Banyak perkara
di antara keduanya atau lebih yang memilki kesamaan atau kemiripan. Dan kemiripan
itu bisa terjadi pada satu titik atau pada beberapa titik. Sebagai contoh kecil
saja, antara kucing dan harimau, titik kemiripan keduanya bisa pada anatominya
yang sangat dekat sekali, hanya saja harimau itu bertubuh besar, sedangkan
kucing itu berukuran kecil. Dan harimau
itu sering dikenal sebagai kucing raksasa, karena kemiripan anatominya yang
sangat dekat, namun ia memiliki ukuran tubuhnya yang sangat besar.
Dalam istilah
arab kata “ kemiripan “ itu dikenal dengan kata “ tamstil atau tasybih “. Kedua
kata tersebut jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti mirip atau
menyerupai. Padahal ada titik perbedaan antara tamstil dan tasybih yang sangat
berpengaruh terhadap makna sebuah ungkapan. Tamstil adalah kemiripan pada satu
ada beberapa hal saja, sedangkan tasybih adalah kemiripan pada banyak hal.
Perlu di ketahui
bahwa dua hal dikatakan mirip atau serupa tidaklah berkonsekuensi harus sama
dalam hal hakikatnya. Secara akal, kaidah ini tiada terbantahkan sama sekali. Seperti
contoh di atas, bahwa antara kucing dan harimau sangatlah mirip, namun hakikat
keduanya sangatlah berbeda adanya. Harimau adalah harimau sebagai seekor hewan
tersendiri, pula dengan kucing yang merupakan kucing sebagai spesies hewan
tersendiri.
Bahkan dalam satu
spesies yang dikatakan kembar atau sangat mirip sekali yang terkadang sangat
sulit sekali untuk dibedakan. Keduanya jelas memiliki hakikat yang berbeda. Dan
ini sangat diterima secara akal. Seperti, dua anak kakak beradik yang dikatakan
kembar, terkadang secara kasat mata keduanya sangat sulit terbedakan, namun
semua akal pasti akan menerima bahwa hakikat kakak bukanlah hakikat yang ada
pada adiknya. Keduanya adalah sebuah materi yang berbeda, meski secara kasat
mata terlihat kembar adanya.
Ada sebuah
anekdot yang pernah saya dengar dalam sebuah kajian. Singkat ceritanya ada
seorang guru yang mengatakan kepada murid-muridnya bahwa semua agama sama. Karena
semua agama mengajarkan kebaikan dan mengajak para penganutnya untuk menebar
kebaikan dan menjauhi semua bentuk kejahatan.
Semua muridnya
terdiam seribu membisu, sepertinya mereka setuju dan menerima kaidah yang
tuturkan oleh sang guru, karena secara akal dan empiris semua agama mengajarkan
kepada kebaikan. Namun apakah satu kemiripan ini bisa tersimpulkan darinya
bahwa semua agama bisa dikatakan sama ? inilah yang terbesit dalam hati salah
seorang murid. Hatinya tidak menerima terhadap kaidah yang disampaikan oleh
gurunya.
Dan secara akal
yang masih bersih, semua agama tidaklah sama, meskipun masing-masing
mengajarkan kepada kebaikan. Dan fakta empiris pun telah membuktikannya. Di mana
setiap penganut dari masing-masing agama tidaklah mau menerima bahwa agama
mereka adalah sama dengan agama yang lainnya. Pula ritual dan tata cara
beribadah masing-masing jelas beda adanya.
Berdasarkan fakta
inilah kemudian sang murid yang kritis ini menjawab dengan akal pula. Kemudian ia
katakan kepada gurunya, “ Kalau kesimpulannya demikian, berarti bu guru adalah
seekor ayam. “ Sontak sang guru pun garang dan meradang marah, “ Kamu itu tidak
sopan sama sekali, menyamakan gurunya sendiri dengan seekor ayam. Bagaimana mungkin
aku ini seekor ayam, bukankah sudah sangat jelas sekali bahwa manusia bukanlah
ayam. Sampai anak kecil pun tahu kalau manusia itu bukan ayam.”
Lantas sang
murid itu menyangkalnya kembali, “ Bukankah bu guru memiliki dua kaki, pula
demikian dengan ayam yang memiliki dua kaki. Karena bu guru dan ayam masing-masing
memiliki dua kaki, maka bu guru itu sama dengan ayam.”
Sang guru
menyangkalnya. “ Tidak bisa diterima kaidah semacam itu nak, tak mungkin
kemiripan dalam satu sisi kau simpulkan bahwa saya sama dengan ayam.”
Sang murid pun
menjawab, “ Kalau demikian, tidak bisa disimpulkan pula bahwa semua agama itu
sama, jika hanya bersandar pada satu titik kemiripan, dimana masing-masing
agama mengajarkan kebaikan.”
Dalam kisah ini,
sang guru pun kalah dalam beradu argumentasi dengan muridnya. Akhirnya ia pun
ditertawai oleh seluruh murid di kelasnya, sementara sang murid tersebut
mendapat applause dari teman-teman lainnya.
Oleh karena itu
ada sebuah kaidah dalam masalah aqidah ;
ما من شيئين إلا
وبينهما قدر مشترك يشبهان فيه. والاشتراك في الأسماء والصفات لا يلزم من اشتراك
المسميات والموصوفات
[ Tidak ada dua hal, melainkan
ada sisi yang sama di antara keduanya. Dan kesamaan dalam nama dan sifat
tidaklah berkonsekuensi adanya kesamaan dalam hakikat yang memiliki nama dan
sifat tersebut ]
Wallohu a’lam
bishowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar