Bersama Bahagia Dalam Naungan Islam

Khulwah, Sebuah tradisi yang keji

Laki-laki membutuhkan perempuan sebagaimana perempuan juga membutuhkan laki-laki. Kebutuhan yang menjadi tuntutan masing-masing beraneka ragam, mulai dari kebutuhan biologis, rasa aman, tentram, kebutuhan sandang, pangan, tempat tinggal dan lain sebagainya. Untuk mencapai semua kebutuhan tersebut, mereka harus mengikuti jalur-jalur syar’i. Di antaranya mengikat hubungan batin mereka dengan tali suci pernikahan. Karena perempuan yang bukan mahram bagi laki-laki dilarang menyendiri dengan lawan jenis untuk saling membantu memenuhi kebutuhannya, apalagi untuk sebuah kebutuhan biologis mereka. Hal ini sangatlah terlarang dalam islam. Hanya tali pernikahanlah yang bisa menghalalkan hubungan mereka bersama.

Rasulullah bersabda :

لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا كَانَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ

“Janganlah sekali-kali seorang laki-laki menyendiri dengan seorang perempuan (yang bukan mahramnya), melainkan syaithan menjadi orang ketiganya.” [1]

Hadits di atas memberikan pengertian bahwa dampak negatif khulwah (menyendirinya seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahramnya) sangatlah besar. Karena hawa nafsu laki-laki dan sifat lemah seorang perempuan akan dimanfaatkan baik oleh orang ketiga di antara mereka yaitu syaithan. Ia akan membisikan ke dalam hati mereka untuk melakukan perbuatan yang tidak senonoh yang mengarah kepada zina. Seperti saling memandang, membelai, berpelukan, ciuman dan akhirnya mereka melakukan apa yang seharusnya tidak dilakukan yaitu melakukan perzinaan. Inilah akhir dari bisikan setan untuk menghancurkan manusia yang senang berkhulwah. Di saat moment-moment inilah setan akan membuat indah suasana, menambah kecantikan si wanita, mengalirkan beribu-ribu rayuan mesra yang hakikatnya adalah bisa ular yang sangat beracun sampai mereka terjatuh dalam kenistaan dan perbuatan keji yang sangat di larang dalam islam.

Ketahuilah, bahwa disaat kau sedang sendirian, atau berkhulwah [menyepi] bersama pasanganmu yang bukan mahramnya, sesungguhnya kau tidaklah sendirian. Allah senantiasa mengawasimu dan apa saja yang kau perbuat dengannya, serta tiadalah pernah kau terlepas dari pandangan Allah.

Seorang penyair mengatakan :

وَإِذَا خَلَوْتَ بِرِيْبَةٍ فِيْ ظُلْمَةٍ وَالنَّفْسُ دَاعِيَةٌ إِلَى الطُّغْيَانِ

فاسْتَحْيِ مِنْ نَظَرِ الْإِلَهِ وَقُلْ لَهَا إِنَّ الَّذِي خَلَقَ الظَّلَامَ يَرَانِيْ

Ketika engkau sendirian dan menyimpan suatu keraguan dalam kegelapan
Sedangkan jiwamu mengajak kepada kesesatan
Maka malulah dikau dari pandangan Rabb-mu, dan katakanlah kepadanya
Sesungguhnya yang menciptakan kegelapan melihat diriku
[2]

Allah berfirman :

“Dan janganlah engkau dekati zina, karena hal itu adalah perbuatan keji dan jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra : 32)

Syaikh As-Sa’di menjelaskan tentang makna ayat di atas, ”Larangan mendekati zina lebih dalam maknanya daripada sekedar melarang dari berbuat zina. Di mana ia mencangkup larangan terhadap semua perkara yang dapat mengundang perbuatan zina. Barangsiapa mendekati tempat terlarang, dikhawatirkan ia akan terjerumus ke dalamnya. Terutama dalam perkara ini, di mana hawa nafsu menjadi faktor yang paling kuat.

Kemudian Allah mensifati zina sebagai perbuatan yang sangat keji, maksudnya sangat keji secara syari’, akal maupun fitrah. Karena di dalamnya mencangkup tindakan pelanggaran terhadap kehormatan, baik terhadap hak Allah, hak perempuan, hak keluarga ataupun terhadap para suaminya, dan juga telah merusak rumah tangga serta menjadi sebab tercampurnya nasab dan kerusakan-kerusakan yang lainnya.”[3]

Demikian juga hadits di atas tidaklah memberikan pengertian bahwa berkumpulnya beberapa laki-laki dan beberapa wanita yang bukan mahramnya dibolehkan dalam islam. Kasus seperti ini dalam islam disebut dengan ikhtilat. Islam melarang bercampur baurnya laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya kecuali dalam kondisi yang sangat mendesak dan darurat. Maka kondisi semacam ini dibolehkan sebatas kebutuhan darurat itu masih ada dengan tetap menjaga batasan-batasan syar’i yang lainnya.

Namun jika keadaan darurat telah kembali normal, maka hilanglah rukhsoh (keringanan) yang diberikan oleh islam. Sebuah kaidah ushul mengatakan, “Keadaan darurat menghalalkan perkara-perkara yang haram”.[4] Kaidah ini kemudian dibatasi oleh kaidah yang lain, “ Keadaan darurat diukur dengan kebutuhannya”.[5] maksudnya kita boleh melakukan perkara yang haram saat darurat itu menimpa kita sesuai dengan kebutuhan.

Saat kebutuhannya telah terpenuhi dan keadaan daruratnya telah hilang, maka perkara haram tadi kembali ke hukum asalnnya dan kita sudah tidak boleh melakukannya kembali. Seperti memakan bangkai yang hukumnya adalah haram, namun jika seseorang tertimpa rasa lapar yang sangat dan tidak ada makanan selain bangkai hewan yang ia dapatkan, sementara jika dirinya tidak memakannya maka ia akan mati. Maka ketika itu ia dibolehkan memakan bangkai sebatas untuk untuk menghilangkan rasa laparnya agar dirinya tetap bertahan hidup. [6]


---------------------------
[1] HR. At-Tirmidzi (2165) dan Ahmad (114)
[2] Homoseks, Bahaya dan Solusinya, hal 76
[3] Tafsir As-Sa’di, Syaikh As-Sa’di, hal 457
[4] Al-Mumti’ Fii Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, DR. Musalim bin Muhammad bin Majid Ad-Dausari, hal 191
[5] Ibid, hal 195
[6] Ibid, hal 193
Share:

Tidak ada komentar:

PALING BANYAK DIBACA

ARSIP

Followers