Bersama Bahagia Dalam Naungan Islam

Saat Ikhtilat Menjadi Tradisi

Pada zaman sekarang ini, ikhtilat sepertinya sudah menjadi budaya dan tradisi di Negeri ini. Tidak ada tempat melainkan di sana ada ikhtilat. Dalam dunia pendidikan, kampus, dunia kerja, pusat-pusat perdagangan, tempat hiburan, rekreasi, bahkan sampai pada angkutan umum, baik darat, laut maupun udara. Kalau kita hendak berpergian, seakan-akan kita tidak bisa terlepas dari fitnah yang satu ini.

Dalam dunia pendidikan di tingkat sekolah, dari TK sampai tingkat lanjutan para siswa telah terbiasa dengan tradisi semacam ini. Kelas yang menjadi tempat belajar mereka setiap harinya tidak ada sekat yang memisahkan antara siswa laki-laki maupun perempuan. Mereka terbiasa dengan diskusi bersama, bercanda bersama, belajar bersama, makan dikantin berbaur dengan teman-teman perempuan, pulang pergi sekolah juga beramai-ramai dengan mereka sembari mengobral canda tawa, dan melakukan kegiatan-kegiatan lainnya secara bersama-sama. Inilah yang kemudian menjadi pemandangan dalam setiap harinya dan telah menjadi tradisi di antara mereka yang apabila tidak mereka lakukan akan terasa hambar aktivitas dan pergaulannya.

Demikian juga pemandangan di tempat kerja, perkantoran, pabrik-pabrik, toko-toko, swalayan, sampai pada pasar-pasar tradisional maupun tempat-tempat lainnya. Tradisi semacam ini ditambah kondisi masyarakat yang secara umum bersikap apatis serta awam terhadap ilmu agama, pula pengaruh yang kuat dari budaya barat yang terus menyebar ke setiap pelosok negeri ini. Sekaligus dianggap sebagai legitimasi akan baik dan wajarnya budaya tersebut yang sejatinya tidaklah sesuai dengan nilai-nilai islam yang mulia.

Suara mayoritas dalam islam bukanlah sebuah tolak ukur dalam baik maupun buruknya sebuah perkara. Maka apabila ikhtilat itu telah menjamur di tengah-tengah masyarakat dan sulit untuk kita hindari, hal itu tidaklah menjadi sebuah legitimasi akan sah dan wajarnya ikhtilat. Seberapa banyak pun manusia yang melakukan perkara haram, maka jumlah itu tidak akan merubah hukum perbuatan tersebut menjadi halal. Ataupun sebaliknya, seandainya perkara halal itu hanya diamalkan oleh segelintir manusia saja, maka jumlah yang sedikit itu juga tidak akan merubah status hukum halal menjadi haram.

Adapun mayoritas umat manusia itu berada dalam kesesatan, maka apabila kita mengikuti mayoritas mereka, berarti kita akan terjerumus dalam kesesatan. Hal ini sebagaimana firman Allah :

“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Yang mereka ikuti hanyalah persangkaan belaka, dan mereka hanyalah membuat kebohongan.” (QS. Al-An’am : 116)

Banyak sekali hasil penelitian yang memaparkan betapa tragis dan mengerikan kondisi masyarakat yang diakibatkan oleh pergaulan bebas yang berawal dari anggapan wajar dan sah akan khulwah maupun ikhtilat di tengah-tengah mereka.

Munculnya kasus-kasus perselingkuhan di dunia perkantoran antara bos dengan sekretarisnya, atau majikan dengan pembantunya, atau guru dengan muridnya, dosen dengan mahasiswinya, atau yang semisalnya adalah bersumber dari pergaulan mereka yang tidak lepas dari kebiasaan khulwah maupun ikhtilat.

Ikhtilat atau percampuran bebas antara lawan jenis merupakan unsur paling menentukan untuk terjadinya masalah-masalah seksualitas, penderitaan psikologis, serta rangsangan naluri. Dari percampuran bebas inilah yang kemudian memunculkan kasus-kasus lain seperti kasus aborsi, kelahiran yang tidak diinginkan, bunuh diri, hamil diluar nikah, semakin menjamurnya dunia prostitusi, pembunuhan, pencurian, kasus narkoba, dan kasus-kasus kriminalitas lainnya. Belum lagi kebiasaan itu akan berimbas pada buruknya masalah sosial, psikologis, pergaulan, mental, kepribadian dan dampak-dampak buruk lainnya.

Sungguh, tradisi khulwah maupun ikhtilat merupakan tipu daya orang-orang Yahudi maupun Nashrani yang hendak menghancurkan umat islam baik secara mental, sosial, spiritual maupun intelektual. Oleh karena itu, hendaknya umat islam harus lebih berhati-hati terhadap propaganda-propaganda yang dihembuskan oleh mereka melalui media-media yang semakin hari semakin canggih, pula pemikiran yang dibawa oleh para akademisi yang selama ini menimba ilmu di luar negeri yang telah terpengaruh oleh budaya barat dan pulang ke dalam negeri dengan mengatasnamakan moderenisasi.

Rasulullah telah bersabda :

لَتَتَّبِعُنَّ سُنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ، قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، اليَهُودُ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: فَمَنْ

“Sungguh kalian akan mengikuti tradisi dan budaya umat sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, dan sehasta demi sehasta hingga jikalau mereka masuk ke dalam liang hewan dhab [sejenis biawak], maka kalian pun akan mengikutinya.” Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu Yahudi dan Nashrani ?“ Beliau menjawab, “Siapa lagi !” [1]

Banyak orang yang membolehkan ikhtilat, menganggapnya hal biasa dan mengingkari bahaya yang akan muncul dari kebiasaan ikhtilat. Menurutnya perihal ikhtilat itu tidak ada dalil sharih [gamblang] yang melarang ataupun mengharamkannya, sementara hukum asal sebuah muamalah adalah boleh. Dengan demikian hukum ikhtilat yang merupakan bagian dari muamalah adalah boleh-boleh saja.

Ketahuilah, anggapan itu hanyalah pengekoran terhadap hawa nafsu belaka yang tidak bersandar pada syariat sama sekali. Padahal para ulama telah menjelaskan akan haramnya ikhtilat dan dampak negatif darinya dengan membawakan dalil-dalil yang shahih dan sharih dari Rasulullah. Di antaranya ialah hadits :

Dari Abu Usaid Al-Anshori dari Bapaknya bahwa dia mendengar Rasulullah bersabda – ketika itu beliau sedang di luar Masjid melihat beberapa laki-laki dan perempuan bercampur baur di tengah jalan – kepada para wanita itu :

اسْتَأْخِرْنَ، فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ تَحْقُقْنَ الطَّرِيقَ، عَلَيْكُنَّ بِحَافَّاتِ الطَّرِيقِ

“Mundurlah [kalian wahai para wanita], kalian tidaklah layak melintas di tengah-tengah jalan, hendaklah kalian menepi ke sisi jalan.”

Setelah itu para wanita menepi hingga ke dinding [di pinggir jalan], sampai-sampai sesuatu yang ada di dinding menempel di pakaian mereka karena saking dekatnya.[2]

Juga atsar dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah melarang seorang laki-laki berjalan di antara dua perempuan.[3]

Dari Hadits di atas kita bisa melihat bagaimana usaha beliau untuk mencegah keburukan agar tidak tersebar di tengah-tengah umatnya. Seorang laki-laki saja dilarang untuk berjalan di antara dua perempuan, maka bagaimana halnya jika beberapa perempaun dan laki-laki berbaur di satu tempat hanya untuk mengobrol, bercanda ria, atau hanya bermain-main saja di antara mereka, tentu hal itu lebih tercela dan terlarang lagi. Oleh karena itu, kebaikan dan kemuliaan hanya akan diraih dengan mengikuti petunjuk Rasulullah.

Dalam riwayat Ibnu Hibban, dari Rasulullah bahwa beliau bersabda :

لَيْسَ لِلنِّسَاءِ وَسَطُ الطَّرِيقِ

“Tidak layak para wanita berjalan di tengah-tengah jalan.”

Sabda beliau, “Tidak layak para wanita berjalan di tengah-tengah jalan” merupakan lafadz khabar [berita] yang maksudnya ialah larangan terhadap sesuatu yang tersembunyi di dalamnya, yaitu bersentuhannya wanita dengan laki-laki saat berjalan, karena umumnya para laki-laki itu berjalan di tengah-tengah jalan. Maka wajib bagi para wanita untuk menepi ke pinggir jalan ketika hendak melintas agar tidak bersentuhan dengan para laki-laki.[4]

Demikian juga sabda Rasulullah tentang shaf shalat berjamaah :

خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا، وَشَرُّهَا آخِرُهَا، وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا، وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا

“Shaf yang terbaik bagi laki-laki ialah yang terdepan, dan yang terburuk ialah yang paling belakang. Adapun shaf yang terbaik bagi perempuan ialah yang paling belakang, dan yang terburuk ialah shaf yang paling depan.” [5]

Imam Nawawi berkata, “Adapun keutamaan shaf terakhir bagi perempuan karena jauhnya mereka dari bercampurnya dengan laki-laki, pandangannya terhadap mereka, keterikatan hati dengannya saat melihat gerakaanya, mendengar percakapannya atau yang semisalnya. Sementara jeleknya shaf terdepan bagi perempuan karena alasan dari kebalikan itu semua. Wallohu a’lam.”[6]

Syaikh Ibnu Baz berkata dalam fatawanya, “Setiap orang yang memilki bashirah [ilmu] pasti mengetahui akan keadaan dunia saat ini, bahwa ikhtilat [campur baur] antara laki-laki dan perempuan akan mengakibatkan kerusakan dan keburukan yang besar serta akibat-akibat lain yang tercela. Hal itu menunjukkan akan keutamaan apa yang dibawah oleh syariat ini. Dan sudah menjadi kewajiban untuk berpegang teguh dengan hukum-hukumnya dalam setiap keadaan, tempat dan waktu serta harus bersikap waspada dari penyelisihan terhadapnya.”[7]

Demikianlah beberapa dalil dan kalam ulama yang menunjukkan akan haramnya ikhtilat serta akibat buruk yang ditimbulkan olehnya. Cukuplah dalil-dalil di atas sebagai pedoman hidup kita agar kita lebih berhati-hati dari sikap menggampangkan ikhtilat antara laki-laki dan perempuan. Tidaklah petunjuk Rasulullah ditegakkan melainkan akan tercipta suasana kedamaian dan kesejahteraan di tengah-tengah masyarakat baik lahir maupun batin.


------------------------
[1] HR. Bukhari (7320), Muslim (2669) dan Ibnu Majah (3994)
[2] HR. Abu Dawud (5272) dan At-Thabrani di Al-Mu’jam Al-Kabir (580)
[3] HR. Abu Dawud (573)
[4] Shahih Ibnu Hibban, 12/416 – 417, no. 5601
[5] HR. Muslim (440), Abu Dawud (678), At-Tirmidzi (224), An-Nasa’I (820) dan Ibnu Majah (1001)
[6] Syarh An-Nawawi ‘Ala Muslim, Imam An-Nawawi, 4/159-160
[7] Majmu Fatawa Ibnu Baz, Abdul Aziz bin Baz, 1/120
Share:

Tidak ada komentar:

PALING BANYAK DIBACA

ARSIP

Followers