Bersama Bahagia Dalam Naungan Islam

  • RAHASIA DI AKHIR TASYAHUD

    Sukses, ternyata tidak lepas dari kecerdikan dalam memilah dan memanfaatkan kesempatan, apapun bentuk kesuksesan itu. Sehingga memerankan strategi yang baik sangatlah penting dalam kehidupan seorang muslim.

  • SAATNYA AKU TIADA LAGI BERMIMPI

    Hunian super mewah di dunia belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan hunian yang Allah sediakan di surga. Untuk memilikinya pun bukanlah mimpi, bahkan seorang mukmin yang paling miskin pun bisa meraihnya, dan hal itu bukanlah perkara yang mustahil.

  • HAK-HAK ANAK TERHADAP ORANG TUA

    Hak-hak anak bagi orang tua ibarat biji-bijian yang hendak ditanamnya. Apabila biji-bijian ini ketika sebelum maupun setelah ditanamnya diperhatikan dan dirawat dengan baik, niscaya ia akan menjadi tanaman yang subur dan menghasilkan buah yang baik lagi banyak.

  • DOSA-DOSA PACARAN

    Cukuplah bagi kita, khususnya orang tua atau mereka yang di bawah tangannya tergenggam amanah akan pendidikan maupun perkembangan anak-anaknya, bahwa fakta maupun realita yang kerap terdengar dan menjadi santapan sehari-hari kita menunjukkan akan buruknya akibat dari sebuah pacaran.

Saat Ikhtilat Menjadi Tradisi

Pada zaman sekarang ini, ikhtilat sepertinya sudah menjadi budaya dan tradisi di Negeri ini. Tidak ada tempat melainkan di sana ada ikhtilat. Dalam dunia pendidikan, kampus, dunia kerja, pusat-pusat perdagangan, tempat hiburan, rekreasi, bahkan sampai pada angkutan umum, baik darat, laut maupun udara. Kalau kita hendak berpergian, seakan-akan kita tidak bisa terlepas dari fitnah yang satu ini.

Dalam dunia pendidikan di tingkat sekolah, dari TK sampai tingkat lanjutan para siswa telah terbiasa dengan tradisi semacam ini. Kelas yang menjadi tempat belajar mereka setiap harinya tidak ada sekat yang memisahkan antara siswa laki-laki maupun perempuan. Mereka terbiasa dengan diskusi bersama, bercanda bersama, belajar bersama, makan dikantin berbaur dengan teman-teman perempuan, pulang pergi sekolah juga beramai-ramai dengan mereka sembari mengobral canda tawa, dan melakukan kegiatan-kegiatan lainnya secara bersama-sama. Inilah yang kemudian menjadi pemandangan dalam setiap harinya dan telah menjadi tradisi di antara mereka yang apabila tidak mereka lakukan akan terasa hambar aktivitas dan pergaulannya.

Demikian juga pemandangan di tempat kerja, perkantoran, pabrik-pabrik, toko-toko, swalayan, sampai pada pasar-pasar tradisional maupun tempat-tempat lainnya. Tradisi semacam ini ditambah kondisi masyarakat yang secara umum bersikap apatis serta awam terhadap ilmu agama, pula pengaruh yang kuat dari budaya barat yang terus menyebar ke setiap pelosok negeri ini. Sekaligus dianggap sebagai legitimasi akan baik dan wajarnya budaya tersebut yang sejatinya tidaklah sesuai dengan nilai-nilai islam yang mulia.

Suara mayoritas dalam islam bukanlah sebuah tolak ukur dalam baik maupun buruknya sebuah perkara. Maka apabila ikhtilat itu telah menjamur di tengah-tengah masyarakat dan sulit untuk kita hindari, hal itu tidaklah menjadi sebuah legitimasi akan sah dan wajarnya ikhtilat. Seberapa banyak pun manusia yang melakukan perkara haram, maka jumlah itu tidak akan merubah hukum perbuatan tersebut menjadi halal. Ataupun sebaliknya, seandainya perkara halal itu hanya diamalkan oleh segelintir manusia saja, maka jumlah yang sedikit itu juga tidak akan merubah status hukum halal menjadi haram.

Adapun mayoritas umat manusia itu berada dalam kesesatan, maka apabila kita mengikuti mayoritas mereka, berarti kita akan terjerumus dalam kesesatan. Hal ini sebagaimana firman Allah :

“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Yang mereka ikuti hanyalah persangkaan belaka, dan mereka hanyalah membuat kebohongan.” (QS. Al-An’am : 116)

Banyak sekali hasil penelitian yang memaparkan betapa tragis dan mengerikan kondisi masyarakat yang diakibatkan oleh pergaulan bebas yang berawal dari anggapan wajar dan sah akan khulwah maupun ikhtilat di tengah-tengah mereka.

Munculnya kasus-kasus perselingkuhan di dunia perkantoran antara bos dengan sekretarisnya, atau majikan dengan pembantunya, atau guru dengan muridnya, dosen dengan mahasiswinya, atau yang semisalnya adalah bersumber dari pergaulan mereka yang tidak lepas dari kebiasaan khulwah maupun ikhtilat.

Ikhtilat atau percampuran bebas antara lawan jenis merupakan unsur paling menentukan untuk terjadinya masalah-masalah seksualitas, penderitaan psikologis, serta rangsangan naluri. Dari percampuran bebas inilah yang kemudian memunculkan kasus-kasus lain seperti kasus aborsi, kelahiran yang tidak diinginkan, bunuh diri, hamil diluar nikah, semakin menjamurnya dunia prostitusi, pembunuhan, pencurian, kasus narkoba, dan kasus-kasus kriminalitas lainnya. Belum lagi kebiasaan itu akan berimbas pada buruknya masalah sosial, psikologis, pergaulan, mental, kepribadian dan dampak-dampak buruk lainnya.

Sungguh, tradisi khulwah maupun ikhtilat merupakan tipu daya orang-orang Yahudi maupun Nashrani yang hendak menghancurkan umat islam baik secara mental, sosial, spiritual maupun intelektual. Oleh karena itu, hendaknya umat islam harus lebih berhati-hati terhadap propaganda-propaganda yang dihembuskan oleh mereka melalui media-media yang semakin hari semakin canggih, pula pemikiran yang dibawa oleh para akademisi yang selama ini menimba ilmu di luar negeri yang telah terpengaruh oleh budaya barat dan pulang ke dalam negeri dengan mengatasnamakan moderenisasi.

Rasulullah telah bersabda :

لَتَتَّبِعُنَّ سُنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ، قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، اليَهُودُ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: فَمَنْ

“Sungguh kalian akan mengikuti tradisi dan budaya umat sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, dan sehasta demi sehasta hingga jikalau mereka masuk ke dalam liang hewan dhab [sejenis biawak], maka kalian pun akan mengikutinya.” Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu Yahudi dan Nashrani ?“ Beliau menjawab, “Siapa lagi !” [1]

Banyak orang yang membolehkan ikhtilat, menganggapnya hal biasa dan mengingkari bahaya yang akan muncul dari kebiasaan ikhtilat. Menurutnya perihal ikhtilat itu tidak ada dalil sharih [gamblang] yang melarang ataupun mengharamkannya, sementara hukum asal sebuah muamalah adalah boleh. Dengan demikian hukum ikhtilat yang merupakan bagian dari muamalah adalah boleh-boleh saja.

Ketahuilah, anggapan itu hanyalah pengekoran terhadap hawa nafsu belaka yang tidak bersandar pada syariat sama sekali. Padahal para ulama telah menjelaskan akan haramnya ikhtilat dan dampak negatif darinya dengan membawakan dalil-dalil yang shahih dan sharih dari Rasulullah. Di antaranya ialah hadits :

Dari Abu Usaid Al-Anshori dari Bapaknya bahwa dia mendengar Rasulullah bersabda – ketika itu beliau sedang di luar Masjid melihat beberapa laki-laki dan perempuan bercampur baur di tengah jalan – kepada para wanita itu :

اسْتَأْخِرْنَ، فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ تَحْقُقْنَ الطَّرِيقَ، عَلَيْكُنَّ بِحَافَّاتِ الطَّرِيقِ

“Mundurlah [kalian wahai para wanita], kalian tidaklah layak melintas di tengah-tengah jalan, hendaklah kalian menepi ke sisi jalan.”

Setelah itu para wanita menepi hingga ke dinding [di pinggir jalan], sampai-sampai sesuatu yang ada di dinding menempel di pakaian mereka karena saking dekatnya.[2]

Juga atsar dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah melarang seorang laki-laki berjalan di antara dua perempuan.[3]

Dari Hadits di atas kita bisa melihat bagaimana usaha beliau untuk mencegah keburukan agar tidak tersebar di tengah-tengah umatnya. Seorang laki-laki saja dilarang untuk berjalan di antara dua perempuan, maka bagaimana halnya jika beberapa perempaun dan laki-laki berbaur di satu tempat hanya untuk mengobrol, bercanda ria, atau hanya bermain-main saja di antara mereka, tentu hal itu lebih tercela dan terlarang lagi. Oleh karena itu, kebaikan dan kemuliaan hanya akan diraih dengan mengikuti petunjuk Rasulullah.

Dalam riwayat Ibnu Hibban, dari Rasulullah bahwa beliau bersabda :

لَيْسَ لِلنِّسَاءِ وَسَطُ الطَّرِيقِ

“Tidak layak para wanita berjalan di tengah-tengah jalan.”

Sabda beliau, “Tidak layak para wanita berjalan di tengah-tengah jalan” merupakan lafadz khabar [berita] yang maksudnya ialah larangan terhadap sesuatu yang tersembunyi di dalamnya, yaitu bersentuhannya wanita dengan laki-laki saat berjalan, karena umumnya para laki-laki itu berjalan di tengah-tengah jalan. Maka wajib bagi para wanita untuk menepi ke pinggir jalan ketika hendak melintas agar tidak bersentuhan dengan para laki-laki.[4]

Demikian juga sabda Rasulullah tentang shaf shalat berjamaah :

خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا، وَشَرُّهَا آخِرُهَا، وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا، وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا

“Shaf yang terbaik bagi laki-laki ialah yang terdepan, dan yang terburuk ialah yang paling belakang. Adapun shaf yang terbaik bagi perempuan ialah yang paling belakang, dan yang terburuk ialah shaf yang paling depan.” [5]

Imam Nawawi berkata, “Adapun keutamaan shaf terakhir bagi perempuan karena jauhnya mereka dari bercampurnya dengan laki-laki, pandangannya terhadap mereka, keterikatan hati dengannya saat melihat gerakaanya, mendengar percakapannya atau yang semisalnya. Sementara jeleknya shaf terdepan bagi perempuan karena alasan dari kebalikan itu semua. Wallohu a’lam.”[6]

Syaikh Ibnu Baz berkata dalam fatawanya, “Setiap orang yang memilki bashirah [ilmu] pasti mengetahui akan keadaan dunia saat ini, bahwa ikhtilat [campur baur] antara laki-laki dan perempuan akan mengakibatkan kerusakan dan keburukan yang besar serta akibat-akibat lain yang tercela. Hal itu menunjukkan akan keutamaan apa yang dibawah oleh syariat ini. Dan sudah menjadi kewajiban untuk berpegang teguh dengan hukum-hukumnya dalam setiap keadaan, tempat dan waktu serta harus bersikap waspada dari penyelisihan terhadapnya.”[7]

Demikianlah beberapa dalil dan kalam ulama yang menunjukkan akan haramnya ikhtilat serta akibat buruk yang ditimbulkan olehnya. Cukuplah dalil-dalil di atas sebagai pedoman hidup kita agar kita lebih berhati-hati dari sikap menggampangkan ikhtilat antara laki-laki dan perempuan. Tidaklah petunjuk Rasulullah ditegakkan melainkan akan tercipta suasana kedamaian dan kesejahteraan di tengah-tengah masyarakat baik lahir maupun batin.


------------------------
[1] HR. Bukhari (7320), Muslim (2669) dan Ibnu Majah (3994)
[2] HR. Abu Dawud (5272) dan At-Thabrani di Al-Mu’jam Al-Kabir (580)
[3] HR. Abu Dawud (573)
[4] Shahih Ibnu Hibban, 12/416 – 417, no. 5601
[5] HR. Muslim (440), Abu Dawud (678), At-Tirmidzi (224), An-Nasa’I (820) dan Ibnu Majah (1001)
[6] Syarh An-Nawawi ‘Ala Muslim, Imam An-Nawawi, 4/159-160
[7] Majmu Fatawa Ibnu Baz, Abdul Aziz bin Baz, 1/120
Share:

Khulwah, Sebuah tradisi yang keji

Laki-laki membutuhkan perempuan sebagaimana perempuan juga membutuhkan laki-laki. Kebutuhan yang menjadi tuntutan masing-masing beraneka ragam, mulai dari kebutuhan biologis, rasa aman, tentram, kebutuhan sandang, pangan, tempat tinggal dan lain sebagainya. Untuk mencapai semua kebutuhan tersebut, mereka harus mengikuti jalur-jalur syar’i. Di antaranya mengikat hubungan batin mereka dengan tali suci pernikahan. Karena perempuan yang bukan mahram bagi laki-laki dilarang menyendiri dengan lawan jenis untuk saling membantu memenuhi kebutuhannya, apalagi untuk sebuah kebutuhan biologis mereka. Hal ini sangatlah terlarang dalam islam. Hanya tali pernikahanlah yang bisa menghalalkan hubungan mereka bersama.

Rasulullah bersabda :

لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا كَانَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ

“Janganlah sekali-kali seorang laki-laki menyendiri dengan seorang perempuan (yang bukan mahramnya), melainkan syaithan menjadi orang ketiganya.” [1]

Hadits di atas memberikan pengertian bahwa dampak negatif khulwah (menyendirinya seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahramnya) sangatlah besar. Karena hawa nafsu laki-laki dan sifat lemah seorang perempuan akan dimanfaatkan baik oleh orang ketiga di antara mereka yaitu syaithan. Ia akan membisikan ke dalam hati mereka untuk melakukan perbuatan yang tidak senonoh yang mengarah kepada zina. Seperti saling memandang, membelai, berpelukan, ciuman dan akhirnya mereka melakukan apa yang seharusnya tidak dilakukan yaitu melakukan perzinaan. Inilah akhir dari bisikan setan untuk menghancurkan manusia yang senang berkhulwah. Di saat moment-moment inilah setan akan membuat indah suasana, menambah kecantikan si wanita, mengalirkan beribu-ribu rayuan mesra yang hakikatnya adalah bisa ular yang sangat beracun sampai mereka terjatuh dalam kenistaan dan perbuatan keji yang sangat di larang dalam islam.

Ketahuilah, bahwa disaat kau sedang sendirian, atau berkhulwah [menyepi] bersama pasanganmu yang bukan mahramnya, sesungguhnya kau tidaklah sendirian. Allah senantiasa mengawasimu dan apa saja yang kau perbuat dengannya, serta tiadalah pernah kau terlepas dari pandangan Allah.

Seorang penyair mengatakan :

وَإِذَا خَلَوْتَ بِرِيْبَةٍ فِيْ ظُلْمَةٍ وَالنَّفْسُ دَاعِيَةٌ إِلَى الطُّغْيَانِ

فاسْتَحْيِ مِنْ نَظَرِ الْإِلَهِ وَقُلْ لَهَا إِنَّ الَّذِي خَلَقَ الظَّلَامَ يَرَانِيْ

Ketika engkau sendirian dan menyimpan suatu keraguan dalam kegelapan
Sedangkan jiwamu mengajak kepada kesesatan
Maka malulah dikau dari pandangan Rabb-mu, dan katakanlah kepadanya
Sesungguhnya yang menciptakan kegelapan melihat diriku
[2]

Allah berfirman :

“Dan janganlah engkau dekati zina, karena hal itu adalah perbuatan keji dan jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra : 32)

Syaikh As-Sa’di menjelaskan tentang makna ayat di atas, ”Larangan mendekati zina lebih dalam maknanya daripada sekedar melarang dari berbuat zina. Di mana ia mencangkup larangan terhadap semua perkara yang dapat mengundang perbuatan zina. Barangsiapa mendekati tempat terlarang, dikhawatirkan ia akan terjerumus ke dalamnya. Terutama dalam perkara ini, di mana hawa nafsu menjadi faktor yang paling kuat.

Kemudian Allah mensifati zina sebagai perbuatan yang sangat keji, maksudnya sangat keji secara syari’, akal maupun fitrah. Karena di dalamnya mencangkup tindakan pelanggaran terhadap kehormatan, baik terhadap hak Allah, hak perempuan, hak keluarga ataupun terhadap para suaminya, dan juga telah merusak rumah tangga serta menjadi sebab tercampurnya nasab dan kerusakan-kerusakan yang lainnya.”[3]

Demikian juga hadits di atas tidaklah memberikan pengertian bahwa berkumpulnya beberapa laki-laki dan beberapa wanita yang bukan mahramnya dibolehkan dalam islam. Kasus seperti ini dalam islam disebut dengan ikhtilat. Islam melarang bercampur baurnya laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya kecuali dalam kondisi yang sangat mendesak dan darurat. Maka kondisi semacam ini dibolehkan sebatas kebutuhan darurat itu masih ada dengan tetap menjaga batasan-batasan syar’i yang lainnya.

Namun jika keadaan darurat telah kembali normal, maka hilanglah rukhsoh (keringanan) yang diberikan oleh islam. Sebuah kaidah ushul mengatakan, “Keadaan darurat menghalalkan perkara-perkara yang haram”.[4] Kaidah ini kemudian dibatasi oleh kaidah yang lain, “ Keadaan darurat diukur dengan kebutuhannya”.[5] maksudnya kita boleh melakukan perkara yang haram saat darurat itu menimpa kita sesuai dengan kebutuhan.

Saat kebutuhannya telah terpenuhi dan keadaan daruratnya telah hilang, maka perkara haram tadi kembali ke hukum asalnnya dan kita sudah tidak boleh melakukannya kembali. Seperti memakan bangkai yang hukumnya adalah haram, namun jika seseorang tertimpa rasa lapar yang sangat dan tidak ada makanan selain bangkai hewan yang ia dapatkan, sementara jika dirinya tidak memakannya maka ia akan mati. Maka ketika itu ia dibolehkan memakan bangkai sebatas untuk untuk menghilangkan rasa laparnya agar dirinya tetap bertahan hidup. [6]


---------------------------
[1] HR. At-Tirmidzi (2165) dan Ahmad (114)
[2] Homoseks, Bahaya dan Solusinya, hal 76
[3] Tafsir As-Sa’di, Syaikh As-Sa’di, hal 457
[4] Al-Mumti’ Fii Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, DR. Musalim bin Muhammad bin Majid Ad-Dausari, hal 191
[5] Ibid, hal 195
[6] Ibid, hal 193
Share:

Fitrah laki-laki dan perempuan

Allah telah menciptakan mahluk-Nya berpasang-pasangan. Seperti langit pasangannya dengan bumi, panas dengan dingin, malam dengan siang, daratan dengan lautan, laki-laki dengan perempuan dan yang selainnya. Masing-masing ciptaan itu membawa tugasnya sendiri-sendiri. Mereka tidak boleh keluar dari ketentuan Allah. Semua aktivitasnya harus sesuai dengan fitrah yang telah dianugerahkan Allah kepadanya. Mereka tidaklah memiliki kelebihan dari yang lain. Semuanya sama dalam pandangan Allah. Mereka hanya bersinergi membentuk tatanan alam semesta secara teratur dan rapih.

Oleh karena itu, barangsiapa keluar dari fitrah dan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah, maka yang akan terjadi adalah kekacauan dan bencana yang sangat besar. Karena masing-masing diciptakan oleh Allah menurut fitrahnya sebagaimana penciptaan manusia yang secara naluri mereka itu diciptakan beragama yaitu agama tauhid. Maka barangsiapa keluar dari fitrah ini [agama tauhid], maka hal itu adalah sebuah ketidakwajaran dan akan terjadinya kekacauan yang disebabkan olehnya. Demikian pula terhadap gambaran mahluk Allah secara umum lainnya.

Perhatikanlah Firman Allah berikut ini :

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama [islam]; [sesuai] fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut [fitrah] itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. [itulah] agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rum: 30)

Kini kita melihat sisi lain yang lebih simpel. Allah telah menciptakan laki-laki sesuai dengan fitrahnya yang mulia, demikian juga perempuan diciptakan sesuai dengan fitrahnya yang berbeda dengan laki-laki. Tidak ada perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya dalam pandangan Allah. Masing-masing saling melengkapi dan membutuhkan satu sama lain.

Seorang lelaki tidaklah lebih mulia daripada seorang perempuan dengan beberapa tugas dan kewajibannya yang harus dipikulnya. Demikian juga seorang perempuan tidaklah lebih mulia daripada seorang laki-laki dengan beberapa tugasnya yang mulia. Hanya ketaatan dan ketaqwaanlah yang menjadikan mereka lebih mulia daripada yang lainnya di hadapan Allah. Kemuliaan di sisi Allah bukanlah dari sudut gender maupun pangkat dan kekayaan. Akan tetapi iman dan amal shalih inilah yang akan menjadi perhitungan di sisi-Nya.

Allah berfirman :

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kemudian Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui Maha teliti.” (QS. Al-Hujurat : 13)

Rasulullah bersabda :

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada perawakanmu dan hartamu, akan tetapi Dia melihat kepada hati dan amalmu.”[1]

Syikah As-Sa’di mengatakan dalam kitab tafsirnya, “Sesungguhnya kemuliaan itu dengan takwa. Mereka yang paling mulia di sisi-Nya ialah orang-orang yang paling bertakwa di antara mereka. Mereka ialah orang yang paling taat kepada-Nya dan jauh dari kemaksiatan. Bukan orang yang memiliki banyak kerabat dan kaum, atau yang paling mulia nasabnya.” [2]

Imam Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya, ”Tingkat kemuliaan manusia sama jika dilihat dari sisi bahan penciptaan Adam dan Hawa. Yang memuliakan mereka dari yang lainnya adalah perkara-perkara agama, yaitu ketaatan kepada Allah dan ittiba’ (mengikuti) kepada Rasul-Nya.”[3]

DR. Na’man mengatakan, “Kehidupan dunia yang di dalamnya terdapat baik dan buruk, mudah dan susah, sedih dan bahagia, mati dan hidup atau yang lainnya tidaklah khusus bagi kaum laki-laki tanpa perempuan, atau khusus bagi kaum perempuan tanpa laki-laki. Akan tetapi, semua itu berlaku bagi keduanya. Seorang perempuan adalah patner bagi laki-laki. Dalam kehidupannya mereka saling membantu untuk mendapatkan kebaikan dan mencegahnya dari beragam kemudharatan.”[4]

Merupakan fitrah laki-laki ialah memiliki kekuatan fisik lebih besar di bandingkan perempuan, karena ia dituntut menjadi kepala keluarga yang berkewajiban memenuhi nafkah keluarganya, menyediakan tempat tinggal, pakaian, dan menjadi pelindung bagi seorang perempuan (isteri) dan anak-anaknya.

Allah berfirman :

“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (isteri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) , dan karena mereka (laki-laki) telah memberi nafkah dari hartanya.“ (QS. An-Nisa : 34)

Sedangkan perempuan diciptakan sebagai manusia yang lemah secara fisik dibandingkan laki-laki. Namun Allah memberinya sifat kelembutan dan kasih sayang yang lebih besar yang tidak dimiliki oleh kaum laki-laki. Hal ini dikarenakan perempuan itu disiapkan untuk menjadi sosok pendidik dan pembimbing terhadap pertumbuhan dan perkembangan sikap, perilaku, mental dan akhlak anak-anaknya.

Antara laki-laki dan perempuan, masing-masing memiliki sifat kekurangan dan kelebihan yang saling melengkapi satu sama lain. Sehingga dengan menjalankan peranannya masing-masing, tidak mengurangi apa yang menjadi kewajibannya dan tidak menuntut lebih apa yang menjadi haknya, maka akan terwujudlah keserasian dan keseimbangan dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat.

Allah telah menjadikan perempuan sebagai pasangannya bagi laki-laki, demikian juga sebaliknya. Semua itu untuk mewujudkan rasa tentram yang penuh kasih dan sayang di antara mereka. Hal ini sebagaiman firman Allah :

“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya. Dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rum : 21)

Dengan demikian, terlahirlah rasa ketertarikan di antara mereka, kecenderungan untuk saling dekat dan memiliki sesuai dengan fitrahnya. Puncak perasaan ini akan tumbuh saat usia mereka menginjak masa baligh dan pubertas. Akan tetapi, islam tidak membiarkan aliran perasaan fitrah itu mengalir ke mana-mana tanpa adanya sekat maupun pembatas. Islam memberikan batasan-batasan yang tidak mengurangi sedikitpun fitrah mereka. Islam hanya mengarahkan dan menuntun fitrah mereka agar tetap berada pada jalurnya.

Karena tanpa batasan-batasan syari, akan terjadi kekacauan dan kehancuran bagi umat manusia serta hilangnya fitrah yang ada pada mereka. Sungguh, kebebasan mutlak sangatlah berdampak negatif bagi kelangsungan hidup umat manusia. Di mana nafsu dan syahwat akan berkuasa untuk menggiring mereka ke lembah kehancuran tanpa terasa. Ia akan menjadikan setiap jiwa berbuat semena-mena tanpa mengenal rasa dan dosa. Ia akan menjadikan orientasi hidup mereka hanya keindahan dan kenikmatan sementara, padahal hakikatnya membawa mereka kepada kebinasaan.


---------------------------
[1] HR. Muslim (6708), Ibnu Majah (4143) dan Ahmad (7814)
[2] Tafsir As-Sa’di, Syaikh As-Sa’di, 1/802
[3] Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim [Tafsir Ibnu Katsir], Ibnu Katsir, 7/380
[4] Mabahits fii Tsaqofah Al-Islamiyah, DR. Na’man, Hal 81
Share:

PALING BANYAK DIBACA

ARSIP

Followers