Bersama Bahagia Dalam Naungan Islam

Lipia-ku Dalam Liku Berliku

Ini adalah secarik pengakuan yang pernah terdengar, selintas perjuangan hidup yang patut terhargai, menjadi contoh akan semangat hidup penuh juang, tawakal, dan pengorbanan.

Yah, seorang kawan mulia yang dalam perjuangan menuntut ilmu syar'inya di kampus lipia, kampus yang masih menjadi impian bagi sebagian manusia, dimana ia harus berjuang bertapal baja hanya demi mendapat ulum syar'i, memlihara kehormatan diri dan mempertahankan hidupnya di antara hiruk pikuk dan kerasnya ibu kota tempat berdiri kokohnya kampus lipia.

" Aku mungkin tidaklah sebaik nasibnya seperti kau, wahai kawan-kawanku di lipia, tapi setidaknya statusku sebagai mahasiswa lipia adalah nasib baik sebagai anugerah Ilahi yang belum banyak terberikan bagi manusia lainnya.
 

Sungguh, sebuah kemuliaan dan anugerah terbesar dari Allah bahwa aku terizinkan bisa menuntut ilmu syar'i di lipia. Namun, ada sedikit aura yang sedikit terasa berbeda antaraku dan dirimu. Ghirah atau hasrat untuk menuntut ilmu di lipia, meski baru terlintas dan terbesit adanya adalah sebuah nikmat dan anugerah tersendiri sebenarnya, terlebih sampai Allah mengizinkan kaki-kakinya bisa melangkah dan duduk di bangku kampus lipia, inilah nikmat Allah yang sangat besar yang sudah selayaknya tersyukuri sedari awalnya.
 

Inilah yang selama ini aku sadari, aku harus tetap bertahan untuk menuntut ilmu di lipia, apapun adanya dan keadaannya, meski lipia telah begitu bermurah hati kepada semua mahasiswanya, dengan ditiadakannya biaya kuliah sedari berdirinya lipia hingga sekarang dan sampai seterusnya, digratiskannya buku-buku mata kuliah tanpa pungutan biaya sepeser pun, bahkan setiap mahasiswa mendapatkan beasiswa dalam setiap bulannya, meski demikian betapa ia tidaklah cukup bagiku untuk bertahan hidup di lipia tanpa aku harus mencari pemasukan duit dari jalan lainnya.
 

Mungkin bagi sebagian teman-temanku di lipia, hal itu bukanlah sebuah aral melintang bagimu, karena kau dilebihkan dariku oleh Allah dengan kecukupan atau keluasan rizki lewat tangan kedua orang tuamu, tapi aku - bukannya iri atau mengeluh, tapi hanya ingin berbagi apa yang terbagi - hanya dari keluarga yang terbilang tak berkecukupan secara ekonomi.
 

Terlebih anggota keluargaku yang banyak, dan aku terbesar yang sudah saatnya hidup mandiri tanpa harus memelas lagi terhadap orang tuaku yang terus melemah dan merenta termakan usia. Sementara keduanya tak menyisakan banyak keluasan rizki yang dapat aku manfaatkan, cukuplah yang ada hanya bagi keduanya dan saudara-saudaraku yang lainnya yang belum termampukan untuk mandiri.
 

Aku terus berpikir, betapa bodoh dan lemahnya aku jika di usiaku saat ini masih terus memelas dan membiarkan tanganku membuka di bawah kedua tangannya yang telah berkeriput dan pandangannya yang semayup lemah. Seharusnya akulah yang telah menaruh tanganku tertunduk di atas tangannya, dan menahannya agar raganya tiada lagi mengalir keringat deras darinya. Betapa dungu dan dzalimnya aku jika tanganku terus terbiarkan seperti dulu.
 

Di samping itu, kegalauanku terus bertambah dengan usiaku yang terus berontak dan meronta agar hati dan ragaku tertenangkan dengan kehadiran bidadari yang akan menjadi pendamping dan penyemangat hidupku setelah seringnya keberpisahan dengan kedua orang tuaku yang selama ini terus membuatku tegar dan semangat.
 

Singkat cerita, akupun memberanikan diri menikah dengan keyakinan bahwa Allah tiada akan pernah menghinakan hamba-Nya yang beriman yang beritikad baik untuk menjaga diri dan kehormatannya dengan menempuh jalan sucinya, pernikahan. Bahkah Allah hendak melapangkan rizki bagi mereka yang menikah dengan niatan yang mulia dalam hatinya.
 

Inilah yang memantapkan diriku untuk menikah, meski kala itu aku tak memiliki uang yang cukup untuk biaya pernikahan, dan dengan izin Allah serta kemuliaan dari-Nya, aku pun bisa menikah. Meski lagi-lagi secara matematis aku serasa tak cukup untuk bertahan dengan biaya hidup di ibu kota, terlebih aku telah menikah, yang mana harus mengontrak rumah, makan sehari-hari, biaya kebutuhan kuliah yang lainnya, dan tanggungan-tanggungan hidup lainnya yang sudah terpikul di pundak saya saat ini.
 

Namun aku tiadak mau menyerah, betapa pun adanya dan keadaanya, aku harus bisa terus belajar dan menuntut ilmu syar'i di lipia, meski lipia bukanlah satu-satunya tempat dan sumber untuk menggali ilmu dien. Tapi setidaknya dengan bisa belajar di lipia, aku bisa lebih fokus dan tersistem dengan lebih baik lagi dalam menimba ilmunya. Pula masuk lipia bagiku adalah sebuah anugerah besar dari Allah atasku, dimana aku harus mensyukurinya dengan keistiqamahan dalam kuliahnya sampai lulus.
 

Ini pula yang membuatku tetap harus semangat dan bisa lulus lipia. Semenjak itulah aku harus memutar otak dan pikiranku lebih dalam lagi agar aku bisa melewati semuanya, bisa tetap belajar, mengurus keluarga, memondasi dan merancang masa depan bahtera rumah tangga, dan menuntaskan tanggung jawab lainnya. Aku pula tak mau mudah menyerah seperti apa yang telah tercontohkan kedua orang tuaku yang mampu melewati setiap masa-masa sulitnya. Hanya menikmati semua tanggung jawab itu, meniatkannya sebagai ibadah dan tidak menganggapnya sebagai beban hidup yang memberatkan, pula bahwa semua itu adalah proses belajar dalam hidup agar menjadi manusia yang lebih kuat, tegar dan tidak mudah menyerah.
 

Demikianlah, yang kemudian Allah membukakan pintu rizki-Nya bagiku, dari yang kecil-kecil, dan memang itulah yang terbaik dan layak bagiku menurut-Nya agar aku tetap bisa menimba ilmu syar'i dan mengurus rumah tangga. Seandai aku di beri pintu yang lebih besar lagi, mungkin jalanku menuntut ilmu akan banyak terganggu bahkan terputus sama sekali dan hanya tergiur dengan dunia yang tiada seberapa dalam pandangan-Nya.
 

Yah, aku pun tanpa ragu berjualan centhong [ sendok nasi yang besar ] tradisional yang terbuat dari batok kelapa. Awalnya belum seberapa dan masih malu terasa, tapi demi menafkahi keluarga selama itu halal, aku pun terus menawarkan centhong-centhong itu kepada setiap penumpang KRL Jakarta-Bogor. Centhong-centhong itu aku pesan dari daerah Magelang, dan alhamdulillah Allah pun mulai menggerakan hati-hati manusia untuk tertarik membeli centhong-centhong itu, dan dalam setiap harinya ada terus orang yang mau membelinya, aku pun mulai mengantongi keuntungan demi keuntungan meski tidak begitu besar. Tapi tanpa terasa hasil itu sangat membantu ekonomiku dalam kesehariannya. alhamdulillah.
 

Begitulah aku si penjual centhong, yang aku lakukan dalam setiap harinya selepas kuliah dari lipia sampai sekitar jam sembilan malam. Adapun malamnya yang tersisa aku gunakan untuk keluargaku dan belajar pelajaran di lipia.
 

Alhamdulillah, aku bisa menjalaninya dengan senang dan nikmat. Hingga aku tetap bisa belajar di lipia dan menafkahi keluarga.

Ya itulah nasibku dan pintu rizkiku yang Allah anugerahkan kepadaku, mungkin kau tak merasakannya dan terasa hina dalam pandanganmu, kau mungkin jauh lebih baik nasibnya secara ekonomi dariku dan apa yang ku jalani, maka bersyukurlah lebih atas pemberian Allah atasmu melebihi syukurku kepada-Nya. Dan janganlah kau hinakan teman-temanmu yang senasib denganku atau lebih buruk lagi jikalau begitu adanya."


Inilah temanmu Wahai kawan-kawan lipia semuanya.

Wallahu a'lam bishowab
Share:

Tidak ada komentar:

PALING BANYAK DIBACA

ARSIP

Followers