Bersama Bahagia Dalam Naungan Islam

Antara Iya dan Tidak


Pekan kemarin masih terngiang dalam batinku sebuah muhadharah [ ceramah ] yang disampaikan oleh salah seorang dosenku saat mengisi salah satu mata kuliah, beliau adalah seorang doktor yang memiliki karakteristik tersendiri. Sengaja tidak saya sebutkan namanya sebagai bentuk adab, rasa hormat dan menjaga nama baik beliau.

Sebenarnya apa yang disampaikan beliau kala itu bukanlah inti ceramah dari mata kuliahnya, tapi ia muncul secara spontan sebagai sebuah bumbu yang teracik tanpa tersengaja olehnya, sebuah nasihat yang tertutur olehnya karena terinspirasi dari apa yang dilihat dan didengarnya.

Pemandangan yang ia lihatnya bermula dari beberapa mahasiswa yang masih saja tersibukkan oleh obrolan dengan beberapa kawannya dan juga HP yang sudah menjadi teman yang tiada bisa terpisahkan dari tangannya, sementara sang dosen tersebut telah duduk rapih di depan para mahasiswanya siap untuk mentransfer ilmu dan berbagi dengan para muridnya.

Inilah yang membutnya kesal dan dianggapnya sesuatu yang tidak beradab lagi [ memang hal itu bukanlah sebuah adab yang baik terhadap seorang guru ]. Akhirnya Sang Doktor pun menghardiknya dengan bahasa amiah [ bukan bahasa fasih, atau lebih dikenal sebagai bahasa pasaran ]. Dan tak seorang mahasiswa pun yang mengerti dengan bahasa yang beliau tuturkan tersebut.

Setelah itu beliau juga memanggil beberapa mahasiswa dengan panggilan yang menurut budaya kita adalah sebuah panggilan yang tiada beradab dan tak disukai sama sekali. Meski secara kenyataanya kita memang terkadang layak untuk menyandang panggilan itu.

Di antaranya ialah ghofil [ Pelupa, bodoh ], juhal [ dungu, bodoh banget ], ghobi [ bodoh sekali, tolol ], himar [ keledai ], bahaim [ hewan ternak ] dan yang lainnya. Dan yang terjadi di saat salah satu mahasiswa dipanggil dengan salah satu dari panggilan di atas, justru yang lain tertawa dengan panggilan tersebut, itu bagi yang tertawa, karena mungkin saja ada yang tak tertawa sama sekali, tapi secara umum mereka mentertawainya. Entah karena lucunya atau tertawa itu sebagai sebuah justifikasi akan panggilan yang secara tidak langsung mengarah ke seluruh mahasiswa yang ada di kelas tersebut.

Namun dari kejadian itu ada satu titik menarik yang saya dengar dari perkataan beliau. Meski tidak seratus persen saya menyetujui dan membenarkan secara mutlak adanya. Redaksi perkataan beliau kurang lebih seperti berikut ini ;

الوالد يبصرك أكثر مما تبصر نفسك

[ Orang tua itu jauh lebih memahami dirimu daripada pemahamanmu akan dirimu sendiri ]

Ya, secara umum pernyataan di atas benar adanya, namun ia tidak berlaku secara mutlak adanya. Orang tua memang lebih tahu dan memahami akan kondisi dan masa depan kita daripada pemahaman kita akan diri kita sendiri. Karena orang tua lebih mengedepankan kedewasaan, orientasi ke depan, dan bermodal pengalaman yang telah menggudang. Berbeda halnya dengan anak muda yang biasanya lebih mengedepankan hawa nafsu, kesenangan sesaat dan belum termatangkan dengan pengalaman hidupnya.

Seburuk apapun akhlak orang tua, pasti ia akan memberikan dan mengarahkan hal yang terbaik bagi anak-anaknya. Karena ia telah belajar banyak dari pengalaman hidup dan tiada terbetik sama sekali dalam hatinya agar anaknya bernasib seperti dirinya, apalagi lebih rendah darinya. Dan yang terharapkan pasti agar anak-anaknya jauh lebih baik dari dirinya. Itulah yang secara fitrah terharapkan oleh semua orang tua terhadap anak-anaknya.

Orang tua adalah manusia yang telah banyak makan garam, bukan lagi anak ingusan yang masih beraroma kencur, banyak pengalaman hidup dan tantangan yang telah terlewati olehnya. Berbeda dengan kita sebagai seorang anak di hadapannya yang masih beraroma kencur dan masih banyak lagi untuk belajar dari pengalaman dan tantangan hidup pribadi dan dari pengalaman hidup mereka.

Oleh karena itu, tak jarang harapan kita terkadang terbenturkan dengan apa yang dipandang oleh orang tua kita. selintas ia terpandang baik oleh kita, namun menurut orang tua kita ia terpandang kurang baik dan tidak cocok bagi kita. Atau sebaliknya, ia terpandang buruk oleh kita, namun menurut mereka ia menjadi sesuatu yang baik bagi kita nantinya.

Hal ini menunjukkan bahwa secara umum kaidah yang dituturkan oleh Sang Doktor sebelumnya adalah benar. Tapi ia tidaklah berlaku secara mutlak hukumnya, karena terkadang kita mendapati pendapat dan argument seorang anak jauh lebih baik dan masuk akal dibandingkan pendapat orang tuanya. Tidaklah kedewasaan dan banyaknya umur yang disandang oleh seseorang menjadi sebuah hak paten akan kebenaran setiap pendapat dan argument yang disampaikannya. Namun secara umum, orang yang lebih dewasa secara umur dan pengalaman jauh lebih matang dan banyak pertimbangan yang harus dilakukan dalam memutuskan suatu perkara.

Hendaklah orang tua menjalin komunikasi dengan baik dengan anak-anaknya dalam memutuskan suatu perkara yang berkaitan dengan mereka dan keluarganya. Janganlah orang tua terlalu egois dan memaksakan kehendak atau pemahaman terhadap anak-anaknya, demikian pula janganlah terlalu congkak dan kaku seorang anak dalam mensikapi pendapat orang tuanya, pikirkanlah ulang apa yang dituturkan, ditimbang dan dimusyawarahkanlah kembali dengan penuh bijak.

Karena tak sedikitpun orang tua untuk berkehendak buruk dari pendapat dan ide yang disampaikannya. Sungguh, mereka hanyalah memilih yang terbaik untuk anak-anaknya menurut latarbelakang yang dimilikinya. Oleh karena itu, Hendaklah masing-masing saling terbuka dan bertukar ide secara baik, penuh adab dan santun.

Dengan demikian, niscaya keharmonisan dan komunikasi antara anggota keluarga akan tetap terjalin dan terjaga dengan baik. Dan inilah salah satu urgensi sebuah musyawarah yang telah dinashkan dalam al-Qur’an. 

Allah berfirman ;

وأمرهم شورى بينهم

[ Sedang urusan mereka [ diputuskan ] dengan musyawarah antara mereka ] [ QS. Asy-Syura ; 38 ]


Wallohu a’lam bishowab

Share:

Tidak ada komentar:

PALING BANYAK DIBACA

ARSIP

Followers