Bersama Bahagia Dalam Naungan Islam

Mutiara Diam

Diam, sebuah kata sebagai ungkapan akan ketenangan anggota badan dari tidak melakukan aktivitas  yang di dalamnya mengandung unsur gerakan. Kalau dikatakan tangan kita tidak bergerak berarti tangan tersebut dalam kondisi diam. Kalau kedua pasang mata tidak berkedip berarti ia dalam keadaan diam.  Kalau ada seorang yang tenggelam dalam lamunan, maka dipastikan ia dalam keadaan diam dan tenang. Demikianlah definisi diam.

Dalam tubuh manusia ada tiga organ yang tidak lepas dari gerakan yang serasi, ketiga organ itu tidak lain adalah sepasang bibir dan lidah, organ vital dan sangat urgen dalam kehidupan manusia. Ia adalah sebuah daging yang tak bertulang, lemas dan lembut sehingga pandai bersilat dan bergerak. Dari ketiga organ inilah terbentuk huruf-huruf yang jelas yang kemudian terangkai menjadi sebuah kata sebagai media penghubung dan informasi antar sesama umat manusia dan makhluk ciptaan Allah yang lainnya, dan tersebarlah umat manusia di muka bumi ini dengan beragam bahasa yang berbeda dan penuh makna.

Kemudian dari bahasa inilah terlahir kecintaan, kasih sayang dan persatuan serta hubungan yang erat antar mereka. Dari bahasa ini pulalah muncul perselisihan, kesalahpahaman, rasa benci, dendam, pertikaian, permusuhan dan peperangan di antara mereka.

Sumbernya tidak lain adalah lisan yang tersulut oleh api nafsu dan jiwa durjana yang menyelinap dalam hatinya. Ia akan dengan mudah bersilat mengikuti jurus-jurus yang diajarkan hatinya. Memang lidah tak bertulang, ia dengan mudah melontarkan kata-kata kotor, hinaan, cacian, provokasi dan kata-kata lain yang akan memancing dan menyulut api kebenciaan dan permusuhan.

Semua itu tentunya apabila hati mereka kosong dari ruh-ruh kebaikan, kering dari keimanan dan ketakwaan, gersang dari para penyeru ke jalan Allah dan Rasul-Nya. Dan justru sebaliknya dikuasai oleh ruh-ruh kejahatan, kotor dan terkontaminasi oleh racun-racun kesyirikan, kebid’ahan, kemaksiatan dan perbuatan sia-sia. Iblis telah berhasil memperdaya dan mengiming-iminginya dengan kenikmatan semu dan sementara, dan hati itu akhirnya tercebur dan tenggelam dalam kubangan air hitam penuh dosa.

Ia jauh dari mata air keselamatan dan semakin jauh, sehingga tak tersisa satupun pengendali dan rem dalam dirinya, yang akhirnya dengan mudah ia bersilat dan melontarkan kata-kata kotor, keji dan penuh dosa.

Salah seorang ahli hikmah Arab kuno mengatakan ;

إذا كان الكلام من فضة فالسكوت من ذهب

[ Apabila perkataan adalah perak, maka diam adalah emasnya ]

Ini adalah sebuah perkataan hikmah bertabur makna dan mutiara kebaikan. Kenapa mereka bisa mengatakan seperti itu ? Tidak lain karena faidah dan keutamaan diam telah terbukti dan dirasakan bagi mereka yang memahaminya dengan baik.

Ketahuilah wahai saudaraku, diam itu lebih baik dan berharga, lebih membawa keselamatan bagi empunya, ia akan terhindar dari ketergelinciran dan kebinasaan baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, para ahli hikmah menganalogikan diam sebagai emas, sebuah barang mulia yang sangat berharga bagi manusia. Dan memisalkan perkataan sebagai perak, barang berharga yang nilainya jauh lebih rendah daripada emas.

Demikian itu, karena kata-kata yang terlontar dari mulut manusia tidak terlepas dari salah dan dosa, yang terkadang menjadi pemicu konflik dan permusuhan sesama hamba. Apalagi jika hati itu telah terkontaminasi dan dipenuhi oleh endapan-endapan dosa dan maksiat, yang semua itu akan mengikis dan menghilangkan rasa dan kelembutan jiwa, menggerogoti serta mematikan iman dan takwa sebagai pengendali bagi lisan manusia.

Untaian ahli hikmah di atas memang begitu indah, namun makna yang terkandung di dalamnya tidak selalu benar secara mutlak. Terkadang kata-kata itu menjadi sebatang emas yang paling berharga, sedangkan diam hanyalah butiran-butiran peraknya. Berdasarkan hal ini, maka masing-masing harus ditempatkan pada tempatnya yang sesuai. Oleh karena itu, benar sekali apa yang dikatakan oleh Al-Jahid [ seorang penyair di zaman khalifah Abbasiyyah ] ;

لكل عمل رجال ولكل مقام مقال

[ Setiap profesi pasti ada yang ahli di dalamnya, dan setiap tempat memiliki perkataan yang sesuai dengannya ]

Namun secara umum, diam itu lebih berharga daripada perkataan apabila diletakkan pada tempatnya yang sesuai.

Ungkapan ahli hikmah yang diperkuat oleh perkataan Al-Jahid di atas menjadi lebih sempurna dan pas maknanya. Namun perlu diketahui wahai saudaraku, bahwa ungkapan dan untaian mutiara yang jauh lebih mulia dan sempurna dari ungkapan mereka di atas, yaitu kata-kata mutiara yang dirajut dari lisan sutera Nabi Muhammad – shallallahu alaihi wa sallam – yang mulia. Di mana para punggawa pujangga semuanya tunduk dan kagum akan keindahan sabda beliau dan makna yang terkandung di dalamnya. Sehingga beliau dikenal sebagai sosok yang paling fasih dalam berbahasa.

Mutiara kata itu adalah sabda beliau yang diriwayatkan oleh sahabat mulia Abu Hurairah ;

ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت

[ Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berkata baik atau diam ] [ HR. Bukhari ; 6018, Muslim ; 47 ]

Dalam hadits di atas beliau menjelaskan bahwa perkataan baik adalah bentuk keimanan kepada Allah dan hari akhir. Demikian juga  diam apabila ia tidak bisa berkata yang baik. Dengan demikian, apabila kita benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir konsekuensinya adalah berkata baik atau kalau tidak bisa hendaknya diam.

Dan batasan baik tidaknya sebuah perkataan adalah baik tidaknya menurut Allah dan Rasul-Nya, bukan baik menurut kaca mata manusia yang tidak lepas dari balutan nafsu dan syahwat. Apabila kita tidak mampu mengucapkan kata-kata yang baik [ baik menurut kaca mata Allah dan Rasul-Nya ], maka hendaknya kita diam dan menjauhkan diri dari kata-kata kotor, keji dan mengandung dosa. Karena jalan inilah yang akan membawa kita kepada keselamatan di dunia maupun di akhirat.

Apabila kita memaksakan diri dan tidak mampu untuk menahan dari berkata yang tidak baik, maka hal itu bukanlah implementasi dari keimanan dan ketaqwaan kepada Allah dan hari akhir. Justru perbuatan itu akan mengurangi kadar dan kualitas keimanan kepada Allah dan hari akhir, dan secara global hal itu juga akan membuat keimanan itu menjadi lemah.

Bagaimana kita mengetahui sebuah perkataan itu baik menurut kaca mata Allah dan Rasul-Nya ? tentunya tidak ada jalan yang mengantarkan ke arah itu melainkan dengan menuntut ilmu syari’, dan mengambilnya dari para ulama rabbani yang memiliki amanat ilmiah dan ilahiah. Inilah satu-satunya jalan yang akan mengantarkan kita ke jalan yang lurus yang dengannya kita mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, yang haq dari yang batil, syirik dari yang tauhid, dan sunnah dari yang bid’ah. Oleh karena itu, Allah menurunkan al-Qur’an sebagai al-furqan, karena ia membedakan antara yang hak dan yang batil.

Allah berfirman ;

تبارك الذي نزل الفرقان على عبده ليكون للعالمين نذيرا

[ Maha suci Allah yang telah menurunkan al-furqan [ al-qur’an ] kepada hamba-Nya, agar ia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam [ jin dan manusia ] [ QS. Al-Furqan ; 1 ]

Dalam ayat lain Allah berfirman ;

شهر رمضان الذي أنزل فيه القرآن هدى للناس وبينات من الهدى والفرقان

[ Beberapa hari yang ditentukan itu ialah ] bulan ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan [ permulaan ] al-qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda [ antara yang hak dan yang batil ] [ QS. Al-Baqarah ; 185 ]

Dan Rasulullah di akhir hayatnya telah berwasiat kepada umatnya agar berpegang teguh dengan dua pusaka yang diwariskannya kepada mereka. Beliau menjamin bahwa mereka tidak akan tersesat selama-lamanya selama masih  berpegang teguh dengan keduanya.

Beliau bersabda ;

إني تارك فيكم ما إن تمسكتم به لن تضلوا بعدي أحدهما أعظم من الآخر: كتاب الله

[ Aku tinggalkan sesuatu untuk kalian, jika kalian berpegang teguh dengannya, kalian tidak akan tersesat selama-lamanya setelah sepeninggalanku, salah satunya lebih agung dari yang lainnya, yaitu kitabullah ] [ HR. At-Tirmidzi ; 3788 ]

Beliau juga berwasiat agar berpegang teguh dengan sunnahnya dan sunnah para khulafaurrasyidin, dan memerintahkan mereka agar menjauhi perkara-perkara bid’ah.

Beliau bersabda ;

أوصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة، وإن عبدا حبشيا، فإنه من يعش منكم بعدي فسيرى اختلافا كثيرا، فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء المهديين الراشدين، تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ، وإياكم ومحدثات الأمور، فإن كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة

[ Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak habasyi. Sesungguhnya, barangsiapa di antara kalian masih hidup, niscaya kalian akan mendapati perselisihan yang sangat banyak. Oleh karena itu, hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnahnya para khulafaurrasyidin yang telah mendapat petunjuk, gigitlah ia erat-erat dengan gerahamnya, dan jauhilah perkara-perkara baru [ dalam agama ], karena setiap perkara yang baru [ dalam agama ] adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat ] [ HR. Abu Dawud ; 4607, At-Tirmidzi ; 2676 ]

Wahai saudaraku, demikianlah petunjuk Allah dan Rasul-Nya dalam menuju keselamatan, baik di dunia maupun di akhirat. Berhati-hatilah dalam menuntut ilmu syar’i, jangan sampai salah jalan dan tersesat, mencari dan mentransfernya dari ulama su’ [ jelek ] yang tidak memiliki amanah ilmiah dan ilahiah sedikitpun. Justru mereka adalah golongan yang sesat dan menyesatkan, dari tangan dan lisan merekalah muncul kerusakan dan kehancuran di muka bumi. Mereka itu adalah orang-orang yang hendak mengeluarkan kita  dari cahaya menuju kegelapan. Ketahuilah, mereka adalah antek-anteknya Iblis yang akan menyengsarakan manusia di dunia dan di akhirat.

Berhati-hatilah dari mereka, karena ulama su’ pada zaman sekarang tubuh begitu suburnya bagaikan jamur di musim penghujan. Dan hendaklah kemajuan teknologi dan kemudahan-kemudahan di dalamnya kita manfaatkan untuk mentransfer ilmu-ilmu syar’i ke dalam hati kita, bukan justru sebaliknya digunakan untuk mentransfer virus-virus ganas yang akan membuat hang dan rusaknya hati dan akal kita.

Wahai saudaraku, mulut dan lisan adalah salah satu pintu kebaikan atau keburukan. Ia akan cenderung condong dan menempel ke salah satu di antara keduanya, tergantung siapakah yang memegang kendalinya. Apabila keimanan dan ketakwaan telah mengakar kuat dalam hatinya, maka ia akan menjadi pintu kebaikan yang sempurna. Namun apabila hawa nafsu dan syahwat telah meracuni hati, menguasai dan memegang kendalinya dengan penuh, maka ia akan berubah menjadi pintu hitam keburukan yang menyesatkan dan membinasakan.

Wahai saudaraku, renungkanlah firman Allah di bawah ini ;

قل استهزؤا إن الله مخرج ما تحذرون. ولئن سألتهم ليقولن إنما كنا نخوض ونلعب قل أبالله وآياته ورسوله كنتم تستهزؤن. لا تعتذروا قد كفرتم بعد إيمانكم

[ Katakanlah kepada mereka [ orang-orang munafik ], “ teruskanlah ejekan-ejekanmu [ terhadap Allah dan Rasul-Nya ]. Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti itu. Dan jika kamu tanyakan kepada mereka [ tentang apa yang mereka lakukan itu ], tentulah mereka akan menjawab, “ sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah, “ Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok ?” Tidak usah kamu meminta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman ]   [ QS. At-Taubah; 64-66 ]

Dalam ayat di atas Allah telah menjustifikasikan dan mencap orang-orang munafik yang menghina dan mengolok-olok Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya dengan kekafiran, meskipun mereka beralasan hanya sekedar bermain-main dan bersenda gurau saja, keimanan mereka tidaklah bermanfaat sama sekali, semuanya lenyap sebagai akibat ulah liasnnya yang kotor dan lepas kendali.

Demikianlah lisan ini, ia tidak bertulang sama sekali. Ia-lah yang memekarkan bunga-bunga perkataan dengan semerbak wangi mempesona. Dan ia pula bisa memekarkan bunga-bunga bangkai dengan bau yang sangat busuk dan menyengat. Ia dapat membawa kepada kebaikan dan keselamatan. Dan sebaliknya ia juga bisa menyeret si empunya kepada kesengsaraan dan kebinasaan, baik di dunia maupun di akhirat.

Kalau kita menengok ke abad sekarang ini, khususnya di negeri di mana kita tinggal. Niscaya akan kita dapati di mana semua orang tidak lepas dari yang namanya bicara, membicarakan dan mengatakan apa saja yang sedang terlintas dalam hati dan pikirannya, baik sesuatu yang memang bermanfaat dan dibutuhkan bagi dirinya, atau hanya sekedar senda gurau untuk mengisi kejenuhan dan kepenatan suasana. Atau bahkan kepada hal-hal yang mengandung dosa, seperti ghibah atau namimah, dan inilah yang paling banyak terjadi.

Berapa banyak waktu terbuang sia-sia hanya sekedar bersenda gurau yang mana pembicaraannya tidak terlepas dari yang namanya namimah atau ghibah. Dan meskipun isi pembicaraanya lepas dari ghibah dan hanya sekedar bergurau saja dan tidak mengandung manfaat sedikit pun, maka mereka sudah terjerumus dari perbuatan menyia-nyiakan waktu dan lalai dari berdzikir kepada Allah.

Wahai saudaraku, seandainya waktu mereka dimanfaatkan untuk berdzikir kepada Allah, membaca al-qur’an, menelaah kitab-kitab para ulama, menulis dan mengarang, dan amalan-amalan shalih lainnya, baik untuk masalah dunia [ selama hal itu bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syariat ], atau amalan-amalan shalih lainnya yang berkaitan dengan akhirat, niscaya akan kita dapati kemajuan dan keberhasilan  umat islam, baik secara kualitas maupun kuantitas. Kita akan mendapati masyarakat  islam yang cerdas, berdedikasi, berakhlak mulia, dan berkualitas, serta sarat dengan hasil-hasil karya ilmiah dan bermanfaat.

Wahai saudaraku, melihat isi pembicaraan kebanyakan manusia kosong dan hampa dari ilmu dan berdzikir kepada Allah, atau hanya sekedar perkataan sia-sia saja tanpa ada nilai dan manfaat, atau bahkan mengandung kata-kata yang tidak diridhai oleh Allah sama sekali. Maka, saat itu lebih banyak diam dan menjauhi majelis-majelis mereka jauh lebih baik dan lebih membawa diri kepada keselamatan dan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat.

Tentunya diam di sini adalah diam yang penuh makna yang dibalut oleh nilai-nilai iman dan takwa, diam dalam arti menahan diri dari perkataan sia-sia dan haram, kemudian menyibukan dirinya dengan hal-hal yang bermanfaat, baik berupa dzikir, membaca al-qur’an, menghafal, mentelaah kitab, menulis dan hal-hal lain yang bermanfaat bagi diri, keluarga, masyarakat dan agama.

Diam bukanlah berarti meninggalkan perkataan sama sekali, tapi ia sebuah ungkapan menahan diri dari perkataan sia-sia dan haram, serta meninggalkan majelis-majelis yang akan menyeret dan membawanya ke dalam pembicaraan yang kosong dari nilai dan manfaat.

Diam bukan berarti ia tenggelam dalam lamunan, angan-angan kosong, dan khayalan. Tapi ia justru tenggelam amalan-amalan shalih yang membuatnya semakin dekat dengan Allah. Diam bukan berarti ia memenjarakan lisannya secara total, akan tetapi ia hanya memenjarakan lisan itu saat hendak berkata sia-sia atau haram.

Barangsiapa mampu menahan lisannya dengan rem dan kendali yang telah diberikan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia tidak berbicara melainkan pada tempat-tempat dan saat-saat yang menuntut dirinya angkat kata, dan isi pembicaraannya itu adalah hal-hal yang baik dan diridhai oleh Allah, serta menjadikan diamnya adalah emas yang sesungguhnya dengan menyibukan hati dan lidahnya pada hal-hal yang membuat kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya semakin besar.

Jika demikian, niscaya ia telah mengenggam mutiara yang berbalut sutera, keselamatan dan kebahagiaan pun akan segera menghampiri dan menyapanya, memeluk dan menyelimuti dirinya baik di dunia maupun di akhirat.

Ya Allah, jadikanlah lidah ini semakin basah dengan dzikir kepada-Mu, tuntunlah ia agar senantiasa di atas kebaikan, jauhkanlah lidah ini dari ketergelinciran, perkataan sia-sia, dan keharaman. Sibukanlah ia dengan amalan-amalan shalih yang semakin mendekatkan hati ini kepada-Mu, dan berilah kami taufik dan pertolongan-Mu dalam memelihara lidah ini.

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarga, sahabat dan para pengikutnya sampai hari kiamat.


Wallohu a’lam bishowab


Jatipadang, 21 - 3 - 2010

Share:

Tidak ada komentar:

PALING BANYAK DIBACA

ARSIP

Followers