Siapa
yang tak kenal Mbah SURIP [ sosok musisi dadakan yang menghebohkan dunia
permusikan Indonesia ], dalam hitungan hari, melalui lagu [ Tak Gendong
Kemana-mana ], nama beliau langsung melejit dan menjadi idola semua
kalangan, mulai dari anak-anak hingga orang tua, mulai dari yang miskin papa sampai
yang kaya raya, bahkan mulai dari para pengamen jalanan sampai musisi beneran.
Dalam sekejap beliau berubah menjadi orang ber-uang, penuh orderan manggung di sana-sini, dan sering kali mententeng gitar tuanya ke luar kota sambil memakai penutup kepalanya yang unik beragam warna. Style beliau pun menjadi trend yang antik lagi unik, tak jarang kita dapati style Mbah Surip hilir mudik disetiap acara, dan juga lagunya terkumandang menambah serunya suasana, baik di jalanan, angkutan umum, terminal, stasiun dan tempat-tempat publik lainnya.
Dalam sekejap beliau berubah menjadi orang ber-uang, penuh orderan manggung di sana-sini, dan sering kali mententeng gitar tuanya ke luar kota sambil memakai penutup kepalanya yang unik beragam warna. Style beliau pun menjadi trend yang antik lagi unik, tak jarang kita dapati style Mbah Surip hilir mudik disetiap acara, dan juga lagunya terkumandang menambah serunya suasana, baik di jalanan, angkutan umum, terminal, stasiun dan tempat-tempat publik lainnya.
Dari lirik
lagu beliau, saya teringat akan dunia anak-anak, masa kecil yang tak terlepas dari
gendongan. Siapa pun dia, yang pernah merasa menjadi bayi atau anak kecil,
pasti mengaku pernah digendong, ditimang, dan itu bukan hanya sekali dua kali,
bahkan berkali-kali [ yang gak pernah merasa digendong, berarti ia terlahir
seperti anak kambing, keluar dan selang berapa menit berjalan dan lari-lari ].
Gendongan adalah
simbol kedekatan, keakraban dan kehangatan antara yang menggendong dan yang
digendong, terlebih saat digendong orang tuanya sendiri, terutama si ibu
yang telah melahirkannya. Inilah keakraban dan ikatan batin antara subjek dan
objek. semakin sering di gendong, semakin besar rasa sayang tertuang pada yang
digendong, semakin akrab dan kuat ikatan batin keduanya.
Oleh karena
itu, kenapa seorang anak lebih dekat dengan ibunya dari pada bapaknya, lebih
memilih untuk curhat dengan mama daripada papa, lebih sering ngobrol dan canda
ria bersama ibunya, dan tidak dengan bapaknya, lebih kangen dengan ibu saat di
negeri orang daripada bapaknya. Ya, salah satunya karena si ibu lebih sering menggendongnya,
menimang, dan bercanda ria dalam kebersamaan, sementara bapaknya hanya sesekali
dan tersibukan dengan pencarian nafkah di luar rumah.
Tapi, bukan
berarti jarangnya timangan dan gendongan bapak akan anaknya berarti tipisnya
rasa sayang dan kasih akan anak-anaknya. Semua itu hanya terletak pada
intensitas dan keseringan belaka, disebab kesibukan mencari nafkah menjadi
kewajiban yang tak boleh terkupas. Ya, inilah fitrah Ilahi yang harus diterima
apa adanya, tak boleh ditentang, bahkan dipaksakan berubah.
Dan yang lebih
miris lagi, saat kita mendapati seorang ibu [ yang tadinya sosok yang paling
sayang akan anak-anaknya ] menjadi sesosok yang sangat kejam dan lalim,
membuang bayinya [ tanpa tebang pilih, laki-laki atau perempuan ] yang baru
terlahir, tersaksikan oleh peluhnya, dan masih memerah di tong-tong sampah,
pinggir-pinggir jalan, atau tempat-tempat lainnya, yang akhirnya kematian pun
merenggut si bayi [ saat terlepas dari penglihatan manusia yang masih menaruh
rasa iba ]. Apa dosa mereka [ bayi-bayi yang terbuang ] sampai harus terhina
seperti itu….
Padahal di
masa fir’aun saja, yang mereka bunuh hanyalah anak laki-laki dan membiarkan
hidup anak perempuan. Karena fir’aun khawatir dengan terlahirnya anak laki-laki
akan menjadi sosok yang akan menghancurkan kekuasaannya. Alloh berfirman;
يذبحون أبناءكم ويستحيون نساءكم
“ Mereka
menyembelih anak laki-lakimu dan membiarkan hidup anak-anak perempuanmu ” [ QS. Al-Baqarah; 49 ]
Dan
sebaliknya, di masa Umar belum masuk islam, orang tua [ Bapak ] lebih memilih
membunuh anak perempuan mereka dengan menguburnya hidup-hidup, karena mereka
beranggapan bahwa perempuan tidak berguna, menjadi barang yang diperjaulbelikan,
hanya menjadi aib yang tidak bisa ikut berperang, berbeda dengan anak
laki-laki.
Berbeda dengan
sekarang, semua tanpa tebang pilih, saat si perempuan menggangap anak yang
terlahir tidak pantas baginya, hanya akan menjadi beban hidup, dan berfikir bahwa
ia tidak bisa memberi nafkah kepadanya, ia pun langsung di buangnya [ baik
dalam keadaan hidup maupun sudah mati, entah itu laki-laki atau perempuan ].
Mereka
tidak menyadari bahwa yang menanggung rezeki anaknya adalah yang telah menciptaknnya,
yaitu Allah. Bahwa semua rezeki manusia telah terbagi sejak sebelum
mereka terlahir ke dunia, sampai hewan melata pun telah mendapat jatah dari-Nya.
Alloh berfirman;
وما من دابة في الأرض إلا على الله رزقها
ويعلم مستقرها ومستودعها كل في كتاب مبين
“ Dan tidak satupun
makhluk bergerak [ bernyawa ] di bumi melainkan semua rezekinya dijamin Allah.
Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua [ tertulis ]
dalam kitab yang nyata [ lauh mahfuz ].” [ QS. Hud; 6 ]
Berikut
kesimpulan uraian di atas;
[ 1 ] Tuangkanlah rasa kasih
sayang yang besar akan anak-anak kita, dengan lebih mengakrabkan diri kita,
menambah intensitas komunikasi dengan mereka, menciptakan suasana kebersamaan
sesering mungkin, seperti; makan bersama, rekreasi keluarga, silaturahmi
kerabat dan sanak saudara, kegiatan bersih-bersih rumah bersama-sama, dan yang
lainnya. Terlebih di masa sekarang, zaman canggih dan dunia maya yang telah
menembus ruang-ruang tanpa batas. Yang terlihat anak lebih bergelut dan
akrab dengan FB, TWITTER, HP, NOTEBOOK, I-PAD daripada dengan orang tua dan
saudara-saudara kandungnya. Berhati-hatilah dengan semua itu, kita harus
bisa menempatkan pada porsi yang benar supaya tercipta suasana penuh keindahan.
[ 2 ] Manfaatkanlah
keseringan dan keakraban seorang ibu dengan anak-anaknya untuk menempa
kepribadian, mental, akhlak, ilmu, agama, dan kecerdasan mereka. Utamakan
pendidikan mereka di atas segala-galanya, tanamkan pondasi kepribadian dan
agama yang kokoh kepada mereka, karena kebersamaan dengan mereka tidaklah lama,
dan setelah itu mereka akan terjun dalam dunia lingkungan mereka yang ganas
tanpa pandang bulu, bagi yang berpondasi kepribadian dan agama yang kuat,
niscaya ia akan menjadi tameng dan bisa bertahan dalam kebaikan, tapi
sebaliknya, ia bisa menjadi lebih hina daripada hewan melata yang ada di muka
bumi ini.
[ 3 ] Jangan pernah terbesit
bagi seorang bapak, bahwa alasan profesi, mencari nafkah, lebih tersibukan di
luar rumah, menjadikan dirinya jauh dari kasih sayang terhadap anak-anaknya, jarang
berkomunikasi dengan mereka, tidak memperhatikan perkembangan akhlak, agama dan
kepribadiannya, atau merasa bahwa semua itu adalah tugas seorang ibu,
membebankan kepadanya, berlepas diri darinya, dan kala anak-anaknya melakukan
penyimpangan, serta merta ia menyalahkan istrinya. Ini adalah sikap yang tidak
adil dan jauh dari kata bijaksana. Tugas mendidik anak adalah tugas kolektif
mereka berdua, tidak boleh salah satu berlepas diri darinya, tapi mereka harus
saling bekerja sama, saling share, dan bahu-membahu demi kebaikan anak-anaknya
kelak dewasa.
Semoga bermanfaat…….