Bersama Bahagia Dalam Naungan Islam

Akhir Para Pembawa Cahaya


Kematian, akhir setipa alur cerita kehidupan, datang tanpa kenal lelah dan pilah. Besar atau kecil, tua atau muda, pria atau wanita, orang mulia atau hina, raja atau budak, semua pasti akan ditembus oleh kematian, ia hanya tinggal menunggu perintah dan catatan yang ada dalam suratan takdir.

Golongan orang-orang yang mulia, mulai dari para Rasul ulul ‘azmi yang lima hingga para nabi yang lainnya, mereka semua tunduk dan berakhir pada kematian. Tak seorang pun dari mereka yang mampu meminta penangguhan maut walau sedetik saja, apalagi menolak dan berlari dari kedatangannya. Sungguh, ini adalah kebenaran dan fakta yang semua orang pasti bungkam dan tak berani untuk menentangnya, membantah dan mendebat realita yang telah tertulis dalam sejarah kehidupan manusia.

Siapa yang tak kenal dengan Nabi Ibrohim, bapak para Nabi, kekasih Alloh, sosok manusia yang sarat dengan nilai-nilai keteladanan yang mulia bagi manusia, seorang yang penyabar, penuh ketaatan, sangat zuhud terhadap dunia, cerdas, penuh hikmah, tawakal, dan beragam sifat-sifat mulia yang lainnya. Tapi, semua kemuliaan dan sifat-sifat keteladanan yang dimilikinya tak mampu sedikitpun untuk mencegah kematian atau menangguhnya barang sekecilpun.

Maut pun tak segan-segan untuk menggilas, memakan dan mengakhiri semua kebaikan dan perjuangan sucinya. Tinggallah sekarang hanya nama dan sifat-sifat keteladanannya yang terus abadi. Adapun jasadnya telah tertanam dan tertimbun oleh tanah, ia sudah terputus dari berbuat baik dan menambah amal sholihnya, dari menyeru manusia ke jalan Alloh, dan melawan kebengisan orang-orang kafir. Dan semua yang telah ia dapatkan dan rasakan telah terpupus dan berakhir, yang tersisa hanyalah cerita dan pelajaran bagi mereka yang hidup setelahnya.

Demikianlah, kematian telah merenggut dan mengakhiri kisahnya. Hal ini juga tak lepas dari perjalanan hidup sang kekasih Alloh yang paling mulia, Nabi Muhammad. Beliau adalah penghulu para Nabi, pemberi syafaat al ‘udzma kelak di hari kiamat, manusia yang telah diisra’ dan mi’rajkan oleh Alloh, namanya yang terus dimuliakan oleh-Nya di muka bumi ini, Nabi yang diberi mukjizat yang sangat agung berupa kitab suci al Qur’an yang akan terus kekal sampai hari kiamat, dan segudang kemuliaan-kemuliaan lainnya yang telah diberikan oleh Alloh kepadanya.

Tapi, tatkala malaikat maut datang menghampirinya, meminta izin untuk mencabut nyawanya, beliau tak mampu berbuat apa-apa, ia pun tunduk dan pasrah terhadap apa yang hendak diperbuat olehnya, ia hanya berharap Alloh berkenan mengampuni dosa-dosanya, meringankan dan memberinya ketetapan serta kekuatan saat sekarat tiba.

Demi Alloh, beliau adalah seorang Nabi yang telah diampuni segala dosa-dosanya, baik yang telah lalu maupun yang akan datang. Tapi, pada saat detik-detik kematian sedang merenggutnya, beliau sempat bersabda:

لا إله إلا الله إن للموت سكرات

[ Tiada Ilah yang berhak disembah selain Alloh, sungguh dalam kematian itu ada detik-detik sekaratnya ] [ HR. Bukhari ; 4449, 6510 ]

Hadits ini menunjukan bahwa beliau benar-benar mengalami sakitnya sakartul maut, merasakan betapa pedihnya kematian, betapa ngerinya saat detik-detik kematian merenggut nyawanya, dan saat berpisahnya ruh dari jasadnya, yang semua itu akan dirasakan oleh setiap urat-urat yang ada di seluruh tubuhya.

Nabi sulaiman, sosok manusia dengan segudang kekuasaan dan kemuliaan yang tinggi atas manusia yang lainnya. Ia memiliki kekuatan dan kekuasaan yang belum pernah dimiliki oleh manusia selainnya. Bala tentaranya terhimpun dari bangsa jin dan manusia. Semua alam tunduk kepadanya, mulai dari angin dan binatang. Ia juga mampu berkomunikasi dengan semua jenis binatang. Sampai dirinya pun merasa heran dengan anugerah yang telah diberikan oleh Alloh terhadapnya. Ia pun berkata bahwa semua itu adalah sebagai ujian apakah dirinya akan kufur atau bersyukur atas segala limpahan nikmat-Nya.

Alloh telah menundukan apa saja di hadapannya, memberinya kekuasaan dan kerajaan yang belum pernah ada dalam sejarah manusia, baik yang telah lalu maupun yang akan datang, menjadikan dirinya penguasa terbesar di muka bumi ini. Namun, ada dua hal yang tidak pernah tunduk dan takut dengan kedigdayaan yang dimiliki Nabi Sulaiman, yaitu waktu yang menjadikan usianya yang terus bertambah. Waktu begitu tegar dan sabar untuk menghitung usianya, melumutkan kekuasaan, kejayaan dan kekokohan kerajaan yang dimilikinya. Ia terus membawa diri sulaiman ke dalam kelemahan, kerentaan, dan tak terasa usianya pun telah berlalu yang semakin dekat dengan gerbang kematian.

Yang kedua adalah kematian, ia tak segan-segan untuk menghampiri dan merenggut nyawanya, memisahkan dari jasadnya dan membawanya ke hadapan Alloh, membuat dirinya terputus dan harus meninggalkan segala kekuasaan dan kemuliaan yang pernah dimilikinya.

Begitulah, Nabi Sulaiman tak bisa berkutik dengan keduanya, dirinya justru tunduk dan pasrah saat berada di hadapannya, tak satupun dari kekuasaan, kekayaan, kemuliaan dan bala tentaranya yang begitu besar mampu melindungi dan mengangkat ketundukan dan kepasrahan saat berdiri dihadapkan pada kelembutan waktu dalam usia dan keganasan kematian.

Ia juga merasakan sekarat seperti yang dirasakan oleh manusia yang lain, mencicipi akan ngeri dan sakitnya maut yang mencekam, dan mengalami kematian yang sebenar-benarnya yang selama ini diyakini dan belum pernah dirasakan sedikitpun sebelumnya.

Semua Nabi dan Rasul, sejak Nabi Adam sampai datangnya penutup para Nabi dan Rasul [ Muhammad ] telah merasakan kematian. Mereka telah lenyap dan hilang dari pandangan di dunia ini. Tidak ada yang tersisa darinya kecuali kesholihan dan kebaikan yang telah mereka tanamkan di atas muka bumi ini. Kematian telah mengakhiri jalan hidupnya, memutus kesempatan untuk beramal, menghilangkan semua kenikmatan yang pernah dirasakan dan dimilikinya saat di dunia, dan mengistirahatkan dirinya dari perjuangan dakwah dan medan jihad.

Mereka adalah para pembawa cahaya Alloh, yang bertugas mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya hidayah. Begitu mulia tugas yang mereka emban di atas pundaknya, hari-harinya dipenuhi dengan kebaikan dan amal sholih, hidupnya suci dan terjaga dari kemaksiatan dan dosa. Toh, mereka semua berakhir dalam kematian. Tapi, perbekalan yang mereka persiapkan lebih dari sekedar cukup, sehingga tak ada kekhawatiran sedikitpun saat kematian datang menjemputnya.

Bandingkan dengan kita, manusia biasa yang bukan Nabi dan Rasul, yang tidak dijamin oleh Alloh terlepas dari maksiat dan dosa, masih merasa santai dan tenang, masih bisa tertawa dan bercanda ria, bahkan tak sedikit di antara kita yang masih terus bergelimang dalam lembah dosa dan ketersia-siaan, hanyut dalam ambisi dunia, dan terbuai oleh angan-angan panjang dan kosong.

Padahal kematian sudah berada di ambang mata, malaikat maut tidak pernah tidur untuk terus mengawasi kita, yang siap menerkam dan mencabut ruh dari jasad ini. Kapan? Tentu kita tidak tahu. Setelah beberapa detik kemudian! Bisa jadi. Ya, semuanya rahasia dan penuh misteri, yang bisa terjadi kapan saja dan di mana saja.

Tapi, apa yang telah kita persiapkan, bekal apa yang telah kita kumpulkan untuk menghadapi kematian dan kejadian-kejadian setelahnya, sedang kita kini masih dalam santai, tenang, masih bisa tertawa dan bergembira ria. Untuk itu, bersiap-siaplah menghadapi kematian, mulailah dari sekarang, detik ini, dan jangan di tunda-tunda lagi !!!.


Wallohu a’lam bishowab
Share:

PALING BANYAK DIBACA

ARSIP

Followers