Bersama Bahagia Dalam Naungan Islam

Makna Sebuah Rajutan

Sejatinya hidup dan mati diciptakan oleh Allah sebagai bingkai ujian bagi manusia, siapakah di antara mereka yang paling baik amalannya. Dia tidaklah melihat amalan yang berbilang banyaknya dari setiap apa yang dilakukan manusia, melainkan yang menjadi timbangan di sisi-Nya ialah amalan yang terbaik menurut pandangan-Nya.

Demikianlah esensi yang terkandung dari kalam-Nya dalam penggalan awal surat Al-Mulk. Allah telah berfirman :


تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ () الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ ()

“ Maha suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. ” [ QS. Al-Mulk : 1 – 2 ]

Syaikh As-Sa’di mengatakan dalam kitab tafsirnya bahwa amalan terbaik yang dimaksud dalam ayat di atas ialah amalan yang paling ikhlas dan benar [ sesuai tuntunan Rasulullah ].[1] Inilah yang menjadi neraca baik tidaknya amalan menurut Allah.

Apalah arti amalan yang berlimpah namun tiada ikhlas bersanding di dalamnya, pula apalah arti amalan yang banyak namun tak sesuai dengan tuntunan Rasulullah di dalamnya. Hanyalah keikhlasan dan benarnya sebuah amalan yang akan memberatkan timbangan kebaikan kelak di akhirat. Tanpa keduanya amalan itu ibarat ribuan debu yang terhempas oleh terpaan angin yang kencang, ia akan bertaburan entah ke mana dan akan hilang tiada berbekas tertinggalkan sedikitpun darinya.

Hidup adalah bingkai amalan manusia, tanpanya takkan pernah amalan itu tercipta darinya. Entah amalan itu baik atau buruk, hanya hiduplah yang membingkai keduanya bagi manusia. Adakah manusia yang telah mati masih bisa leluasa melakukan sesuatu sesuka hatinya ? Mungkinkah anak Adam yang terakhiri oleh ajalnya kuasa untuk beramal kembali layaknya saat ia masih bisa menghela nafasnya ?

Hidup di dunia adalah ladang untuk menanam amalan bagi setiap hamba. Adapun hidup di akhirat adalah masa saatnya memanen dan menikmati apa yang telah di tanamnya dulu di dunia dari sebuah amalan, entah itu baik atau buruk. Kehidupan dunia hanyalah masa untuk beramal, sementara kehidupan akhirat hanyalah masa di mana terbalaskannya setiap amalan yang telah dilakukannya di dunia.

Dan dalam hidup yang membingkai raga setiap anak Adam, di sana tertumpuk makna maupun hikmah yang layak menjadi pelajaran. Maka sejatinya hayatmu adalah tumpukan hikmahmu. Allah juga telah menitipkan dalam setiap raga anak Adam berupa akal dan hati untuk bisa mencerna makna maupun hikmah yang tertebar dalam hidupnya.

Maka belajarlah dari hidupmu sendiri maupun dari kehidupan manusia lain yang telah mereka tapaki di dunia ini. Karena dalam bingkai hidupmu maupun bingkai hidup manusia selainmu terlukiskan beragam warna yang membawa nilai dan pelajaran yang sangat berharga bagi dirimu sendiri.

Tidaklah setiap aktivitas maupun peristiwa yang merajut hidup anak Adam harus membawa makna maupun hikmah yang terzahirkan dalam pandangan. Akan tetapi, setidaknya dalam setiap aktivitas rajutan hidup manusia pasti membawa makna dan pelajaran yang layak menjadi bahan renungan dan santapan jiwa. Hanya saja ia terkadang mampu dilihat dan dicerna oleh seseorang, namun tiada terasa dan terlintas dalam pandangan orang lain. Karena kemampuan manusia itu berbeda-beda, termasuk dalam mencerna sebuah makna maupun hikmah dari kehidupan, entah dalam dirinya maupun orang lain.

Oleh karena itu, begitu bodohnya seseorang yang mampu menggali sebuah hikmah dari hidupnya, namun ia enggan untuk menyeruput pelajaran yang terkandung di dalamnya, terlebih mengaplikasikannya dalam sisa hidupnya yang masih ia punya. Dan jauh lebih bodoh lagi saat ia enggan menggali sebuah hikmah dari kehidupan dirinya maupun orang lain, padahal ia mampu dan memiliki instrument untuk melakukannya, atau ia enggan melihat tumpukan hikmah yang telah digali oleh orang lain.

Bagaimana tidak ia dikatakan jauh lebih bodoh, karena mungkinkah ia akan menghayati dan mengaplikasikan sebuah makna atau pelajaran tanpa pernah mengenal dan mengetahui pelajaran yang disuguhkannya? Hanya orang yang mau belajarlah yang akan menjadikan dirinya cerdas, dan hanya orang bodohlah yang enggan belajar maupun memaknai sebuah pelajaran. Maka, belajar dan teruslah belajar dari kehidupan dirimu sendiri maupun dari kehidupan orang lain. Karena dengannya kau akan menjadi orang yang cerdas dalam memaknai hidup yang Allah bentangkan untuk dirimu. Akhirnya tujuan hidup yang Allah maksudkan bagi makhluk-Nya akan tercapai dengan baik olehmu.

Wallohu a'lam bishowab




-------------------------------
[1] Tafsir As-Sa’di [ Taisir Al-Karim Ar-Rahman Fi Tafsir Kalam Al-Manan ], Syakih As-Sa’di, hal 875.
Share:

Tidak ada komentar:

PALING BANYAK DIBACA

ARSIP

Followers