Bersama Bahagia Dalam Naungan Islam

Setetes Tinta Dalam Beningnya Air

Yang berhati baik, pasti berhasrat mendulang beragam kebaikan berlipat. Yang berhati benar, tiada terharap dari dirinya melainkan tertanam kebenaran hakiki yang akan mengantarkannya kepada kebahagiaan hakiki nantinya.

Tapi betapa banyak hati telah ternodai hawa nafsu dan syahwat yang tiada henti menggelora. Dan tiadalah hati ternamai al-qalbu melainkan karena sifat dasarnya yang begitu gampangnya berbolak balik atas keputusan yang terambilnya.

Karenanya, kerap kali kau [dan pula aku ] memandang remeh atas kebenaran atau pun kebaikan yang tertebarkan dari lisan, tulisan dan amaliyah manusia lain. Terlebih jika kebenaran itu teralir dari manusia yang terdengki atau terbenci, dan disaat ia sedang tergelincir atau tertampak aibnya.

Siapakah di antara kita yang tiada pernah mendengki manusia lain, entah itu keluarga, saudara, teman, atau manusia lainnya ? Sungguh, mendengki adalah sifat tercela, tapi membiarkan dan memelihara hati tetap gemar mendengki sangatlah jauh lebih tercela adanya. Dan selama hati masih hidup, selama itu pula hati rentan dari teracuni rasa kedengkian terhadap sesama. Namun, selama itu pula banyak berlimpah pahala bagi siapa saja yang berkeras kerja mengubur dan melenyapkan dengki dari hatinya.

Betapa banyaknya iri yang berujung mendengki, lantas tiadalah terlihat dan tertampak dari yang terdengki melainkan keburukan dan aib yang selalu membayanginya. Dan jikalau ia yang terdengki tergelincir hanya karena lubang kecilnya, maka tiadalah ketergelinciran yang mungil melainkan telah menghampar dan menutupi semua kebaikan dan kebenaran yang pernah terbentangkan darinya. Bisa jadi, aib atau ketergelinciran kecilnya, telah ia jadikan seolah setetes tinta yang menetes di atas gelas berisi air bening, jadilah air itu terkeruhkan dan tiada lagi hasrat untuk mengambil faidah darinya. Karena menurutnya, tiadalah lagi air itu bisa termanfaatkan darinya dan hanyalah ia telah berubah menjadi sumber kemudaratan bagi yang lainnya.

Betapa banyak manusia mengharamkan dan menghijab [ menutup ] diri dari kebaikan atau kebenaran yang tertebarkan dari manusia lain karena dengki terhadapnya yang telah membalut hatinya. Dan menurutnya, tiadalah layak lagi manusia lain termasuk dirinya untuk mendulang faidah darinya akibat beberapa aib yang tertampak dan terlakukan olehnya.

Bukankah begitu banyaknya perihal itu terasakan oleh kita ? Dan memang begitulah ada dan faktanya ? Atau bisa jadi hal itu kerap kali menghantui jiwa kita, atau bahkan seringnya hati kita teraliri olehnya ?

Betapa banyaknya manusia merasakan dan menampakkan aib saudaranya, tapi tiadalah kuasa untuk melihat dan menampakan aib yang ada pada dirinya. Dan tiadalah manusia terelakan aib dan keburukannya tertampakan di hadapan manusia lainnya, tapi mengapa begitu mudah dan relanya ia mengorek dan membuka aib saudaranya di hadapan manusia lain, atau bisa jadi ia merasa senang dan puas akan aib saudaranya tertebar dan menjadi buah bibir manusia.

Sungguh, kedengkian menjadi tembok penghalang atas kebaikan dan kebenaran yang sejatinya sangat terbutuhkan oleh hati dan jiwanya. Dan rasa dengki itu tiadalah tertumbuh melainkan adanya rasa angkuh dan sombong dalam dirinya, dan keangkuhan atau sombong itu yang mengakar sumbur dalam hatinya, tiadalah lain karena dengki yang telah tertambat di dalamnya.

Setelah keduanya bersekutu, atau paling tidak tertambatnya satu dari keduanya, maka tiadalah yang terlihat dari orang yang dengki atau remehkan melainkan hanyalah sebuah aib dan keburukan, dan semakin ia melihatnya terjebak atau jatuh dalam kesalahan, meski kecil adanya, maka tiadalah terlihat darinya melainkan menjadi sebuah sumber keburukan yang bisa ia bentangkan, dan ia pun merasa senang akannya.

Benar sekali, bahwa dengki akan memakan kebaikan layaknya api melahap kayu bakar di bawah terik panasnya mentari dalam hembusan angin yang tiada henti.

Memang benar adanya, dan begitulah faktanya, karena dengki hanyalah sebuah hijab dan tembok penghalang yang akan menampik setiap kebaikan dan kebenaran yang hendak menghampirinya.

Penulis misalkan satu fakta yang pernah terdengar dari beberapa kawan. Adalah salah seorang teman yang mengurungkan niatan untuk melanjutkan pendidikannya ke tingkat syariah di LIPIA, dan ia merasa bercukup diri dengan hanya sampai tingkatan takmili saja.

Dan alasan yang ia utarakan begitu simple adanya, menurutnya banyak dosen-dosen Lipia yang sudah bergelar doktor ternyata isbal dalam berpakaian, intinya secara dzohir mereka tidaklah nyunnah. Buat apa mengambil ilmu dari mereka yang tiada tertampang nyunnah darinya. Itulah kalam darinya.

Adapula yang beralasan karena banyaknya Mahasiswa Lipia yang tiada mengamalkan banyak sunnah dari yang telah dipelajarinya.

Inilah pemahaman sempit yang terlahir dari sebuah kesombongan hati dan rasa dengki yang terpelihara subur di dalamnya.

Hanya karennya, ia menahan diri dari banyaknya kebaikan yang akan terdulang dari belajar ilmu syar'i di Lipia.

Wallohu a'lam bishowab
Share:

Tidak ada komentar:

PALING BANYAK DIBACA

ARSIP

Followers