Kata Ghibah [ غيبة ] berakar dari kata [
غاب يغيب ] yang artinya
tersembunyi, terbenam, tidak hadir, dan tidak tampak. Sedangkan kata ghibah
sendiri sering dialihbahasakan dengan makna memfitnah, menggunjing atau
mengumpat, karena si pengghibah telah membongkar dan mengungkapkan keburukan,
aib dan kejelekan orang lain di hadapan manusia lainnya tanpa sepengetahuan
orang tersebut, dalam ketersembunyian dan ketidakhadiran orang yang di
ghibahinya, entah ia ridha atau tidak terhadap keburukan yang telah menjadi
bahan pembicaraan di depan manusia lainnya.
Namun, secara
fitrahnya tiadalah manusia yang rela dan suka bahwa keburukan, aib atau
kekurangannya diketahui oleh orang lain, terlebih keburukan itu terungkapkan
tanpa sepengetahuan dirinya. Dan semua manusia pasti berusaha untuk menutupi
keburukan dan kekurangan yang terdapat pada dirinya, tidaklah sedikitpun mereka
mau keburukan yang dimilikinya terlihat atau terpampang dalam pandangan mata
manusia yang lain.
Bahkan jikalau
ia mengetahui bahwa tabir aib atau keburukan dirinya disingkapkan oleh orang
lain, pasti ia akan marah besar dan takkan pernah rela sedikit pun terhadap
perlakuan orang tersebut. Inilah salah satu yang menjadikan ghibah itu
terlarang dan haram hukumnya, bahkan Allah memisalkan orang yang mengghibah
layaknya seorang yang memakan bangkai saudaranya sendiri, apakah ia tiada
merasa jijik dengannya ?
Allah berfirman
;
يا أيها
الذين آمنوا اجتنبوا كثيرا من الظن إن بعض الظن إثم ولا تجسسوا ولا يغتب بعضكم
بعضا أيحب أحدكم أن يأكل لحم أخيه ميتا فكرهتموه واتقوا الله إن الله تواب رحيم
[ Wahai
orang-orang beriman, jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian
prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari kesalahan-kesalahan orang lain,
dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian orang lain. Apakah
ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati ? tentu
kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sungguh Allah Maha
Penerima Taubat, Maha Penyayang ] [ QS. Al-Hujurat ; 12 ]
Dan ternyata
tidaklah semua membicarakan keburukan atau aib orang lain haram hukumnya secara
mutlak dan terlarang. Ada beberapa bentuk ghibah yang dibolehkan dan termaklumi
darinya, hal ini karena adanya alasan-alasan syar’i yang terfaidahkan darinya.
Di antaranya
ialah pengaduan seorang isteri tentang aib atau keburukan suaminya yang sedang
ia keluhkan kepada orang yang terpercaya yang dianggapnya bisa memberikan
solusi di dalamnya, seperti kepada seorang mufti, ulama, ustadz, orang tua,
atau tokoh-tokoh agama yang benar-benar amanah terhadap masalah yang ia
sampaikan.
Hal ini
berdasarkan kisah Hindun binti Utbah yang mengadukan kebakhilan suaminya kepada
Rasulullah. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Aisyah, ia berkata ;
دخلت هند بنت عتبة
امرأة أبي سفيان على رسول الله صلى الله عليه وسلم، فقالت: يا رسول الله، إن أبا
سفيان رجل شحيح، لا يعطيني من النفقة ما يكفيني ويكفي بني إلا ما أخذت من ماله
بغير علمه، فهل علي في ذلك من جناح؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «خذي من
ماله بالمعروف ما يكفيك ويكفي بنيك»
[ Hindun binti
Utbah isteri Abi Sufyan menemui Rasulullah. Lantas berkata, “ wahai Rasulullah,
sesungguhnya Abu Sufyan itu adalah seorang yang bakhil, ia tidaklah menafkahiku
dan anak-anaku secara cukup, melainkan aku telah mengambil dari hartanya tanpa
sepengetahuan dirinya. Apakah dalam masalah ini aku telah berdosa ? “ Kemudian
Rasulullah berkata, “ Ambilah dari hartanya dengan cara yang baik yang bisa
mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu ] [ HR. Muslim ;1714 ]
Dalam kitab
Subulus Salam dikatakan, “ Dalam hadits ini ada dalil yang menunjukan
dibolehkannya menyebutkan seseorang dengan sesuatu yang tiada disukainya, akan
tetapi jika dilakukannya sebagai bentuk pengaduan dan meminta fatwa. Inilah
salah tempat yang dibolehkan di dalamnya untuk mengghibah “ [ Subulus Salam,
As-Shan’ani, Dar Al-Bayan Al-Arabi, hal 1126 ]
Wallohu a’lam
bishowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar