Bersama Bahagia Dalam Naungan Islam

Mengapa Pacaran Begitu Menjamur ? ( Bag 1 )

Pacaran merupakan fenomena remaja maupun anak muda yang perlu mendapatkan perhatian khusus bagi kita. Hal ini tidak lain karena para remaja dan anak muda adalah sosok yang akan menjadi generasi penerus dan tulang punggung bangsa maupun agama di masa mendatang.

Apabila sejak dini aqidah, perilaku, akhlak dan ibadah mereka telah keropos dan tidak adanya tindakan prefentif untuk segera menekan dan meminimalisir keadaan mereka, atau mencegahnya sama sekali. Maka kita bisa membayangkan dan menebak apa yang akan terjadi pada bangsa dan umat islam di kemudian hari, sepuluh atau dua puluh tahun ke depan.

Seorang ahli hikmah mengatakan :

شَبَـابُ الْيَوْمِ رِجَـالُ الْغَدِ


Para pemuda yang ada pada hari ini
Adalah sosok pemimpin di kemudian hari

Seorang penyair juga mengatakan :

إنَّ فِيْ يَدِ الشُّــبَانِ بِأَمْرِ الْأُمَّةِ وَإِنَّ فِيْ إِقْدَامِـهَا حـَـيَاتَهَا


Sungguh, di tangan pemudalah urusan umat
Dan dalam perjuangan merekalah umat ini akan tetap hidup


Fenomena pacaran yang telah menjamur dan meluas di kalangan remaja dan anak muda tidaklah muncul begitu saja tanpa ada sebab-sebab yang melatarbelakanginya. Kalau ditilik secara seksama, maka banyak sekali faktor-faktor yang ikut andil dalam melatarbelakangi munculnya fenomena pacaran di kalangan mereka, baik yang mempengaruhinya secara langsung maupun tidak langsung.

Dan beberapa faktor tersebut dapat penulis klasifikasikan menjadi dua, yaitu :

Faktor pertama : Faktor internal
Faktor kedua    : Faktor eksternal

Faktor Internal

Adapun beberapa faktor internal yang memicu dan melatarbelakangi merebaknya dunia pacaran di kalangan remaja dan anak muda di antaranya ialah :

1. Minimnya pemahaman agama yang dimiliki

Ini merupakan faktor utama dan pertama yang menjerumuskan seorang remaja muslim dan muslimah ke dalam lembah hina sebuah pacaran. Padahal pengetahuan dan pemahaman agama yang benar menjadi benteng pertahanan yang kuat dari buruknya nilai-nilai dan perilaku yang tidak islami yang sudah menjamur di berbagai lingkungan dan strata sosial maupun pendidikan.

Bisa dibayangkan apabila sebuah kerajaan yang besar tidak di bentengi oleh sebuah benteng pertahanan yang kuat dan kokoh, baik yang bersifat fisik manupun non fisik. Maka ia dipastikan menjadi sebuah kerajaan yang kekuasaannya tidak akan langgeng karena mudahnya diserang dan disusupi oleh musuh-musuhnya.

Lihatlah imperium romawi dan Persia sebelum datangnya islam di jazirah arab. Keduanya menjadi kerajaan terbesar dan terkuat saat itu yang ada di daratan eropa dan asia. Prestasi besar ini di dukung oleh kokohnya benteng pertahanan dan kuatnya bala tentara yang mereka miliki.

Demikian juga dengan kejayaan islam pada zaman Rasulullah dan sahabatnya. Mereka memiliki benteng pertahanan terkuat dan strategi yang jitu yang pernah dikenal oleh sejarah dunia. Benteng pertahanan itu telah menanjap dan tertanam kuat lagi kokoh di dada-dada para sahabat beliau dan kaum muslimin yang lainnya. Benteng itu tidak lain adalah aqidah yang shahih dan pemahaman yang benar terhadap ajaran agama islam yang langsung mendapatkan bimbingan dan pengawasan dari Rasulullah. Sehingga mereka benar-benar lurus dalam ilmu dan amal.

Inilah benteng terkuat yang telah mengantarkan kaum muslimin kepada masa keemasan dan kejayaan islam. Dimana dua imperium raksasa eropa dan asia tidak mampu menumbangkannya, bahkan akhirnya kedua imperium itu bertekuk lutut dan tumbang di hadapan kekuasaan islam.

Pengetahuan dan pemahaman agama yang benar memiliki nilai dan urgensi yang sangat berharga. Karena dengannya Allah menghendaki kebaikan terhadap diri orang tersebut.

Rasulullah bersabda :

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ


“Barangsiapa Allah menghendaki kebaikan pada diri seseorang, maka ia akan memahamkan kepadanya agama ini.” [1]

Hadits di atas merupakan dalil yang qath’i (yang tak terbantahkan) bahwa seorang muslim yang berada pada ilmu dan pemahaman yang benar sesuai dengan apa yang dipahami oleh para salafusshalih dari para sahabat, maka ia akan lurus dan selamat dalam mengamalkan ajaran islam. Dirinya akan jauh dari berbagai penyimpangan dan kesesatan, baik dalam hal aqidah, ibadah, akhlak, muamalah dan yang lainnya. Inilah kebaikan yang akan didapatnya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah terhadapnya.

Ilmu dan pemahaman yang benar tidaklah datang begitu saja tanpa ada usaha untuk mencarinya. Ia tidak seperti hujan yang datang turun dari langit untuk menyirami permukaan bumi. Hal ini dikarenakan manusia pada asalnya adalah bodoh.

Allah berfirman:

“Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh.” (QS. Al Ahzab: 72)

“ Sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit.” (QS. Al Isra’: 85)

Adapun pemahaman yang ada pada diri seseorang cenderung menyimpang untuk mengikuti ajakan hawa nafsunya. Hal ini dikarenakan akal manusia sangat terbatas untuk menuntun jiwanya dalam beribadah kepada Allah. Dari sinilah kemudian diutusnya para Rasul dan diturunkannya kitab-kitab sebagai pedoman serta jalan hidup yang lurus dalam beribadah.

Dengan demikian antara ilmu, pemahaman yang benar dan menutut ilmu memiliki korelasi yang sangat erat. Ia bagaikan dua mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Ilmu akan terkumpul dengan cara belajar, sedangkan pemahaman yang benar akan diperoleh dari penjelasan para salaf dan ulama ahlus sunnah wal jamaah.

Rasulullahbersabda :

إِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ وَإِنَّمَا الْحِلْمُ بِالتَّحَلُّمِ


“Ilmu itu diperoleh dengan belajar, sedangkan sifat lemah lembut didapat dengan membiasakannya.” [2]

Seorang penyair berkata :

تَعَلَّمْ فَلَيْسَ المَرْءُ يُوْلَدُ عَالِمًا وَلَيْسَ أَخُوْ عِلْمٍ كَمَنْ هُوَ جَاهِلُ
وَإِنَّ كَبِيْرَ القَوْمِ لاَعِلْمَ عِنْدَهُ صَغِيْرٌ إِذَا الْتَفَّتْ عَلَيْهِ المَحَافِلُ


Belajarlah, seorang itu tidak terlahir pandai
Orang berilmu tidaklah seperti orang yang bodoh
Sungguh, sang pemimpin yang bodoh
Menjadi hina di hadapan majelisnya para alim

Allah telah memerintahkan kepada Rasulullahuntuk senantiasa meminta tambahan ilmu bukan harta maupun tahta.

Allah berfirman :

“Dan katakanlah, “ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku.” (QS. Thaha: 114)

Ini menunjukan akan kedudukan menuntut ilmu yang begitu mulia. Perhatikanlah, seorang Rasul saja yang terpelihara dari dosa diperintahkan untuk senantiasa meminta tambahan ilmu, maka kita sebagai manusia biasa lebih berhak untuk meminta kepada Allah tambahan ilmu agar ibadah dan seluruh aktivitas kita benar-benar berdiri di atas ilmu yang benar.

Akan tetapi fenomena sekarang ini sangat jauh dari petunjuk Rasulullah dan para sahabatnya. Mayoritas orientasi hidupnya adalah kehidupan dunia dengan berbagai kenikamatannya yang bersifat fana dan sesaat. Mereka saling berlomba-lomba untuk mengumpulkan harta dan bermegah-megahan dalam urusan tempat tinggal, gaya hidup, dan perilaku yang lainnya.

Ini merupakan salah satu tanda dekatnya hari kiamat dimana mereka sebenarnya adalah orang-orang yang miskin namun kemudian saling berbangga-bangga untuk meninggikan bangunan, memaksa dirinya yang miskin agar terlihat seperti orang yang kaya. Sehingga waktunya habis terporsir untuk mengurus harta dan urusan dunia yang lainnya. Sedangkan masalah agama mereka marginalkan dan tidak dilakukannya melainkan hanya sekedarnya.

Inilah salah satu sebab yang menjadikan mereka jauh dari ilmu dan menghalangi dirinya dari sumber-sumber ilmu, baik para ulama, kitab-kitab yang telah mereka tulis, majelis ilmu, media cetak maupun elektronik dan yang lainnya. Jauhnya mereka dari mengaji, majelis ta’lim dan pusat-pusat studi islam telah membuatnya dangkal terhadap agama. Sehingga melakukan apa yang dilarang oleh agama dan membudayakan adat istiadat yang tak selaras dengan agama.

Disamping itu cara belajar mereka dan pemahamannya terhadap agama masih masih bersifat parsial. Mereka sudah merasa cukup saat mereka sudah bisa membaca al-Qur’an, shalat, puasa atau haji. Padahal pemahaman dan pengetahuan terhadap pokok-pokok agama ini masih bersifat parsial, sehingga tidak jarang kita mendapati mereka jauh daripada tuntunan Rasulullah tentang shalat, zakat, puasa, dan haji yang benar.

Dengan demikian, pengetahuan dan pemahaman mereka yang parsial menjadi bertumpuk-tumpuk. Lebih-lebih memahami yang furu’ (cabang-cabang agama), pemahaman terhadap pokok-pokok agama saja masih jauh dari cukup apalagi sempurna. Kondisi ini menyebabkan mereka melakukan apa yang diharamkan oleh Allah, menganggap remeh sebuah dosa dan kemaksiatan, hanya memikirkan kenikmatan sesaat yang mereka rasakan dan bersikap anti pati terhadap pengaruh buruk yang bakal terjadi terhadap dirinya, keluarga, lingkungan dan juga agama islam.

Apabila masing-masing individu memiliki karakter semacam ini, maka dapat dipastikan bahwa budaya buruk pacaran di kalangan remaja akan semakin marak dan sulit untuk dihilangkan. Bisa jadi kondisinya akan semakin parah dan mengerikan yang akhirnya membentuk sebuah perilaku yang sangat buruk namun dianggapnya sesuatu yang lumrah dan wajar.

Penulis sangat mengkawatirkan akan terbentuknya sebuah komunitas dan masyarakat yang membiarkan adanya pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan sebagaimana halnya yang telah terjadi di Negara-negara barat. Sungguh, apabila hal ini terjadi di masyarakat kita, maka hidup ini akan menjadi terasa sempit, kacau dan mengerikan.

Akhir-akhir ini telah bermunculan indikasi-indikasi nyata yang mengarah kepada penghalalan pergaulan bebas antar kaum laki-laki dan perempuan. Di antaranya ialah budaya pacaran di kalangan anak muda dan remaja. Lebih-lebih di daerah perkotaan yang dikenal dengan tingkat egoisme dan gaya hidup glamor yang sangat tinggi. Di mana banyak sekali ditemukan perilaku dan pergaulan yang mengarah kepada perkara tersebut. Namun yang lebih menyedihkan lagi bahwa kondisi ini telah menyusup ke berbagai pelosok perkampungan dan pedesaan bersamaan dengan masuknya media informasi dan komunikasi seperti televisi, handphone, internet dan yang lainnya. 

2. Hawa nafsu dan syahwat yang menggelora tanpa kendali

Ini adalah dua penyakit yang menjadi api kejahatan yang siap membakar cahaya iman dan taqwa seorang muslim. Hal ini dikarenakan benteng pertahanan dirinya yang rapuh, sehingga menjadikan kedua musuh kebenaran ini dengan mudah menyusup masuk dan mengoyak pertahanan yang masih tersisa yang kemudian merusak kelurusan hatinya, menghancurkan keimanannya dan melemparkan dirinya ke lembah kehinaan dan kehancuran. Sungguh, keduanya merupakan musuh dalam selimut bagi seorang muslim yang sangat berbahaya dimana sewaktu-waktu ia siap untuk menghancurkan kekuatan imannnya tatkala lengah dari penjagaan.

Ketahuilah bahwa manusia tidak akan terlepas dari nafsu dan syahwat. Oleh karena itu, manusia yang baik adalah mereka yang mampu mengekang nafsu dan syahwatnya, mengendalikan keduanya dan menuntunnya ke jalan ketaatan kepada Allah.

Sesungguhnya nafsu itu senantiasa mendorong manusia untuk melakukan perbuatan dosa, maksiat dan kejahatan kecuali nafsu yang dirahmati oleh Allah. Sekiranya kita tidak memelihara hati ini dari keburukannya dan tidak membentengi diri dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah, niscaya ia akan menenggelamkan kita ke dalam lumpur kesengsaraan dan kehinaan.

Allah berfirman :

“Sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (QS. Yusuf : 53)

Nafsu akan senantiasa mendorong hati manusia untuk selalu berbuat dosa, jahat dan maksiat. Mulai dari kejahatan yang paling besar sampai kepada kejahatan yang paling kecil sekalipun. Kejahatan yang terbesar adalah kesyirikan dalam beribadah kepada Allah. Kemudian diikuti oleh tingkat kejahatan dibawahnya seperti dosa-dosa besar, perbuatan bid’ah, kemaksiatan dan dosa-dosa kecil yang lainnya. Demikianlah, bahwa nafsu tidak akan pernah tidur dan istirahat untuk menjerumuskan manusia kepada perbuatan dosa dan jahat sampai kematian menjemputnya.

Abdullah bin Mubarak bersenandung syair : [3]

وَمِنَ الْبَلَايَا لِلْبَلَاءِ عَلَامَةٌ أَلَا يُرَى لَكَ مِنْ هَوَاكَ نُزُوْعٌ
العَبْدُ عَبْدُ النَّفْسِ فِي شَهَوَاتِهَا وَالْحُرُّ يَشْبَعُ تَارَةً وَيَجُوْعُ


Di antara sekian bencana terdapat sebuah tanda bagi bencana yang paling besar
Yaitu engkau tidak melihat bahwa hawa nafsu menarik dirimu
Budak yang sebenarnya adalah jiwa yang menyembah hawa nafsu
Sementara orang yang merdeka terkadang kenyang dan terkadang lapar


Nafsu ibarat bayi yang terus menetek kepada ibunya. Apabila sang ibu tidak menyampihnya pada waktu yang sudah tepat baginya dan ia terus membiarkan anaknya menetek, maka meskipun anak tersebut telah beranjak besar ia akan terus menetek kepada ibunya. Jika sang ibu hendak membebaskan anaknya dari kebiasaan buruk tersebut, tentu dirinya harus bekerja ekstra untuk memaksa dan berjuang agar anaknya tidak menetek lagi.

Dan hal ini akan lebih mudah apabia sang ibu sejak dini telah menyapihnya pada usia yang tepat. Sehingga tatkala anaknya telah beranjak besar, ia tidak akan mungkin menetek lagi kepada ibunya. Demikian juga dengan nafsu yang ada pada diri seseorang. Kasusnya sama persis di antara keduanya.

Sehingga ada seorang penyair yang mengatakan :

النَفْسُ كَالطِفْلِ إِنْ تُهْمِلْهُ شَبَّ عَلَى 
حُبِّ الرَضَاعِ وَإِنْ تَفْطِمْهُ يَنْفَطِمُ

Nafsu bagaikan seorang bayi
Bila dibiarkan ia akan terus menetek sampai dewasa
Namun, jika engkau menyapihnya
Ia pun akan berhenti darinya


Di samping itu hati manusia juga akan dihadapkan pada fitnah syahwat dan syubhat. Syahwat adalah keinginan atau kehendak hati untuk menjauhi semua jenis ketaatan kepada Allah. Fitnah syahwat akan merusak setiap bentuk ketaatan dan ibadah kepada Allah. Adapun syubhat ialah setiap perkara yang menyelisihi wahyu dan berita-berita yang datang dari sisi Allah baik yang terdapat di dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah. Fitnah ini akan merusak ilmu dan keyakinan yang benar dari seorang muslim.

Kedua fitnah ini sangat berbahaya terhadap eksistensi seorang muslim. Karena fitnah ini akan menghancurkan ilmu, keyakinan dan ibadah yang benar dari seorang muslim. Apabila ketiga perkara ini telah tertanam kuat, maka ia akan membawa seorang muslim kepada kesesatan dan akhirnya keluar dari dinul islam yang mulia ini. Na’udzubillah mindzalik

Imam Ibnul Qayyim mengatakan. “Semua fitnah bersumber dari mendahulukan pendapat atas syariat (agama) dan mendahulukan hawa nafsu atas akalnya. Yang pertama menjadi sumber fitnah syubhat dan yang kedua menjadi sumber fitnah syahwat. Fitnah syubhat dapat dicegah dengan keyakinan dan fitnah syahwat di cegah dengan kesabaran. Oleh karena itu, Allah menjadikan kepemimpinan agama harus bergantung pada dua sifat ini.

Allah berfirman:

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami selama mereka sabar. Mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. AS-Sajdah: 24)

Hal ini menunjukan bahwa kepemimpinan agama hanya akan diperoleh dengan kesabaran dan keyakinan. Demikian juga firman Allah:

“Serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr : 3)

Jadi, usaha saling menasehati untuk kebenaraan akan menolak fitnah syubhat dan kesabaran akan mencegahnya dari fitnah syahwat.“[4]

Kedua Fitnah di atas akan menentukan pada kondisi hati seorang muslim. Apabila hatinya mau menerima tawaran dan memberikan ruang bagi kedua fitnah tersebut, maka ia akan menjadi hati yang hitam kelam. Ia diibaratkan seperti sebuah mangkok yang terbalik. Tidak bisa diisi air ataupun makanan.

Demikian juga dengan hati yang hitam kelam, ia tidak bisa menerima kebenaran dan kebaikan yang datang kepadanya, tidak mampu membedakan antara yang hak dan yang batil, yang ma’ruf dan yang munkar serta akan selalu mengajak orang lain kepada jalan kesesatan maupun keburukan. Sehingga hatinya akan semakin jauh dari Allah dan akhirnya kesengsaraan serta kehinaanlah yang akan didapatnya.

Apabila hatinya menolak tawaran tersebut dan tidak memberikan ruang sedikit pun baginya, maka ia akan menjadi hati yang bening dan mengkilap. Ia diibaratkan sebuah mangkok yang utuh dan tidak terbalik. Maka dengan mudahnya untuk menampung air ataupun diisi dengan makanan dan hal-hal lainnya yang baik dan bermanfaat.

Begitu juga hati yang bening, ia akan mudah untuk menerima setiap kebenaran dan kebaikan yang ada dihadapnya, mampu membedakan antara yang hak dari yang batil, yang ma’ruf dari yang munkar serta akan mengajak dan menuntun orang lain ke jalan yang benar dan memperingatkan mereka dari jalan yang sesat.

Hawa nafsu dan syahwat bisa menyerang siapa saja, baik orang mukmin maupun kafir, remaja dan orang dewasa, orang kaya maupun miskin, para raja dan hamba sahaya, tidak terkecuali seorang Nabi. Adalah Nabi Yusuf yang hampir saja terjerumus kepada perbuatan keji saat dihadapkan pada rayuan seorang wanita cantik jelita yang merupakan isteri pembesar Negeri Mesir. Sekiranya ia tidak melihat tanda-tanda kebesaran Tuhannya dan tidak dikuatkan oleh keimanannya kepada Allah, niscaya ia akan terseret oleh hawa nafsu dan syahwatnya yang sedang menggelora untuk melakukan perbuatan keji tersebut.

Allah berfirman :

“Dan sungguh, perempuan itu telah berkehendak kepadanya (Yusuf), dan Yusuf pun berkehendak kepadanya, sekiranya dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah Kami palingkan darinya keburukan dan kekejian. Sungguh, dia (Yusuf) termasuk hamba Kami yang terpilih.” (QS. Yusuf : 24)

Allah telah memelihara para Nabi dan Rasul dari perbuatan dosa dan maksiat. Karena mereka adalah sosok yang akan menjadi contoh dan tauladan bagi umatnya.

Bisa dibayangkan oleh kita, Nabi Yusuf hampir saja terjerumus ke dalam perbuatan keji. Kalau bukan karena keimanan yang tinggi kepada Allah, niscaya ia akan terjatuh ke dalamnya. Namun kemudian Allah menjaganya dari perbuatan dosa dan maksiat, memelihara hatinya dari kecenderungan untuk berbuat dosa. Maka bagaimana dengan kita yang memiliki keimanan yang tidak stabil, kadang naik dan kadang turun. Kecenderungan untuk berbuat dosa dan maksiat pasti jauh lebih besar. Sehingga apabila keimanan tidak dipupuk dan dipelihara dengan baik, niscaya kita akan dengan mudah untuk tergelincir ke dalam perbuatan maksiat mapun dosa.

Demikian juga para remaja dan anak muda, jika mereka tidak pandai menjaga hatinya dengan keimanan kepada Allah, tidak rajin memupuknya dengan ibadah dan taqarub kepada-Nya, serta tidak memelihara dirinya dari hal-hal yang akan melemahkan jiwa dan imannya, maka mereka pun akan dengan mudah terseret oleh hawa nafsu dan syahwatnya untuk melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah, seperti budaya pacaran yang sarat dengan kemaksiatan dan dosa di dalamnya.

Apalagi hal ini diperkuat oleh kondisi kejiwaan, fisik, emosional dan gairah yang jauh lebih besar untuk mengikuti nafsu dan syahwatnya dibandingkan mereka yang sudah menginjak usia lanjut. Walaupun hal ini tidak menafikan adanya orang tua yang lebih condong untuk mengikuti nafsu dan syahwatnya. Akan tetapi di sini kita melihat keumuman yang banyak terjadi di masyarakat.

3. Jerat problematika pribadi dan solusi yang salah

Setiap orang yang hidup di dunia ini tidak akan terlepas dari problem atau masalah hidup, baik perkara yang menyangkut pribadinya, keluarga, lingkungan masyarakat, atau hal-hal yang berkaitan dengan masalah ekonomi, etika pergaulan, sikap ataupun yang lainnya. Semua itu sudah menjadi sunatullah dan fitrah yang pasti akan dialami oleh setiap insan. Sehingga sudah selayak bagi kita untuk menerima semua ini dengan baik dan menghadapinya dengan tenang dan sikap yang bijak. Hanya saja kesalahan yang sering terjadi terletak dalam menyikapi setiap masalah yang menimpanya dan solusi-solusi yang mereka tempuh untuk keluar dari masalah tersebut.

Bagi mereka yang mengetahui hakikat ini dengan baik, maka ia akan bersabar di dalamnya dan mengembalikan semua perkara itu kepada kehendak Allah, karena Dia-lah yang mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Di samping itu mereka bukan hanya bersandar pada ketentuan Allah tanpa adanya usaha untuk mencari solusi terhadapnya. Karena hal ini tidak mencerminkan sikap tawakal yang benar kepada Rabbnya. Dimana tidak adanya salah satu unsur yang melengkapi kesempurnaan tawakal, yaitu unsur kedua berupa usaha untuk mencari solusi agar bisa keluar dari musibah yang menimpanya dengan melakukan sebab-sebab yang dibolehkan oleh syariat. Kedua unsur tawakal tersebut layaknya dua mata koin yang tidak dapat dipisahkan. Masing-masing saling melengkapi kekurangan yang lainnya yang akan menyatu menjadi kesatuan yang kuat dan kokoh.

Apabila hilang salah satu unsur dari kedua unsur tawakal di atas, maka sikap tawakal akan menjadi pincang dan tidak sempurna. Tawakal semacam ini tidaklah diperbolehkan dalam islam. Karena jika hanya bersandar kepada Allah, ia akan menjadi seorang pemalas yang gemar berpangku tangan tanpa mau bekerja, karena ia mengira bahwa Allah sudah menentukan keputusan terbaik bagi dirinya.

Begitu pula sebaliknya, jika ia hanya disibukan oleh usaha dan bekerja tanpa mau menyerahkan hasil akhirnya kepada Allah, ia akan menjadi manusia yang sombong tatakala berhasil, karena dirinya mengira bahwa keberhasilan yang diperolehnya adalah hasil keringatnya sendiri yang murni. Akhirnya ia mengingkari setiap nikmat dan karunia yang diberikan oleh Allah terhadapnya. Dan apabila dirinya gagal dalam usahanya, ia berputus asa dan tidak mau menerima takdir Allah yang telah ditentukan terhadapnya. Akhirnya ia menjadi sosok yang lemah dan selalu berperasangka buruk kepada Allah.

Sikap tawakal yang benar telah ditunjukkan oleh Rasulullah terhadap para sahabatnya. Hal ini terjadi ketika datang seorang laki-laki yang membawa untanya kepada beliau dan mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah aku harus mengikatnya kemudian bertawakal, atau melepaskannya kemudian bertawakal? ”Akhirnya Rasulullah bersabda: “Ikatlah kemudian bertawakallah kepada Allah.”[5]

Dari kisah di atas kita dapat mengetahui bahwa tawakal yang benar apabila seseorang itu menyerahkan urusannya kepada Allah setelah melakukan sebab-sebab yang dibolehkan oleh syariat.

Sahl bertutur, “Barangsiapa cacat dalam berikhtiar berarti cacat dalam sunnah. Barangsiapa cacat dalam bertawakal berarti cacat dalam iman. Tawakal adalah sikap Nabi dan ikhtiar adalah sunnahnya. Barangsiapa bersikap seperti Nabi, janganlah ia meninggalkan sunnahnya.”[6]

Di samping itu, orang yang memahami hakikat ini dengan baik ia akan sadar bahwa setiap masalah maupun musibah yang menimpanya tidaklah terjadi melainkan karena kehendak Allah. Sehingga tidak ada jalan lain untuk ditempuhnya melainkan sikap sabar dan tawakal yang benar. Karena ini adalah jalannya para Nabi dan Rasul serta orang-orang shalih saat mereka diterpa oleh lika liku problematika kehidupan.

Allah berfirman :

“Tidak ada suatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah. Dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya.” (QS. At-Taghabun : 11)

Hal yang sangat berbeda dilakukan oleh orang-orang yang tidak memahami hakikat tersebut dengan baik. Ia tidak bersabar di dalam mengahadapinya dan berusaha untuk lari dari masalah yang palang melintang di hadapannya. Dengan harapan masalah pribadinya akan segera sirna lewat jalan yang instant dan pintas. Sehingga dirinya terbebas dari jeratan problem yang menimpanya. Padahal lari dari sebuah masalah tidak akan menyelesaikan sebuah masalah yang telah menumpuk di hadapannya. Bahkan ia akan memperkeruh dan menjadikannya semakin rumit.

Bagi kalangan remaja yang masih labil tingkat emosi dan kepribadiannya, secara umum saat dirinya ditimpa oleh sebuah masalah, ia pasti akan mencari tempat pelarian untuk mencurahkan seluruh isi hatinya dan unek-unek yang ada di dalamnya. Hal itu dilakukannya secara spontan tanpa berpikir dua kali dan tidak memandang kepada siapa dirinya sedang curhat dan menceritakan seluruh rahasia pribadinya. Ia tidak mau memilah milih dan sharing, yang terbesit hanya problem pribadi yang cepat hilang dan dirinya terlepas dari pahitnya problem itu. Di samping itu, jarang dari para remaja yang mau bersikap terbuka kepada kedua orang tuanya, terutama terhadap ibunya yang paling dekat terhadap anak-anaknya apalagi terhadap ayah mereka.

Mereka masih menyimpan rasa takut dan perasaan yang lainnya untuk berterus terang kepada kedua orang tuanya.mengenai masalah yang ada dibenaknya. Mereka justru lebih terbuka terhadap teman-temannya, terutama sahabat karibnya yang mereka kenal sebagai pacarnya. Inilah kenyataan yang terjadi pada kalangan remaja maupun anak muda. Sungguh sulit untuk mengubah paradigma ini yang seakan-akan telah mendarah daging pada mereka. Butuh waktu, keuletan, kesabaran serta kerjasama berbagai pihak untuk menuntun dan mengubah paradigma keliru mereka.

Kondisi ini diperparah dengan keterbatasan ilmu dan pemahaman yang benar terhadap agama yang ada dalam dirinya. Sehingga ia tak segan-segan menjalin hubungan asmara dengan temannya untuk dijadikan sebagai pacarnya. Di mana hal itu dimaksudkan sebagai tempat yang tepat untuk melakukan curhat dan menghilangkan kepenatan pikiran akibat masalah-masalah pribadi yang menimpanya.

Dirinya berharap keberadaan pacar bisa meringankan beban hidupnya, menyelesaikan masalah yang ada, menghilangkan kejenuhan dan kepenatan pikiran, dan bisa menjadi motivator dan penginspirasi agar hidupnya menjadi lebih semangat dan terarah. Dalam pandangannya pacar itu memiliki posisi yang sangat urgen dan strategis. Ia juga memiliki kebanggaan tersendiri saat memiliki sang pacar. Di samping hidupnya menjadi lebih semangat, ia juga membuat hidup ini penuh warna dan pesona yang indah.

Mereka yang memiliki tipe dan mental semacam ini tidak menyadari bahwa jalan hidup yang ditempuhnya telah menyimpang jauh dari petunjuk Rasulullah. Di saat berpacaran ia tak sadar telah melakukan banyak sekali larangan-larangan agama. Kenapa ini bisa terjadi ? Tidak lain adalah kedangkalan ilmu dan pemahaman mereka terhadap agama ini. Ia tidak mengenal mana yang diperintahkan dan mana yang dilarang, mana yang ma’ruf dan mana yang munkar. Yang ia kenal hanya shalat, puasa, zakat. Padahal di dalam masalah ini saja mereka masih sangat minim ilmu dan pemahamannya. Sehingga tidak memberikan pengaruh positif sedikit pun terhadap setiap aktivitas kesehariannya.

Mereka juga telah salah kaprah dalam mencari solusi-solusi terhadap setiap problem pribadinya. Mereka tidak kembali kepada jalan Allah dan Rasul-Nya untuk bisa keluar dari lilitan derita musibahnya, melainkan mencari sendiri solusi-solusi terhadapnya yang diadopsi dari budaya-budaya barat yang sarat dengan nilai-nilai yang hina dan menyimpang. Dengan demikian siapa saja yang diterpa oleh badai problem pribadi hendaknya ia bersabar di dalamnya dan kembali kepada jalan Allah dan Rasul-Nya untuk bisa keluar dari himpitan pahitnya. Barangsiapa yang tidak mau bersabar dan kembali ke jalan agama, niscaya ia akan terjerumus ke dalam problem baru yang lebih besar dan membuat semakin rumit masalah yang sedang menimpanya. Akhirnya kehinaan dan kesengsaraanlah yang akan didapatnya. 

4. Gelora pubertas dan kebanggaan diri saat tampil beda

Sebenarnya faktor ini bersifat fitrah dan akan dialami oleh setiap orang yang mulai menginjak usia remaja. Di saat usia ini sifat pubertasnya mulai muncul dan secara alamiah ia akan merasa tertarik terhadap lawan jenisnya. Mulailah ia terlihat untuk tampil beda dan rapih dandanannya agar lebih menarik dan menjadi pusat perhatian setiap lawan jenisnya.

Hal ini tidak terbatas pada penampilan secara lahiriah saja tapi juga terlihat dari perilaku, gaya bicara, isi pembicaraan, emosi dan aktivitas-aktivitas lainnya yang sudah sangat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh anak-anak kecil pada umumnya. Semua ini adalah sebuah kewajaran dan sudah menjadi fitrah manusia, namun menjadi tidak wajar jika hal itu melebihi porsi yang dibolehkan oleh agama.

Kebanyakan dari kalangan remaja di saat menginjak usia pubertas melakukan hal-hal yang terlarang di dalam agama. Di antaranya terjun ke dalam dunia pacaran yang di dalamnya sarat dengan syahwat dan syubhat. Di antara syubhat yang telah menyebar bahwa pacaran adalah perkara yang wajar dan wadah yang tepat serta tidak berbahaya untuk menyalurkan masa pubertas seorang remaja. Karena dengan cara ini mereka akan semakin dekat dengan lawan jenisnya yang telah menjadi pasangan dalam berteman.

Di samping itu, mereka menganggap bahwa hal itu akan sangat membantu dalam mengenali karakter, sifat, watak dan kepribadiannya masing-masing. Yang mana hal tersebut bisa menjadi modal yang sangat berharga sebelum mereka melanjutkan hubungan yang lebih serius, yaitu ikatan pernikahan. Apabila terdapat kecocokan di antara keduanya, diharapkan jalinan rumah tangga mereka kelak akan semakin langgeng. Karena masing-masing telah mengenal dengan seksama sifat dan watak dari pasangannya. Mereka telah mengetahui kelemahan dan kelebihannya masing-masing, sehingga terjalin sikap saling pengertian yang membuat hubungannya semakin erat di antara mereka.

Adapun jika tidak terdapat kecocokan di antara keduanya, mereka tidak melanjutkannya ke jenjang pernikahan. Karena di kawatirkan rumah tangganya tidak akan tercipta dengan harmonis dan langgeng. Sehingga pacaran memiliki posisi yang sangat urgen untuk mengantisipasi terjadinya hal-hal buruk yang tidak diinginkan oleh mereka yang hendak membina kehidupan rumah tangga yang harmonis dan langgeng.

Sungguh, ini merupakan salah satu syubhat dan pemikiran kotor orang-orang yang hendak menghancurkan para generasi muda islam. Mereka telah mengemas syubhat ini sedemikian rupa dengan begitu halus dan rapihnya, sehingga racun-racun kehidupan yang sangat membahayakan para genarasi muda terlihat begitu indah dan menarik dalam pandangan mereka. Mereka tidak menyadari bahwa madu yang mereka teguk ternyata penuh berisi racun yang akan mematikan jiwa dan raganya.

Ketahuilah, bahwa niat dan tujuan yang baik harus ditempuh dengan jalan dan metode yang baik pula. Sedangkan niat dan tujuan yang tidak baik selama-lamanya tidak bisa menghalalkan cara-cara yang kotor demi tercapainya tujuan tersebut. Apalagi harus menempuh cara-cara yang sangat bertentangan dengan ajaran agama islam. Sebagimana sebuah kaidah ushul mengatakan :

الغَايَةُ لَا تُبَرِّرُ الْوَسِيْلَةَ


“Tujuan itu tidak bisa menghalalkan segala wasilah ( cara).”

Maka menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan termasuk dalam usaha menghalalkan apa yang telah diharamkan oleh Allah atau mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah. Sungguh, ini adalah perbuatan yang sangat keji, karena secara langsung ia telah menuduh hukum Allah tidak sempurna dan sudah tidak relevan lagi bagi kehidupan manusia sekarang ini. Padahal Allah telah berfirman:

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai islam sebagai agamamu.(QS. Al-Maidah : 3)

Dengan demikian, pacaran bukanlah solusi untuk menyalurkan masa pubertas seorang remaja. Tapi justru sebaliknya, pacaran akan menjadi sejarah buruk bagi masa pubertas seorang remaja dan akan mejauhkan dirinya dari nilai-nilai luhur seorang muslim yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Kalau kita tilik lebih dalam lagi, sebenarnya islam telah mengatur secara apik dan mulia akan kehidupan para remaja. Justru mereka di arahkan kepada proses pendidikan dan pembentukan karakter yang mulia, karena masa remaja adalah masa-masa yang masih labil dan mereka berada dalam proses pencarian jati diri maupun kepribadian yang sesungguhnya.

Sehingga metode dan proses pendidikan maupun pengarahan yang benar sangat berpengaruh terhadap terbentuknya jati diri dan kepribadian yang mulia pada diri seorang muslim di kemudian hari. Jika masing-masing individu memiliki karakter dan kepribadian yang baik dalam bingkai-bingkai syariat, maka hal ini sangat berpengaruh terhadap terbentuknya suatu komunitas dan masyarakat yang baik yang menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran islam.

Demikianlah beberapa faktor internal yang menjadikan seorang remaja terjebak dalam lingkaran api setan yang dikemas dalam kata pacaran. Sebuah lingkaran maut yang akan mencekik kemuliaan dan masa depan seorang remaja. Ia adalah lingkaran api yang bisa membakar apa dan siapa saja yang berani bermain-main di dalamnya.

------------------------
[1] HR. Bukhari (3116), Muslim (2436), At-Tirmidzi (2645) dan Ahmad (2791)
[2] HR. Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir (1763) dan dalam al-Mu’jam al-Ausath (2663). Sedangkan Imam Bukhari meriwayatkan secara mu’alaq di dalam Shahih-nya pada bab 11 tentang al-Ilmu qobla al-qaul wal ‘amal (ilmu sebelum perkataan dan perbuatan).
[3] Homoseks, Bahaya dan Solusinya, hal 135
[4] Ighotsatul Lahwan , Ibnul Qoyyim al-Jauziyah, hal 469
[5] HR. At-Tirmidzi (2517)
[6] Tazkiyatun Nafs, Konsep Penyucian Jiwa Menurut Ulama Salafushshalih, hal 123
Share:

Tidak ada komentar:

PALING BANYAK DIBACA

ARSIP

Followers