Bersama Bahagia Dalam Naungan Islam

Keluar Dari Lingkaran Api Pacaran

Pacaran merupakan sebuah problematika remaja dan anak muda yang sudah tidak asing lagi. Sebenarnya, kalau kita melihat realita. Konteks sebuah pacaran tidak terbatas pada kalangan remaja yang belum menikah. Ia juga bisa menjangkit orang-orang yang sudah berumah tangga yang notabene mengalami broken home. Berawal dari ketidakpuasan dan hilangnya rasa kepercayaan terhadap pasangannya menjadikan mereka mencari tempat pelarian di luar rumah untuk mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari orang lain.

Kalau ditinjau dari definisi umum pacaran, perkara ini masuk dalam pengertian pacaran secara umum. Karena di dalamnya adanya ikatan cinta dan kasih antara dua pasangan lawan jenis yang bukan mahramnya. Namun, Istilah mengenai kasus ini lebih dikenal dengan perselingkuhan yang terjadi dalam sebuah rumah tangga. Lagi-lagi semua masalah ini berakar dari buruk dan minimnya pengetahuan ilmu syar’i dan pemahaman yang benar terhadap islam.

Adapun istilah pacaran lebih cocok dan lebih populer untuk kalangan remaja dan anak muda yang sedang dimabuk cinta. Karena faktanya kita lebih banyak menemukan kasus semacam ini pada kalangan remaja dan anak muda dari pada kalangan orang-orang yang sudah membina rumah tangga. Oleh karena itu, pacaran dikategorikan sebagai sebuah problematika remaja dan anak muda yang patut mendapatkan perhatian khusus tentang bagaimana memecahkan dan mencari solusi agar para remaja dan anak muda terlepas dari jeratan api iblis tersebut.

Dalam mencari solusi untuk keluar dari problematika ini, maka tidak ada jalan lain kecuali kita mencari akar permasalahan dan kemudian dikembalikan kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul-Nya (As-Sunnah). Hal ini sebagaimana firman Allah :

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nissa : 59)

Metode ini merupakan cara terbaik yang diperintahkan oleh Allah tatkala ditimpa suatu problem atau terjadi perselisihan di antara kita. Berikut ini adalah beberapa upaya yang dapat kita lakukan untuk menyelamatkan para remaja dan anak muda dari belenggu hitam pacaran :

1. Pendidikan nilai-nilai islam sejak usia dini

Usia dini adalah masa-masa emas. Ia sangat berharga bagi masa depan seorang anak di kemudian hari. Jangan pernah sedikit pun untuk mengabaikan dan bersikap ceroboh terhadap pendidikan islam yang benar pada anak-anaknya di usia dini. Karena anak-anak pada usia ini ibarat pita kaset yang masih kosong atau seperti kertas putih yang masih bersih dari coretan-coretan tinta.

Barangsiapa mengisinya dengan hal-hal yang baik dan menulis di atasnya dengan tinta emas keshalihan, maka hal itu akan membekas dan menjadi modal yang sangat berharga bagi masa depan anak-anaknya kelak. Dan barangsiapa membiarkannya untuk merekam hal-hal yang buruk dan dan tidak menjauhkan dari coretan tinta-tinta hitam kefasikan, akhlak yang buruk, aqidah yang menyimpang dan keburukan-keburukan lainnya, maka anak pun akan tumbuh dalam dunia yang penuh kehinaan dan penyimpangan.

Dalam lingkup keluarga, hendaknya seorang anak dibekali dengan aqidah yang benar, keimanan yang kokoh, akhlak yang terpuji, dan dijauhkan dari perkara-perkara yang menyimpang dari ajaran islam yang benar. Di antaranya, seperti memisahkan tempat tidur antara anak laki-laki dan anak perempuan di saat mereka telah beranjak usia tamyiz (usia di mana anak telah mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, antara yang hak dan yang batil).

Rasulullah bersabda :

مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat saat usia mereka tujuh tahun. Dan pukullah mereka apabila pada usia sepuluh tahun tidak melaksanakan shalat serta pisahkanlah tempat tidur mereka.” [1]

Contoh di atas merupakan awal pendidikan agar anak-anak tidak terbiasa dengan budaya ikhtilat di saat mereka menginjak usia remaja. Ia juga merupakan salah satu penanaman nilai-nilai kesucian dan kehormatan pada diri mereka agar mereka terhindar dari malapetaka hawa nafsu dan syahwat akibat budaya ikhtilat yang sudah banyak tersebar di kalangan para remaja maupun anak muda.

2. Keteladanan kedua orang tua

Kedua orang tua adalah sosok yang menjadi teladan pertama bagi anak-anaknya. Di mana semua aktivitas kedua orang tuanya secara langsung disaksikan oleh mereka dan secara otomatis hal itu akan terserap dan tersimpan dalam memori otak anak-anaknya. Apabila orang tua membiasakan dirinya dengan keteladanan yang baik, maka hal itu akan membiasakan anak dalam kebaikan pula. Demikian juga keteladanan yang buruk dan salah dari orang tua akan menjadika anak-anaknya tubuh dan berkembang dalam kebiasaan yang buruk pula.

Lingkungan keluarga adalah madrasah pertama dan utama bagi seorang anak. Kedua orang tua merupakan guru dan pendidik yang sangat berperan dalam mencetak mereka menjadi generasi yang baik atau generasi yang buruk. Sungguh keteladanan nyata dari keduanya sangatlah berpengaruh positif terhadap emosi dan akhlak anak-anaknya. Sehingga tidak cukup bagi orang tua hanya memberikan nasihat dan perintah saja, sementara dirinya tidak melakukan dan memberikan contoh nyata terhadap mereka. Karena hal ini akan menjadi bumerang bagi keduanya saat mendidik anak-anaknya.

Sebagai contoh, seorang ayah menyuruh anaknya untuk mengaji dan belajar membaca al-Qur’an, sementara dirinya tidak bisa membaca al-Qur’an dan tidak mau belajar membaca al-Qur’an. Atau menyuruh anak-anaknya untuk shalat sementara dirinya tidak shalat sama sekali. Meminta anak-anaknya untuk berhias dengan akhlak yang mulia sementara dirinya berakhlak buruk.

Maka mustahil bagi anak-anaknya untuk mengikuti perintah orang tuanya. Meskipun si anak menuruti perintah orang tuanya, ia melaksanakan perintah itu karena unsur keterpaksaan. Apabila ada kesempatan bagi dirinya untuk menghindar, maka ia akan langsung menghindar dari perintah orang tuanya. Sehingga metode pendidikan semacam ini adalah metode yang salah dan tidak akan membuahkan hasil yang maksimal dan optimal dalam diri sang anak.

Demikian juga seorang ibu, jika dirinya tidak mengenakan jilbab, mempertontonkan aurat dan kecantikannya di hadapan orang lain, berbaur dengan orang yang bukan mahramnya, berbicara dan berakhlak tidak terpuji, bertabaruj (bersolek dan berdandan menor di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya), dan perbuatan-perbuatan buruk lainnya. Maka semua perbuatan itu akan menjadi pendidikan praktis bagi anak-anaknya untuk terbiasa berlaku menyimpang, hilangnya rasa malu, menipisnya nilai kesopanan diri, serta tidak memiliki kehati-hatian dalam menjaga kesucian dan kehormatan dirinya.

Oleh karena itu, Rasulullah telah menegaskan bahwa orang tua memiliki peran yang sangat penting dalam mengarahkan anak-anaknya untuk menjadi baik atau buruk. Rasulullah bersabda :

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَثَلِ الْبَهِيمَةِ 

تُنْتَجُ الْبَهِيمَةَ هَلْ تَرَى فِيهَا جَدْعَاءَ

“Setiap anak adam terlahir dalam keadaan fitrah (beragam islam). Kedua orang tuanyalah yang akan menjadikan mereka beragama yahudi, atau nashrani, atau majusi. Ia persis layaknya hewan yang melahirkan hewan yang serupa. Mungkinkah ia melahirkan onta? “ [2]

Wahai para orang tua, jadilah engkau sosok teladan bagi anak-anakmu, menjadi seorang guru dan pendidik yang bukan hanya bisa berkata tanpa bisa berbuat.

Sungguh, keteladanan nyata lebih bermakna dari pada sekedar kata-kata. Dan keteladan itu akan lebih bernilai jika engkau gabungkan antara keteladanan nyata dan nasihat-nasihat mutiara yang baik. Sehingga engkau akan tersenyum saat melihat anak-anakmu shalih dan shalihah, memiliki aqidah yang lurus dan akhlak yang mulia serta jauh dari akhlak-akhlak yang tercela. Janganlah kalian menjadi golongan orang-orang yang mendapat murka Allah, karena hanya bisa bicara tanpa bisa berbuat.

Allah berfirman :

“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shaff : 2-3)

3. Pengawasan dan bimbingan kedua orang tua dalam pergaulan anak-anaknya


Pengawasan orang tua terhadap pergaulan anak-anaknya memiliki peranan yang sangat penting. Keduanya harus mengetahui lingkungan yang menjadi tempat bermain mereka, mengenal dan memahami sifat maupun karakter teman-temannya. Apabila anak-anaknya dibiarkan bebas bergaul dengan siapa saja, tanpa membatasi waktu, ruang, sifat maupun karakter teman-temannya. Maka hal itu sangat berakibat fatal bagi perkembangan kepribadian anak-anaknya.

Kondisi semacam ini akan menjadikan kecenderungan anak-anaknya untuk menyimpang dari jalan yang benar semakin besar, baik dari sisi sikap, perilaku, akhlak, gaya hidup maupun yang lainnya. Karena secara umum lingkungan luar pada saat ini sudah sangat rusak dan tidak kondusif bagi pendidikan anak-anak. Di mana pergaulan mereka dengan teman-temannya menjadi sebuah pendidikan praktis baginya. Pendidikan praktis ini sangatlah berbahaya karena ia dengan cepatnya bisa melekat dan membekas dalam jiwa seorang anak.

Di sinilah peran orang tua diuji. Keduanya harus pandai dalam memilih lingkungan yang baik untuk anak-anaknya. Menanamkan sedini mungkin tentan prinsip-prinsip beragama yang benar terhadap mereka. Sehingga tatkala sang anak beranjak dewasa dan masuk ke dalam lingkungan yang kurang baik, dirinya telah memiliki pondasi dan prinsip beragama yang kokoh yang dapat melindungi dirinya dari pengaruh buruk lingkungan dan akhlak-akhlak teman-temannya.

Perlu diketahui oleh para orang tua bahwa lingkungan itu tidak terbatas pada tempat. Mereka juga harus memahami bahwa ada lingkungan lain yang bersifat maya. Namun demikian, dunia maya ini memiliki efek yang sangat berbahaya apabila tidak ada pengawasan dan bimbingan yang baik dari kedua orang tuanya.

Adapun lingkungan lain itu bisa berupa internet, televisi, radio, buku-buku komik, majalah, novel, handphone, game player, pembantu dan yang lainnya. Semua media tersebut akan berpengaruh buruk bagi perkembangan sang anak apabila berisi hal-hal yang negatif dan tidak mengandung unsur pendidikan sama sekali. Meskipun semua media itu berada di dalam rumah.

Oleh karena itu, hendaknya orang tua membatasi dan mengawasi anak-anaknya dalam mengakses media-media yang ada di sekitarnya. Jauhkanlah mereka dari acara-acara yang mangandung maksiat, gambar-gambar yang jorok, buku-buku yang sesat dan tidak berguna sama sekali. Tanamkan kepada mereka jiwa senang membaca buku-buku yang baik, giat menuntut ilmu, mengaji, berkarya dan berinovasi yang positif.

Orang tua harus membantu mengembangkan bakat dan cita-cita anak-anaknya, menyalurkan dan menuntun bakat mereka kepada hal-hal yang positif serta tidak memaksakan tuntutan dan kehendaknya terhadap sang anak. Mereka cukup membimbing dan mengarahkan bakat-bakat itu ke arah yang baik selama bakat itu tidak bertentangan dengan islam.

Wahai para orang tua, katakanlah kepada anak-anak kalian bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah menurut kacamata agama. Janganlah engkau membiasakan diri berkata dusta kepada mereka atau berjanji tanpa pernah ditepati. Mulailah semuanya dari diri kalian, niscaya anak-anakmu tidak akan jauh dari apa yang kalian usahakan. Sebuah pepatah jawa mengatakan, “Mbuluk iku nek lugur ora adoh soko wite“ maksudnya bahwa buah kelapa itu apabila jatuh tidak akan jauh dari pohonnya.

Pepatah di atas menggambarkan bahwa anak itu tidak akan jauh dari kepribadian kedua orang tuanya. Oleh karena itu, keteladanan yang baik dari orang tua akan menjadikan anak tumbuh dengan baik mengikuti bakat dan nalurinya, serta menjadikan dirinya memiliki modal dan prinsip beragama yang kokoh. Sehingga ia pantas untuk menjadi generasi yang kokoh, tangguh, berdedikasi, berjiwa besar, beraqidah lurus, dan berakhlak mulia. Ia pun siap untuk bergelut dalam lingkungan yang memiliki karakter yang beraneka ragam. 

4. Peran aktif seorang dai’

Seorang dai’ adalah manusia yang mengemban tanggung jawab untuk menjaga kemurniaan syariat islam yang mulia. Ia menjadi penuntun manusia untuk tetap di atas jalan yang benar, memberi peringatan bagi mereka yang lalai dan menyimpang, serta memberi kabar gembira bagi mereka yang istiqamah di atas jalan Allah dan Rasul-Nya.

Peranan seorang Dai’ adalah menjaga tali estafet para ulama yang membawa tugas mulia warisan para Nabi berupa ilmu. Rasulullah telah menegaskan sendiri bahwa para ulama adalah pewaris para Nabi yang telah mewariskan ilmu kepada mereka. Rasulullah bersabda :

وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

“Ulama adalah pewaris para Nabi. Di mana para Nabi tidaklah mewariskan dinar maupun dirham, akan tetapi mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya (ilmu), maka ia telah mengambil bagian yang banyak.” [3]

Seorang dai’ dituntut untuk aktif dalam membantu membangun kembali reruntuhan akidah, ibadah, muamalah dan akhlak manusia. Ia harus andil secara nyata dalam dunia pembinaan, pengajaran dan pendidikan. Baik secara langsung maupun tidak langsung. Ia harus melindungi manusia dari segala pemikiran dan syubhat yang menyimpang dan menyesatkan.

Peran nyata mereka bisa berupa khutbah atau ceramah umum, pembinaan dalam dunia pendidikan dan pengajaran dalam lingkup pesantren, menulis buku, artikel, dan yang tidak kalah penting memanfaatkan dunia maya untuk menyebarkan kebaikan dan kebenaran serta membantah pemikiran-pemikiran maupun syubhat yang sesat dan menyesatkan yang sengaja dilontarkan oleh musuh-musuh islam, baik dari kalangan orang-orang kafir maupun orang-orang munafik.

Para dai’ pun harus terus memberikan tindakan konkrit, baik melalui media tulis menulis maupun media ceramah, baik terjun dalam media cetak maupun elektronik. Jangan sampai mendiamkan dan membiarkan kemunkaran dan tersebarnya perbuatan dosa dan maksiat. Setiap dai’ dan anggota keluarganya harus menjadi teladan baik bagi masyarakatnya, bekerja sama dengan berbagai pihak untuk saling bahu membahu membangun masyarakat islami yang baik dan kokoh.

Para ulama dan dai’ adalah pewaris para Nabi yang telah mewariskan kepada mereka ilmu dien yang mulia. Mereka harus siap dan sabar dalam menghadapi setiap celaan, hujatan, permusuhan, ancaman, tantangan dan berbagai rintangan dalam dunia dakwah. Sebagaimana halnya para Nabi telah mencontohkan sikap mulia mereka dalam mengemban tugas dakwah. Para dai’ pada zaman sekarang ini harus pandai memanfaatkan kemajuan ilmu dan teknologi untuk memperkuat dakwah, melawan dan mengimbangi gerakan musuh-musuh islam.

Dengan peran dai’ yang aktif yang pandai melihat kasus dan mencari solusi terbaik sesuai tuntunan Rasulullah, maka akan tercipta sebuah masyarakat islami yang menjadi dambaan semua orang. Masing-masing dai’ menyesuaikan diri dengan kemampuan dan keahliannya masing-masing.

Bagi mereka yang memiliki kelebihan dalam orasi, tebarkanlah kebaikan dan kebenaran lewat dunia ceramah. Bagi mereka yang ahli dalam bidang tulis menulis, kerahkanlah semua kemampuannya untuk berdakwah lewat ketajaman penanya. Dan media-media lainnya sesuai dengan bakat dan kemampuan masing-masing dai’.

Dengan demikian, mereka saling melengkapi satu sama lain. Sehingga hembusan dakwah akan menyusup ke semua tempat dan semua kalangan. Dan dakwah akan tersebar, menggema dan membahana di mana-mana.

5. Peran dan tanggung jawab seorang pemimpin

Seorang pemimpin hendaknya mengeluarkan tindakan yang tegas untuk menjaga ketentraman, keamanan, kebaikan dan kemuliaan dari perilaku para wanita dan laki-laki yang melanggar batasan-batasan syariat. Seperti para wanita yang sengaja mempertontonkan aurat dan kecantikannya, berbaur dengan laki-laki yang bukan mahramnya dan sebagainya.

Selain itu, mereka juga harus melindungi umat dari kejahatan yang dilakukan oleh para lelaki maupun wanita, melarang berbagai tulisan orang-orang yang sesat dan menyesatkan, serta memberikan sanksi yang tegas terhadap para pelakunya.

Demikian pula, para pemimpin mulai dari tingkat RT, RW, Desa, Kecamatan, Kabupaten, maupun Propinsi, dan Pusat harus lebih giat membuat program-program lewat lembaga terkait serta melakukan kerja sama dengan lembaga lain, seperti sekolah, pesantren, yayasan islam untuk memberikan penyuluhan intensif tentang bahaya pacaran maupun pergaulan bebas.

Adapun kenyatannya yang kita lihat di lapangan, tindakan yang dilakukan oleh birokrasi kepemerintahan dari tingkat Desa hingga pusat memang belum maksimal dan kurang menaruh perhatian tentang dampak buruk tradisi pacaran. Oleh karena itu, kepemimpinan rumah tangga dalam kondisi seperti ini sangatlah urgen untuk memberikan pendidikan dan memelihara anggota keluarganya agar tidak terjerumus dari perbuatan haram, seperti pacaran.

Apabila masing-masing keluarga antusias untuk memelihara dan memberikan bimbingan maupun pengawasan terhadap anak-anaknya agar tidak tercebur dalam dunia pacaran, maka nantinya secara otomatis akan terbentuk sebuah komunitas yang baik di tingkat RT maupun RW yang saling bekerja sama untuk melindungi anak-anaknya dari pacaran.

Inilah sejatinya peran kepemimpinan yang kecil namun sangat urgen untuk merubah kondisi buruk masyarakat yang harus dijalankan oleh masing-masing keluarga. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah :

كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا

وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا، وَالخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan kalian bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya. Seorang Imam adalah pemimpin dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya, dan seorang suami adalah pemimpin dalam rumah tangganya yang bertanggung jawab terhadap keluarganya, seorang Isteri adalah pemimpin di rumah suaminya yang bertanggung jawab atas kepemimpinannya [seperti pendidikan anak-anak], dan seorang pembantu juga pemimpin atas harta tuannya yang bertanggung jawab atas amanat hartanya.” [4]

Allah juga telah memerintahkan orang-orang beriman untuk menjaga diri dan keluarganya dari api neraka. Hal ini menunjukkan akan peranan yang sangat penting dari sebuah kepemimpinan keluarga bagi perbaikan kehidupan masyarakat. Allah telah berfirman :

“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim : 6)

6. Pengembangan pendidikan yang berbasis islam


Pendirian dan pengembangan pendidikan yang benar-benar berbasis islam, baik dalam hal kurikulum maupun lingkungannya sangatlah memberikan kontribusi terhadap meminimalisir pengaruh buruk dunia pacaran. Penerapan ini harus dimulai dari tingkat pendidikan kanak-kanak hingga ke pendidikan perguruan tinggi. Hal ini sebagai bentuk preventif dan penanaman nilai-nilai islam sejak usia dini. Apabila hal ini bisa terbentuk dengan baik, maka mental dan akhlak generasi umat islam pun akan menjadi baik.

Sebagai contoh, seperti pemisahan tempat belajar antara siswa laki-laki dan perempuan di sekolah-sekolah, pembagian kelas yang dipisah antara Mahasiswa dan Mahasiswi di perguruan tinggi. Hal ini sebagai bentuk implementasi penekanan pengaruh buruk akan tradisi ikhtilat.

Juga penanaman dan pendidikan agar anak-anak didik berpakaian rapih, sopan, dan islami. Biasakan hal ini kepada mereka agar anak-anak didik memiliki rasa malu dari mengumbar aurat di depan lawan jenis yang bukan mahramnya. Sungguh, apabila rasa malu itu telah tertanam dalam hati anak-anak didik dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, maka hal itu sangat berpengaruh terhadap interaksi antara laki-laki dan perempuan yang penuh dengan adab dan sopan santun di bawah nilai-nilai islam.

Diramaikannya lembaga pendidikan, sekolah-sekolah, maupun perguruan tinggi dengan program-program halaqah penghafal al-Qur’an juga sangat berandil besar agar mereka dekat dengan al-Qur’an. Jika kebiasaan itu telah tertanam dalam hati mereka, maka ia menjadi modal dasar dalam pengendalian diri agar tidak mudah terjerumus dalam perbuatan dosa maupun pergaulan bebas dengan lawan jenisnya.

Islam tidaklah menutup interaksi antara kaum laki-laki dengan kaum perempuan, justru masing-masing saling membutuhkan satu sama lain untuk memakmurkan bumi ini dalam mengimplementasikan ibadah kepada Allah. Akan tetapi, islam tidaklah memberikan kebebasan itu secara mutlak tanpa adanya batasan-batasan di dalamnya. Karena batasan-batasan itu sejatinya dimaksudkan demi kebaikan mereka bersama.

Oleh karena itu, kita sangat mengapresiasi terhadap lembaga pendidikan baik islam maupun umum yang sudah mulai menerapkan nilai-nilai islam di atas. Dan kemajuan ini perlu didukung oleh semua kalangan serta harus dikembangkan di setiap pelosok negeri ini. Karena lembaga pendidikan memiliki andil besar terhadap perkembangan mental, akhlak maupun kepribadian anak-anak didiknya.


---------------------------
[1] HR. Abu Dawud (495)
[2] HR. Bukhari (1385), Muslim (6928), At-Tirmidzi (2138), Abu Dawud (4716), dan Ahmad (7698)
[3] HR. Abu Dawud (3643), At-Tirmidzi (2682) dan Ibnu Hibban dalam shahihnya (88)
[4] HR. Bukahri (2409), Muslim (1829), Abu Dawud (2928) dan At-Timidzi (1705)
Share:

Tidak ada komentar:

PALING BANYAK DIBACA

ARSIP

Followers