Bersama Bahagia Dalam Naungan Islam

Cerita Pak Tua [ 4 ]


Imam melipat dan mengangkat celana hitam yang penuh coretan tanah lempung sebatas lututnya. Ia kemudian melompat ke arah batu besar yang terkelilingi batu-batu kecil. Sesaat bola matanya menatap tajam jauh ke semak-semak di sebrang kali. Menerawang ke angkasa yang masih dalam gelapnya tertutup mendung tebal. 

Tapi, suasana kali jauh lebih terang terakibat tak adanya dedaunan rindang menutupinya. Pandangan pun bisa terhanyut lepas ke arah tumpukan bebatuan yang berserakan tapi terkesan artistik, atau semak-semak yang menyusur di sepanjang bantaran kali, atau pepohonan di atas bukit yang menyiman ribuan misteri. Semua terdiam membisu, atau terenyuh melihat tarian air kali dan gerimis yang menepuk-nepuk bebatuan kali. 

Saat Imam baru saja berkenalan dengan air kali, dan hendak mengambil air wudlu, tiba-tiba ingatannya terbesit pada cerita pak tua itu. Saat bertemu rombongan kemah, pak tua yang sedang mencari pakan kambing di sekitar semak-semak pinggir jalan setapak pernah bercerita kepada dirinya.

" Maaf, nak. Rame-rame emang pada mau ke mana ? " tanya pak tua kepada Imam yang berjalan paling belakang bersama Agus di antara rombongan teman-temannya.
" Pada mau kemah pak, tapi masih mencari tempat yang bagus dan tidak jauh dari kali " jawab Imam.

" Kamu ke arah utara saja, di sana ada kali berbatu yang airnya lumayan deras, tapi tempat itu sudah masuk wilayah Brebes " tegas pak tua sembari mengumpulkan rumput-rumputnya ke keranjang.

" Tempatnya mudah di jangkau gak pak ? " tanya Imam yang kedua kalinya.

" Ya lumayan, ada jalan setapak kok yang mengarah ke situ, hanya saja semak-semak besar akan sedikit menghambat perjalananmu, karena setahu saya jalan setapak itu sudah usang dan jarang dilewati " jawab pak tua.

" Lo emang dulunya belantara ini sering di kunjungi masyarakat sekitar belantara ya pak ! " tanya Imam yang semakin penasaran.


" Iya, dulu banyak warga yang pergi ke daerah situ, awalnya mereka hanya mencari kayu bakar atau rumput untuk pakan kambing atau sapi, tapi saat ada salah satu warga yang hilang dan sampai sekarang belum ditemukan jejaknya, padahal sudah hampir sepuluh tahunan, warga pinggir belantara mengkramatkan beberapa tempat di kali itu, usut punya usut katanya yang hilang seorang perempuan tua " kata pak tua sedikit bercerita.

" Wah, kedengarannya angker juga kali itu, terus apa setelahnya yang terjadi pak ? " sela Agus yang mulai merinding menyimpak cerita pak tua.

" Semenjak si perempuan tua diketahui menghilang, warga pun berbodong-bondong mencarinya, siapa tahu ia masih hidup, dan kalau ia sudah mati paling tidak tertemukan jasadnya. Warga memang langsung menyusuri kali dan semak-semak di sepanjang bantaran kali, karena sebelum si perempuan tua itu pergi, ia berpamitan kepada anaknya akan mencari rempah-rempah di sekitar kali untuk membuat jamu. Itu kata anaknya saat melapor ke pak Kadus perihal ibunya yang sudah sehari semalam belum pulang. Hampir tiga harian usaha warga nihil. Mereka justru menemukan gua kecil yang kental dan beraroma mistik di seberang kali. Gua itu dipenuhi semak-semak di sekelilingya, di atasnya tertumbuh pohon raksasa yang mirip pohon beringin, hawanya terasa dingin sekali, sementara mata gua terlihat hitam menatap tajam meski dilihatnya dari kejauhan. " tegas pak tua melanjutkan ceritanya.

" wah, serem banget pak ! Emang sebelumnya gak ada yang pergi ke daerah gua itu pak ? " tanya Imam yang juga tambah penasaran.

" Banyak kok warga yang pergi ke bantaran kali, termasuk daerah sekitar gua, hanya saja gua itu baru terlihat dan dirasa oleh warga semenjak kejadian hilangnya si perempuan tua itu, menurut mereka itu sangat aneh dan mengagetkan, sepengetahuan mereka pohon besar yang mirip beringin itu sering dilewatinya, tapi baru kali itu mereka melihat guanya. Dan semenjak itulah pohon itu dikeramatkan warga pinggir belantara. Tak luput mereka membuat sesajian setiap jumat kliwonnya. Mereka menaruh harapan agar si penunggu pohon tak lagi murka. Sejak itulah warga menyebut pohon besar itu sebagai pohon keramat si mama tua. " jawab pak tua yang masih sibuk mengumpulkan rumput-rumputnya ke keranjang.

" Terus, kok sekarang jalan setapak itu jarang dilewati dan semakin tertutupi semak-semak, emang sudah gak ada warga yang memberi sesaji ke mama tua ? " tanya Agus yang sedikit berlaga kritikus.

Tangan pak tua mengusap dahinya yang dipenuhi cucuran air keringat. Ia begitu terlihat lelah dan haus. Botol jerigen kecil berisi air minum di samping keranjang diambilnya. Pak tua belum juga menjawb, iya masih menenggak beberapa air dari jerigen yang berwarna putih lusuh, saking lamanya dipakai.
Share:

Tidak ada komentar:

PALING BANYAK DIBACA

ARSIP

Followers