Allah telah memberikan fitrah seorang wanita berparas cantik. Di mana kecantikan ini menjadi daya magnet dan daya pikat tersendiri yang sangat kuat bagi kaum laki-laki. Nafsu manusia pasti akan tertuju kepada perkara yang satu ini. Hal ini merupakan sifat dasar semua nafsu yang dimiliki oleh setiap orang. Ia menjadi salah satu faktor yang mendorong seorang wanita dinikahi oleh seorang laki-laki dan menjadi bahan perbincangan yang tiada habisnya di antara kaum Adam. Sebagaimana Rasulullah bersabda :
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Wanita itu dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, nasabnya, kecantikannya, dan karena agamanya. Pilihlah wanita yang memiliki agama yang baik, niscaya kamu akan beruntung.” [1]
Demikianlah selintas gambaran nafsu manusia. Ia lebih condong terhadap hal-hal yang indah, baik, dan menyenangkan. Namun dalam hadits di atas Rasulullah mewasiatkan kepada kita agar memilih seorang wanita yang memiliki agama yang baik. Karena keberadaan agama yang baik akan menjadikan ketiga perkara di atas (harta, nasab, dan kecantikan) atau salah satunya yang dimiliki oleh seorang wanita terjaga dengan baik pula. Agama akan menjadikan semuanya bernilai barokah. Karena ketiga perkara pertama bersifat sementara, adapun agama bersifat langgeng dan akan menjadikan semuanya bermakna meskipun ketiga perkara yang lain telah lenyap dari dirinya.
Allah mensyariatkan kaum Hawa untuk berjilbab dengan baik. Menutupi kecantikan dan keindahan yang ada dalam tubuhnya. Karena kecantikan wanita adalah sumber fitnah bagi kaum Adam. Ia akan dengan cepat merusak dan mempengaruhi hati dan pikiran seorang laki-laki yang melihatnya. Dengan jilbab inilah ia akan meredam semua gejolak fitnah syahwat laki-laki. Di samping itu, Allah menghendaki bahwa keindahan dan kesejukan seorang wanita hanya diperuntukkan bagi laki-laki yang halal, yaitu para suami mereka.
----------------------------
[1] HR. Bukhari (5090), Muslim (3708), Abu Dawud (2049), At-Tirmidzi (1086), An-Nasai (3230), Ibnu Majah (1858) dan Ahmad (9517)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar