Bersama Bahagia Dalam Naungan Islam

Antara Golput dan Tidak Dalam Pemilu

Antara Mashlahat dan Mudharat

Perlu diketahui bersama bahwa pemilu dewasa ini merupakan perkara besar bagi umat islam yang harus disikapi dengan jiwa yang besar pula. Terlebih hampir semua Negara yang ada telah menggunakan sistem demokrasi semacam ini untuk memilih pemimpin mereka atau wakil-wakil mereka yang hendak duduk di kursi kepemerintahan.

Masalah ini memang menjadi pembahasan yang menimbulkan pro dan kontra di kalangan para ulama. Ada yang membolehkan dan ada juga yang melarangnya. Pada prinsipnya, pemilu atau sistem demokrasi memang bukan sistem syar'i yang digunakan untuk memilih seorang pemimpin. Namun demikian, sistem ini sudah menjadi bagian dari Negara kita yang memiliki otoritas hukum yang mengikat dimana setiap warga negaranya pasti akan terlibat dalam sistem ini.

Ini adalah sebuah kenyataan yang menunjukkan masalah pemilu merupakan masalah besar dan penting, dan jawaban dari setiap pertanyaan yang terkait dengannya juga sangat penting dan dibutuhkan oleh masyarakat muslim secara luas.

Sebenarnya masalah ini sudah dibahas oleh banyak ulama ahlussunnah, maka hendaklah kita merujuk kepada fatwa-fatwa mereka sebagai pengamalan firman Allah:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ 

"Bertanyalah kepada ahli ilmu bila kalian tidak mengetahui." (QS. An-Nahl: 43)

Pendapat yang hendak dicantumkan dalam tulisan ini merupakan pendapat ulama yang menurut penulis lebih layak dan bijak untuk kita ikuti dalam mensikapi pemilu yang ada. Terlebih dalam pendapat tersebut, para ulama telah menimbang sisi-sisi manfaat maupun mudharatnya serta pertimbangan-pertimbangan lain yang sangat bijak untuk menentukan sikap kita terhadap perhelatan pemilu yang akan berulang dalam kurun waktu tertentu.

Fatwa-Fatwa Ulama

Berikut ini saya nukilkan beberapa fatwa ulama tentang masalah tersebut.

1. Fatwa "Komite tetap untuk fatwa dan karya ilmiah" Negara Saudi Arabia, no. 14676 yang diketuai oleh Syakih Bin Baz.

Pertanyaan:

Sebagaimana yang kalian ketahui, di Negara kami, Al-Jazair, ada acara nasional yang dikenal dengan nama pemilu. Di sana ada partai-partai yang mengajak kepada hukum islam, ada pula beberapa partai yang tidak menghendaki hukum islam. Bagaimana hukum orang yang mencalonkan diri untuk dipilih namun ia tidak menghendaki hukum islam, akan tetapi mereka masih tetap sholat?

Jawaban:

"Wajib bagi kaum muslimin di Negara yang tidak berhukum dengan syari'at islam untuk mengerahkan usahanya dan apa pun yang mereka mampui dalam berhukum dengan syariat islam. Dan (wajib pula bagi mereka) untuk bersama satu tangan dalam membantu partai yang dikenal akan berhukum dengan syari'at islam.

Adapun membantu orang yang mengajak untuk tidak berhukum menerapkan syariat islam, maka ini tidak boleh, bahkan bisa menyeret pelakunya kepada kekufuruan, sebagaimana firman Allah:

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ 

"Hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut hukum yang diturunkan Allah, janganlah engkau mengikuti keinginan mereka, dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memperdaya engkau dalam sebagian hukum yang telah diturunkan Allah kepadamu. Lalu jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berkehendak menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sungguh kebanyakan manusia adalah orang-orang fasik. Apakah hukum jahiliyah yang mereka inginkan? Tidak ada hukum yang lebih baik dari hukum Allah bagi orang-orang yang menyakini." (QS. Al-Ma'idah: 49-50)

Oleh karena itu, ketika Allah menjelaskan kufurnya orang yang tidak berhukum dengan syariat islam. Dia memperingatkan agar tidak membantu mereka atau menjadikan mereka pemimpin, dan memerintahkan kaum mukminin agar bertakwa bila mereka benar-benar beriman, Allah telah berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ 

"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian jadikan sebagai pemimpin; orang-orang yang diberi kitab sebelum kalian dan orang-orang kafir yang menjadikan agama kalian sebagai bahan ejekan dan permainan, dan bertakwalah kepada Allah bila kalian orang-orang yang beriman." (QS. Al-Ma'idah: 57) (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Buhuts Al-'Ilmiyah Wa Al-Ifta', Ahmad bin Abdurrozzaq Ad-Duwaisy, 27/372)

2. Perkataan Syaikh As-Sa'di

"Sungguh Allah itu melindungi kaum mukminin dengan jalan yang banyak, mereka kadang mengetahui sebagian jalan itu, dan kadang mereka tidak mengetahuinya sama sekali. Kadang Alla membela mereka melalui kabilah dan penduduk negeri mereka yang kafir, sebagaimana Allah melindungi Nabi Syu'aib dari hukuman rajam kaumnya melalui keberadaan kabilahnya. Dan sungguh hubungan-hubungan pertalian ini bila dengannya agama islam dan kaum muslimini bisa terlindungi, maka tidak mengapa berusaha memwujudkannya, bahkan bisa saja hal itu diharuskan, karena perbaikan itu dituntut sesuai dengan kemampuan dan kesempatan.

Oleh karena itu, jika kaum muslimin yang berada di bawah kekuasaan kaum kafirin berusaha dan bekerja untuk menjadikan negaranya bersistem demokrasi, sehingga penduduk dan masyarakatnya bisa mendapatkan hak agama dan dunianya, tentunya ini lebih baik dari pada mereka tunduk kepada Negara yang merampas hak agama dan dunia mereka, berusaha menindas mereka, dan menjadikan mereka sebagai pekerja dan budaknya.

Memang benar, bila dimungkinkan Negara itu menjadi Negara kaum muslimin dan mereka menjadi penguasanya, tentunya itu yang diharuskan. Tapi karena tingkatan itu tidak dimungkinkan, maka tingkatan yang di dalamnya agama dan dunia mereka menjadi kuat dan terlindungi, tentunya harus dikedepankan. Wallohu a'lam." (Tafsir As-sa'di, Syaikh As-Sa'di, hal 388, tafsir Surat Hud ayat 91)

3. Fatwa Majma' Fikih Islami

"Seteleh mendengarkan baths-bahts yang diajukan, beserta perdebatan dan diskusi yang mengiringinya, maka majelis (Majma' Fikih Islam) menetepkan keputusan sebagai berikut:

1. Keikutsertaan seorang muslim dengan non muslim dalam pemilu di Negara-negara non muslim; termasuk siyasah syar'iyah, yang hukumnya diputuskan berdasarkan timbangan mashlahat dan mafsadat, dan fatwa tentang hal itu bisa berbeda karena perbedaan waktu, tempat, dan keadaan. 

Seorang muslim yang dapat menikmati hak kewarganegaraan di Negara non muslim boleh mengikuti pemilihan parlemen atau yang semisalnya. Karena besarnya kemungkinan adanya mashlahat kuat yang akan dihasilkan dari keikutsertaannya itu, seperti menampakkan gambaran yang benar tentang islam, pembelaan terhadap masalah-masalah kaum muslimin di negaranya, mengadakan lapangan kerja bagi kaum minoritas baik dari sisi agama maupun dunia, menguatkan usaha mereka di posisi-posisi yang berpengaruh, dan bekerja sama dengan orang-orang yang moderat dan obyektif untuk mewujudkan kerja sama yang tegak di atas kebenaran dan keadilan. Dan hal itu ditetapkan berdasarkan batasan-batasan berikut ini:

Pertama: Seorang muslim yang mengikuti pemilihan tersebut meniatkan keikutsertaannya itu untuk memberikan sumbangsih dalam mewujudkan mashlahat-mashlahat bagi kaum muslimin dan menolak mafsadat dan bahaya-bahaya mereka.

Kedua: Dia melihat keikutsertaannya itu memiliki kemungkinan besar akan mendatangkan pengaruh-pengaruh yang baik bagi kaum muslimin di Negara tersebut, seperti menguatkan posisi mereka, menyampaikan tuntutan mereka kepada para pembuta keputusan dan para pembuat undang-undang, dan menjaga kepentingan-kepentingan kaum muslimin baik dari sisi agama maupun dunia.

Ketiga: Keikutsertaan dalam pemilu tersebut tidak menyebabkan kemerosotan dalam hal agama pada dirinya." (Fatwa Majma' Fikih Islami, Agenda rapat ke-19, Makkah, 27 Syawal 1422 H/ 8 Nopember 2007)

Kesimpulan

Dari penjelasan fatwa-fatwa di atas bisa disimpulkan sebagai berikut:

1. Sistem demokrasi atau pemilu memang bukanlah sistem yang islami dalam memilih seorang pemimpin. Dan para ulama telah sepakat tentang masalah ini.
2. Fatwa-fatwa ulama dalam masalah ini tidaklah bersifat mengikat, karena isi sebuah fatwa akan berbeda sesuai dengan kasus yang disampaikannya, dan ia akan mengikuti sesuai kondisi tempat, waktu dan keadaan yang ada.
3. Dengan melihat dan menimbang mashlahat dan mafsadah yang akan ditimbulkan, hendaknya seseorang ikut serta dalam pemilu jika kasusnya seperti yang disampaikan oleh penanya yaitu dengan memberikan hak suaranya untuk memilih wakil rakyat atau seorang pemimpin Negara, pilihlah yang terbaik dari sisi agama, sikap dan akhlaknya dari pilihan-pilihan yang ada.
4. Ikut serta dalam pemilu memiliki mashlahat jauh lebih besar dari pada golput (tidak memberikan hak suaranya sama sekali dalam pemilu). Karena hal itu akan memberikan peluang yang lebih besar bagi terpilihnya orang-orang kafir atau orang-orang fasik. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah kaidah fikih, "Jika ada dua kemudaratan yang tergabung, maka ambillah kemudaratan yang jauh lebih kecil/ringan dari keduanya." Oleh karena itu, seorang muslim harus ikut serta dalam pemilu yang ada.
5. Mengikuti pemilu seperti dalam kasus di atas merupakan suatu kebaikan, karena memilih salah satu kemudaratan yang jauh lebih ringan adalah lebih baik daripada meninggalkannya sama sekali yang akan berakibat munculnya mudarat yang jauh lebih besar.
Hendaknya seorang muslim meniatkan keikutsertaaannya dalam pemilu sebagai bentuk untuk mewujudkan mashlahat yang lebih besar bagi kaum muslimin, baik dalam sisi agama maupun dunianya, serta menjadi jalan untuk menolak mudarat (kerusakan/bahaya) yang jauh lebih besar di saat dirinya memilih golput.

Demikianlah ulasan tentang bagaimana sebaiknya sikap kita sebagai seorang muslim dalam menghadapi adanya pemilu yang sejatinya bukan bagian dari syariat islam. Semoga yang singkat ini bermanfaat dan bisa menjadi pencerahan bagi penanya pada khususnya dan pembaca yang lain pada umumnya. Wallohu a'lamb bishowab.

Oleh: Saed As-Saedy


----------------------------
Referensi:
1. Tafsir As-Sa'di (Taisir Al-Karim Ar-Rahman Fi Tafsir Kalam Al-manan), Syaikh Abdurrahman As-Sa'di, Mu'assasah Ar-Risalah.
2. Fatawa Lajnah Da'imah Lil Buhuts Wal Fatawa, Ahmad bin Abdurrozzaq Ad-Duwaisy.
3. Fatawa Majam' Al-Fikh Al-Islami (www.themwl.org), dan lain-lain.
Share:

Tidak ada komentar:

PALING BANYAK DIBACA

ARSIP

Followers