Bersama Bahagia Dalam Naungan Islam

Syubhat Pacaran Dan Bantahannya (Bag 2)

Syubhat-syubhat mereka dari orang-orang kafir dan munafik dalam masalah pacaran sangatlah berbahaya sekali. Di mana hal itu akan membuat kerancuan dalam benak para remaja dan pemuda islam. Dan tidak sedikit dari remaja dan pemuda islam telah tertipu dan teracuni oleh bualan-bualan kotor mereka. Akhirnya mereka pun terbawa dalam pusaran arus besar akan bolehnya pacaran dalam islam menurut pandangan mereka.

Semua itu bermuara pada legalisasi pergaulan bebas yang terselubung maupun yang terang-terangan. Interaksi asmara antar lawan jenis yang bukan mahramnya mereka kemas dengan bungkus yang indah dan seolah-olah telah mendapat sertifikasi legal dari syariat. Kemasan itu mereka gali dari takwilan dan pelintiran terhadap nash-nash syar'i yang ada. Adapun syubhat-syubhat yang lain dalam masalah pacaran di antaranya ialah :

Syubhat ketiga

Sebagian orang mengatakan bahwa pacaran hanyalah sebuah istilah dan instrumen, dalam bahasa anak mudanya pacaran menjadi ajang PDKT [pendekatan] untuk mengetahui sejauh mana karakter dan sifat yang hendak dijadikan calon pasangan hidupnya. Kalau adanya kecocokan maka akan dilanjutkan ke jenjang pernikahan, tapi kalau tidak cocok cukup sebagai sebuah pengalaman akan karakter orang lain yang kemudian mencari penggantinya sampai mendapati kecocokan antar keduanya.

Kemudian untuk melegalkan hal semacam itu, sebagian mereka mengkategorikan pacaran menjadi dua, pacaran islami dan pacaran non islami. Pacaran non islami jelas terlarang karena banyak mengandung unsur dosa, adapun pacaran islami maka hal itu boleh selama tidak membentur batasan-batasan syar’i.


Jawab :

Kemunculan istilah pacaran islami dan non islami memang membuat kerancuan tersendiri di tengah-tengah pergaulan remaja maupun anak muda. Karena hal ini belum memiliki definisi yang jelas dan paten. Entah siapa yang pertama kali mengarang istilah semacam itu. Paling tidak istilah ini sering disalahgunakan oleh anak-anak muda dan menjadi tempat berteduhnya mereka akan legalnya sebuah pacaran.

Dan dari istilah ini kemudian muncullah sebuah opini akan bolehnya pacaran selama tidak berpegangan tangan, bermesraan, berboncengan, jalan-jalan bareng, berkhulwah, dan yang semisalnya. Akan tetapi mereka tetap memiliki seorang pasangan yang memiliki hubungan khusus di antara keduanya. Adapun cara mereka berkomunikasi tidaklah sesering mungkin sebagaimana yang terjadi pada pacaran secara umumnya. Cukuplah mereka berkomunikasi via facebook, twitter, bbm, whatsapp, sms, telephone, dan yang sejenisnya berupa komunikasi jarak jauh.

Ketahuilah, bahwa dalam islam tidak dikenal istilah pacaran islami maupun non islami, dan selamanya islam tidak akan melegalkan sebuah pacaran semacam itu dikarenakan banyak sekali keburukan, mudarat dan dampak negatif yang ditimbulkannya.

Dan apa yang mereka anggap baik sebagai sebuah masa pengenalan karakter maupun sifat calon pasangan, tidaklah teranggap baik dalam pandangan islam. Baik menurut manusia belum tentu baik menurut Allah, dan begitu pula sebaliknya, baik menurut Allah belum tentu dianggap baik oleh manusia. Akan tetapi, semua yang telah menjadi ketetapan dan kehendak Allah atas manusia adalah bersifat baik dan demi kemashlahatan hamba-Nya, meskipun secara zahirnya ia terlihat buruk dan tak disukai oleh nafsu manusia.

Oleh karena itu Allah berfirman :

“Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah : 216)

Ketahuilah, bahwa komunikasi dalam bentuk apapun, meskipun mereka tidak berdampingan atau berkhulwah, jika hal itu dilakukan oleh seorang lelaki terhadap perempuan yang bukan mahramnya, dan tidak adanya kondisi darurat atau untuk kemashlahatan agama maupun umat, terlebih bagi mereka yang menganggap dirinya memiliki hubungan khusus atau ikatan batin, maka semua hal itu tetap terlarang hukumnya dalam pandangan islam.

Islam tidaklah pernah mengajarkan pengenalan karakter calon pasangan lewat media pacaran. Yang diajarkan dalam islam, apabila seorang lelaki sudah berhasrat menikah dan memiliki kemampuan di dalamnya, kemudian ia memiliki ketertarikan terhadap salah seorang gadis muslimah. Maka cukuplah ia mengenal karakter itu dari akhlak kesehariannya, informasi salah satu keluarga dekatnya yang amanah, atau mengutus salah seorang teman wanitanya yang terpecaya untuk menyelidiki dan menggali informasi akan karakter dan sifatnya secara umum.

Kemudian kalau dirinya mendapati adanya kecocokan di dalamnya, maka pinang dan nadhorlah ia [dilihat dan meminta izin kepada kedua orang tuanya untuk diajaknya menikah]. Apabila si gadis itu mengiyakan, maka waktu yang dinanti pun semakin dekat. Tapi selama itu pula status mereka masih tetap sebagai seorang ajnabi [wanita/lelaki asing yang bukan mahramnya] yang masih berlakunya larangan-larang syar’I terhadap lawan jenisnya sampai terikatnya akad nikah di antara keduanya. Akad nikah inilah yang telah menghalalkan apa yang selama ini diharamkan bagi mereka.

Begitulah cara islam mengajarkan adab-adab yang mulia, sampai adab hendak menikahi seorang wanita muslimah pun sangat diatur dengan detail dengan menimbang nilai-nilai kebaikan dan budi luhur antara dua insan yang hendak menyatukan diri dalam ikatan sebuah rumah tangga.

Percayalah dan yakinlah kepada Allah Yang Maha Baik. Dia-lah yang akan memasangkan seorang muslim yang baik dengan muslimah yang baik, karena itu adalah janjinya. Perbaikilah diri, tingkatkan kualitas pribadi dalam hal ibadah, akhlak dan ketakwaan kepada Allah, dan teruslah bekerja keras untuk menjadikan dirinya seorang pribadi muslim atau muslimah yang baik, niscaya Allah akan mempertemukan jodohnya dengan seorang muslim/muslimah yang baik pula.

Bukankah Allah telah berfirman dalam kalam-Nya yang mulia :

“Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji [pula]. Sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik [pula].” (QS. An-Nur : 26)

Dan jika didapati seorang muslim yang baik, namun ia memiliki pasangan hidup yang buruk lagi keji atau sebaliknya. Ketahuilah bahwa hal itu hanyalah sebagai ujian bagi dirinya dan menjadi ibrah [pelajaran] bagi yang lainnya. Tidakkah kau melihat siapa itu Fir’aun, dia adalah seorang raja yang durhaka kepada Allah dan dzalim terhadap rakyatnya, ia seorang lelaki yang kejam dan buruk perangainya. Akan tetapi ia memiliki seorang isteri yang shalihah, baik dan taat kepada Allah.

Lihatlah firman Allah berikut ini :

“Dan Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, isteri Fir’aun, ketika dia berkata, “Wahai Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.” (QS. At-Tahrim : 11)

Adapun keburukan Fir’aun dan kezalimannya itu menjadi ujian bagi isterinya dan sebagai ibrah [pelajaran] yang terkandung beribu hikmah dalam perjalanan hidupnya bagi manusia yang hidup setelahnya.

Demikian pula dalam kisah Nabi Nuh dan Nabi Luth, keduanya adalah seorang nabi yang memiliki isteri yang keji dan durhaka terhadap Allah. Maka kemudian Allah memasukan mereka berdua ke dalam api neraka dan disiksa dengan siksaan yang pedih di dalamnya.

Lihatlah Firman Allah berikut ini :

“Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang kafir, isteri Nuh dan isteri Luth. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang shaleh di antara hamba-hamba Kami. Lalu kedua isteri itu berkhianat kepada kedua suaminya, tetapi kedua suaminya itu tidak dapat membantu mereka sedikitpun dari [siksa] Allah, dan dikatakan [kepada kedua isteri itu], “masuklah kamu berdua ke neraka bersama orang-orang yang masuk [neraka].” (QS. At-Tahrim : 10)

Syubhat keempat


Sebagian orang mengatakan bahwa sejatinya pacaran dalam islam itu ada, hal itu disimpulkan dari beberapa hadits Nabi yang berkaitan tentang tahapan saat memilih calon sebelum pernikahan. Pada umumnya suatu perkawinan terjadi setelah melalui beberapa proses, yaitu proses sebelum terjadi akad nikah, proses akad nikah dan proses setelah terjadi akad nikah. Proses sebelum terjadi akad nikah juga melalui beberapa tahap, yaitu tahap penjajakan, tahap peminangan dan tahap pertunangan.

Masa penjajakan ini dapat disamakan dengan masa pacaran menurut pengertian ketiga di atas [Pacaran berarti berteman dan saling menjajaki kemungkinan untuk mencari jodoh berupa suami atau istri, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Poerwadarminta, 1976]. Setelah masa pacaran dilanjutkan dengan masa meminang, jika peminangan diterima maka jarak antara masa peminangan dan masa pelaksanaan akad nikah disebut masa pertunangan. Pada masa pertunangan ini masing-masing pihak harus menjaga diri mereka masing-masing karena hukum hubungan mereka sama dengan hubungan orang-orang yang belum terikat dengan akad nikah.


Jawab :

Islam tidaklah memungkiri adanya tahapan-tahapan sebelum terjadinya akan nikah, seperti khitbah dan nadzor. Bahkan keberadaan tahapan-tahapan itu adalah sunnah Rasul yang dimaksudkan agar bangunan rumah tangga yang dibentuknya menjadi langgeng di atas balutan kasih sayang dari kedua pasangan.

Rasulullah bersabda :

إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ

“Jika salah seorang kalian meminang wanita, maka apabila ia mampu untuk melihat apa yang membuatnya terdorong untuk menikahinya, maka lakukanlah.” [1]

Inilah salah satu contoh petunjuk Rasulullah ketika seseorang hendak menikahi seorang wanita. Akan tetapi fase untuk melihat dan mengenal calon pasangan yang hendak dinikahi tidaklah sama dengan pacaran. Selamanya ia tidak bisa disamakan dengan pacaran, terlebih dibungkus dengan nama yang lebih halus, seperti pacaran islami. Pacaran tetaplah pacaran yang sarat dengan hal-hal yang diharamkan dalam islam, sementara fase khitbah dan nadzor adalah fase tersendiri yang disunnahkan dalam islam yang tidak bisa diistilahkan dengan kata pacaran.

Pengistilahan untuk fase pengenalan yang disunnahkan dalam islam dengan kata pacaran adalah pengistilahan yang tidak berdasar sama sekali, baik secara bahasa maupun syariat, melainkan ia hanya bersandar pada hawa nafsu dan akal semata. Justru hal itu akan membuat kerancuan tersendiri karena istilah pacaran berawal dari fase penjajakan karakter lawan jenis yang kerap dihiasi oleh perkara-perkara haram. Demikian juga pendekatan dengan menggunakan istilah pacaran islami untuk menandingi dan menekan maraknya budaya pacaran yang sesungguhnya, maka hal itu adalah pendekatan yang tidak bernilai islam sama sekali.

Pendekatan semacam ini merupakan bentuk dari mengkompromikan antara yang hak dan batil, yang baik dan buruk agar lebih diterima di mata masyarakat, namun justru yang terjadi akan menimbulkan masalah baru bahwa istilah itu akan dijadikan tameng dan pelindung oleh pihak-pihak tertentu untuk menghalalkan pacaran, yang penting menurutnya pacaran itu bernuansa agamis dan islami, jauh dari hal-hal yang diharamkan, masing-masing pasangan dibalut oleh busana muslim yang baik, dan ia bisa menjadi instrument untuk merubah image buruk masyarakat akan pacaran.

Akan tetapi faktanya tidaklah demikian, masih banyak larangan-larangan agama yang mereka kerjakan di dalamnya, hanya saja hal itu dilakukan dalam nuansa yang islami kata mereka. Perlu diketahui, apakah nuansa islami hanya sebatas memakai busana muslim dan muslimah yang baik, atau sering mengadakan kegiatan kajian-kajian remaja, atau sering mengucapkan salam ketika bertemu dengan temannya sesama muslim.

Kita tidak memungkiri hal itu adalah bagian dari nilai-nilai islam yang mulia, dan apabila perkara itu menjadi kebiasaan rutin seorang muslim/muslimah, maka hal itu sangatlah baik sekali. Namun, nilai-nilai islam tidaklah sebatas itu dan masih banyak nilai-nilai islam lainnya yang harus diamalkan. Adapun masih seringnya berkomunikasi dengan lawan jenis [pacarnya] meski bukan dalam bentuk kontak fisik, mengunjungi rumah seorang perempuan [pacar] sekedar hanya untuk bertemu atau melepas rindu - dan bukan untuk nadzor, meminang atau melamarnya - meski mereka ditemani oleh mahramnya, atau yang semisalnya bukanlah termasuk nilai-nilai islam, tapi mengapa masih mereka lakukan di dalamnya bahkan dianggapnya boleh dan wajar demi proses penjajakan dalam sebuah pacaran islami.

Para sahabat saja yang merupakan generasi terbaik umat ini apabila hendak meminta sesuatu kepada para umahatul mukminin [isteri-isteri Nabi], mereka memintanya dari belakang ta’bir [penghalang] dan tidak pernah melakukan komunikasi dengan mereka melainkan untuk hal-hal yang penting saja. Allah berfirman :

“Apabila kamu meminta sesuatu [keperluan] kepada mereka [isteri-isteri Nabi], maka mintalah dari belakang tabir. [Cara] yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (QS. Al-Ahzab : 53)

Oleh karena itu, fase pacaran dan fase yang disunnahkan dalam islam sebelum masuk ke akad nikah tidaklah sama dan tidak bisa/mungkin untuk disamakan. Para ulama pun tidak pernah menggunakan istilah lain untuk menamai fase tersebut. Sampaikanlah yang hak adalah hak dan yang batil adalah batil, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah.


----------------------------
[1] HR. Abu Dawud (2082) dan Ahmad (14586)
Share:

Tidak ada komentar:

PALING BANYAK DIBACA

ARSIP

Followers