lain yang memanjakan kedua mata. Tapi empang si farid ini, sepetak empang yang terhimpit di antara pemukiman kumuh metropolitan, airnya pekat kehitaman, beraroma tak sedap, banyak sampah organik maupun nonorganik menumpuk dan belum terurai menambah bau sengak.
Inilah
secuil fakta metropolitan. Semua tersedia di dalamnya, dari anak empang sampai
anak jagoan, dari ediot sampai jenius, dari gila sampai tergila-gila, dari baik
sampai buruk, dari sopan sampai bergajulan, dari kaya sampai miskin papa, dari
megah sampai kumuh, dari enak sampai muak, dari bising sampai pusing, dan
seterusnya…
Ada sebab pasti ada akibat, ada empang si farid pasti ada yang menggalinya, kenapa farid menjadi anak empang pasti ada yang menempanya. Mungkinkah si farid menjelma menjadi sosok anak singkong si Cahirul Tanjung setelah ketertinggalannya selama ini atau bahkan lebih. Tentu, semuanya masih mungkin, apalagi ia masih belia dan belum terlanjur basah [ mandinya …] ....
……..siang menjelma menjadi senja. rasa
sumuk, gerah, panas, galau, mulai berlebur dengan kesejukan senja, kehangatan
mentari berlahan-lahan melambaikan keterpisahan dengan kita, para pembanting
tulang pun mulai kembali melepas asa.
Tapi, senja itu, farid terlihat tak
seperti biasanya, lebih girang, energik, dan bersemangat, bukan untuk belajar
atau mengaji, ia malah lari kegirangan diikuti dua temannya mengarah ke empang
yang berisikan air sebatas lututnya. Air coklat yang menggenangi lumpur
beraroma sengak nan kotor. Kalau ikan-ikan mungil yang tinggal di empang itu
bisa berpindah, pasti ia akan secepat mungkin pergi meninggalkannya. Tapi daya
tak kuasa, hanya empang itu yang tersisia, mereka hanya menunggu keajaiban
tiba.
Entah apa yang ada di benak si farid,
tanpa malu dan tahu, ia dan dua temannya langsung melepas sehelai baju dan
celana yang melekat di tubuhnya. Seketika, ia menjadi bugil, terkecuali dua
temannya yang masih memakai CD, mereka lari melompat ke tengah empang. “
ihhh………jijik sekali “ mungkin teman sebayanya dan anda akan bergumam seperti
itu saat melihatnya.
Di saat yang lain belajar atau
mengaji, mengasah otak jua hati, sibuk dengan iqro dan al-qur’an, farid malah
bergelut dengan lumpur si empang, bergulat dengan temannya penuh girang.
mengapa farid tidak seperti mereka? Apa ia seorang anak jalanan, tanpa
tempat tinggal, tanpa ayah bahkan ibu, tanpa sarapan yang siap saji, tanpa baju
dan peci, atau tanpa dan tanpa yang lainnnya….ternyata tidak sama sekali,
ia bahkan lebih dari apa yang terbanyangkan. Dan mengapa farid menjadi si
anak empang?
Saya, tentu tidaklah menyalahkan si
farid semata. Tapi terlebih pada kedua orang tuanya. Mungkin, inilah salah satu
sebab farid lebih memilih menjadi si anak empang;
[ 1 ] Kesibukan kerja dan karir
Orang tua, terutama seorang ibu lebih
tersibukan dengan karir, kerja, bisnis, menumpuk harta dan kekayaan dunia
daripada mengurus pendidikan mental dan spiritual anak-anaknya. Mereka tak
peduli dan tak mau peduli akan perkembangan buruk dan sikap menyimpang yang
sangat berpengaruh akan masa depannya.
[ 2 ] Background kedua orang tua
Tak asing lagi akan mutiara hikmah, “
Buah kelapa jatuh tak jauh dari pohonnya ”. Inilah urgensi background [ latar
belakang ] orang tua terhadap masa depan anak keturunannya, yang baik pasti
akan menelurkan yang baik, begitu sebaliknya, tanpa terkecuali.
[ 3 ] Persepsi keliru orang tua
Background inilah yang menciptakan
persepsi [ cara pandang ], tapi masalahnya jika kekeliruan persepsi telah
tertempa dan mendarah daging serta mengalir dalam tubuh orang tua, Anaklah yang
akan menjadi korbannya.
[ 4 ]
Minim nilai-nilai keteladanan
Banyak kita temui tuntutan ortu akan
anaknya, “ kamu harus sholat, harus mengaji, harus sekolah, belajar yang tekun,
menjadi anak yang baik dan hormat, dan sederet tuntutan yang terus terlontar
darinya.” Tapi, ia menutup mata saat mengatakannya, padahal dirinya tak pernah
shalat, tak mau mengaji, dan tak pernah menunjukan kebaikan-kebaikan yang itu
tutuntukan. Di mana nilai-nilai keteladanan? Jangan hanya menuntut ini dan itu,
tapi lupa kacang dari kulitnya.
[ 5 ] Orientasi yang salah kaprah
Orientasi juga tercipta dari background bawaan keduanya, karena start
dari jalan yang keliru maka keduanya tak pernah sampai pada titik temu.
Lagi-lagi anaklah yang menjadi korban di kemudian hari. Karena orientasi harta
dan dunia akan mementahkan akhlak dan agama.
[ 6 ]
Dunia pertemanan yang amburadul
Inilah lapak edukasi [ pendidikan ] kedua setelah keluarga yang sangat
bertaring penuh bisa racun. Salah menempatkan diri dan lemahnya tameng akan
menarik dirinya terbawa arus lingkungan buruk.
[ 7 ]
Lapak edukasi yang buruk
Kurang tepatnya kurikulum di
dunia pendidikan kita, sangatlah berpengaruh akan terbentuknya akhlak dan
mental anak didik yang buruk, terlebih tidak adanya keberimbangan antara
pendidikan umum dan agama. Bahkan sangat timpang sekali. Inilah faktanya…
Demikianlah hasil pengamatan saya,
kenapa farid lebih memilih untuk menjadi si anak empang. Tentunya masih banyak
faktor lain, anda bisa menambahkan, kalau mau dan tahu. Itu terserah anda….
Berangkat dari kisah farid, banyak
ibroh [ pelajaran ] dan hikmah yang bisa kita petik, itu bagi yang mau berfikir
dan melatih ketajaman batin. Khususnya kaum hawa, yang belum terikat
pertalian sakral, persiapkanlah dirimu dengan beragam bekal yang baik!
Dan bagi yang sudah terikat pertalian
suci, sudah atau akan memiliki momongan, didik dan jagalah mereka, jangan
biarkan mereka menjadi si anak empang. Bagi yang terlanjur basah, tak ada kata
terlambat bagi semua orang tua untuk merubah empang menjadi kolam renang dengan
air bening yang menyegarkan.
Semoga bermanfaat …….