Pekan kemarin
masih terngiang dalam batinku sebuah muhadharah [ ceramah ] yang disampaikan
oleh salah seorang dosenku saat mengisi salah satu mata kuliah, beliau adalah
seorang doktor yang memiliki karakteristik tersendiri. Sengaja tidak saya
sebutkan namanya sebagai bentuk adab, rasa hormat dan menjaga nama baik beliau.
Sebenarnya apa
yang disampaikan beliau kala itu bukanlah inti ceramah dari mata kuliahnya,
tapi ia muncul secara spontan sebagai sebuah bumbu yang teracik tanpa tersengaja
olehnya, sebuah nasihat yang tertutur olehnya karena terinspirasi dari apa yang
dilihat dan didengarnya.
Pemandangan yang
ia lihatnya bermula dari beberapa mahasiswa yang masih saja tersibukkan oleh
obrolan dengan beberapa kawannya dan juga HP yang sudah menjadi teman yang
tiada bisa terpisahkan dari tangannya, sementara sang dosen tersebut telah
duduk rapih di depan para mahasiswanya siap untuk mentransfer ilmu dan berbagi
dengan para muridnya.
Inilah yang
membutnya kesal dan dianggapnya sesuatu yang tidak beradab lagi [ memang hal
itu bukanlah sebuah adab yang baik terhadap seorang guru ]. Akhirnya Sang
Doktor pun menghardiknya dengan bahasa amiah [ bukan bahasa fasih, atau lebih
dikenal sebagai bahasa pasaran ]. Dan tak seorang mahasiswa pun yang mengerti
dengan bahasa yang beliau tuturkan tersebut.
Setelah itu
beliau juga memanggil beberapa mahasiswa dengan panggilan yang menurut budaya
kita adalah sebuah panggilan yang tiada beradab dan tak disukai sama sekali. Meski
secara kenyataanya kita memang terkadang layak untuk menyandang panggilan itu.
Di antaranya
ialah ghofil [ Pelupa, bodoh ], juhal [ dungu, bodoh banget ], ghobi [ bodoh
sekali, tolol ], himar [ keledai ], bahaim [ hewan ternak ] dan yang lainnya. Dan
yang terjadi di saat salah satu mahasiswa dipanggil dengan salah satu dari
panggilan di atas, justru yang lain tertawa dengan panggilan tersebut, itu bagi
yang tertawa, karena mungkin saja ada yang tak tertawa sama sekali, tapi secara
umum mereka mentertawainya. Entah karena lucunya atau tertawa itu sebagai
sebuah justifikasi akan panggilan yang secara tidak langsung mengarah ke
seluruh mahasiswa yang ada di kelas tersebut.
Namun dari
kejadian itu ada satu titik menarik yang saya dengar dari perkataan beliau. Meski
tidak seratus persen saya menyetujui dan membenarkan secara mutlak adanya. Redaksi
perkataan beliau kurang lebih seperti berikut ini ;
الوالد يبصرك أكثر مما
تبصر نفسك
[ Orang tua itu jauh
lebih memahami dirimu daripada pemahamanmu akan dirimu sendiri ]
Ya, secara umum
pernyataan di atas benar adanya, namun ia tidak berlaku secara mutlak adanya. Orang
tua memang lebih tahu dan memahami akan kondisi dan masa depan kita daripada
pemahaman kita akan diri kita sendiri. Karena orang tua lebih mengedepankan
kedewasaan, orientasi ke depan, dan bermodal pengalaman yang telah menggudang. Berbeda
halnya dengan anak muda yang biasanya lebih mengedepankan hawa nafsu,
kesenangan sesaat dan belum termatangkan dengan pengalaman hidupnya.
Seburuk apapun
akhlak orang tua, pasti ia akan memberikan dan mengarahkan hal yang terbaik
bagi anak-anaknya. Karena ia telah belajar banyak dari pengalaman hidup dan
tiada terbetik sama sekali dalam hatinya agar anaknya bernasib seperti dirinya,
apalagi lebih rendah darinya. Dan yang terharapkan pasti agar anak-anaknya jauh
lebih baik dari dirinya. Itulah yang secara fitrah terharapkan oleh semua orang
tua terhadap anak-anaknya.
Orang tua adalah
manusia yang telah banyak makan garam, bukan lagi anak ingusan yang masih
beraroma kencur, banyak pengalaman hidup dan tantangan yang telah terlewati
olehnya. Berbeda dengan kita sebagai seorang anak di hadapannya yang masih
beraroma kencur dan masih banyak lagi untuk belajar dari pengalaman dan
tantangan hidup pribadi dan dari pengalaman hidup mereka.
Oleh karena itu,
tak jarang harapan kita terkadang terbenturkan dengan apa yang dipandang oleh
orang tua kita. selintas ia terpandang baik oleh kita, namun menurut orang tua
kita ia terpandang kurang baik dan tidak cocok bagi kita. Atau sebaliknya, ia
terpandang buruk oleh kita, namun menurut mereka ia menjadi sesuatu yang baik
bagi kita nantinya.
Hal ini
menunjukkan bahwa secara umum kaidah yang dituturkan oleh Sang Doktor
sebelumnya adalah benar. Tapi ia tidaklah berlaku secara mutlak hukumnya,
karena terkadang kita mendapati pendapat dan argument seorang anak jauh lebih
baik dan masuk akal dibandingkan pendapat orang tuanya. Tidaklah kedewasaan dan
banyaknya umur yang disandang oleh seseorang menjadi sebuah hak paten akan kebenaran
setiap pendapat dan argument yang disampaikannya. Namun secara umum, orang yang
lebih dewasa secara umur dan pengalaman jauh lebih matang dan banyak
pertimbangan yang harus dilakukan dalam memutuskan suatu perkara.
Hendaklah orang
tua menjalin komunikasi dengan baik dengan anak-anaknya dalam memutuskan suatu perkara
yang berkaitan dengan mereka dan keluarganya. Janganlah orang tua terlalu egois
dan memaksakan kehendak atau pemahaman terhadap anak-anaknya, demikian pula
janganlah terlalu congkak dan kaku seorang anak dalam mensikapi pendapat orang
tuanya, pikirkanlah ulang apa yang dituturkan, ditimbang dan dimusyawarahkanlah
kembali dengan penuh bijak.
Karena tak
sedikitpun orang tua untuk berkehendak buruk dari pendapat dan ide yang
disampaikannya. Sungguh, mereka hanyalah memilih yang terbaik untuk
anak-anaknya menurut latarbelakang yang dimilikinya. Oleh karena itu, Hendaklah
masing-masing saling terbuka dan bertukar ide secara baik, penuh adab dan
santun.
Dengan demikian,
niscaya keharmonisan dan komunikasi antara anggota keluarga akan tetap terjalin
dan terjaga dengan baik. Dan inilah salah satu urgensi sebuah musyawarah yang
telah dinashkan dalam al-Qur’an.
Allah berfirman ;
وأمرهم شورى بينهم
[
Sedang urusan mereka [ diputuskan ] dengan musyawarah antara mereka ] [ QS.
Asy-Syura ; 38 ]
Wallohu
a’lam bishowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar