Bersama Bahagia Dalam Naungan Islam

Sisi Lain Anak [ Mahasiswa ] LIPIA

Kampus LIPIA, menurut yang saya ketahui hanya dikenal oleh beberapa kalangan saja. Kampus ini tidaklah seperti layaknya kampus-kampus lain, baik yang negeri atau swasta, seperti halnya UI, UGM, UNPAD, UNDIP, UNIBRAW, ITB atau yang lainnya yang tiada asing lagi bagi kalangan pelajar dan akademis lainnya.

Adapun LIPIA hanya sebatas dikenal di kalangan akademis ilmu syar’i saja dan beberapa masyarakat tertentu, seperti di kalangan para santri pondok pesantren, ma’had moderen, pelajar aliyah, dan yang semacamnya, dan itu pun tidak semuanya, masih banyak mereka yang belum mengenal dan ada sebagian yang mendoktrin para santrinya untuk tidak menimba ilmu syar’i di LIPIA.

Alasannya – menurut saya pribadi – karena LIPIA hanya menyajikan satu fakultas saja, yaitu fakultas syariah jurusan muqaranatul madzahib [ perbandingan madzhab ]. Inilah yang menjadi sebab kampus LIPIA hanya dikenal di beberapa kalangan saja, hal ini berbeda sekali dengan kampus-kampus lain yang menyediakan banyak pilihan fakultas dan jurusan yang menjadi favorit bagi sebagian kalangan akademis yang hendak melanjutkan pendidikan tingginya.

Di samping itu, kuliah di fakultas syariah atau bertakhoshush [ berkonsentrasi ] pada pendidikan syariah masih kurang diminati oleh banyak pelajar dan mendapat respon dari sebagian orang tua, karena menurut sebagian besar mereka bahwa prospek kuliah di fakultas yang berbau agamis kurang menjanjikan dari sisi ekonomi ke depannya.

Inilah paradigma dan pola pikir yang telah menjangkit banyak orang tua yang kemudian tertelurkan pada anak-anak mereka. Tentunya belajar ilmu syar’i bukanlah dipetakan untuk seperti yang apa mereka harapkan, akan tetapi ia lebih disiapkan untuk menghilangkan kebodohan agama, mengubah pola pikir, mental, kepribadian, dan akhlak yang telah banyak menyimpang di masyarakat. Inilah tujuan dari pendidikan ilmu syar’i yang diharapkan menjadi rem dan tolak ukur dalam amalan atau muamalah lainnya agar tidak membawa kemudaratan bagi manusia yang lainnya.

Sebenarnya, kalau saya perhatikan sendiri bahwa belajar di LIPIA tidaklah sebatas belajar ilmu syar’I semata. Banyak hal yang perlu dikembangkan lagi dari materi syariah yang telah dipelajarinya di kelas, bisa berupa belajar mengenal pola pikir manusia, sikap, perilaku, akhlak, cara bergaul, cara berbisnis yang syar’I, bagaimana bersikap akan keragaman manusia, cara berbijak terhadap kehidupan kota yang sangat keras dan menantang, dan masih banyak lainnya.

Pula, hendaknya tidaklah seorang Mahasiswa bercukup diri mempelajari apa yang menjadi mata kuliah di kelasnya, akan tetapi ia harus lebih mengembangkan sendiri dan menambah maklumat lainnya dengan banyak membaca referensi lain dan mengikuti acara-acara yang menyuguhkan banyak pengetahuan dan pengalaman tambahan lain yang bisa dijadikan modal setelah lulusnya dari kampus LIPIA.

Adapun keadaan Mahasiswa LIPIA sebenarnya tiadalah jauh berbeda dengan Mahasiswa dari kampus-kampus lainnya dalam hal belajar hidup dan kemandirian dalam hidup, tentunya yang ingin menjadi objek pandangan saya dalam hal ini hanyalah mereka yang dari kalangan ekonomi menengah ke bawah.

Karena mereka yang berasal dari kalangan yang berkocek tebal tentu tiada mengalami kesulitan dalam kuliahnya, terutama masalah biaya pendidikan dan biaya hidup yang jauh dari orang tua dan kampung halaman. Mereka cukup berkata, “ mamah, opah, atau abang “ saat dompetnya telah menipis, mereka hanya tinggal menunggu transferan dari kedua orang tuanya.

Hal ini berbeda sekali dengan kalangan Mahasiswa yang berasal dari keluarga yang pas-pasan atau bahkan dari keluarga yang serba kekurangan namun memiliki semangat akademis yang tinggi untuk merubah masa depannya. Banyak kita temukan di berbagai kampus tentang perjuangan dan kerja keras mereka untuk mempertahankan diri tetap bisa lulus dari kuliahnya.

Dan perihal ini banyak terjadi pula di Kampus LIPIA, apalagi rata-rata Mahasiswa LIPIA berasal dari kalangan keluarga yang biasa-biasa saja secara ekonomi atau bahkan terbilang lebih susah lagi dari apa yang terbayangkan oleh kita. Terlebih lagi bagi mereka yang menikah selama masih masa pendidikan. Bagi mereka, kewajibannya telah tersita dan terbagi lagi untuk keluarga dan anak-anaknya. Di sinilah perjuangan dan kerja keras yang harus digengam eratnya dalam hidupnya disamping harus tetap semangat menuntut ilmu syar’i.

Akan tetapi yang membuatnya unik dan berbeda antara perjuangan dan pengalaman hidup para Mahasiswa LIPIA dan Mahasiswa dari kampus-kampus pada umumnya selama masa kuliah ialah terletak dalam balutan syar’I yang menghiasinya. Dan ini hanya penilaian secara umum saja dan itulah fakta pada umumnya, meski banyak pula anak-anak dari kampus lain yang terhiasi oleh nilai-niali syar’I dalam muamalah kesehariannya.

Kalau kita perhatikan, banyak Mahasiswa LIPIA yang tersibukan oleh kegiatan-kegiatan di luar kampus untuk menambah pemasukan finansial demi biaya hidup dan keberlangsungannya tetap kuliah di Jakarta.

Ada di antara mereka ada yang sibuk dengan mengajar privat materi sekolah pelajar SD atau SLTP, mengajar privat ngaji anak-anak, mengisi kajian bapak-bapak atau ibu-ibu, mengajar di pondok pesantren atau ma’had pada jam sore atau hari libur kuliah, mengajar ngaji anak-anak TPQ.

Ada pula yang sibuk menerjemah kitab-kitab arabic dari tawaran beberapa penerbit, menulis artikel di beberapa majalah, surat kabar, atau ada pula nyambi menulis buku yang kemudian di tawarankan hak ciptanya ke penerbit. Dan semua kegiatan-kegiatan di atas masih nyambung dan tidak jauh dari apa yang mereka pelajari di kampusnya.

Dan itulah nasib dan rizki yang telah terbagikan kepada mereka, masing-masing sesuai dengan kemampuan dan kelebihan yang telah Allah titipkan kepada mereka.

Namun, yang lebih menarik lagi, banyak Mahasiswa LIPIA yang bergelut di bidang lain hanya demi mendapat tambahan sisi finansialnya untuk menyokong biaya hidup di Ibu Kota Jakarta. Selama hal itu halal dan boleh secara syara’, maka ia menjadi pilihan untuk menjadi salah satu mata air tambahan finansialnya. Meski sebenarnya semua Mahasiswa LIPIA terbebas dari biaya kuliah dan mendapat beasiswa penuh yang sangat membantu dalam pembiayaan hidup kesehariannya, namun beasiswa itu tidak bisa di andalkan dalam setiap bulannya, dalam arti bahwa beasiswa itu tidak bisa dicairkan dalam setiap bulannya, sehingga tanpa adanya tambahan pemasukan lain, tentu hal itu sangat menyulitkan bagi mereka.

Yang menarik bagi saya, bahwa tanpa segan dan malu para Mahasiswa LIPIA sebagai penimba ilmu syar’I mau bergelut dengan kesibukan-kesibukan lain di luar kampusnya yang mungkin menurut sebagian orang terkesan tiada kualitasnya. Tapi menurut mereka selama itu halal dan baik, maka tiadalah ia tercela dan hina sedikitpun dalam pandangan Allah.

Dari yang saya ketahui, ada di antara mereka yang jualan centhong [ sendok besar untuk nasi ] selepas kuliah di KRL sepanjang jurusan Bogor – Jakarta Kota, jualan kopi panas di malam tahun baru di sekitar MONAS, jualan nasi uduk dan menerima pesanan untuk acara tertentu, jualan pernik-pernik [ seperti sisir, jepet rambut, jarum pentul, dan yang semacamnya ], jualan keripik singkong yang digoreng dan dikemas sendiri.

Adapula yang jualan pulsa dan jual-beli HP, bisnis jual-beli asesoris computer, jual-beli motor bekas, jualan baju-baju yang ditawarkan ke warga dan di beberapa perumahan, bisnis herbal, jual gorengan dan nasi goreng di kelas, jual susu sapi murni dan segar, bahkan di kelas saya ada yang jualan balok [ gorengan singkong yang di iris kotak kecil-kecil mirip balok ].

Juga ada yang produksi sule [ susu kedelai ] dan di pasarkan setiap harinya, atau terapi bekam dan pijat, ada pula yang membuka pangkas rambut, ada pula yang produksi roti kecil-kecilan yang dititipkan di beberapa kos teman-temannya, atau jualan makanan kecil yang dititipkan pula di tempat kontrakan teman-temannya, bahkan ada teman saya yang jualan serabi yang disetok di kelas dan warung di daerah Mampang. Dan masih banyak kesibukan-kesibukan lain yang menjadi keunikan dan pengalaman sendiri bagi para Mahasiswa LIPIA khususnya.

Intinya, semuanya itu adalah pengalaman dan pembelajaran hidup bagi para Mahasiswa LIPIA di samping harus sibuk menimba ilmu syar’i. Sesungguhnya belajar itu tidaklah sebatas di kelas atau di lingkup kampus saja, apa yang kita lakukan, yang terlihat, yang terdengar, dan teralami, semua itu adalah proses belajar dan bagian dari pembelajaran yang sarat nilai dan makna bagi si empunya kelak di kemudian hari.

Akhir kata, semoga Allah senantiasa membentangkan keberkahan dan kebaikan dalam setiap langkah para Mahasiswa LIPIA. Dan semoga Allah menganugerahkan kepada mereka ilmu yang bermanfaat bagi dirinya dan manusia lainnya, dan terhamparkan kemanfaatannya itu di setiap pelosok negeri. Amiin

Wallohu a’lam bishowab
Share:

Tidak ada komentar:

PALING BANYAK DIBACA

ARSIP

Followers