Diam, sebuah
kata sebagai ungkapan akan ketenangan anggota badan dari tidak melakukan
aktivitas yang di dalamnya mengandung
unsur gerakan. Kalau dikatakan tangan kita tidak bergerak berarti tangan
tersebut dalam kondisi diam. Kalau kedua pasang mata tidak berkedip berarti ia
dalam keadaan diam. Kalau ada seorang yang
tenggelam dalam lamunan, maka dipastikan ia dalam keadaan diam dan tenang.
Demikianlah definisi diam.
Dalam tubuh
manusia ada tiga organ yang tidak lepas dari gerakan yang serasi, ketiga organ
itu tidak lain adalah sepasang bibir dan lidah, organ vital dan sangat urgen
dalam kehidupan manusia. Ia adalah sebuah daging yang tak bertulang, lemas dan
lembut sehingga pandai bersilat dan bergerak. Dari ketiga organ inilah
terbentuk huruf-huruf yang jelas yang kemudian terangkai menjadi sebuah kata
sebagai media penghubung dan informasi antar sesama umat manusia dan makhluk
ciptaan Allah yang lainnya, dan tersebarlah umat manusia di muka bumi ini
dengan beragam bahasa yang berbeda dan penuh makna.
Kemudian dari
bahasa inilah terlahir kecintaan, kasih sayang dan persatuan serta hubungan
yang erat antar mereka. Dari bahasa ini pulalah muncul perselisihan,
kesalahpahaman, rasa benci, dendam, pertikaian, permusuhan dan peperangan di
antara mereka.
Sumbernya tidak
lain adalah lisan yang tersulut oleh api nafsu dan jiwa durjana yang menyelinap
dalam hatinya. Ia akan dengan mudah bersilat mengikuti jurus-jurus yang
diajarkan hatinya. Memang lidah tak bertulang, ia dengan mudah melontarkan
kata-kata kotor, hinaan, cacian, provokasi dan kata-kata lain yang akan
memancing dan menyulut api kebenciaan dan permusuhan.
Semua itu
tentunya apabila hati mereka kosong dari ruh-ruh kebaikan, kering dari keimanan
dan ketakwaan, gersang dari para penyeru ke jalan Allah dan Rasul-Nya. Dan
justru sebaliknya dikuasai oleh ruh-ruh kejahatan, kotor dan terkontaminasi
oleh racun-racun kesyirikan, kebid’ahan, kemaksiatan dan perbuatan sia-sia.
Iblis telah berhasil memperdaya dan mengiming-iminginya dengan kenikmatan semu
dan sementara, dan hati itu akhirnya tercebur dan tenggelam dalam kubangan air
hitam penuh dosa.
Ia jauh dari mata
air keselamatan dan semakin jauh, sehingga tak tersisa satupun pengendali dan
rem dalam dirinya, yang akhirnya dengan mudah ia bersilat dan melontarkan
kata-kata kotor, keji dan penuh dosa.
Salah seorang
ahli hikmah Arab kuno mengatakan ;
إذا كان الكلام من
فضة فالسكوت من ذهب
[
Apabila perkataan adalah perak, maka diam adalah emasnya ]
Ini
adalah sebuah perkataan hikmah bertabur makna dan mutiara kebaikan. Kenapa
mereka bisa mengatakan seperti itu ? Tidak lain karena faidah dan keutamaan
diam telah terbukti dan dirasakan bagi mereka yang memahaminya dengan baik.
Ketahuilah
wahai saudaraku, diam itu lebih baik dan berharga, lebih membawa keselamatan
bagi empunya, ia akan terhindar dari ketergelinciran dan kebinasaan baik di
dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, para ahli hikmah menganalogikan diam
sebagai emas, sebuah barang mulia yang sangat berharga bagi manusia. Dan
memisalkan perkataan sebagai perak, barang berharga yang nilainya jauh lebih
rendah daripada emas.
Demikian
itu, karena kata-kata yang terlontar dari mulut manusia tidak terlepas dari
salah dan dosa, yang terkadang menjadi pemicu konflik dan permusuhan sesama
hamba. Apalagi jika hati itu telah terkontaminasi dan dipenuhi oleh
endapan-endapan dosa dan maksiat, yang semua itu akan mengikis dan
menghilangkan rasa dan kelembutan jiwa, menggerogoti serta mematikan iman dan
takwa sebagai pengendali bagi lisan manusia.
Untaian
ahli hikmah di atas memang begitu indah, namun makna yang terkandung di
dalamnya tidak selalu benar secara mutlak. Terkadang kata-kata itu menjadi
sebatang emas yang paling berharga, sedangkan diam hanyalah butiran-butiran
peraknya. Berdasarkan hal ini, maka masing-masing harus ditempatkan pada
tempatnya yang sesuai. Oleh karena itu, benar sekali apa yang dikatakan oleh
Al-Jahid [ seorang penyair di zaman khalifah Abbasiyyah ] ;
لكل عمل رجال ولكل
مقام مقال
[ Setiap
profesi pasti ada yang ahli di dalamnya, dan setiap tempat memiliki perkataan
yang sesuai dengannya ]
Namun
secara umum, diam itu lebih berharga daripada perkataan apabila diletakkan pada
tempatnya yang sesuai.
Ungkapan
ahli hikmah yang diperkuat oleh perkataan Al-Jahid di atas menjadi lebih
sempurna dan pas maknanya. Namun perlu diketahui wahai saudaraku, bahwa
ungkapan dan untaian mutiara yang jauh lebih mulia dan sempurna dari ungkapan
mereka di atas, yaitu kata-kata mutiara yang dirajut dari lisan sutera Nabi
Muhammad – shallallahu alaihi wa sallam – yang mulia. Di mana para punggawa
pujangga semuanya tunduk dan kagum akan keindahan sabda beliau dan makna yang
terkandung di dalamnya. Sehingga beliau dikenal sebagai sosok yang paling fasih
dalam berbahasa.
Mutiara
kata itu adalah sabda beliau yang diriwayatkan oleh sahabat mulia Abu Hurairah
;
ومن كان يؤمن بالله
واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت
[
Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berkata baik atau
diam ] [ HR. Bukhari ; 6018, Muslim ; 47 ]
Dalam
hadits di atas beliau menjelaskan bahwa perkataan baik adalah bentuk keimanan
kepada Allah dan hari akhir. Demikian juga
diam apabila ia tidak bisa berkata yang baik. Dengan demikian, apabila
kita benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir konsekuensinya adalah
berkata baik atau kalau tidak bisa hendaknya diam.
Dan
batasan baik tidaknya sebuah perkataan adalah baik tidaknya menurut Allah dan
Rasul-Nya, bukan baik menurut kaca mata manusia yang tidak lepas dari balutan
nafsu dan syahwat. Apabila kita tidak mampu mengucapkan kata-kata yang baik [
baik menurut kaca mata Allah dan Rasul-Nya ], maka hendaknya kita diam dan
menjauhkan diri dari kata-kata kotor, keji dan mengandung dosa. Karena jalan
inilah yang akan membawa kita kepada keselamatan di dunia maupun di akhirat.
Apabila
kita memaksakan diri dan tidak mampu untuk menahan dari berkata yang tidak
baik, maka hal itu bukanlah implementasi dari keimanan dan ketaqwaan kepada Allah
dan hari akhir. Justru perbuatan itu akan mengurangi kadar dan kualitas
keimanan kepada Allah dan hari akhir, dan secara global hal itu juga akan
membuat keimanan itu menjadi lemah.
Bagaimana
kita mengetahui sebuah perkataan itu baik menurut kaca mata Allah dan Rasul-Nya
? tentunya tidak ada jalan yang mengantarkan ke arah itu melainkan dengan
menuntut ilmu syari’, dan mengambilnya dari para ulama rabbani yang memiliki
amanat ilmiah dan ilahiah. Inilah satu-satunya jalan yang akan mengantarkan
kita ke jalan yang lurus yang dengannya kita mampu membedakan mana yang benar
dan mana yang salah, yang haq dari yang batil, syirik dari yang tauhid, dan
sunnah dari yang bid’ah. Oleh karena itu, Allah menurunkan al-Qur’an sebagai
al-furqan, karena ia membedakan antara yang hak dan yang batil.
Allah
berfirman ;
تبارك
الذي نزل الفرقان على عبده ليكون للعالمين نذيرا
[
Maha suci Allah yang telah menurunkan al-furqan [ al-qur’an ] kepada hamba-Nya,
agar ia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam [ jin dan manusia ] [
QS. Al-Furqan ; 1 ]
Dalam
ayat lain Allah berfirman ;
شهر
رمضان الذي أنزل فيه القرآن هدى للناس وبينات من الهدى والفرقان
[
Beberapa hari yang ditentukan itu ialah ] bulan ramadhan, bulan yang di
dalamnya diturunkan [ permulaan ] al-qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda [ antara yang hak dan
yang batil ] [ QS. Al-Baqarah ; 185 ]
Dan
Rasulullah di akhir hayatnya telah berwasiat kepada umatnya agar berpegang
teguh dengan dua pusaka yang diwariskannya kepada mereka. Beliau menjamin bahwa
mereka tidak akan tersesat selama-lamanya selama masih berpegang teguh dengan keduanya.
Beliau
bersabda ;
إني تارك فيكم ما إن
تمسكتم به لن تضلوا بعدي أحدهما أعظم من الآخر: كتاب الله
[
Aku tinggalkan sesuatu untuk kalian, jika kalian berpegang teguh dengannya,
kalian tidak akan tersesat selama-lamanya setelah sepeninggalanku, salah
satunya lebih agung dari yang lainnya, yaitu kitabullah ] [ HR. At-Tirmidzi
; 3788 ]
Beliau
juga berwasiat agar berpegang teguh dengan sunnahnya dan sunnah para
khulafaurrasyidin, dan memerintahkan mereka agar menjauhi perkara-perkara
bid’ah.
Beliau
bersabda ;
أوصيكم بتقوى الله
والسمع والطاعة، وإن عبدا حبشيا، فإنه من يعش منكم بعدي فسيرى اختلافا كثيرا،
فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء المهديين الراشدين، تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ،
وإياكم ومحدثات الأمور، فإن كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة
[
Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat
meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak habasyi. Sesungguhnya,
barangsiapa di antara kalian masih hidup, niscaya kalian akan mendapati
perselisihan yang sangat banyak. Oleh karena itu, hendaklah kalian berpegang
teguh dengan sunnahku dan sunnahnya para khulafaurrasyidin yang telah mendapat
petunjuk, gigitlah ia erat-erat dengan gerahamnya, dan jauhilah perkara-perkara
baru [ dalam agama ], karena setiap perkara yang baru [ dalam agama ] adalah
bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat ] [ HR. Abu Dawud ; 4607, At-Tirmidzi
; 2676 ]
Wahai
saudaraku, demikianlah petunjuk Allah dan Rasul-Nya dalam menuju keselamatan,
baik di dunia maupun di akhirat. Berhati-hatilah dalam menuntut ilmu syar’i,
jangan sampai salah jalan dan tersesat, mencari dan mentransfernya dari ulama
su’ [ jelek ] yang tidak memiliki amanah ilmiah dan ilahiah sedikitpun. Justru
mereka adalah golongan yang sesat dan menyesatkan, dari tangan dan lisan
merekalah muncul kerusakan dan kehancuran di muka bumi. Mereka itu adalah
orang-orang yang hendak mengeluarkan kita
dari cahaya menuju kegelapan. Ketahuilah, mereka adalah antek-anteknya
Iblis yang akan menyengsarakan manusia di dunia dan di akhirat.
Berhati-hatilah
dari mereka, karena ulama su’ pada zaman sekarang tubuh begitu suburnya
bagaikan jamur di musim penghujan. Dan hendaklah kemajuan teknologi dan
kemudahan-kemudahan di dalamnya kita manfaatkan untuk mentransfer ilmu-ilmu
syar’i ke dalam hati kita, bukan justru sebaliknya digunakan untuk mentransfer
virus-virus ganas yang akan membuat hang dan rusaknya hati dan akal kita.
Wahai
saudaraku, mulut dan lisan adalah salah satu pintu kebaikan atau keburukan. Ia
akan cenderung condong dan menempel ke salah satu di antara keduanya,
tergantung siapakah yang memegang kendalinya. Apabila keimanan dan ketakwaan
telah mengakar kuat dalam hatinya, maka ia akan menjadi pintu kebaikan yang
sempurna. Namun apabila hawa nafsu dan syahwat telah meracuni hati, menguasai
dan memegang kendalinya dengan penuh, maka ia akan berubah menjadi pintu hitam
keburukan yang menyesatkan dan membinasakan.
Wahai
saudaraku, renungkanlah firman Allah di bawah ini ;
قل استهزؤا إن الله
مخرج ما تحذرون. ولئن سألتهم
ليقولن إنما كنا نخوض ونلعب قل أبالله وآياته ورسوله كنتم تستهزؤن. لا تعتذروا قد
كفرتم بعد إيمانكم
[
Katakanlah kepada mereka [ orang-orang munafik ], “ teruskanlah ejekan-ejekanmu
[ terhadap Allah dan Rasul-Nya ]. Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang
kamu takuti itu. Dan jika kamu tanyakan kepada mereka [ tentang apa yang mereka
lakukan itu ], tentulah mereka akan menjawab, “ sesungguhnya kami hanyalah
bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah, “ Apakah dengan Allah,
ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok ?” Tidak usah kamu meminta
maaf, karena kamu kafir sesudah beriman ] [ QS. At-Taubah; 64-66 ]
Dalam
ayat di atas Allah telah menjustifikasikan dan mencap orang-orang munafik yang
menghina dan mengolok-olok Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya dengan kekafiran,
meskipun mereka beralasan hanya sekedar bermain-main dan bersenda gurau saja,
keimanan mereka tidaklah bermanfaat sama sekali, semuanya lenyap sebagai akibat
ulah liasnnya yang kotor dan lepas kendali.
Demikianlah
lisan ini, ia tidak bertulang sama sekali. Ia-lah yang memekarkan bunga-bunga
perkataan dengan semerbak wangi mempesona. Dan ia pula bisa memekarkan
bunga-bunga bangkai dengan bau yang sangat busuk dan menyengat. Ia dapat
membawa kepada kebaikan dan keselamatan. Dan sebaliknya ia juga bisa menyeret
si empunya kepada kesengsaraan dan kebinasaan, baik di dunia maupun di akhirat.
Kalau
kita menengok ke abad sekarang ini, khususnya di negeri di mana kita tinggal.
Niscaya akan kita dapati di mana semua orang tidak lepas dari yang namanya
bicara, membicarakan dan mengatakan apa saja yang sedang terlintas dalam hati
dan pikirannya, baik sesuatu yang memang bermanfaat dan dibutuhkan bagi dirinya,
atau hanya sekedar senda gurau untuk mengisi kejenuhan dan kepenatan suasana.
Atau bahkan kepada hal-hal yang mengandung dosa, seperti ghibah atau namimah,
dan inilah yang paling banyak terjadi.
Berapa
banyak waktu terbuang sia-sia hanya sekedar bersenda gurau yang mana
pembicaraannya tidak terlepas dari yang namanya namimah atau ghibah. Dan
meskipun isi pembicaraanya lepas dari ghibah dan hanya sekedar bergurau saja
dan tidak mengandung manfaat sedikit pun, maka mereka sudah terjerumus dari
perbuatan menyia-nyiakan waktu dan lalai dari berdzikir kepada Allah.
Wahai
saudaraku, seandainya waktu mereka dimanfaatkan untuk berdzikir kepada Allah,
membaca al-qur’an, menelaah kitab-kitab para ulama, menulis dan mengarang, dan
amalan-amalan shalih lainnya, baik untuk masalah dunia [ selama hal itu
bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syariat ], atau amalan-amalan shalih
lainnya yang berkaitan dengan akhirat, niscaya akan kita dapati kemajuan dan
keberhasilan umat islam, baik secara
kualitas maupun kuantitas. Kita akan mendapati masyarakat islam yang cerdas, berdedikasi, berakhlak
mulia, dan berkualitas, serta sarat dengan hasil-hasil karya ilmiah dan
bermanfaat.
Wahai
saudaraku, melihat isi pembicaraan kebanyakan manusia kosong dan hampa dari
ilmu dan berdzikir kepada Allah, atau hanya sekedar perkataan sia-sia saja
tanpa ada nilai dan manfaat, atau bahkan mengandung kata-kata yang tidak
diridhai oleh Allah sama sekali. Maka, saat itu lebih banyak diam dan menjauhi
majelis-majelis mereka jauh lebih baik dan lebih membawa diri kepada keselamatan
dan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat.
Tentunya
diam di sini adalah diam yang penuh makna yang dibalut oleh nilai-nilai iman
dan takwa, diam dalam arti menahan diri dari perkataan sia-sia dan haram,
kemudian menyibukan dirinya dengan hal-hal yang bermanfaat, baik berupa dzikir,
membaca al-qur’an, menghafal, mentelaah kitab, menulis dan hal-hal lain yang
bermanfaat bagi diri, keluarga, masyarakat dan agama.
Diam
bukanlah berarti meninggalkan perkataan sama sekali, tapi ia sebuah ungkapan
menahan diri dari perkataan sia-sia dan haram, serta meninggalkan
majelis-majelis yang akan menyeret dan membawanya ke dalam pembicaraan yang
kosong dari nilai dan manfaat.
Diam
bukan berarti ia tenggelam dalam lamunan, angan-angan kosong, dan khayalan. Tapi
ia justru tenggelam amalan-amalan shalih yang membuatnya semakin dekat dengan
Allah. Diam bukan berarti ia memenjarakan lisannya secara total, akan tetapi ia
hanya memenjarakan lisan itu saat hendak berkata sia-sia atau haram.
Barangsiapa
mampu menahan lisannya dengan rem dan kendali yang telah diberikan oleh Allah
dan Rasul-Nya. Ia tidak berbicara melainkan pada tempat-tempat dan saat-saat
yang menuntut dirinya angkat kata, dan isi pembicaraannya itu adalah hal-hal
yang baik dan diridhai oleh Allah, serta menjadikan diamnya adalah emas yang
sesungguhnya dengan menyibukan hati dan lidahnya pada hal-hal yang membuat
kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya semakin besar.
Jika
demikian, niscaya ia telah mengenggam mutiara yang berbalut sutera, keselamatan
dan kebahagiaan pun akan segera menghampiri dan menyapanya, memeluk dan
menyelimuti dirinya baik di dunia maupun di akhirat.
Ya
Allah, jadikanlah lidah ini semakin basah dengan dzikir kepada-Mu, tuntunlah ia
agar senantiasa di atas kebaikan, jauhkanlah lidah ini dari ketergelinciran,
perkataan sia-sia, dan keharaman. Sibukanlah ia dengan amalan-amalan shalih
yang semakin mendekatkan hati ini kepada-Mu, dan berilah kami taufik dan
pertolongan-Mu dalam memelihara lidah ini.
Shalawat
dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarga, sahabat
dan para pengikutnya sampai hari kiamat.
Wallohu
a’lam bishowab
Jatipadang,
21 - 3 - 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar