Bersama Bahagia Dalam Naungan Islam

Syubhat Pacaran dan Bantahannya (Bag 1)

Polemik boleh tidaknya pacaran dalam pandangan islam telah menelurkan berbagai syubhat-syubhat yang sengaja dilontarkan oleh para kelompok pengekor akal dan hawa nafsu. Mereka dengan genjarnya menyebarkan berbagai syubhat kepada umat islam, khususnya kalangan remaja dan anak muda. Berbagai media telah mereka manfaatkan dan embel-embeli dengan slogan-slogan manis yang pada hakikatnya adalah kebusukan.

Kalau kita tilik lebih mendalam, mereka merupakan kaki tangan orang-orang kafir yang hendak memporak-porandakan generasi muda islam. Orang-orang kafir paham betul bahwa kemunduran dan kehancuran remaja dan pemuda islam, baik dalam akidah, akhlak, ibadah, muamalah dan yang lainnya merupakan cara jitu untuk menghancurkan serta melenyapkan islam dan umatnya dari muka bumi ini.

Syubhat-syubhat mereka sangatlah berbahaya sekali. Di mana hal itu akan membuat kerancuan dalam benak para remaja dan pemuda islam. Dan tidak sedikit dari remaja dan pemuda islam telah tertipu dan teracuni oleh bualan-bualan kotor mereka. Akhirnya mereka pun terbawa dalam pusaran arus besar akan bolehnya pacaran dalam islam menurut pandangan mereka. Semua itu bermuara pada legalisasi pergaulan bebas yang terselubung maupun yang terang-terangan. Syubhat-syubhat itu di antaranya ialah :

Syubhat pertama

Dalam al-Qur’an maupun sunnah tidak ada satupun dalil yang qathi’ yang melarang dan mengharamkan pacaran. Dengan demikian pacaran hukumnya boleh dalam islam. Hal ini dipertegas lagi oleh sebuah kaidah, “Hukum asal dalam semua muamalah adalah boleh sampai ada dalil yang melarangnya.” Pacaran merupakan muamalah. Karena tidak adanya dalil qathi’ yang melarangnya, maka kita kembalikan kepada hukum asalnya, yaitu boleh.

Jawab :

Sungguh syubhat ini sangatlah berbahaya, sesat dan menyesatkan. Memang bungkusnya begitu menarik, tapi isinya begitu busuk. Secara dzahir argumentasi mereka sangatlah baik dan logis (masuk akal). Namun sebenarnya hal itu merupakan bentuk pengekoran terhadap akal dan hawa nafsu, mendewakan serta mentuhankan akal dari segala-galanya.

Akal menjadi neraca dan tolak ukur baik tidaknya segala sesuatu. Secara tidak langsung dirinya mengklaim lebih tahu daripada Allah dan Rasul-Nya. Menganggap syariat islam sudah tidak relevan lagi dan masih banyak kekurangan di sana sini. Padahal Allah berfirman :

“Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan (nya) dari pada Allah?“ (QS. An-Nisa’ : 87)

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?“ (QS. Al-Maidah : 50)

Argumentasi mereka yang tidak berdasar itu merupakan model pemahaman mereka yang parsial dan setengah-setengah terhadap dalil-dalil syari’. Hati suci mereka sebenarnya mengingkari, hanya saja akal dan hawa nafsunya telah menguasai jiwa mereka. Begitulah kondisi mereka yang dengan sengaja hendak memplintir nash-nash untuk memperkuat dan melegitimasi setiap keinginan dan nafsunya.

Memang dalam al-Qur’an dan sunnah tidak ada nash yang secara eksplisit menyebutkan kata pacaran dilarang dan haram hukumnya. Akan tetapi banyak sekali nash-nash qath’i yang melarang perkara-perkara yang banyak dilakukan saat berpacaran. Hal ini menunjukkan bahwa islam melarang pacaran yang di dalamnya tidak terlepas dari perkara-perkara tersebut, seperti memandang lawan jenis yang tidak halal, memegang, bersalaman, berpelukan, ngobrol, ciuman, dan yang lainnya.

Allah berfirman :

“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nur : 30)

“Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya dan memlihara kemaluannya.” (QS.An-Nur : 31)

“Dan janganlah engkau dekati zina, karena hal itu adalah perbuatan keji dan jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra : 32)

Disebutkan dalam sebuah hadits :

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ لاَ وَاللَّهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ غَيْرَ أَنَّهُ بَايَعَهُنَّ بِالْكَلاَمِ 

“Dari Aisyah bahwa ia berkata, “Demi Allah, Rasulullah tidaklah menyentuh tangan salah seorang wanita sama sekali (saat membaiatnya). Namun Beliau membaiat mereka dengan perkataan.” [1]

Imam nawawi berkata, “Dalam hadits ini ada beberapa faidah, yaitu:

- Rasulullah dalam membaiat kaum wanita (mengambil janji setia) hanya dengan ucapan tanpa memegang tangannya.
- Baiat kaum laki-laki dengan ucapan dan memegang tangan mereka.
- Berbicara dengan wanita yang bukan mahramnya dibolehkan saat dibutuhkan dan suara wanita bukanlah aurat. Kemudian tidak boleh menyentuh kulit wanita asing kecuali dalam kondisi darurat, seperti untuk pengobatan, operasi, mencabut gigi, mencelaki mata dan yang lainnya yang mana tak seorang wanita pun yang mampu untuk melakukannya. Saat itu dibolehkan bagi seorang laki-laki untuk melakukannya karena kondisi darurat yang menuntutnya.” [2]

Rasulullah juga bersabda :

إِنِّيْ لَا أُصَافِحُ النِّسَاءَ إِنَّمَا قَوْلِيْ لِامْرَأَةٍ قَوْلِيْ لِمِائَةِ امْرَأَةٍ

“Aku tidaklah berjabat tangan dengan kaum wanita. Perkataanku (dalam mengambil janji setia) untuk seorang wanita telah mewakili seratus orang wanita.” [3]

لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا كَانَ ثَالِثُهُمَا الشَّيْطَانَ

“Janganlah sekali-kali seorang laki-laki menyendiri dengan seorang perempuan (yang bukan mahramnya), melainkan setan menjadi orang ketiganya.” [4]

Nash-nash di atas menunjukan secara gamblang akan haramnya memandang lawan jenis yang bukan mahramnya, menyentuh, memegang, berjabat tangan, ngobrol, berduaan, mencium, bermesraan dan lain sebagainya. Di mana perkara-perkara ini tidak mungkin terlepas saat mereka berpacaran. Dan masih banyak lagi nash-nash lain yang secara sharih melarang perkara-perkara yang banyak dilakukan oleh orang yang berpacaran.

Adapun penerapan kaidah yang mereka sebutkan tidaklah tepat. Dalam kaidah “Hukum asal semua muamalah adalah boleh sampai ada dalil yang melarangnya“ [5] bahwa yang dimaksud muamalah dalam kaidah ini apabila muamalah tersebut tidak bertentangan dengan syariat dan dalil-dalil umum yang ada. Ia bukanlah muamalah yang bersifat mutlak tanpa adanya batasan-batasan syari’ di dalamnya.

Sehingga apabila dalam muamalah tersebut mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan syariat, maka muamalah tersebut menjadi haram hukumnya. Hal ini seperti kaidah “Adat kebiasaan bisa dijadikan sebagai dasar hukum.” [6] Adat kebiasaan dalam kaidah ini bersifat terbatas dan batasannya adalah hukum-hukum syariat. Apabila adat kebiasaan tersebut tidak bertentangan dengan batasan-batasan syari’, maka kaidah di atas bisa diamalkan. Namun jika adat kebiasaan tersebut bertentangan dengan syariat, baik dalil-dalil yang bersifat khusus maupun yang bersifat umum. Maka kaidah tersebut tidak boleh diamalkan.

Apabila kita perhatikan praktik pacaran, maka muamalah yang ada di dalamnya sangatlah bertentangan dengan syariat dan dalil-dalil umum yang ada. Seperti haramnya berjabat tangan dengan lawan jenis, memandang, mencium, menyentuh dan lain sebagainya.

Dengan demikian, sudah sangat jelas dan tanpa ada ragu lagi bahwa praktik pacaran yang banyak dilakukan oleh kalangan remaja dan kawula muda tidak dibolehkan dalam islam dan haram hukumnya. Jika mereka menghendaki kebaikan, maka tinggalkanlah pacaran. Niscaya Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik dan akan merasakan kepada hati mereka betapa lezatnya sebuah keimanan.

Syubhat kedua

Pacaran bisa dijadikan sebagai jalan untuk mengenal lebih dekat sifat dan karakter pasangannya sebelum melaju ke jenjang pernikahan. Dengan cara ini diharapkan rumah tangga yang dibina nantinya akan lebih harmonis karena telah mengetahui karakter satu sama lain dari masing-masing pasangannya.

Jawab :

Perkataan di atas hanyalah sebuah argumentasi dan teori yang tidak berdasar pada agama sama sekali, tapi bersandar pada hawa nafsu dan akal semata-mata. Keharmonisan sebuah rumah tangga bukan hanya dibina dari pengetahuan akan sifat dan karakter masing-masing pasangannya. Akan tetapi lebih dari sekadar itu. Rumah tangga yang harmonis akan terbentuk saat rumah tangga itu dibangun di atas dien yang benar, pengertian masing-masing pasangan akan kekurangan dan kelebihannya, penunaian hak dan kewajiban tanpa lebih dan kurang dari masing-masing anggota keluarga.

Perlu digaris bawahi juga, bahwa kebenaran dan kebaikan tidak boleh ditempuh dengan jalan yang haram dan tidak baik. Mengenal sifat dan karakter calon pasangan hidup lewat jalur pacaran adalah cara-cara yang tidak dibenarkan dalam syariat. Kita juga harus memahami bahwa jodoh adalah rahasia Allah. Dia-lah yang menentukan siapa yang cocok sebagai pasangan hidup kita.

Bisa jadi mereka bisa mengenal dan memahami dengan baik sifat dan karakter calon pasangannya. Akan tetapi ternyata ia bukanlah jodoh kita dan kita tidak bisa membina keluarga bersamanya. Kita juga harus yakin bahwa laki-laki yang shalih adalah untuk wanita-wanita yang shalihah, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji pula.

Allah berfirman :

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).” (QS. An-Nur : 26)

Dengan demikian, cukuplah bagi kita berusaha untuk menjadi hamba yang shalih atau shalihah, niscaya Allah akan memberikan pasangan hidup yang baik. Dengan keberadaan pasangan hidup yang baik inilah akan terbentuk rumah tangga yang harmonis. Dan dari rumah tangga yang harmonis inilah akan tercipta sebuah tatanan masyarakat islami yang indah penuh dengan nilai-nilai ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, pula pengamalan maupun implementasi akan nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an dan as-sunnah.

------------------------------
[1] HR. Bukahri (5288), Muslim (1866) dan Ibnu Majah (2875)
[2] Syarh An-Nawawi ‘Ala Muslim, Imam Nawawi, 13/10
[3] HR. An-Nasai’ (4181), Ibnu Majah (2874), Ahmad (27051 ) dan dalam al-Muatha al-Imam Malik (1775)
[4] HR. At-Tirmidzi (2165) dan Ahmad (114)
[5] Al-Mumti’ Fii Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, hal 141
[6] Ibid, hal 267
Share:

Tidak ada komentar:

PALING BANYAK DIBACA

ARSIP

Followers