Bersama Bahagia Dalam Naungan Islam

Yang Lebih Dahsyat Dari Maut

Mati, banyak manusia yang takut mati, bukan karena rupa yang mengerikan atau wujudnya yang
menakutkan, tapi karena rasa yang begitu menyakitkan kala kematian itu benar-benar sedang menyambutnya. Yaitu di saat keberpisahan ruh dari jasadnya yang akan dirasakan oleh setiap helai saraf dari rasa sakit yang belum pernah terlewati sebelumnya.

Inilah yang paling ditakuti oleh orang-orang kafir, karena cintanya akan dunia dan tujuan kesenangan dunia yang menjadi akhirnya, sehingga mereka sangat takut akan sakitnya kematian yang akan memutus semua itu. Berbeda dengan orang mukmin, justru mereka menginginkan kematian itu, bukan karena bosan dengan hiruk pikuk kehidupan dunia melainkan karena hatinya sudah sangat rindu untuk bertemu Rabbnya yang telah menciptakan dan menganugerahkan beragam kenikmatan yang tiada terhingga.

Begitu sakitnya rasa kematian itu, bahkan para Nabi sampai Nabi Muhammad yang merupakan khailullah (kekasih Allah) pun merasakan sakitnya saat detik-detik kematian itu menghampirinya. Bagaimana rasa sakit itu jika dialami oleh manusia biasa seperti kita, yang begitu banyak perbuatan dosa dan maksiat telah tertumpuk dalam kesehariannya. Tentu sakit itu akan jauh lebih sakit terasakan kecuali bagi orang-orang yang telah diberi rahmat Allah. Terlebih lagi jika kematian itu menimpa para pembangkang dan pendurhaka, mereka pasti akan merasakan sakit yang jauh lebih sakit daripada rasa sakit kematian yang merenggut orang-orang mukmin.

Menyiakan waktu

Demikianlah dahsyatnya kematian, namun banyak manusia yang lupa bahwa ada kedahsyatan yang jauh lebih besar daripada kematian itu sendiri. Ia memang tidak terasa dan teraba layaknya kematian yang pasti menimpa setiap yang berjiwa, dan karena kelembutannya banyak manusia yang tiada merasakan hal itu dan akhirnya banyak yang melalaikannya. Kedahsyatan itu tiada lain adalah menyia-nyiakan waktu, umur atau usia yang telah Allah karuniakan untuk dirinya.

Ibnul Qayim pernah berkata,

اضاعة الوقت أشد من الموت, لأن اضاعة الوقت تقطعك عن الله والدار الآخرة, والموت يقطعك عن الدنيا وأهلها

“Menyiakan waktu lebih buruk dari pada kematian, karena menyiakan waktu memutuskanmu dari Allah dan akhirat, adapun kematian hanya memutuskanmu dari dunia dan para penghuninya.” [1]

Waktu atau masa adalah perkara yang sangat urgent dalam kehidupan seorang hamba. Bukan karena dzat yang menjadikannya ia terasa penting, melainkan kedudukannya dalam pandangan manusia. Hidup manusia tak bisa lepas dari waktu, bahkan waktu baginya ibarat hamparan alam yang menjadi ladang amalannya.

Urgensi waktu

Mengapa demikian? Karena manusia dikatakan hidup ketika nyawanya masih terhembuskan dalam raganya. Dan dikatakan mati tatkala hembusan itu tiada lagi mendesah darinya. Nyawa atau ruh inilah yang hanya bisa tergerak dalam dimensi waktu. Waktu yang diberikan baginya dikenal dengan umur atau usia. Tanpa waktu apalah arti manusia meski berwujud ia dalam nyata. Dan apalah arti waktu tanpa keberadaan manusia. Keduanya saling memiliki keterkaitan yang sangat erat.

Manusia tak bisa lepas dari waktu, tak bisa terbebas dari umur dan takkan bisa berpisah dari usia dalam usaha menumpuk amalan. Dengan demikian, menyia-nyiakan waktu berarti membuang usia tanpa tertinggal darinya kemanfaatan sedikit pun.

Oleh karena itu, Ibnul Qayyim membuat sebuah ungkapan yang begitu indah bahwa seseorang yang menyiakan waktu (umur)nya kedudukannya lebih buruk daripada kematian itu sendiri yang akan meregang hidupnya. Jika kematian itu hanya akan memutuskan dirinya dari dunia dan para penghuninya, namun tidak demikan dengan menyia-nyiaan waktu, orang yang menyiakan waktu atau umurnya berarti ia telah memutuskan dirinya dari Allah dan akhirat.

Allah adalah Dzat yang telah menciptakan dunia dan para penghuni yang ada, sementara akhirat adalah tempat tinggal terakhir manusia yang akan kekal selama-lamanya. Keduanya jauh lebih mulia kedudukannya daripada dunia dan isinya. Memutuskan diri dari yang jauh lebih mulia, berarti telah sebuah keburukan yang teramat buruk. Jika seseorang memutuskan dirinya dari pencipta dan apa yang akan menjadi tempat tinggalnya yang kekal, berarti dirinya telah melakukan perbuatan yang jauh lebih buruk dari apa yang dilakukannya dengan pemutusan diri dari dunia dan segala isinya. Inilah pentingnya kedudukan waktu bagi manusia, yang mana mengabaikan keberadaannya dengan tidak memanfaatkan dalam kebaikan dan amal shalih, berarti ia telah terjatuh dalam keburukan yang sangat buruk dari rasa sakitnya kematian yang pasti akan meregang raganya.

Waktu dalam pandangan Allah

Bahkan, sebagai penghormatan Allah terhadap waktu itu, Allah telah bersumpah dengan atas namanya. Dan tiadalah Allah bersumpah dengan atas nama makhluk-Nya melainkan karena kemuliaan dan tingginya kedudukan makhluk tersebut di sisi Allah.

Allah telah berfirman dalam surat al-‘Ashr:

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-Ashr: 1-3)


---------------------
[1] Al-Fawaid, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, hal 33
Share:

Tidak ada komentar:

PALING BANYAK DIBACA

ARSIP

Followers